Banyak Negara Yang Mengklaim Atlantis, Kini Peluang Indonesia
SUNDA LAND Menjawab Misteri Benua ATLANTIS yang Hilang (2)
benteng di dasar laut diduga reruntuhan atlantis |
Pendapat Oppenheimer
(1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para peneliti adalah
kontroversial dan mengada-ada. Tentu kritik ini adalah hal yang wajar
dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran.
Beberapa tahun ke belakang, pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669)
bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri,
dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea,
sebelah timur Laut Tengah.
Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan...
Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya.
Setiap
teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan
bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato. Perlu
diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia,
banyak kandidat lainnya antara lain: Andalusia, Pulau Kreta, Santorini,
Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali,
Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam,
Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut
Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian terbaru oleh Kimura's
(2007) yaitu menemukan beberapa monument batu dibawah perairan
Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau
Lemuria.
Peluang Pengembangan Ilmu
monumen bawah laut
diduga reruntuhan atlantis (newprophecy.com) |
Bagi
para arkeolog atau oceanografer modern, Atlantis merupakan obyek menarik
terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan
karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia.
Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang
masa. Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih
dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di
berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu
menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil
oleh pihak lain.
Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast
(2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah
menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus
adalah sama.
Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis,
tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di
dalam air.
‘Penemuan’
Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para
penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film,
agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan
bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak,
mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.
Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos,
2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato
dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau
(2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia
menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan
Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun
demikian, usaha Sarmast untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu
terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada
suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu
mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan
ilmiah tersebut.
Demikian juga dengan letak Taman Eden,
sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para
ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak
Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak
dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.
Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia
menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya
ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah
permukaan laut di teluk Persia.
Hingga
saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah
kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang
dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban
tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang).
Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh,
walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman
Eden tidak pernah ada di muka bumi ini.
Penutup
Gulf of Atlantis
|
Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui 'International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago,
28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran tersebut
menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia
dalam dua dekade terakhir. Salah satu temuan penting dari hasil
penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah
hipotesis adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina
Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.
Menurut Jenny (2005), hipotesis itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau, Indonesia.
Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia
tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi,
seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos
Plato.
Ketika
Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya 'benua Atlantis', bangsa
Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu menciptakan
keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya.
Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan
ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul Taman Eden (manusia
modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi
geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng dan peristiwa Zaman Es.
Lost City of Atlantis
|
Perubahan
iklim yang drastis di dunia, menyebabkan berubahnya permukaan laut,
kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Zaman Es memberi ruang yang
besar kepada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di Sundaland.
Pada saat itu suhu bumi amat dingin, kebanyakan air dalam keadaan
membeku dan membentuk glasier. Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi
tidak sesuai untuk didiami kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih
panas.
Di antara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan
Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung
api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya
memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban
manusia.
Adapun
wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya
peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan
es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka
laut sekarang.
Wilayah Sundaland yang
memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan
tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah
berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar
Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es
tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat
Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai
raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau
Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.
Kemungkinan
kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju
Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama
berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau
kalimantan bagian Selatan.
not found on google earth
(universetoday.com)
|
Oleh
karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah
Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat
dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga
1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa
itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika
sekarang ini.
Kawasan Sundaland pada
saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat
didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar
garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih
rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang
menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan
datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.
pull nets at Sunda strait coast
(taken recently by ronald agusta) |
Instansi
yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden.
Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan
awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk
melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan..
Sumber:
http://www.indonesiawaters.com/2011/04/sunda-land-menjawab-misteri-benua.html
No comments:
Post a Comment