Naskah
Publikasi
PEMANFAATAN
KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE
Oleh :
Supriadi
No. Mahasiswa :
21733/IV-4/1625/04
A.
Pendahuluan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae terletak di
Kampung Bellae, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten
Pangkep dengan posisi astronomis 04049’20” – 04050’10” LS
dan 1190 45” - 1190 36’50”
BT. Kompleks gua prasejarah
Bellae terdiri atas 21 gua dengan posisi
berjejer di sepanjang bukit kars yang berada tidak jauh dari permukiman
penduduk Kampung Bellae. Bukit kars yang melintasi Bellae dan merupakan tempat
beradanya gua-gua prasejarah yakni Bulu[1]
Matojeng dan Bulu Matanre. Bulu Matojeng dan Bulu Matanre termasuk gugusan kars yang membentang antara
Maros-Pangkep yang sering disebut sebagai kawasan kars Maros-Pangkep.
Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua Prasejarah
Bellae mempunyai tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai tinggalan
arkeologis baik berupa artefak batu, sisa makanan maupun lukisan dinding (rock
art) masih banyak dijumpai.
Temuan artefak batu terutama adalah alat serpih dan bilah yang sebarannya
hampir merata di semua gua, selain itu juga ditemukan lancipan maros (maros point) dan mikrolit geometris
yang hanya ditemukan di beberapa situs tertentu. Lukisan dinding yang terdapat
di Bellae berupa lukisan figuratif dan non figuratif.
Keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang kini dekat dengan pemukiman
dan areal persawahan, mengakibatkan gua-gua ini tidak terlepas dari ancaman
kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas pertanian
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam kelestarian
kompleks gua prasejarah Bellae. Tidak jarang beberapa gua dimanfaatkan oleh
penduduk sebagai tempat menyimpan jerami padi dan alat-alat pertanian. Bahkan
kadangkala masyarakat menggali tanah pada bagian depan gua sehingga bagian
depan gua semakin cekung dan dapat menghilangkan tinggalan arkeologis yang
terdapat pada gua tersebut.
Coretan-coretan baru pada dinding ditemukan bercampur dengan lukisan
dinding yang terdapat pada gua.
Selain kelestarian Kompleks Gua Prasejarah yang semakin terancam oleh
aktivitas masyarakat setempat, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep ternyata membawa permasalahan
tersendiri. Tidak terjalinnya koordinasi antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Pangkep dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar
telah memicu konflik menyangkut perlakuan dan kewenangan terhadap Kompleks Gua
Prasejarah Bellae.
Beragamnya kepentingan dari berbagai pihak dalam pemanfaatan sumberdaya
budaya merupakan permasalahan tersendiri yang dapat berujung pada benturan
kepentingan. Benturan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya budaya umumnya
disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan pemberian makna terhadap benda
warisan budaya (Anom, 1996). Pemanfaatan sumberdaya budaya sering memberi dua
dampak yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah munculnya
keinginan masyarakat untuk memberi perhatian kepada sumberdaya budaya sehingga muncul kesadaran untuk melestarikan
dan memanfaatkannya. Dampak negatif akan muncul seiring dengan pemanfaatan
sumberdaya yang sangat eksploitatif (Prasodjo, 2004: 4).
Agar pemanfaatan sumberdaya
budaya tidak hanya bertujuan untuk eksploitasi dan ekonomis saja, maka
diperlukan pemahaman terhadap aspek yuridis, aspek arkeologis serta aspek
manajerial (Haryono, 2003:2). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya
budaya perlu ada asas keseimbangan sehingga tidak terjadi konflik antara
pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya tersebut (Haryono, 2005: 5).
B.
Permasalahan
Berdasarkan kenyataan yang dijelaskan di atas, maka diperlukan usaha untuk tetap mempertahankan dan
menyelamatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang memiliki beberapa keunikan
ini. Penyelamatan yang dimaksud adalah penyelamatan dari ancaman kerusakan,
baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun dari faktor alam. Di
samping itu, perlu ada ada kesamaan pemahaman antara
stakeholder terkait dengan bentuk
pemanfaatan yang berwawasan pelestarian. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana
model pemanfaatan yang tepat terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang dapat
mengakomodasikan keinginan dan kepentingan pihak-pihak yang terkait?
