Teori Penciptaan Alam Semesta Dan Peradaban Nusantara SAMPAI KERAJAAN SALAKANAGARA Ditinjau Dari Naskah Kuno
Teori Penciptaan Alam Semesta Dan Peradaban Nusantara Ditinjau Dari Naskah Kuno |
Jakarta, 24/09 (SIGAP) - PENCIPTAAN ALAM SEMESTA SAMPAI KERAJAAN SALAKANAGARA
Sedemikian jauh, di Tatar Sunda belum
ditemukan fosil manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen Bawah,
maupun dari lapisan Pleistosen Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya
fosil manusia Pithecanthropus Mojokertemis dan Meganthropus
Palaeojavanicus dari lapisan tanah PleistosenvbTengah di Jetis dekat
Sangiran (Mojokerto), kemudian ditemukan pula fosil manusia dari lapisan
Pleistosen Tengah di Trinil tepi Bengawan Solo dari jenis
Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa saja terjadi di
Tatar Sunda.
Sebelum kemungkinan itu terbukti,
berdasarkan Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara Parwa I Sarga 1, dikemukakan kisah tentang Purwayuga (Zaman
Purba), antara lain sebagai berikut:
…// witan sarga kala niking bhumitala
/ bhumitala pinakagni dumilah mwang usna //prayuta warsa tumuli kukm
peteng rat bhumandala canaih canaih dumanarawata sirna / bhumi mahatis
yadyastun mangkana/ tatan hang jang gama / ateher bhumandala nikang dadi
prawata lawan sagara//prayuta warsa tumuli dadi to sthawarahalit ateher
dadi to janggama prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi
mina mwang sarwa mina // ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang
nanawidha mwang ring samangkana dadi to jang gama satwa raksasanung
nanawidha prakaranya/atehersanuwa jang gama satwa binturun mwang sadwa
lenya waneh/ kadi waraha / turangga mwang lenya manih // ateher prayuta
wana tumuluy dadi to janggama prakara manusadhama lawan tatan pcmna//
liana Pwa Purwwajanma purusa satwa/ atelier lawasira mewu iwu warsa
manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa manusa// lawas ri huwus ika dadi
to purusakara/ ateher manusadhama mwang wekasan dadi ta purusa pumna
//a. (Wangsakerta,1677: 2422)
Pada awal masa penciptaan permulaan bumi
(bhumitala), permukaan bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala.
Berjuta juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka bumi secara
berangsur angsur dan terus menerus seluruhnya menghilang. Bumi menjadi
dingin. Namun demikian, belum ada mahluk hidup. Kemudian, permukaan bumi
ini menjadi gunung-gunung dan lautan.
Beberapa juta tahun kemudian muncullah
tumbuh tumbuhan kecil, lalu muncul mahluk hidup berupa hewan; kemudian
hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya. Beberapa juta
tahun kemudian, muncul berjenis jenis tumbuhan dan hewan raksasa yang
beraneka ragam jenisnya; kemudian bermacam macam mahluk hewan unggas
serta hewan lainnya seperti babi hutan dan kuda.
Berjuta juta tahun kemudian, muncullah
mahluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan belum sempurna.
Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah
beribu ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia
sempurna.
Kira kira 1.000.000 tahun sampai 600.000
tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia
yang masih rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang
menyebutnya manusia hewan (satwa purusa) dari zaman purba, karena mereka
berlaku seperti setengah hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera,
besar dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti
raksasa, tubuhnya berbulu dan kejam perangamya.
Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan
pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon,
di lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa
menggunakan senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian
dan tidak memiliki budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya
ialah berayun ayun pada cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di
hutan pulau Jawa, hutan Sumatera, hutan Makasar, dan hutan Kalimantan
(Bakulapura).
Di daerah lain di Pulau Jawa, antara
750.000 sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang
berjalan tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya
baik dan lebih cerdas dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan
seperti hewan. Tiap hari mereka membuat senjata dari bahan tulang dan
batu. Mereka selalu diserang oleh sekelompok manusia hewan yang
menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua kelompok itu selalu seru.
Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu lebih
mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya mahluk manusia hewan
yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa dan lenyap
dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu,
disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa). Mereka tinggal di dalam goa
di lereng gunung.
Manusia jenis ini akhirnya punah karena
sejak 600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia
pendatang dari benua utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke
Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira kira 250.000 tahun
yang silam, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu habis
binasa. Zaman ini oleh para mahakawi dinamai masa purba yang pertama
(prathama purwwayuga).
