Suatu pembahasan
rasional yang meluruskan karut-marutnya wacana masyarakat soal situs megalitik
termegah di Indonesia.
Situs
megalitik Gunung Padang di Kabupaten Cianjur Jawa Barat yang kian populer
karena menjadi wacana piramida tertua di dunia. Namun, Pusat Arkeologi Nasional
telah menyatakan bahwa—sayangnya— tak ada piramida dan budaya atlantis di
Nusantara (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Lutfi Yondri, arkeolog
dari Balai Arkeologi Bandung, memaparkan hasil penelitiannya di situs Gunung
Padang dalam Diskusi Ilmiah “Rasionalitas Gunung Padang dan Piramida Atlantis”
pada 26 April 2013 lalu. Diskusi ini diselenggarakan di kantor Pusat Arkeologi
Nasional, Pejaten, Jakarta, dan dihadiri arkeolog dan geolog senior.
Dia dan timnya
melakukan penelitian di situs megalitikum itu pada November 2012. “Kita
melakukan penelitian, mencoba mendudukkan kembali Gunung Padang baik dari sisi
penelitian maupun pelestarian yang selama ini berjalan parsial,” ujar Lutfi
membuka pemaparannya.
Lutfi juga mencermati
apa yang dilakukan Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang
Cianjur—sebelumnya bernama Tim Katastropik Purba—di bawah Staf Khusus Presiden
Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. “Seolah situs itu merupakan temuan baru,”
ungkap Lutfi. “Apapun yang mereka dapatkan di situs Gunung Padang langsung
dipublikasikan.”
Selain isu
kontroversial piramida Gunung Padang, menurut Lutfi, tim tersebut juga
mengembuskan isu adanya emas tiga ton yang bersemayam di teras lima pada
kedalaman 20 meter. Lutfi pun pernah ditawari untuk memimpin penggalian itu,
namun dia menolak.
Sejatinya pada 1979
keberadaan situs itu telah diungkap kembali oleh warga setempat. Kemudian Pusat
Arkeologi Nasional bersama Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Peninggalan
Sejarah dan Purbakala telah melakukan kegiatan penelitian, penggambaran, dan
pemetaan pada 1980-an.
Hasil penelitian
arkeologi pada 2002 mengungkapkan bahwa punden berundak Gunung Padang pada masa
lalu hanya difungsikan sebagai tempat pemujaan, bukan makam. Penelitian berikutnya
pada 2003 memastikan bahwa balok-balok batuan Gunung Padang berasal dari Gunung
Padang sendiri.
Terdapat lima teras yang disusun di atas bukit bebatuan kekar
kolom. Sumber batuan punden berundak Gunung Padang berasal dari situs itu
sendiri. Penelitian Lutfi Yondri menunjukkan bahwa terdapat sepuluh pola
susunan batu di situs tersebut (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Guru Besar Universitas
Indonesia dan arkeolog senior Mundardjito yang turut hadir dalam diskusi ilmiah
itu berpendapat, para pembangun punden berteras lima itu mengambil bebatuan
dari situs itu juga kemudian menempatkan sesuai fungsinya di bangunan itu.
Artinya, pembuatannya
tidak seperti Candi Borobudur yang mendapatkan sumber bebatuan dari tempat lain
kemudian dipotong berbentuk persegi sesuai ukuran yang dibutuhkan. Jadi tidak
benar, menurut Mundardjito, apabila ada pendapat bahwa si pembangun menumpuk
dan menyusun batu-batu itu dari bawah sampai ke atas hingga menjulang setinggi
seratus meter.
“Batu (Gunung Padang) itu tidak dipotong-potong, tetapi diletakkan menurut fungsinya sendiri-sendiri.” Lalu Mundardjito melanjutkan, “Jadi hal terpenting, bagaimana mereka mengadaptasi sumber daya itu terhadap kebutuhan kultural mereka.”
“Batu (Gunung Padang) itu tidak dipotong-potong, tetapi diletakkan menurut fungsinya sendiri-sendiri.” Lalu Mundardjito melanjutkan, “Jadi hal terpenting, bagaimana mereka mengadaptasi sumber daya itu terhadap kebutuhan kultural mereka.”
Pernyataan itu
didukung hasil temuan Lutfi pada November 2012, “Terdapat sepuluh pola susun
balok-balok batu di Gunung Padang.” Dia juga mengungkapkan lapisan kerak
lempung yang menutupi balok batu di punden berundak Gunung Padang.
