Pages

Monday, March 31, 2014

Apa Hubungan Letusan Toba dengan Kiamat Bumi?


TEMPO.CO, Copenhagen-- Sekitar 74 ribu tahun lalu, gunungberapi Toba di Pulau Sumatera meletus dahsyat dan mengakibatkan bencana global. Letusannya diperkirakan 5 ribu kali lebih besar dari letusan Gunung St Helens pada 1980 di Amerika Serikat serta diyakini menjadi bencana vulkanik terbesar di Bumi selama 2 juta tahun terakhir.
Toba memuntahkan lava yang cukup untuk membangun dua Gunung Everest. Toba juga menghasilkan abu sangat banyak yang menghalangi sinar matahari, mengakibatkan Bumi gelap sepanjang hari selama bertahun-tahun seperti sudah kiamat. Letusan dahsyat Toba meninggalkan bekas berupa kawah berdiameter rata-rata 50 kilometer yang kini dikenal sebagai Danau Toba.

Bahkan gunung berapi raksasa (supervolcano) ini mengirim cukup banyak asam sulfat ke atmosfer untuk membuat hujan asam di daerah kutub Bumi. Informasi ini diperoleh setelah para ilmuwan mengais jejak sisa asam sulfat dalam inti es kutub yang dalam.

"Kami melacak jejak hujan asam dalam lapisan es di Greenlanddan Antartika," kata Anders Svensson, ahli gletser dari InstitutNiels Bohr di Universitas Copenhagen, Denmark, Selasa 6 November 2012.

Para ilmuwan telah lama mengira bekas kekuatan letusan Toba dapat ditemukan di lapisan es Greenland. Namun, mereka selama ini tidak dapat menemukan sisa abu vulkanik sehingga dugaan tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya.

"Tapi kini kami telah menemukan lapisan asam dari letusan Toba dalam lapisan es Greenland dan Antartika," kata Svensson. Ia dan timnya telah menganalisis lapisan es tahunan dari inti es di kedua lokasi, lantas mencocokannya. Greenland mewakili kutub utara Bumi, adapun Antartika adalah kutub selatan Bumi.

Inti es bisa memberikan bukti lebih detail tentang bagaimana iklim Bumi berubah drastis hanya beberapa tahun setelah letusan dahsyat Toba. Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan bahwa letusan supervolcano akan memicu pendinginan global hingga 10 derajat Celcius selama beberapa dekade. Namun, inti es di kedua kutub menunjukkan pendinginan terjadi dalam waktu yang lebih pendek dan tidak konsisten di seluruh belahan Bumi.

"Tidak ada pendinginan global yang merata sebagai akibat dari letusan Toba," kata Svensson, mengacu kurva temperatur inti es. Menurut dia, fluktuasi pendinginan suhu yang besar hanya dijumpai di belahan Bumi utara, sedangkan di belahan Bumi selatan menjadi lebih hangat. "Kondisi ini mengakibatkan pendinginan global terjadi dalam periode singkat."
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Bukti baru yang ditemukan Svensson dan rekan-rekannya menjanjikan jalan keluar bagi sejumlah perdebatan arkeologi. Letusan Toba terjadi pada titik kritis dalam sejarah manusia purba ketika Homo sapiens pertama kali berkeliaran keluar dari Afrika ke Asia. Namun, ada perbedaan pendapat yang luas tentang bagaimana nasib manusia awal yang terkena dampak letusan Toba. "Apakah sebagian besar penghuni Bumi musnah oleh letusan itu?" ujar Svensson.

Ia mengatakan, lapisan abu vulkanik dari letusan Toba telah ditemukan di sebagian besar wilayah Asia. Material letusan ini digunakan sebagai petunjuk arkeologi kuno yang sangat penting mewakili peradaban yang dianggap terlalu tua untuk dilakukan penanggalan karbon. Sedangkan analisis inti es menyediakan informasi lainnya untuk menempatkan temuan arkeologi kuno secara lebih akurat.

"Posisi letusan Toba dalam rekaman inti es akan menempatkan temuan arkeologis dalam konteks iklim. Ini akan sangat membantu untuk menjelaskan periode kritis sejarah manusia," kata Svensson. Penelitian ini secara rinci dimuat dalam jurnal Climate of the Past.
Sumber: www.tempo.co


 http://gunungtoba2014.blogspot.com

 http://gunungtoba2014.blogspot.com


Misteri Letusan Supervolcano Toba Dan Yellowstone Terpecahkan

Akhirnya ilmuwan memahami penyebab letusan Supervolcano Toba dan Yellowstone yang pernah terjadi dan dianggap sebagai bencana alam terbesar di dunia. Letusan Supervolcano bisa saja terjadi secara spontan di dorong oleh tekanan magma tanpa adanya pemicu eksternal. Diantaranya letusan yang pernah terjadi didanau Toba, gunung krakatau, dan Yellowstone Wyoming.