Sementara itu, antara 500.000 sampai
300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa
Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa mereka seperti
yaksa atau danawa. Mereka bertubuh tegap dan tinggi serta senang meminum
darah manusia sesamanya, musuh, ataupun binatang. Perangainya kejam dan
bertabiat seperti binatang buas. Mahluk jenis ini pun akhirnya punah
karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum pendatang baru dari
benua utara.
Seterusnya, antara 300.000 sampai 50.000
tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia
berwujud setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok manusia ini
belum diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan manusia
yaksa yang punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kuit agak
gelap, tidak banyak berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan
dengan manusia yaksa yang telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah
karena didesak, diburu, dan akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang
dari benua utara. Periode ini oleh para mahakawi (pujangga besar)
disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).
Selanjutnya, pernah pula hidup manusia kerdil (wamana purusa)
atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para
mahakawi dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai
25.000 tahun yang silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya
terbuat dari batu, tetapi buatannya tidak bagus, mahluk jenis inipun
akhimya punah. Zaman ini oleh para mahakawi disebuf masa purba
pertengahan (madya ning purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).
Ke dalam zaman tersebut, termasuk pula masa hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng)
atau manusia Jawa purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur
antara 40.000 sampai 20.000 tahun yang silam. jumlahnya tidak banyak.
Mereka ini pun akhirnya punah karena bencana alam, saling bunuh di
antara sesamanya, dan akhirnya seperti juga nasib penghuni Pulau Jawa
yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari benua utara.
Dalam buku Geografi Kesejarahan II
Indonesia (1984), yang mengacu kepada hasil penelitian para akhli,
Daldjoeni mengemukakan pendapatnya tentang asal usul ras Melayu, antara
lain:
Di Hindia belakang ada dua pusat
persebaran bangsa. Dari daerah Yunnan di Cina Selatan, berangkatlah suku
suku yang tergolong Proto Melayu tua dan dari dataran Dongson di
Vietnam Utara (Daldjoeni,1984:1).
Yunnan, yang disebut-sebut sebagal daerah
asal kelompok Melayu tua di Cina Selatan, dijelaskan pula oleh Ales
Bebler, antara lain:
Merupakan dataran tinggi kering dengan
ketinggian rata rata 1000 meter di atas permukaan laut. Alamnya tertutup
oleh rerumputan, pepohonan yang rendah dan semak belukar. Wilayahnya
terbelah belah oleh jurang-jurang yang cukup dalam sehingga membatasi
gerak penduduknya dalam mengusahakan pangan. Mata pencaharian mereka
aslinya berburu dan mengumpulkan buah buahan. Dalam perkembangan
selanjutnya mereka beralih ke usaha peternakan dan pengolahan tanah
secara primitif.
Asal bangsa Indo mongolid, yang jelas
adalah Cina Selatan, akan tetapi sebagian dari mereka itu dahulunya
datang dari Tibet Timur. Mungkin keributan di Asia Tengah itu menjalar
ke Cina Selatan. Dari sini terjadi migrasi ke wilayah Asia Tenggara yang
relatif masih kosong, melalui jurang-jurang dan lembah lembah sungai di
Cina, Birma dan Siam. Tekanan di Cina Selatan agaknya bertalian erat
dengan mulai berkembangnya kerajaan Cina yang dengan tegas akan tetapi
bertahap menghendaki sinifikasi bagi seluruh wilayahnya sampal batas
selatannya yakni garis pegununan Himalaya Nanling (Daldjoeni,1984: 3, 9
10).
Perpindahan (panigit) manusia
pendatang dari benua utara: Yawana, Campa, Syangka, dan dari
daerah-daerah sebelah tirnur Gaudi (Benggala) menyebar ke Ujung Mendini
(Semenanjung Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kutalingga, Gowa,
Makasar, dan pulau pulau lain di sebelah belahan timur Nusantara,
termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di Nusantara kira kira 20.000 tahun
sebelum tarikh Saka.
Manusia yaksa kerdil (wamana purusa),
sebagal pribumi berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab
itu mereka diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia purba yang hidup
antara 25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka
berbaur menjadi satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan
Aria dari kaum pendatang baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di
antara kedua belah pihak, telah menyelamatkan kelompok manusia purba
dari bahaya kepunahan.
Adapun, kaum pendatang baru dari benua
utara tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan
senjata dari batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan bahan lain dengan
hasil yang hampir bagus (meh wagus). Menurut para mahakawi masa kedatangan orang orang dari benua utara tersebut, dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).
Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka,
sampal tahun pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang,
kelompok pendatang dari benua utara, yaitu:
1. antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum tarikh Saka;2. antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn tarikh Saka; 3. antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka; 4, antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka; 5. antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn tarikh Saka; 6. antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka; 7. antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka; 8. antara 200 sampal 100 tahun sebelum tarikh Saka; 9. antara 100 sampai awal tarikh Saka. Pada masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama purwwayuga). AKI TIREM SANG AKI LUHUR MULYA
Orang orang yang datang berturut tarut
dari berbagai daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di antara
keturunannya ada yang saling berperang, lalu mereka yang telah lebih
dahulu datang dan telah lama menetap dikalahkan oleh kaum pendatang
baru. Akan tetapi, ada juga yang saling mengasihi dan saling membantu
karena mereka mempunyai tujuan yang sama.
Semakin lama, penduduk ini semakin meresap
dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang menyebabkan
kaum pendatang itu sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara) adalah:
1. pulau pulau di bumi Nusantara ini subur tanahnya;2. subur tumbuh tumbuhannya; 3. kehidupan penduduknya bahagia; 4. serbaneka rempah rempah ada di sini; dan 5. menjadikan kehidupan penduduk makmur sejahtera.
Adapun pakaian yang dikenakan pribumi di
sini berupa cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka selalu membawa
tombak, gada, busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata lainnya.
Mereka tinggal di hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang
selalu bersembunyi, ada yang mernisahkan diri, ada pula yang bersama
keluarganya di lereng bukit.
Tiap kelompok yang hidup di salah satu
kampung, dipimpin oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung. Rumah
Sang Panghulu, selalu dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang
pemimpin ini, terhitung besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan
beberapa keluarga penduduk tinggal bersama dalam satu rumah di bawah
pimpinan seorang kepala rumah tangga yang sudah cukup berumur dan
terpandang. Demikian pula halnya dengan Sang Panghulu, ia adalah orang
yang sangat berwibawa. Di Jawa Kulwan (Barat) ada beberapa panghulu
pribumi semacarn itu. Demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
pulau pulau lain di Nusantara. Keadaan itu terjadi sebelum awal tarikh
Saka.
Mereka datang di Nusantara dengan
menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada
juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas
rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari
daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke
arah selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal
asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya
mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu perahu itu
hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar,
sehingga perahunya terlunta lunta dan terpisah dari kelompok perahu
lainnya.
1. tempat asalnya selalu kekeringan; 2. terjadi bencana gempa bumi; dan 3. musim kemarau yang berkepanjangan.
Akibatnya, mereka menderita kekurangan
makanan, dan terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan, tumbuhan,
tunas, dan daging hasil buruan. Karena itulah, mereka senantiasa ingin
mencari tanah yang subur di pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya
adalah Nusa Jawa.
Setibanya di sini, mereka menetap dan
hidup bersama ibarat satu keluarga. Anak, cucu, dan keluarga, masing
masing membuat rumah. Rumah mereka itu berderet; ada yang kecil dan ada
yang besar dan tinggi. Untuk sementara, makanan sehari hari adalah
daging hasil berburu di hutan. Lama kelamaan, tempat tinggal mereka itu
menjadi kampung (dukuh). Pakaian sehari hari terbuat dari kulit kayu.
Adapun kehidupan penduduk lama dan baru
itu, hampir sama seperti di negeri asal mereka. Makanan sehari-harinya
adalah daging, ikan, buah buahan, tunas, daun-daunan, umbi umbian, dan
rempah rempah. Sang Panghulu yang menjadi pemimpinnya, menguasai
berbagai ilmu mantera, selalu bertapa, melaksanakan sembah hiyang,
melepaskan rakyatnya dari ancaman bencana sihir, memberi berkah,
mernimpin upacara perkawinan dan berdoa, melindungi adat, serta
bertindak adil dan bersikap lemah lembut. Singkatnya, Sang Panghulu
yaitu Sang Datu, siang malam selalu mengharapkan agar rakyatnya hidup
sejahtera, dan kampung tempat tinggal mereka makmur sentosa di bumi ini.
Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam macarn, tetapi yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang).
Mereka memohon kepada arwah yang dipujanya dengan doa pujaan lengkap,
dengan tata upacara dan sembah hiyang serta sajen. Tujuannya adalah agar
terkabul cita citanya. Ada yang ingin terlepas dari kenistaan,
bertambah hasil usaha tani atau dagangnya, mengharap unggul dalam perang
atau perkelahian, mengharap terlepas dari penderitaan, lalu orang yang
susah mengharap kesejahteraan dan banyak harta, ada pula pria yang ingin
mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan suami. Ada lagi yang
mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan berumur
panjang, serta terluput dari bahaya dan macam macam harapan lagi.