C.
Landasan Konseptual
CRM atau pengelolaan sumberdaya
budaya adalah proses mengelola sumberdaya budaya pada
lansekap dari segala sesuatu yang terjadi pada sumberdaya budaya (Pearson & Sullivan, 1995: 4). Pendapat
lain menyatakan, Cultural
Resource Mangement itu pada dasarnya adalah tatacara mengelola situs atau kawasan sumberdaya arkeologi
dengan mengakomodasi beberapa kepentingan yang seringkali bertentangan. Dengan
demikian, Cultural Resource Management
harus dilihat sebagai manajemen konflik (Tanudirjo, 1998: 16).
Secara garis besar, Cultural Resource Management
menekankan pada lima aspek. Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang
tidak dapat diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua
ada kesadaran bahwa tidak semua sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari
ancaman kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang
disebabkan oleh manusia. Sekali sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak
mungkin akan dimunculkan kembali. Begitupun dengan konteksnya, jika benda
arkeologis kehilangan konteks maka tidak dapat memberikan informasi apa-apa.
Ketiga adanya berbagai kepentingan diluar dari kepentingan arkeologi itu
sendiri. Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat luas (publik), antara
lain : ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang (Tanudirjo, 2003).
Aspek keempat yang menjadi penekanan Cultural Resource
Management adalah pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan.
Pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan
sesaat, tetapi lebih pada bagaimana agar pengelolaan tersebut dapat berjalan
secara terus menerus. Kelima adalah aspek hukum dan politis. Antara akademisi, pemerintah dan masyarakat harus ada
keterkaitan dari aspek hukum dan politik.
Cultural
Resource Management, dalam penerapannya mencakup lima langkah utama yakni : 1) Lokasi,
identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun
kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan
pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip konservasi,
4) implementasi dari perencanaan
dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and Sullivan, 1995: 8-9).
D.
Tata Cara Penelitian
Sehubungan dengan
studi pemanfaatan sumberdaya budaya, pengumpulan data mencakup semua
semua data tentang objek yang akan dikelola. Hal ini
sebagaimana yang diutarakan oleh Lipe (1970) bahwa usaha penyelamatan tidak
fokus pada satu masalah dan mengabaikan masalah yang lainnya (Lipe 1970 dalam
Schaafsma, 1989: 43). Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan berupa data
hasil wawancara dan pengamatan, sumber data tertulis dan foto.
Pengumpulan data antara lain dilakukan dengan cara wawancara
serta pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara menggabungkan kegiatan
melihat, mendengar dan bertanya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara
bebas terstruktur terhadap beberapa stakeholder untuk mendengar jawaban mereka
tentang nilai penting, pengetahuan, persepsi,
serta keinginan dan jenis pengelolaan terhadap keberadaan Kompleks Gua
Prasejarah Bellae.
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai penting
sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan menilai hambatan dan
peluang dalam pengelolaannya. Dalam pengukuran nilai penting, kriteria yang
digunakan adalah nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan
nilai penting kebudayaan. Penilaian terhadap peluang dan hambatan pengelolaan
diukur dari persepsi stakeholder dan perangkat perundangan.
E.
Penentuan Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae
1.
Konsep Nilai Penting
Proses pelaksanaan Cultural Resource Management ada
beberapa tahap dan salah satunya adalah penentuan nilai penting. Penentuan
nilai penting suatu sumberdaya arkeologi merupakan tahap penting karena pada
dasarnya tujuan CRM adalah
melestarikan nilai penting sumberdaya budaya. Nilai penting yang kuat dan
dominan akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terhadap sumberdaya
budaya (Mason, 2002: 5; Tanudirjo, 2004a: 1) dan akan menghasilkan rekomendasi
apakah suatu sumberdaya budaya akan dikonservasi, dihancurkan, dimodifikasi
atau dibiarkan begitu saja (Pearson & Sullivan, 1995: 8).
