Pages

Monday, September 22, 2014

Teori tentang Asal-usul Bangsa Indonesia

Teori tentang Asal-usul Bangsa Indonesia

Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).

Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.

Perdebatan
Mengenai asal-usul rumpun bangsa berbahasa Austronesia yang menjadi cikal-bakal bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Pasifik masih menjadi perdebatan, apakah berasal dari Formosa (Taiwan), dataran Sunda, Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina atau bahkan Jepang. Menurut Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak, rumpun Austronesia sendiri merupakan bagian dari bahasa Austrik yang berawal di daratan Asia dan terbagi dua. Dua rumpun itu Austro Asiatik yang menyebar di daratan Asia, misalnya, bahasa yang dituturkan Mon-Khmer di Indochina, Thai, dan Munda di India Selatan serta bahasa Austronesia yang menyebar ke selatan tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, hingga kepulauan Pasifik. Teori yang dominan yakni Model Out of Taiwan menyebutkan, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formosa (Taiwan) setelah penuturnya bermigrasi ke pulau itu pada 6.000 tahun lalu dari daratan china Selatan, mungkin sekitar Fujian atau Guangdong. Proses ini melahirkan bahasa Austronesia awal dan budayanya diwakili budaya Da-pen-keng. Budaya dan bahasa ini segera terpecah menjadi beragam budaya dan dialek lokal pada sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa itu penutur Austronesia awal ini kemudian mengenal domestikasi babi dan anjing serta menanam padi, ubi, dan tebu, membuat kain kulit kayu dan gerabah, serta menggunakan peralatan dari batu dan tulang juga membuat kano. Beberapa kelompok dari para penutur Austronesia itu kemudian mulai menjelajahi kepulauan Asia Tenggara pada 4.500 tahun lalu, khususnya ke Filipina Utara dan kalimantan Utara. Kelompok pemukim awal ini akhirnya menciptakan bahasa Proto Malayo Polynesia yang merupakan cabang dari induknya Proto Austronesia. Di kawasan baru itu perbendaharaan tanaman yang dibudidayakan bertambah dari pertanian biji-bijian ditambah dengan kelapa, sagu, sukun dan pisang. Pada masa itu teknologi pelayaran mereka makin canggih. Ada yang bermigrasi ke arah timur menuju Mikronesia, ada yang menuju ke arah selatan melalui Filipina Selatan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Selanjutnya dari Kalimantan dan Sulawesi gerak migrasi mengarah ke Jawa dan Sumatera serta Semenanjung Malaka. 

Sedangkan yang dari Maluku Utara ke selatan menuju Nusa Tenggara dan ke timur ke pantai utara Papua Barat dan terus ke timur hingga ke Kepulauan Bismarck. Ketika bermigrasi ke arah timur pertanian biji-bijian ditinggalkan karena lingkungan tak mendukung dan menggantinya dengan menanam berbagai umbi-umbian. Menurut Pakar Arkeologi lainnya, Daud Aris Tanudirjo, persebaran tersebut berlangsung sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun lalu dengan ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah. 

Kemampuan mengarungi lautan jarak jauh mendorong mereka bermigrasi lompat katak dengan mengarungi daerah-daerah yang jauh dan melewati daerah-daerah yang dekat. Selain bahasa Proto Malayo Polynesia yang berkembang di Barat, juga berkembang bahasa-bahasa Proto Central Malayo Polynesia yang berpusat di Halmahera, Proto Eastern Malayo Polynesia di kawasan Kepala Burung, dan Proto Oceanic di Kepulauan Bismarck dan kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya. Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Bahkan menurut Pakar Austronesia Peter Bellwood, berbagai proto bahasa yang pernah tersebar dari Filipina hingga kepulauan Bismarck ketika itu pada dasarnya masih bisa dikatakan satu bahasa dengan sedikit variasi dialek, ujar Daud. 

Nenek Moyang
Jadi bangsa Indonesia merupakan keturunan ras Mongoloid, karena orang-orang asal Formosa yang bermigrasi ke Kepulauan Indonesia bersamaan dengan menyebarnya bahasa Austronesia merupakan ras Mongoloid Selatan? Penelitian antropometrik dan tengkorak WW Howell terhadap populasi dari Asia Tenggara dan Asia Pasifik menyimpulkan dua pengelompokan, yakni penduduk Australia (Aborijin) dan Melanesia di Papua Nugini dalam satu kelompok. Sedangkan penduduk Polinesia-Micronesia-Mongoloid Selatan pada kelompok yang lain, di mana nenek moyang penduduk Polynesia dan Micronesia secara fenotif memang lebih dekat kepada Mongoloid daripada ras Austomelanesid. Dari studi genetik dengan penelitian mitochondrial DNA juga membuktikan bahwa penduduk Polinesia, yakni penutur bahasa Proto Malayo Polynesia, memiliki ciri genetika "9 base-pair deletion" yang menjadi ciri khas penduduk Asia Timur. Namun, penemuan kerangka manusia di pegunungan Sewu menunjukkan adanya kohabitasi antara dua ras Australomelanesid dan Mongolid dalam waktu hampir bersamaan jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid. Dalam situs itu kerangka berciri Austromelanesoid dikubur dengan posisi terlipat berada di situs yang sama dengan manusia berciri ras Mongoloid yang dikubur dengan posisi terbujur. Kerangka yang ditemukan di situs-situs itu memiliki pertanggalan 4.500-7.000 tahun lalu (Song Keplek, Pacitan) dan 9.800-13.000 tahun lalu (Gua Braholo, Gunung Kidul). Ras Australomelanesid sendiri, kata Harry Widianto dari Balai Arkeologi Yokyakarta, diduga bermula dari daratan Asia Tenggara yang bermigrasi sekitar 10 ribu tahun lalu ke arah selatan dan dataran bagian barat. Bukti-bukti digarisbawahi dengan peninggalan di Vietnam, Thailand, dan Indonesia bagian barat, kemudian ras tersebut menyebar ke daerah yang lebih timur di Nusa Tenggara. Menurut Daud Aris, migrasi petani Austronesia di berbagai tempat di nusantara telah menyebabkan tersingkirnya penduduk Austromelanesoid yang mengandalkan kehidupannya dari berburu dan mengumpulkan makanan ke wilayah lebih timur dan selatan seperti Papua dan Australia. Namun demikian penemuan manusia Wajak dekat Tulungagung yang membawa ciri Mongoloid pada bagian wajah sekaligus Austromelanesid dari bentuk umum tengkoraknya menunjukkan adanya percampuran kedua ras. Percampuran dua ras itu sudah ada sebelum penutur Austronesia yang berciri Mongloid datang ke nusantara, karena perkiraan pertanggalannya 11 ribu tahun lalu. Dengan demikian kenyataan itu melemahkan model Out of Taiwan dan memperkuat teori S Oppenheimer yang menyatakan asal-usul penutur Austronesia berasal dari dataran Sunda sebelum zaman es mencair. Jadi bangsa Indonesia merupakan percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongolid yang mendiami bumi nusantara gelombang demi gelombang dan bercampur dengan rumpun Aria dari India, bangsa Semit dan Eropa di masa-masa modern sesudahnya.

Asal-usul nama Indonesia
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. 

Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli > antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam > Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.

Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.

Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.


Sumber:
http://karimjogja.blogspot.com/2011/11/teori-tentang-asal-usul-bangsa.html

No comments:

Post a Comment