Serbaneka pemujaan mereka adalah api,
gunung, arwah leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah, sungai, matahari,
bulan dan bintang. Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak gunung,
karena menganggap roh penguasa isi gunung di seluruh dunia. Ada pula
Yang memuja pohon rimbun.
Ada beberapa keluarga yang memasuki hutan
dengan membawa harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka berburu
hewan, lalu kulitnya dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya dijadikan
bahan makanan. Pakaian kulit itu ada yang diberi lukisan menurut
kehendak masing-masing, sedangkan batu batuan dan tulang, dijadikan
perhiasan untuk anak isterinya dan berbagai macam perkakas.
Akan tetapi, pendatang baru makin lama
makin banyak, sehingga orang pribumi terdesak dan hidup terlunta lunta
memasuki hutan dan pegunungan. Terjadilah pengungsian besar besaran,
karena kaum pendatang itu senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan,
dan kenistaan bagi orang pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi
kaum pendatang baru. Kaum pribumi, merasa terhina dan sangat takut,
karena siapapun di antara mereka yang berani melawan, akan ditangkap dan
dibunuh. Kaum pribumi itu selalu kalah, karena mereka bodoh dan dalam
segala hal terbelakang.
Sebaliknya, kaum pendatang baru memiliki
berbagai ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan perkakas dari besi,
telah mengenal emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu pembuatan
busur dan panah (wedastra), dan ilmu memanah (dhanurweda),
serta membuat aneka obat obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah
menanam padi untuk kepeduan makan sehari hari, mengetahui ilmu
perbintangan (panaksastra), membuat pakalan dan perhiasan yang
indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat wayang dari kulit
diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk keluarga,
membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh tabuhan untuk
mengiringi tari.
Di samping itu, mereka telah menyusun
peraturan tentang kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan tentang
gerhana, gempa bumi, ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan, musim
kemarau, ilmu tentang hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang
gunung, tentang ucapan, lalu ilmu tentang rempah rempah, hutan dan
gunung, ekonomi (swataning janapada) dan sebagainya.
Kaum pendatang dari negeri Yawana dan Syangka, yang termasuk ke dalam kelompok manusia purba tengahan (janna puruwwamadya),
tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru
yang tiba di Pulau Jawa antara tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka,
telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna). Mereka telah
mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang kelompok
ini, menyebar ke pulau pulau di Nusantara.
Zaman ini, oleh para mahakawi disebut zaman Besi (wesiyuga),
karena mereka telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata
dari besi, serta telah mengenal penggunaan emaa dan perak. Mereka
merasuk ke desa desa yang dikunjunginya, seolah olah Pulau Jawa dan
pulau pulau di Nusantara ini kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang
tidak mau menurut atau menghalangi, segera dikalahkan, sehingga bukan
saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka pun harus menjadi bawahan
yang tunduk kepada yang berkuasa.
Terjemahannya: Adapun, panghulu atau penguasa wilayah pesisir barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya. Selanjutnya, dalam naskah tersebut dikemukakan, tentang silsilah (asalusul) leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya: Adapun Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya. Ki Srengga putera Nyal Sariti Warawiri namanya. Nyai Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel namanya. Sang Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah barat. Selanjutnya Aki Dungkul, putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan. Ki Pawang Sawer, putera Datuk Pawang Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan. Datuk Pawang Marga, putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah utara. Ki Bagang, putera Datuk Waling namanva, yang berdiam di pulau Hujung Mendini. Datuk Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi sungai. Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiaiu di wilayah Langkasuka. Sedangkan nenek moyangnya dari negeri Yawana sebelah barat.
Jika mencermati The Hammond Atlas
(terbitan Time, 1980, USA), di wilayah Propinsi Yunnan, terdapat sebuah
kota kecil Yu wan, yang terletak di tepi sungal Yuan Mouw. Yu wan dalam
bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya wa na, yang terdapat dalam naskah
Pustaka Wangsakerta. Oleh karena itu, kota Yu wan, diduga kuat merupakan
tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya.