Pencarian penyebab letusan Supervolcano menggunakan Synchrotron X-rays, tim peneliti terdiri oleh Wim Malfait, Carmen Sanchez dan beberapa rekan lainnya dari Paul Scherrer Institute, Okayama University (Jepang) , Laboratorium Geologi CNRS, Universite Lyon 1, ENS Lyon (Prancis), dan Synchrotron Europe (Prancis). Hasil analisis mereka diterbitkan dalam jurnal Nature Geosciences edisi Januari 2014.

Tekanan, Penyebab Utama Letusan Supervolcano


Sekitar 600 ribu tahun lalu, sebuah letusan Supervolcano telah menciptakan kawah besar di WyomingAmerika Serikat yang saat ini dikenal sebagai tempat tujuan wisata, Yellowstone National Park. Ketika Supervolcano meletus setidaknya mengeluarkan lebih dari 1000 km3 abu dan lava ke atmosfer, ledakan ini jauh lebih dahsyat atau 100 kali lebih hebat dari yang pernah terjadi gunung Pinatubo, Filipina tahun 1992. 

supervolcano yellowstone

Letusan Supervolcano akan berdampak pada iklim global, saat Pinatubo meletus setidaknya suhu globalmenurun 0.4 derajat Celcius selama beberapa bulan. Dan jika Supervolcano yang ada saat ini meletus, diperkirakan suhu global akan menurun 10 derajat Celcius selama sepuluh tahun. Saat seperti inilah dunia mengalami periode kegelapan, suhu diberbagai dunia sangat dingin karena sinar matahari tertutup debu vulkanik bertahun-tahun. Banyak makhluk hidup yang tidak sanggup bertahan, situasi ini pernah terjadi ketika gunung Toba meletus 74 ribu tahun lalu.

Mekanisme yang memicu letusan Supervolcano Toba Dan Yellowstone sangat sulit dipahami, hal ini disebabkan proses yang berada didalam Supervolcano berbeda dengan proses gunung konvensional (misalnya gunung Pinatubo). Supervolcano memiliki dapur magma jauh lebih besar dan selalu terletak didaerah aliran panas interior bumi di permukaan yang tinggi. Sehingga dapur magma yang besar dan panas seperti plastik, dimana bentuknya bisa berubah fungsi sebagai penekan yang secara bertahap juga mengisi magma panas. Sifat plastisitas ini memungkinkan penghindaran tekanan sehingga jarang meletus, berbeda dengan dapur magma gunung konvensional yang lebih kaku.

Menurut Dr Malfait yang dilansir BBC News, jika Yellowstone berada diambang letusan kemungkinan tanah akan naik ratusan meter dari waktu ke waktu (seperti gunung krakatau). Jadi hal ini terlihat seperti peringatan dini sebelum supervolcano meletus. Supervolcano Yellowstone saat ini memiliki 10 hingga 30 persen senyawa parsial, untuk melepaskan tekanan harus cukup tinggi sekitar 50 persen. Jadi, letusan supervolcano sangat jarang terjadi, mungkin saja terjadi sekali dalam puluhan ribuan tahun tetapi sifatnya menghancurkan. 

letusan supervolcano

Para ilmuwan tidak mengebor kedalam magma karena semua itu tidak mungkin, tetapi dengan menggunakan peralatan yang disebut Synchrotron X-rays mereka mampu melihat bagian magma cair dan padat serta perubahan kepadatan saat magma mengkristal menjadi batu. Suhu dalamnya diperkirakan mencapai 1700 derajat Celcius dan bertekanan sekitar 36000 atmosfer. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tekanan pada supervolcano sebenarnya cukup besar untuk memecahkan kerak bumi hingga mencapai permukaan, bahkan tanpa adanya air atau gelembung karbon dioksida dalam magma naik ke permukaan, dorongan keras ini menyebabkan ledakan vulkanik.

Kekuatan pendorong berasal dari tekanan tambahan yang disebabkan kepadatan berbeda pada batuan magma padat dan cair, tekanan ini terus bertambah yang akhirnya mampu memecahkan ketebalan kerak bumi sehingga terjadi letusan supervolcano. Magma juga sering berisi air sehingga secara langsung menambah uap dan tekanan tambahan. Sehingga, tekanan yang dihasilkan dari perbedaan densitas antara magma padat dan cair mampu memecahkan kerak bumi setebal 10 kilometer diatas dapur magmanya. 