Walau demikian, di Indonesia pedoman baku tentang penilaian
nilai penting sumberdaya budaya belum ada (Tanudirjo,2004a: 2). Oleh karena
itu, Tanudirjo (2004b) mengusulkan pedoman penentuan nilai penting yang
terdapat dalam UU No. 5 tahun 1992.
a.
Nilai Penting Sejarah, apabila
sumberdaya budaya tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa
yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan
tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang
tertentu;
b.
Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih
lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu.
c.
Nilai Penting Kebudayaan, apabila
sumberdaya budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu,
mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu. Nilai etnik
dapat memberikan pemahaman latar belakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan,
dan mitologi yang semuanya merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas
tertentu, merupakan bagian dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu (Tanudirjo,
2004b: 6-8).
Lebih lanjut Tanudirjo (2004b)
menambahkan, untuk memahami nilai penting sumberdaya budaya maka perlu diadakan
pembobotan. Hal ini bertujuan untuk membandingkan nilai penting suatu
sumberdaya budaya dibanding sumberdaya budaya yang lain. Untuk melakukan
pembobotan, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut.
a.
kelangkaan, apakah
jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini jarang atau mudah ditemukan
(jumlahnya banyak)
b.
Keunikan, apakah
sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara sumberdaya sejenis
c.
Umur/pertanggalan,
semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)
d.
Tataran, nilai
penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas atau masyarakat pada
tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi), nasional (negara), atau
internasional (dunia).
e.
Integritas
(termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi apabila masih
menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik itu sebagai benda
tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks (tersebar tetapi merupakan
kesatuan).
f.
Keaslian, nilai
sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum mengalami penggantian,
pengurangan, atau percampuran (Tanudirjo, 2004b: 8).
2.
Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae
1.
Nilai Penting Sejarah
Istilah Toalean menurut Bulbeck (2001) hanya
digunakan pada kumpulan mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan yang
berlangsung antara 8000 BP – 1500 BP (Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai
dengan mulainya manusia bertempat tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari
sumber air dan lahan yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat mikrolit yang
berasosiasi dengan lukisan dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1975: 147;
Bulbeck, 2001: 1).
Secara garis besar, ciri kebudayaan Toalean
dapat dibedakan atas tiga ciri utama yakni penghunian gua, temuan mikrolit
yang berasosiasi dengan lukisan dinding, dan tipologi artefaktualnya. Dari
tinggalan artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
mengindikasikan pernah dijadikan sebagai hunian manusia pendukung budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang Cammingkana
dan Leang Bubbuka (Said, 1988 Dalam
Sumantri, 2004: 156). Temuan mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan dinding
dapat dijumpai pada Leang Kajuara.
Di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, berbagai temuan arkeologi menunjukkan
tipologi yang sama dengan artefak batu Toalean.
Secara ringkas, kesesuaian antara ciri artefaktual lapisan budaya Toalean dengan tinggalan artefak batu di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagaimana yang terlihat pada tabel dibawah
ini.
No.
|
Nama Leang
|
Jenis Artefak Batu
|
||||
Bilah
|
Serpih
|
Mata Panah
|
Maros Point
|
Mikrolit Geometris
|
||
1
|
Lessang
|
√
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Bubbuka
|
√
|
√
|
√
|
√
|
-
|
3
|
Caddia
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
4
|
Buto
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Tinggia
|
-
|
√
|
-
|
-
|
-
|
6
|
Lompoa
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
7
|
Kassi
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
8
|
Kajuara
|
√
|
-
|
-
|
√
|
√
|
9
|
Patennung
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10
|
Jempang
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
11
|
Tanarajae
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
12
|
Sakapao
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
13
|
Bawie
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
14
|
Buluribba
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
15
|
Cammingkana
|
√
|
√
|
√
|
-
|
√
|
16
|
Bungung
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
17
|
Carawalie
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
18
|
Ujung
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
19
|
Sassang
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
20
|
Batanglamara
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
21
|
Sapiria
|
√
|
√
|
√
|
-
|
-
|
Tabel 1. Jenis Artefak Batu di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae
Berdasarkan pada tabel di atas, temuan artefak seperti serpih, lancipan
maros (maros point), serpih, dan mikrolit menunjukkan tipologi yang sama dengan
typology artefak lapisan budaya Toalean. Oleh
karena itu, maka dapat dikatakan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan
bukti dan representasi tentang keberadaan lapisan budaya Toalean di Sulawesi Selatan.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa situs Bellae merupakan
situs-situs masa prasejarah yang penting bagi penyusunan sejarah kebudayaan
Indonesia pada umumnya.
