Pages

Friday, April 25, 2014

Atlantis

Atlantis

Oleh | 4 June 2010 |
Judul: Atlantis: The Lost Continent Finally Found
Penerjemah: Hikmah Ubaidillah
Editor: Salahuddien Gz
Penerbit: Ufuk Press
“Tujuan dari mitos sebenarnya adalah untuk menciptakan paradoks-paradoks dan aporia (jalan buntu), yang menghantam pikiran kita, mendesak untuk berpikir, giat mencari penjelasan untuk memuaskan pikiran kita,” kata Arysio Santos. Kita tidak akan terus berlarut-larut memperdebatkan orisinalitas dan keakuratan pendapat tentang lokasi Atlantis. Jika memang benar Atlantis di Indonesia, terus bagaimana? Adakah pesan yang hendak disampaikan Santos kepada kita?

Santos dan Plato
Arysio Santos (1937-2005) adalah seorang ilmuwan yang tertarik dengan banyak hal mulai dari geologi, fisika, kimia, sejarah, etnolinguistik, simbol, dan mitologi. Belakangan, sekitar 30 tahun sebelum akhir hayatnya, Santos mendedikasikan diri untuk meneliti misteri benua Atlantis yang hilang. Dasar pijak baginya dalam meneliti Atlantis adalah tulisan Plato dalam Timaeus dan Critias.

Menurut Plato (428-348 SM), Atlantis adalah suatu daerah yang bertaburan akan sinar matahari di sepanjang musim serta mempunyai banyak gunung berapi. Bangsa Atlantis dikenal sebagai bangsa yang sangat unggul dalam teknologi pertanian dan pelayaran. Kombinasi antara kesuburan tanah dan iklim tropis di sana memungkinkan orang untuk mengembangkan teknologi pertanian dan menjamin ketersediaan pangan sepanjang musim, bahkan di musim dingin sekalipun.

Ketersediaan pangan sepanjang musim dan kehangatan pada Zaman Es, itulah kenapa Atlantis dianggap sebagai surga. Atas dasar inilah perhatian Santos dalam penelitiannya langsung tertuju pada daerah tropis, meskipun dia juga membuka diri untuk meneliti pusat peradaban tertua dunia yang diduga banyak orang sebagai lokasi Atlantis yang sesungguhnya.

Plato sendiri tidak pernah melihat langsung Atlantis. Dia hanya menangkap pesan yang tersembunyi dalam dongeng-dongeng dan mitos. Meskipun demikian, pada jaman itu sungguh susah menjelaskan bagaimana Plato mendapat gambaran Atlantis yang berada di Hindia Timur (baca: Indonesia) di Timur Jauh, sementara dia sendiri berada di Yunani.

Ternyata Plato pernah juga berguru kepada orang Mesir, dimana waktu itu di daerah Mesir sudah ada perdagangan dengan orang-orang dari Asia Tenggara. Atlantis yang diceritakan oleh Plato sesungguhnya adalah Atlantis Putra atau Atlantis kedua, yang dibangun kembali setelah kehancuran Atlantis yang pertama.

Trinitas Atlantis
Atlantis Ibu (Lemuria) atau Atlantis pertama dibangun pada 130.000 tahun yang lalu, dan berakhir pada 75.000 tahun yang lalu karena letusan Toba. Penduduk Atlantis Lemuria adalah generasi antrophoid simian (manusia kera) yang secara adaptif lebih berhasil mengembangkan teknologi, dibandingkan daerah asalnya di Afrika atau tempat di belahan dunia lainnya. Nenek moyang Atlantis Lemuria ini menyeberang dari Afrika ke Asia Tenggara termasuk Australia pada awal Zaman Es Pleistosen sekitar 2,7 juta tahun yang lalu.

Ketika gunung Toba meletus 75.000 tahun yang lalu (dan membentuk danau Toba yang sekarang), penduduk Atlantis Lemuria yang selamat mengungsi ke barat laut (India) dalam koloni yang cukup besar, namun mereka harus bersaing dengan penduduk lokal. Mereka akhirnya pindah dan mendirikan peradaban baru di Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, Eropa, Asia Utara, Timur Dekat, Oseania, dan Amerika.

Ketika para pengungsi itu mengembangkan kebudayaan mereka di tempat yang baru, kerinduan dan kenangan mereka akan Atlantis diceritakan kembali pada generasi-generasi berikutnya dalam bentuk mitos dan simbol-simbol. Misalnya, mitos tentang Atlantis yang adalah pulau terberkati (surga) sekaligus pulau kematian (neraka). Dalam tradisi Hindu dan Kristen juga dikenal konsep api penyucian sebagai syarat penghuni surga. Menurut Santos, konsep itu sebenarnya menceritakan bagaimana penduduk Atlantis yang terberkati mendapat bencana letusan gunung berapi (Toba dan Krakatau) karena kejahatan mereka.