Sedarrgkan Yunnan sendiri, menurut para
akhli, merupakan lembah bagian hulu sungai Yang Tze Kiang, yang mata
airnya berasal dari pegunungan Himalaya bagian timur laut. Di wilayah
ini sering terjadi gempa bumi, yang disebabkan adanya pergeseran lempeng
anak benua India, yang bergerak ke arah utara dan membentur lempeng
Asia. Sehingga membentuk pegunungan Himalaya, yang membentang dari arah
barat di wilayah Kashmir, ke timur hingga ke wilayah perbatasan China,
India dan Burma (Myanmar).
Adanya benturan dua lempeng tersebut,
menimbulkan gempa tektonik, di sekitar wilayah bagian utara dan bagian
timur laut pegunungan Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di
wilayah ini, adalah banjir bandang (mendadak) yang sangat besar.
Penyebabnya, akibat pencairan es; di puncak Himalaya pada saat musim
semi.
Bertambah lama, orang yang datang baru
bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran
tanpa tujuan. Mengembara di hutan dan gunung gunung, bertambah
banyaklah yang jadi pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa
menyebabkan penderitaan yang terus menerus. Golongan pribumi senantiasa
dihinakan.
Kenyataannya, ada di bawah perintah orang
orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan
penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan
dibunuh. Orang orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya
terbelakang. Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai
pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi, berbagai perkakas dari
besi, juga emas, perak, manik, kristal, kendaraan. Selanjutnya membuat
berbagai senjata dari besi dengan gelang anak panahnya, pengetahuan
tentang memanah, juga membuat berbagai obat obatan, begitu pula membuat
perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan sehari hari.
Mereka juga telah mempunyal pengetahuan
tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat
pakaian dan perhiasan yang indah indah. Bahkan diberi berbagai lukisan
dan diukir pada besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka
telah mampu membuat rumah besar, yang dihuni suami isteri dan kerabat
laki laki dan wanita, membuat api dengan pemantik (paneker) dari batu
dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang
menari.
Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun,
perilaku mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang
gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana
=100.000 depa), tentang makanan yang lezat, pengetahuan tentang hari,
berbagai tumbuh tumbuhan, (musim) penghujan dan kemarau, pengetahuan
tentang laut, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan
tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur kata.
Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan
tentang rempah rempah, pengetalruan tentang hutan dan gunung,
kesejahteraan warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru
yang belakangan dari negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa,
Saimwang serta negeri Bharata (India) sebelah selatan, sangatlah pandai
berbagai pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu pengetahuan,
dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ, ialah orang orang
pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang.
Pakalan mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia
purba pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa orang orang pendatang
baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia purba
pertengahan, kira kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun
Saka. Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga
ratus tahun dan seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama.
Mereka telah mahir dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari
jasa dan perdagangan segala perlengkapan.
Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di
bumi Nusantara. Demikianlah uraianmahakawi (pujangga besar), pada waktu
itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai
perlengkapan perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan
perak. Mereka lebih pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu,
mereka kemudian menyerang desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa
dan pulau pulau di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barang
siapa yang tidak tunduk segera dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang
dan memeranginya, secepatnya dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka
maksud mereka tidak terlaksana, serta menyebabkan mereka menjadi manusia
yang hina, sebagai pelayan orang yang berkuasa.
Begitu pula di antara seratus tahun
pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang
dari beberapa negara yang terletak di sebelah timur negeri Bharata
(India). Oleh karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman
purba.
Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang
dari barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan
Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan
perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat,
karena kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini,
asal-usulnya juga orang orang pendatang dari kawasan benua utara, yang
leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.
Barang barang yang dibawa oleh para
pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna,
emas, perak, permata, mustika, obat obatan, bahan bahan makanan, serta
perabot kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan bahan yang dibelinya di
sini, yaitu rempah rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di antara mereka ada yang terus menetap di
sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa
Bali. Demikian pula di Sumatera, dan di pulau pulau lain di Bumi
Nusantara, yang disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa
telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak
bermusuhan, dan kaum pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa
kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka
menamakan pulau pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa,
laksana surga di muka bumi (samyasanya swargaloka haneng prethiwitala).
Oleh karena itu, mereka selalu merasa bahagia hidupnya. Demikianlah
keadaan mereka itu selama tinggal di sini. Banyak di antara mereka yang
memperisteri gadis di sini, kemudian beranak pinak. Mereka mengetahui
bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh tumbuhannya. Oleh karena
itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari Langkasuka,
Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi Sumatera
dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan putri
penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian
mereka masing masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya.
Kolong rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan
mereka.
Mereka bergabung untuk bergotong royong
(samakarya), membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula
bergabung akhli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi.