2.
Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
Banyak sumberdaya budaya
mempunyai nilai penting ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan sumberdaya budaya
merupakan representasi dari budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, sumberadaya
budaya mempunyai potensi tinggi untuk kegiatan penelitian. Nilai penting ilmu pengetahuan adalah manfaat
atau kegunaan kompleks gua prasejarah sebagai media atau wahana pembelajaran
terhadap berbagai disiplin ilmu terkait (Hall and McArthur, 1993; Pearson and
Sullivan, 1995 dalam Timothy dan Boyd, 2003: 90).
Berdasarkan
hasil identifikasi, berbagai disiplin ilmu yang berpotensi memanfaatkan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk kepentingan ilmu pengatahuan yaitu,
Arkeologi, Antropologi, Ilmu Kebumian dan Biologi. Nilai penting arkeologi
dapat dilihat dengan banyaknya penelitian yang pernah dilakukan di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae. Sejak tahun 1987 hingga tahun 2000, tercatat tidak kurang 16
penelitian yang dilakukan oleh peneliti orang Indonesia maupun yang dari luar,
secara individu maupun kelembagaan (lihat Bab I). Bahkan satu orang/tim
peneliti tidak jarang melakukan penelitian lebih dari satu kali seperti yang
pernah dilakukan oleh Said (1988 dan 2000) dan Puslit Arkenas (1991, 1993, 1994
dan 1995). Secara umum, penelitian yang pernah dilakukan bertujuan untuk
mengungkap cara-cara hidup manusia masa lampau ketika manusia bertempat tinggal
di gua.
Melihat tingginya minat peneliti
arkeologi terutama yang berkecimpung dalam arkeologi prasejarah terhadap
komples gua prasejarah bellae, maka jelas bahwa wilayah ini mempunyai peranan
tersendiri dalam mentubangkan data prasejarah. Kompleks Gua Prasejarah Bellae
menyediakan data yang tergolong cukup lengkap untuk penelitian arkeologis
seperti artefak, ekofak, dan lukisan dinding. Oleh karena itu, peluang
penelitian arkeologi masih memungkinkan terus berlanjut di masa mendatang.
Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan laboratorium dalam mengkaji kehidupan
manusia prasejarah yang memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal ataupun
kegiatan ritual.
Dalam disiplin ilmu antropologi, hal yang menarik menjadi objek penelitian
yakni cap tangan. keberadaan cap tangan di dinding-dinding berpeluang menjadi
objek penelitian. Walaupun Kompleks Gua Prasejarah Bellae ada keterputusan
hubungan dengan budaya masyarakat sekarang di Sulawesi selatan, namun
penggunaan simbol cap tangan yang dianggap sebagai penolak bala masih dapat
ditemukan di Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng. Kenyataan ini menjadi
menarik apabila dikaji dari sisi antropologi.
Dalam ilmu-ilmu kebumian disiplin ilmu yang terkait adalah geografi dan
geologi. Dari
sisi ilmu geografi, lukisan dinding juga merupakan salah satu instrumen untuk
mengungkap lingkungan purba dimana lukisan tersebut berada. Lukisan perahu yang
berada pada dinding gua mengisyaratkan bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan
daerah perairan baik yang berupa rawa maupun laut dangkal. Hal ini diperkuat
dengan tinggalan lain berupa kerang-kerang habitat air tawar maupun air payau.