Ribuan tahun setelah bencana Toba, orang Atlantis yang selamat dan tinggal di sekitar Atlantis kembali membangun Atlantis kedua (disebut Atlantis Putra). Ternyata perkembangan peradaban ini juga lebih cepat maju dari orang Atlantis yang menetap di tempat lain. Kejayaan Atlantis kedua inilah yang secara samar-samar didengar oleh Plato dan orang-orang semasanya.

Semangat dan kecintaan akan Atlantis kemudian dikembangkan menjadi mitologi oleh orang-orang Yunani. Dewa-dewi dalam mitologi Yunani adalah penggambaran orang-orang Atlantis berdarah murni yang cantik dan rupawan, dan juga menjadi penguasa atas orang-orang yang berdarah campur.

Herkules dan Atlas adalah personifikasi Sumatra dan Jawa yang terbelah karana letusan Krakatau. Dalam tradisi Hindu serta kebudayaan di tempat lain juga digunakan simbol dualitas tersebut dengan maksud yang sama, misalnya Siwa dan Wisnu.

Simbol-simbol Atlantis lainnya adalah geometris suci, berupa lingkaran dan piramida. Sedangkan mitos lainnya yang merujuk pada kisah Atlantis adalah tentang bencana air bah, pulau yang tenggelam, pilar Herkules, dan lain sebagainya.
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Atlantis yang ketiga, merupakan replika Atlantis kedua yang dibangun di lembah sungai Indus setelah hancur oleh letusan Krakatau yang membagi Taprobane atau Tamraparna atau Atlantis menjadi dua (Jawa dan Sumatera) pada 11.600 tahun yang lalu. Atlantis yang ketiga ini segera hancur pada 3.100 SM akibat kekeringan yang melanda daerah tersebut karena habisnya gletser di Himalaya.

Meskipun Atlantis yang ketiga tidak terdengar sebesar Atlantis sebelumnya, namun peninggalan serta informasi yang ditinggalkan melalui mitos dan bahasa sungguh sangat bermanfaat. Mitologi yang dimaksud adalah dalam kepercayaan orang Hindu, bahasa Dravida, dan Sansekerta. Sebagai contoh kata ceres atau cereal bermula dari kata Dravida sarici atau arici yang berarti biji-bijian yang kemudian bermetatesis menjadi rice (Inggris), oryza (Yunani), dan cerealis (Latin). Fakta ini menunjukkan bahwa budaya menanam biji-bijian (padi) berasal dari Timur Jauh (India dan Indonesia).

Kesan dan tanggapan atas pemikiran Santos
Apa yang ditulis Santos dalam buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found sangat membingungkan. Sepintas terkesan sangat spekulatif dengan mengait-ngaitkan hal-hal yang sementara ini dipandang tidak ada hubungannya. Misalnya, mitologi Herkules-Atlas dikaitkan dengan terbentuknya Jawa-Sumatra. Untuk pembaca awam, apalagi bukan orang Indonesia, akan lebih susah mempercayai argumentasi Santos, namun sayangnya saya telah berhasil diyakinkannya.

Buku setebal 677 lembar ini mestinya bisa ditulis dengan lebih sistematis. Paling tidak, akan mengurangi jumlah lembar sampai setengahnya bahkan lebih. Terlalu banyak pengulangan topik dan penjelasan yang berbelit, tabel yang kurang tertatur ditambah ukuran huruf dan spasi yang lebar, menyebabkan buku ini kelihatan lebih gemuk.

Saya menyarankan bagi pembaca awam untuk langsung ke bagian catatan akhir (halaman 567-671). Bagian itu sudah cukup mewakili isi buku ini. Namun jika memang penasaran, bisa dibaca penjelasan lebih lanjut di setiap babnya.

Temuan-temuan yang patut dipertanyakan
Keberhasilan Santos dalam membuat saya meyakini pandangan bahwa situs Atlantis terletak di Indonesia juga didasarkan atas berbagai kebetulan, yang barangkali kalau saya kait-kaitkan, ada hubungannya juga dengan Atlantis.

Nama lain Atlantis adalah Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Aztlan oleh bangsa Aztec, dan Tolan oleh bangsa Meksiko. Kebetulan saya pernah menghadiri ujian tesis Sudiyanto (mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW) yang membahas agama Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah. Dia menceritakan tentang konsep Tuhan orang Kaharingan, yaitu Ranying Hatala Langit.

Waktu itu Sudiyanto tidak bisa menyebutkan arti dan asal kata itu. Dia hanya mencoba mengaitkan Hatala dengan Allah. Terus terang, saya sendiri meragukan hal itu. Baru di belakang hari saya merasa bahwa Hatala itu merujuk pada Atlantis, atau tempat dimana Atlas berada.

Legenda mengenai Dewi Sri atau dewi padi atau dewi kesuburan yang akrab didengar masyarakat Indonesia membenarkan argumentasi Santos mengenai asal mula kata padi. Kata ceres atau cereal bermula dari kata Dravida sarici atau arici yang berarti biji-bijian, yang kemudian bermetatesis menjadi rice (Inggris), oryza (Yunani), cerealis (Latin).