Faktor lain seperti gempa bumi tidak akan menyebabkan letusan supervolcano Toba dan Yellowstone, kecuali dapur magma telah penuh tekanan. Sesuatu yang aneh juga terlihat pada gunung krakatau yang semakin bertambah ketinggiannya, kekhawatiran supervolcano ini masih ada kemungkinan letusan selanjutnya.

Referensi


Supervolcano triggers recreated in X-ray laboratory, publish 5 January 2014 by CNRS. Journal: Supervolcano eruptions driven by melt buoyancy in large silicic magma chambers. Nature Geoscience, 2014. Image Aerial view of Grand Prismatic Spring; Hot Springs, Midway & Lower Geyser Basin, Yellowstone National Park via Wikipedia.

Sumber: www.isains.com

 http://gunungtoba2014.blogspot.com





Sunday, March 30, 2014

Danau Toba dan Pulau Samosir

GUNUNG TOBA

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu.


Bukti ilmiah

Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic InstituteNew York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.

Berada di tiga lempeng tektonik

Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi SumateraJawaKalimantanSulawesi dan Banda.
Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran.Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakankaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 ribu tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.

Letusan

Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.
  • Letusan pertama terjadi sekitar 800 ribu tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
  • Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 ribu tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
  • Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano biasa rata-rata kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolcano dapat mencapai puluhan kilometer.
Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Toba

http://gunungtoba2014.blogspot.com


Letusan Gunung Toba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Letusan Toba terjadi di Indonesia dan menghasilkan lapisan endapan debu setebal kira-kira 15 sentimeter di seluruh Asia Selatan. Debu vulkanik juga mengendap di Samudra HindiaLaut Arab, dan Laut Cina Selatan.[12] Inti laut dalam yang diambil dari Laut Cina Selatan telah membuktikan besarnya jangkauan letusan, sehingga perhitungan massa letusan sebesar 2.800 km³ dianggap sebagai jumlah minimum atau bahkan terlalu kecil.[13]

Musim dingin vulkanik dan pendinginan

Letusan Toba tampaknya terjadi bersamaan dengan munculnya periode glasial terakhir. Michael L. Rampino dan Stephen Self berpendapat bahwa letusan tersebut mengakibatkan "pendinginan singkat yang dramatis atau 'musim dingin vulkanik'" yang menurunkan suhu permukaan rata-rata dunia sebesar 3–5 °C dan mempercepat transisi dari suhu panas ke dingin dalam siklus glasial terakhir.[14] Bukti dari inti es Greenland menunjukkan adanya periode minim δ18O selama 1.000 tahun dan peningkatan endapan debu setelah letusan Toba. Letusan ini bisa jadi menghasilkan periode suhu dingin selama 1.000 tahun tersebut (stadial); dua abad di antaranya disebabkan oleh bertahannya muatan stratosfer Toba.[15]Rampino dan Self yakin bahwa pendinginan global sudah berlangsung saat letusan terjadi, namun prosesnya lambat; YTT "mungkin memberi 'tendangan' kuat sehingga sistem iklim beralih dari suhu panas ke dingin".[16] Walaupun Clive Oppenheimer menolak hipotesis bahwa letusan ini menyebabkan periode glasial terakhir,[17] ia setuju bahwa letusan Toba menyebabkan iklim dingin selama satu milenium sebelum peristiwa Dansgaard-Oeschger abad ke-19.[18]
Menurut Alan Robock,[19] yang pernah menerbitkan sejumlah makalah tentang musim dingin nuklir, letusan Toba tidak mendahului periode glasial terakhir. Namun dengan asumsi adanya emisisulfur dioksida sebesar enam miliar ton, simulasi komputernya menunjukkan bahwa pendinginan global maksimum sebesar 15 °C terjadi selama tiga tahun setelah letusan, dan pendinginan tersebut bertahan selama beberapa dasawarsa dan bersifat mematikan. Karena tingkat selang adiabatik jenuh untuk suhu di atas titik beku adalah 4,9 °C/1.000 m,[20] garis pohon dan garis saljupada waktu itu lebih rendah 3.000 m (9.900 ft). Iklim kembali pulih setelah beberapa dasawarsa, dan Robock tidak menemukan bukti bahwa periode dingin 1.000 tahun yang tercatat di inti es Greenland diakibatkan oleh letusan Toba. Berbeda dengan Robock, Oppenheimer percaya bahwa perkiraan penurunan suhu permukaan sebesar 3–5 °C mungkin terlalu tinggi. Ia berpendapat bahwa suhu turun sebesar 1 °C saja.[21] Robock mengkritik Oppenheimer karena analisisnya didasarkan pada hubungan T-forcing yang sederhana.[22]
Meski ada berbagai macam perkiraan, para ilmuwan sepakat bahwa letusan super sebesar letusan Toba pasti menghasilkan lapisan debu yang sangat luas dan pelepasan gas beracun dalam jumlah besar ke atmosfer, sehingga memengaruhi iklim dan cuaca di seluruh dunia.[23] Selain itu, data inti es Greenland memperlihatkan perubahan iklim yang mendadak pada masa letusan Toba,[24] tetapi tidak ada konsensus bahwa letusan ini secara langsung menciptakan periode dingin 1.000 tahun yang tercatat di Greenland atau periode glasial terakhir.[25]
Para arkeolog yang menemukan lapisan debu vulkanik kaca mikroskopik di sedimen Danau Malawi pada tahun 2013, dan menghubungkan debu tersebut dengan letusan super Toba 75.000 tahun yang lalu, melihat tidak adanya perubahan jenis fosil yang dekat dengan lapisan debu yang terbentuk pasca musim dingin vulkanik. Bukti ini membuat arkeolog menyimpulkan bahwa letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah umat manusia tidak mengubah iklim Afrika Timur.[26][27]