Dari
sisi ilmu geologi, berkaitan erat dengan letak Kompleks Gua Prasejarah Bellae
di kawasan kars Maros-Pangkep. Kawasan kars
Maros-Pangkep dicirikan dengan bukit-bukit berlereng terjal yang sebagian besar
genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi. Sebelum diperlebar dan diperluas
oleh proses pelarutan atau karstifikasi, struktur ini membentuk bangunan menara
yang sangat khas (kars tower) (Samodra, 2003: 28-116). Kars juga mempunyai kandungan
mineral utama untuk pertambangan batu kapur
yang merupakan hasil pengangkatan dari jaman Miosen, termasuk juga
kontribusinya dalam penyusunan sejarah geologi Sulawesi (Whitten, Mustafa dan
Haederson, 1987: 1-14).
Dalam disiplin ilmu Biologi, keberadaan berbagai flora
dan fauna yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan objek
penelitian. Cangkang kerang yang sering dinterpretasikan sebagai sisa makanan,
untuk mengetahui kandungan gizinya, maka ilmu biologi memegang peranan penting.
Berbagai jenis flora dan fauna endemik yang terdapat di Bellae (lihat Bab II)
merupakan objek penelitian biologi yang potensial. Dalam survei bersama yang
dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Biologi dan mahasiswa Jurusan Arkeologi
Universitas Hasanuddin pada tahun 2006, di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
ditemukan flora (sejenis pakis) dan fauna (sejenis lipan) spesies baru. Ini
mengindikasikan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi
penelitian biologi di masa yang akan datang.
3.
Nilai Penting Kebudayaan.
Merujuk pada sumberdaya arkeologi
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka Kompleks gua prasejarah Bellae berdasarkan
tinggalan artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya
masyarakat prasejarah di Sulawesi Selatan. Nilai penting kebudayaan di Kompleks
Gua Prasejarah mencakup nilai estetik dan nilai publik. Nilai estetik terlihat pada temuan lukisan
dinding yang dibuat sekitar 5.000 tahun yang lalu. Lukisan dinding yang
merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat yang membuatnya bisa jadi menjadi
data primer untuk kepentingan bagi mereka yang menggeluti seni. Bagaimana peran
seni terhadap kehidupan, bagaimana seni berperan terhadap masyarakatnya dan
bagaimana seni itu berperan terhadap dirinya sendiri baik ketika lukisan itu
dibuat maupun ketika secara fisik masih hadir di jaman sekarang (Ackerman,
1963: 127). Nilai estetik juga terlihat pada lingkungan alam Kompleks Gua
Prasejarah Bellae. Pemandangan bukit/tower kars yang rimbun dan asri serta hamparan
padi yang menghijau pada saat musim tanam merupakan salah satu aspek nilai
penting estetika.. Keserasian antara dengan bukit karst denganm hamparan hijau
di persawahan merupakan lanskap budaya yang mempunyai nilai estetika tinggi.
Nilai publik yang terdapat di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mencakup sarana pembelajaran dan kepariwisataan.
Sebagai media pembelajaran, Kompleks Gua Prasejarah Belae memiliki kekayaan dan
kekhasan temuan arkeologi. Temuan arkeologi yang berupa lukisan dinding, alat
batu dan sisa-sisa makanan serta hubungan antar gua dalam satu kawasan tertentu
dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi mendatang untuk
melihat satu periode tertentu dalam prasejarah di Sulawesi Selatan. Tata cara
pembelajaran bukan hanya sebatas membaca laporan penelitian, tetapi masyarakat
dapat mengetahui proses pengungkapan masa lampau melalui penelitian. Sampai
saat ini, penelitian prasejarah di Bellae hanya dilakukan oleh mereka yang
berkecimpung dalam disiplin ilmu arkeologi saja.
Dari segi kepariwisataan,
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. Pada tahun
2006 pemerintah Kabupaten Pangkep mulai memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah
Bellae sebagai objek wisata. Salah satu program kerja Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Pangkep adalah pengadaan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana objek wisata purbakala dengan sasaran terwujudnya pembangunan objek
dan daya tarik wisata (Laporan Program Kerja Dinas Pariwisata Kabupaten
pangkep, 2006: 10). Salah satu objek purbakala yang menjadi sasaran dari
program kerja tersebut adalah Leang Caddia yang berada di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae. Program kerja tersebut adalah pembuatan jalan dan tangga
berupa beton menuju mulut gua serta pembuatan dua gardu
Pemanfaatan juga dilakukan oleh
BP3 Makassar di Leang Sakapao.