Legenda mengenai Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya (Dayang Sumbi), dan kemudian menendang perahunya hingga menjadi gunung Tangkuban Perahu, jelas sangat paralel dengan cerita terbentuknya pulau Sumatra dan Jawa karena ledakan Krakatau. Sebagaimana kita ketahui, Atlantis pertama disebut Ibu dan Atlantis kedua disebut Putra.

Kemudian soal batas waktu internasional kuno. Dijelaskan oleh Santos bahwa Atlantis adalah tempat terbit dan terbenamnya matahari alias ujung bumi. Penjelasan ini menjawab keraguan atas pernyataan Alkitab orang Kristen yang seringkali menyebutkan kata “ujung bumi”. Penyebutan kata ujung bumi itu biasanya digunakan untuk membantah kebenaran Alkitab, yang oleh sains modern diketahui bahwa bumi bulat dan tidak berujung. Namun jika kita memakai pengertian ujung bumi yang secara latah masih dipakai pada masa penulisan Alkitab, maka kita masih dapat mempercayai kebenaran pernyataan Alkitab.

Selanjutnya, nama Jawa, Jawan, Yawan, Yahwa, Java, Javana, Yavana, dan seterusnya dapat diartikan sebagai “putih” atau terkait dengan ras-ras berkulit putih, yang merupakan penduduk Atlantis. Istilah ini terkait dengan Ionian di Yunani yang diduga berasal dari Timur Jauh. Kata tersebut berasosiasi dengan sveta-dvipa atau saka-dvipa atau java-dvipa yang berarti “pulau putih”, dan diartikan pula sebagai “kampung halaman”. Kebetulan, istilah tersebut sangat familiar di kalangan orang Jawa dalam mitos Ajisaka yang dianggap pahlawan setelah berhasil mengalahkan buaya putih. Masa itu juga dianggap sebagai awal mula dikenalnya aksara Jawa. Di India juga berkembang aliran Ajivaka, yang jauh lebih tua dari agama Hindu. Dalam Alkitab juga banyak disinggung tentang orang Yawan atau Jawan.

Masih tentang simbol, secara kebetulan saya mendapati arti bahwa kata jawa berasal dari kata jawi yang berarti sapi atau banteng betina. Saya jadi ingat ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, mereka juga membuat patung lembu emas. Dalam agama Hindu posisi lembu atau sapi sangat dihormati sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Mitologi Yunani tentang Herkules dan Atlas mempunyai kemiripan dengan mitologi Hindu tentang Siwa-Wisnu. Sampai saat ini di Rembang masih ada upacara penghormatan untuk sapi, namanya Bakda Sapi.

Lebih menarik lagi, simbol orang Kristen adalah kaki dian bercabang tujuh, yang jika dibuat secara melingkar utuh akan menjadi simbol salib Atlantis. Sesungguhnya, simbol tersebut merupakan peta skematis dari kota pusat imperium Atlantis.

Keberadaan ketiga Atlantis juga ditemukan dalam konsep trinitasnya orang Kristen, trimurtinya orang Hindu. Senjatanya Poseidon adalah trisula. Dia adalah penguasa lautan yang mungkin ada kaitannya dengan bencana meluapnya air laut atau banjir. Di tempat lain, nama Poseidon dikenal sebagai Varuna atau Baruna. Di sebelah utara Godean, Yogyakarta, kita dapat menemukan situs Watu Wayang, yang melukiskan secara sederhana seorang raksasa yang memegang kepala perempuan yang hendak dibasmi oleh ksatria yang menggunakan senjata trisula. Penafsiran atas goresan dalam situs Watu Wayang tersebut adalah menurut penuturan almarhum Ki Sigit Sukasman, seorang maestro wayang ukur.

Pemaknaan dan pembacaan simbol dalam mitos
Secara singkat melalui tulisan Arysio Santos dan temuan saya itu, saya dapat memaknai beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kitab-kitab suci, simbol, dan mitos merupakan satu sumber sejarah yang harus dikaji lebih jauh, karena memang sengaja dibuat agar kita berpikir kreatif dan peka dalam memahami pesan-pesan dari leluhur.
  2. Terlepas Atlantis ada dimana dan kalaupun benar bahwa Atlantis ada di Indonesia, maka keberadaan surga yang di langit patut dipertanyakan. Karena gambaran surga atau Eden tersebut saya duga sebagai fantasi yang melatarbelakangi penulis cerita tentang surga yang dibayang-bayangi ketakutan akan Zaman Es berkepanjangan dan harapan akan kembalinya ke tempat asal dimana penuh dengan kedamaian dan semua kebutuhan tercukupi.
  3. Meski saya sering menyebut Jawa, hal ini bukan dalam rangka memupuk semangat chauvinisme primordial. Justru anggaplah ini sebagai upaya introspeksi diri atas tumbangnya peradaban leluhur karena pertikaian, ketamakan, dan sikap yang tidak terpuji.
Slamet Haryono, peneliti di Institut Pluralisme Indonesia


 Sumber:
http://scientiarum.uksw.edu/2010/06/04/atlantis/ 



No comments:

Post a Comment