Teori penyusutan genetik

Letusan Toba telah dikaitkan dengan penyusutan genetik evolusi manusia sekitar 50.000 tahun yang lalu[28][29] yang terjadi akibat berkurangnya jumlah manusia karena efek letusan terhadap iklim global.[30]
Menurut teori penyusutan genetik, antara 50.000 dan 100.000 tahun yang lalu, populasi manusia berkurang tajam menjadi 3.000–10.000 orang.[31][32] Teori ini didukung oleh bukti genetik yang menunjukkan bahwa umat manusia masa kini adalah keturunan dari sedikit sekali manusia, antara 1.000 sampai 10.000 pasangan, sekitar 70.000 tahun yang lalu.[33]
Pendukung teori penyusutan genetik berpendapat bahwa letusan Toba mengakibatkan bencana ekologi global, termasuk kehancuran tanaman diiringi kekeringan parah di sabuk hutan hujan tropis dan kawasan monsun. Contohnya, musim dingin vulkanik selama 10 tahun yang diakibatkan letusan telah melenyapkan sebagian besar sumber makanan manusia dan menyebabkan berkurangnya populasi manusia.[22] Perubahan lingkungan seperti ini bisa jadi menghasilkan penyusutan populasi beberapa spesies, termasuk hominid;[34] penyusutan ini mempercepat diferensiasi dari populasi manusia yang sedikit. Karena itu, perbedaan genetik di kalangan manusia modern merupakan cerminan perubahan yang terjadi pada 70.000 tahun terakhir, bukan diferensiasi bertahap selama jutaan tahun.[35]
Penelitian lain memunculkan keraguan terhadap teori penyusutan genetik. Misalnya, peralatan batu kuno di India selatan ditemukan di atas dan di bawah lapisan debu tebal dari letusan Toba dan bentuknya serupa, artinya awan debu dari letusan tersebut tidak memusnahkan populasi di daerah ini.[36][37][38] Bukti arkeologi lain dari India selatan dan utara juga menunjukkan sedikitnya bukti dampak letusan terhadap penduduk setempat, sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa "banyak makhluk hidup yang selamat dari letusan super ini, bertentangan dengan penelitian lain yang menunjukkan kepunahan hewan dan penyusutan genetik dalam jumlah besar".[39] Akan tetapi, bukti dari analisis serbuk sari memperlihatkan adanya deforestasi panjang di Asia Selatan. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa letusan Toba mungkin memaksa manusia menggunakan strategi adaptasi yang baru, sehingga mereka dapat menggantikan manusia Neanderthal dan "spesies manusia kuno lainnya".[40] Pendapat tersebut tidak sejalan dengan bukti keberadaan Neanderthal di Eropa dan Homo floresiensis di Asia Tenggara yang masing-masing selamat dari letusan ini selama 50.000 dan 60.000 tahun.[41]
Kekurangan lain dalam teori penyusutan pasca-Toba adalah sulitnya memperkirakan dampak iklim global dan regional letusan ini dan sedikitnya bukti pasti letusan ini sebelum penyusutan.[42]Selain itu, analisis genetik urutan Alu di seluruh genom manusia memperlihatkan bahwa ukuran populasi manusia yang efektif kurang dari 26.000 orang pada 1,2 juta tahun yang lalu. Penjelasan yang memungkinkan untuk rendahnya jumlah leluhur manusia meliputi penyusutan populasi yang terjadi berulang-ulang atau peristiwa penggantian periodik dari subspesies Homo lain.[43]