Beberapa fasilitas bagi pengunjung seperti tangga beton, tempat duduk daro
beton dan tangga kayu untuk menjangkau mulut gua telah dibangun. Pemanfaatan Leang Sakapao oleh BP3 Makassar
didasarkan atas pertimbangan bahwa Leang Sakapao
mempunyai jenis tinggalan lukisan dinding yang bervariasi dan mempunyai
panorama alam yang paling indah.
Walau Kompleks Gua Prasejarah
Bellae telah dimanfaatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta BP3
Makassar, data resmi jumlah pengunjung sampai sekarang belum ada. Hal ini
diakibatkan kompleks gua prasejarah bellae belum dikomersilkan (belum dipungut
biaya dari pangunjung) sebagaimana di beberapa daerah tujuan wisata. Data
kunjungan hanya bisa ditemukan dalam bentuk catatan buku tamu dari penjaga
situs. Sebagian besar jumlah pengunjung mempunyai tujuan jalan-jalan serta
penyaluran hobby baik yang berupa panjat tebing maupun susur gua tercatat 141
orang selama kurun waktu 1999 – 2005.
Bagi sebagian masyarakat yang
bermukim di sekitar gua-gua prasejarah, kehadiraan gua-gua prasejarah membawa
dampak baik secara ekonomi maupun sosial. Beberapa penduduk oleh BP3 Makassar
dijadikan sebagai tenaga honorer yang bertugas sebagai penjaga situs. Bahkan
beberapa dari mereka telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Pekerjaan
sebagai penjaga situs baik yang masih berstasus sebagai tenaga honorer terlebih
yang berstatus pegawai negeri sipil menurut pengamatan penulis membawa dampak
tidak hanya hanya dari segi ekonomi tetapi juga segi sosial. Ada satu
kebanggaan tersendiri dengan profesi sebagai penjaga situs terlebih yang sering
menerima dan mengantar pengunjung dari luar (baik secara individu maupun
kelembagaan).
Di samping potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata,
kars di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mengandung nilai ekonomi untuk
pertambangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Pertambangan Kabupaten
Pangkep, dimana Kompleks Gua Prasejarah Bellae termasuk kars kelas I sehingga merupakan kars yang sangat potensial
untuk bahan baku semen dan marmer. Walau demikian, kars ini dilarang untuk
ditambang (lihat Bab V) karena dianggap dapat menyebabkan kerusakan kawasan
kars yang membentang antara Maros dan Pangkep. Pemanfaatan kars sebagai bahan
tambang, walau mempunyai nilai ekonomi yang tinggi tetapi dapat mengakibatkan
kerusakan pada kars secara permanen. Padahal, selain bentukan alam yang unik
dan khas, kars mempunyai potensi sebagai resapan air yang mampu mengatasi
ketersediaan air di permukaan di samping potensi gua-gua prasejarah yang
terdapat di dalamnya (Suryatmojo, 2006: 5-6).
Untuk memahami nilai penting
sumberdaya budaya maka perlu diadakan pembobotan. Pembobotan dimaksudkan untuk
menentukan prioritas pengelolaan dan pelestarian (Tanudirjo, 2004b: 7).
Pembobotan dilakukan dengan melihat unsur kelangkaan, umur, dan keunikan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting
sejarah digunakan unsur kelangkaan. Hal ini untuk melihat apakah Kompleks Gua
Prasejarah Bellae sebagai satu-satunya bukti keberadaan budaya Toalean di Sulawesi Selatan atau tidak.
Unsur umur digunakan untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting ilmu
pengetahuan. Hal ini mengingat unsur umur sering menjadi variable penelitian
dalam ilmu pengetahuan (Tanudirjo, 200b: 9). Unsur keunikan untuk menentukan
nilai bobot nilai penting kebudayaan.