Menurut Lutfi, dirinya
telah berkonsultasi dengan beberapa ahli geologi senior tentang temuan kerak
lempung tersebut. Budi Brahmantio, seorang dosen geologi terbaik Institut
teknologi Bandung memberikan penjelasan kepadanya bahwa lapisan tersebut
merupakan hasil dari pelapukan mengulit bawang atau spheroheidal
weathering.
Sementara praktisi
geologi Andang Bahtiar mengungkapkan kepada Lutfi bahwa lapisan kerak itu
dengan sebutan paleosoil. Profesor Riset Sutikno Bronto menjelaskan, lapisan
itu terjadi lantaran pelapukan batuan dalam waktu panjang dan juga didukung
proses sedimentasi di antara sela balok-balok batu.
“Satu-satunya geolog
senior yang mengatakan bahwa itu ‘semen purba’ adalah Danny Hilman,” ujar
Lutfi. Danny Hilman Natawidjaja merupakan ahli geologi dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang turut menjadi peneliti dalam Tim Terpadu
Penelitian Mandiri di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan
Bencana.
Fadhlan S. Intan, ahli
geologi dari Pusat Arkeologi Nasional, membenarkan bahwa beberapa hari lalu Tim
Terpadu Penelitian Mandiri mengirimkan temuan “semen purba” kepadanya.
Namun, Fadhlan pun menolak menyebut materi itu sebagai “semen purba”. Dia
sepakat dengan penjelasan dari Sutikno Bronto, bahwa materi itu merupakan
bagian batu andesit yang mulai melapuk.
Selain dikunjungi pelancong—yang kini sekitar 16.000 per
minggunya—situs Gunung Padang juga masih dianggap keramat bagi warga setempat
(Mahandis Y. Thamrin/NGI).
Tim Terpadu Penelitian
Mandiri juga mengirimkan logam yang diklaim sebagai hasil pengerjaan
manusia. “Namun, saya mengatakan ini oksida besi,” ujar Fadhlan yang
menyampaikan pendapatnya dengan gaya jenaka dan kelakar. “Orang geologi tidak
akan menyebut ini sebagai besi.”
Soal pernyataan Tim
Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di dalam Gunung Padang dari
hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik, Fadhlan menjelaskan bahwa
sebenarnya itu bukan ruang, melainkan tanah lembab atau lempung.
“Mereka mengatakan
warna biru itu adalah ruang,” ujarnya. “Ini tidak mungkin ruang. Jika dibor
pasti akan ketemu lempung itu.”
Penelitian yang
dilakukan Lutfi dan timnya juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs
Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran
manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.
Sebagai upaya
pelestarian dia mengusulkan ditetapkannya tiga zonasi perlindungan. Zona Inti
yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar
budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi
zona inti seluas 129.000 meter persegi. Dan, Zona Pengembangan, berfungsi
melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan,
rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi.
Lalu, berapakah usia
sesungguhnya situs Gunung Padang ini?
Gunung Padang adalah
Gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari tenggorokan gunung
api. Berdasar penelitian Lutfi lewat pertanggalan C-14 terhadap sisa material
yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa pernah terjadi
longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik muncul dan
berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi.
Para pengunjung situs Gunung Padang, Cianjur,
Jawa Barat. (Mahandis Y Thamrin/NG).
Profesor Riset Truman
Simanjuntak, arkeolog senior dari Pusat Arkeologi Nasional, mengatakan bahwa
budaya megalitik memasuki kepulauan Indonesia sekitar awal Masehi. Menurut
pendapatnya, situs punden berundak Gunung Padang tampaknya dibangun sekitar
abad ke-6 atau ke-7, meskipun untuk mengetahui persisnya masih perlu pembuktian
lewat analisis pertanggalan.
“Kalau melihat
kemegahan Gunung Padang dengan balok-balok batu tentu itu menggambarkan
masyarakat yang sudah maju,” ungkap Truman. “Kemajuan masyarakat seperti itu
kelihatannya cenderung pada awal masehi karena tinggalan megah belum ada pada
masa itu.”
Memang pernah ada
wacana yang menyebutkan bahwa di bawah situs Gunung Padang terkubur satu
tinggalan budaya berbentuk piramida berasal dari 4.700 – 10.900 Sebelum Masehi.
Namun, menurut Lutfi, penelitian arkeologi situs punden berundak Gunung Padang
tidak memiliki indikasi kuat pada wacana tersebut. “Itu sama saja seperti
mencariBlackberry keluaran 1950-an.”
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Sumber : National goegraphic indonesia
- See more at:
http://oneclicktoknow.blogspot.com/2013/05/fakta-sejati-gunung-padang.html#sthash.CpGzNcMF.dpuf
No comments:
Post a Comment