Penyusutan genetik manusia

Teori bencana Toba berpendapat bahwa penyusutan populasi manusia terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu. Jumlah manusia berkurang menjadi kurang lebih 15.000 orang ketika Toba meletus dan mengakibatkan perubahan lingkungan besar, termasuk musim dingin vulkanik.[44] Teori ini didasarkan pada bukti geologi perubahan iklim mendadak pada waktu itu dan penggabungan beberapa gen (termasuk DNA mitokondria, kromosom Y, dan sejumlah gen inti)[45] serta variasi genetik yang relatif rendah pada manusia modern.[44] Misalnya, menurut sebuah hipotesis, DNA mitokondria manusia (diwariskan dari garis ibu/maternal) dan DNA kromosom Y (diwariskan dari garis bapak/paternal) masing-masing bergabung sekitar 140.000 dan 60.000 tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa leluhur perempuan semua manusia modern berasal dari satu perempuan (Hawa mitokondria) sekitar 140.000 tahun yang lalu, dan leluhur laki-lakinya berasal dari satu laki-laki (Adam kromosom Y) sekitar 60.000 sampai 90.000 tahun yang lalu.[46]
Namun demikian, gabungan seperti itu dapat diperkirakan secara genetik dan tidak benar-benar menentukan penyusutan populasi karena DNA mitokondria dan DNA kromosom Y hanya merupakan sebagian kecil dari genom manusia]]. Keduanya bersifat tidak biasa (atipikal) sehingga diwariskan secara eksklusif melalui ibu atau bapak. Kebanyakan gen diwariskan secara acak dari bapak atau ibu, jadi tidak bisa dilacak sampai ke leluhur matrilineal atau patrilineal.[47] Gen-gen lain memiliki jumlah gabungan sejak 2 juta sampai 60.000 tahun yang lalu, sehingga memunculkan keraguan terhadap peristiwa penyusutan manusia dalam jumlah besar.[44][48]
Penjelasan lain yang memungkinkan mengenai sedikitnya variasi genetik manusia modern adalah model transplantasi atau "penyusutan panjang", bukan perubahan lingkungan akibat bencana.[49]Ini konsisten dengan pendapat bahwa populasi manusia di Afrika sub-Sahara berkurang hingga 2.000 orang selama 100.000 tahun, kemudian bertambah pada Zaman Batu Terakhir.[50]

TMRCA lokus, kromosom Y, dan mitogenom dibandingkan dengan persebaran probabilitasnya dengan asumsi populasi manusia bertambah dari 11.000 orang pada 75.000 tahun yang lalu
Salah satu hambatan studi lokus tunggal adalah besarnya keacakan proses penentuan (fixation process), dan studi yang mempertimbangkan keacakan ini memperkirakan populasi manusia yang efektif sekitar 11.000–12.000 orang.[51][52]

Penyusutan genetik mamalia lain

Sejumlah bukti menunjukkan adanya penyusutan genetik pada hewan lain pasca letusan Toba. Simpanse Afrika Timur,[53] orangutanKalimantan,[54] monyet India tengah,[55] cheetahharimau,[56] dan pemisahan kelompok gen inti gorila daratan rendah timur dan barat[57]berhasil mengembalikan populasinya dari jumlah yang sangat sedikit sekitar 70.000–55.000 tahun yang lalu.

Migrasi pasca Toba

Persebaran geografis populasi manusia saat letusan terjadi tidak diketahui secara pasti. Manusia yang selamat mungkin tinggal di Afrikadan bermigrasi ke wilayah lain di dunia. Analisis DNA mitokondria memperkirakan bahwa migrasi besar dari Afrika terjadi 60.000–70.000 tahun yang lalu.[58] Jumlah tersebut konsisten dengan perkiraan waktu letusan Toba sekitar 66.000–76.000 tahun yang lalu.
Akan tetapi, temuan arkeologi terbaru menunjukkan bahwa populasi manusia di JwalapuramIndia Selatan, mungkin selamat dari efek letusan.[59] Selain itu, dipaparkan pula bahwa populasi hominid terdekat, seperti Homo floresiensis di Flores, selamat karena mereka tinggal di daerah yang membelakangi angin dari Toba.[60]

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_bencana_Toba 




http://gunungtoba2014.blogspot.com

http://gunungtoba2014.blogspot.com
http://gunungtoba2014.blogspot.com






http://gunungtoba2014.blogspot.com