Para pendatang dari India itu, ada yang
mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa
desa. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Juga masih
banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka
tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka
berhasil menemukan cara yang tepat.
Penduduk di sini keturunan kaum pendatang
juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya.
Singkatnya, mereka itu mernuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru
dari India Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka
telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi
pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang
diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.
Dengan cara demikian, mereka tidak
menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api
disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan
Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar,
disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang
disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah
penduduk di sini yang memeluk agama baru itu.
Sementara itu, banyak di antara para
pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak,
anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa desa
di Pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang.
Demikian pula penduduk dan kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi
tidak berdaya. Panghulu desa itu telah dijunjungnya menjadi sang
penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang Panghulu, menjadikan
semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasannya.
Sementara itu, keadaan desa-desa tetap
makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya.
Demikianlah pula pulau pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara
tahun 80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari
berbagai negeri ke Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China,
Benggala, dan Campa. Banyak di antara mereka itu, yang membawa anak
isteri berserta sanak keluarganya, lalu menetap di Pulau Jawa dan pulau
pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di situ.
Ada yang datang membawa perahu besar, ada
yang datang beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya. Setiba di
sini, mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa.
Kemudian mereka pun tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang
dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para
panghulu dan pemuka masyarakat di sana.
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, oleh Pangeran Wangsakerta, diriwayatkan
sebagai berikut:
/jwah tambaya ping prathama sa kawarsa
riking wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara i
bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi//
pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya wikriya/ hansing
mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya
kaparajaya/ ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong
panigit ring nusa nusa i bhumi nusantara//a
Kelak, mulai awal pertama tahun Saka di
sini telah banyak orang orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa
dan pulau pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai
tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang
berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang
Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan
membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang
menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Karena mereka semua mengharapkan
kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya. Terutama para pendatang,
banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi
negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah, yang sangat banyak
berdatangan di sini, dengan menaiki beberapa puluh buah perahu besar
kecil. Yang dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba mula-mula di Jawa Kulwan
(Barat), maka mereka bertujuan yaitu untuk berdagang dan mengusahakan
pelayanan.
Mereka senantiasa datang di sini, dan
mereka kembali membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang
Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa
Kulwan (Barat), Pulau Api dan Pulau Sumatera sebelah selatan, terutama
Sang Dewawarman sebagai duta dari wangsa Pallawa.
Permulaan pertama tahun Saka, di pulau
pulau Nusantara, telah banyak golongan warga masyarakat, yang menjadi
pribumi tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang
berkasih kasihan berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang
kecil. Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai.
Bukankah selalu berdatangan orang lain atau wilayah lain. Terutama
pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala, negeri Gaudi,
negeri Cina dan sebagainya.
Ramailah kemudian dukuh dukuh di tepi
laut. Dengan demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi
Nusantara dengan negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur.
Tetapi, yang banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan
pendatang dari negeri Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman,
tiba di dukuh pesisir Jawa Kulwan (Barat).
Para pendatang itu bersahabat dengan
penghulu dan warga masyarakat di sini. Adapun penghulu atau penguasa
wilayah pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, Aki
Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri
Sang Aki Luhur Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci
Larasati), diperisteri oleh Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut
oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai Dewawarman pertama.
Akhirnya semua anggota pasukan Dewawarman
menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan
pasukannya, tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi
penduduk di situ, lalu beranak pinak.
Beberapa tahun sebelumnya, Sang Dewawarman
menjadi duta keliling negaranya (Pallawa) untuk negeri negeri lain yang
bersahabat, seperti kerajaan kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala,
Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan
mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang barang
lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum
meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman
tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua
penduduk menerimanya dengan senang hati. Demikian pula para pengikut
Dewawarman, karena mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula
banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak.
Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman
menggantikannya sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat Prabu
Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya,
Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu
Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara (salaka= perak).
Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi
Jawa Kulwan bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa.
Laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya.
Oleh karena itu, daerah- daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan
Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu perahu
yang beralayar dari timur ke barat dan sebaliknya, harus berhenti dan
membayar upeti kepada Sang Dewawarman. Pelabuhan pelabuhan di pesisir
barat Jawa Kulwan, Nusa Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api
(Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, dijaga oleh pasukan
Dewawarman.
Wangsa Dewawarman memerintah Kerajaan
Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura (Kota
Perak). Kota besar lainnya lagi, Agrabhintapura ada di wilayah sebelah
selatan. Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta
Limansakti, adik Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama
Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah
penguasa mandala Hujung Kulon. (har)
|