Pages

Tuesday, May 27, 2014

Cerita dari Dinding Gua

Cerita dari Dinding Gua

Senin, 1 November 2010 | 08:59 WIB

SUMATERA SELATAN, KOMPAS.com — Hingga lepas tengah hari, Pindi dan Fadhlan belum juga muncul. Sejak berpisah di jalan setapak yang licin di bawah bukit, saat embun pagi masih menempel di daun-daun kopi, pencarian mereka untuk mengeksplorasi jejak peradaban prasejarah di perbukitan karst itu belum juga berakhir.

Pindi Setiawan adalah ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), sedangkan Fadhlan S Intan adalah seorang geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Hari itu, Pindi dan Fadhlan berniat mengeksplorasi sejumlah ceruk di tebing-tebing perbukitan karst di kawasan Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

Sementara itu, arkeolog Nurhadi Rangkuti sudah bersiap-siap turun dari ceruk di sisi timur bukit. Di sana, di ceruk besar yang tersembunyi di antara rimbun pepohonan tinggi menjulang, yang oleh penduduk sekitarnya dikenali sebagai Gua Harimau, tim dari Puslit Arkenas masih terbenam dalam kegiatan masing-masing.

Beberapa peneliti melanjutkan pendataan dan pemetaan hasil temuan di 10 kotak ekskavasi. Sejumlah tenaga lokal mulai memotong-motong papan yang khusus didatangkan dari desa terdekat, Padang Bindu, untuk dijadikan kotak penutup belasan rangka manusia purba yang ditemukan selama ekskavasi pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanah.

Sedikitnya 18 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam proses penggalian itu memang harus didokumentasikan sebelum lubang-lubang galian (masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter) yang memanjang membentuk huruf L tersebut dipendam kembali ke perut bumi. Selain sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar.

Namun, kekhawatiran yang paling dirisaukan justru menyangkut keberadaan sejumlah "lukisan" prasejarah yang ditemukan di dinding dan langit-langit gua. Kakhawatiran itu sangat beralasan. Baru setahun setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun berikutnya (20 September-3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah muncul torehan baru oleh tangan-tangan jahil manusia masa kini.

Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih sangat sederhana. Hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa lingkaran konsentris bersusun tiga. Beberapa di antaranya berbentuk seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.

Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud hewan atau aktivitas manusia, misalnya. Keragamannya pun tidak sekaya motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan. Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, baru sebatas menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan nonfiguratif.

Akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi. Selain merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera (dan Jawa), temuan ini sekaligus bisa mematahkan pandangan lama atas zona sebaran lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara.

Lebih dari itu, dikaitkan keberadaan sisa-sisa rangka manusia berikut tradisi yang mereka bangun di kawasan ini, teori migrasi ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang mereka bawa dari daratan Asia—sebelum akhirnya menyebar ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi—juga bisa berubah.

Masih misteri
Ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langit-langit pojok timur laut gua, lukisan berwarna merah-kecoklatan itu dibuat menggunakan oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat di kawasan ini. Namun, hingga sejauh ini tim peneliti belum berani membuat kesimpulan sementara terkait fungsi dan makna guratan yang tertera di sana.
"Kemungkinannya banyak, tetapi satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa keberadaan gambar-gambar di Gua Harimau pasti terkait ritual tertentu. Ini bisa dilihat dari keletakan gambar dan keberadaan temuan rangka manusia yang ada di sana," kata Pindi.

Ahli komunikasi visual yang telah bertahun-tahun mendalami fenomena lukisan gua (Pindi sendiri menghindari penggunaan istilah lukisan ataupun seni untuk terjemahan rock art, ia lebih memilih istilah ”gambar cadas”) ini menduga, tiap gambar yang ada di Gua Harimau dibuat untuk upacara tertentu dan hanya dipahami oleh si pembuatnya. Artinya, anggota yang terlibat dalam ritual itu pun sesungguhnya tidak mengetahui makna gambar tersebut.

Mengingat masyarakat prasejarah belum mengenal konsep tentang huruf, gambar cadas adalah suatu sarana bagi mereka untuk berkomunikasi melalui rupa. Konsep ini tentu berbeda pada mereka yang sudah mengenal aksara (apa pun bentuknya), tetapi mencoba mengomunikasikan ide dan gagasannya melalui lukisan, misalnya. Begitu pun logika komunikasinya. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ciri utama komunikasi pada umumnya adalah adanya pola yang berulang.

"Pola berulang itulah yang diwujudkan pada gambar cadas, yang kemudian pola informasi yang diguratkan pembuatnya itu akhirnya dipahami manusia prasejarah lainnya pada masa itu," ujar Pindi.
Seperti gambar cadas pada umumnya, keberadaan gambar-gambar prasejarah di Gua Harimau pun diyakini mengandung imaji-imaji yang mewakili pesan tertentu. Hanya saja, dari bentuk yang terpapar, Pindi menduga jenis imaji yang ditorehkan pada dinding dan langit-langit Gua Harimau lebih bersifat spontan. Bentuknya tidak mewakili apa yang dilihat mata (imaji mimetis), juga tidak merujuk pada apa yang dikhayalkan orang ataupun mencerminkan suatu konsep yang ada di benak.
Namun, apa pun bentuk dan seribu kemungkinan makna yang bisa ditafsir dari garis-garis merah kecoklatan itu, suatu cerita sudah diguratkan oleh para pendahulu kita: nenek moyang bangsa ini! (KEN)

Editor : Tri Wahono
Sumber:http://sains.kompas.com/read/2010/11/01/08593162/Cerita.dari.Dinding.Gua

No comments:

Post a Comment