Kriteria nilai bobot nilai penting dibagi atas tiga nilai yakni tidak
penting, penting dan sangat penting. Kriteria tidak penting jika nilai penting
sumberdaya budaya tidak langka, tidak tua, dan tidak unik berdasarkan kriteria
pembobotan. Penting jika sumberdaya tersebut walaupun bukan satu-satunya tetapi
jarang ditemukan, tidak tua, tapi juga tidak terlalu muda, dan mempunyai
keunikan yang dapat ditemukan di daerah lain. sangat penting apabila sumberdaya
budaya bersifat langka, terutama jika hanya satu, sangat tua dan mempunyai
berbagai lapisan budaya, serta mempunyai keunikan yang khas,
Secara sederhana pembobotan dan
nilai bobot nilai penting sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
terlihat pada tabel dibawah ini.
No.
|
Nilai
Penting
|
Pembobotan
|
Nilai
Bobot
|
1
|
Sejarah
|
Sebagai bukti
bahwa pernah berlangsung kebudayaan Toalean
di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae bukan sebagai bukti
tunggal. Ada beberapa sumberdaya budaya sejenis yang tersebar di kawasan
karst maros-pangkep.
|
Penting
|
2
|
Ilmu
Pengetahuan
|
Sebagai sumberdata penelitian, Kompleks Gua
Prasejarah Bellae mempunyai rentang waktu yang panjang baik dari pertanggalan
arkeologi maupun pertanggalan geologi. Pada tataran pengakuan, Kompleks Gua
Prasejarah Bellae tidak hanya diteliti oleh peneliti Indonesia, tetapi juga
peneliti luar negeri.
|
Sangat
Penting
|
3
|
Kebudayaan
|
Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak hanya
mempunyai nilai estetik sumberdaya arkeologi,tetapi juga seni dan lingkungan
alamnya. Mempunyai potensi sumberdaya budaya, sumberdaya alam dan kesatuan
antara sumberdaya budaya dan sumberdaya alam (lanskap budaya) untuk
kepentingan pariwisata. Dapat menjadi media pembelajaran yang lengkap untuk generasi
selanjutnya
|
Sangat
Penting
|
Tabel 2. Bobot Nilai Penting Kompleks Gua Prasejarah
Bellae
Berdasarkan pada hasil pembobotan nilai
penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka dapat disimpulkan bahwa Sumberdaya
budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai bobot nilai penting sejarah
yang penting, bobot nilai penting ilmu pengetahuan dan nilai penting budaya
yang sangat tinggi. Oleh karena itu, maka perlu ada strategi pengelolaan yang
tepat untuk melestarikan nilai penting yang tinggi tersebut.
D.
Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae
1.
Rekomendasi Pemanfaatan
Berdasarkan hasil analisa nilai penting dan peluang pemanfaatan Kompleks
Gua Prasejarah Bellae, maka pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae harus
diarahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kepentingan kebudayaan dan
kesejahteraan masyarakat lokal.
a.
Kepentingan ilmu
pengetahuan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae, perlu ada keleluasan
akses penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan mengingat sumberdaya
budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak hanya sebagai objek penelitian
arkeologi, tetapi mencakup antropologi, biologi, dan ilmu-ilmu kebumian.
Keleluasan akses tidak hanya ditujukan pada peneliti, tetapi keleluasan akses
mencakup masyarakat untuk bebas menafsirkan sumberdaya budaya tersebut menurut
mereka sendiri. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, salah satu bentuk akses
masyarakat adalah terlibat dalam kegiatan penelitian. Masyarakat tidak hanya
sekedar menjadi konsumen dari hasil penelitian, tetapi dapat juga mengetahui
dan berpartisipasi dalam proses penelitian sehingga masyarakat dapat mengerti
bagaimana sebuah persoalan ilmu pengetahuan dipecahkan. Dalam pemanfaatan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan harus tetap mempertahankan informasi yang asli
sehingga selalu membuka peluang untuk penelitian selanjutnya. Pengetahuan atau tafsiran
tentang masa lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke waktu.
Penafsiran juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir.
Sebagai contoh pemanfaatan sumberdaya budaya yang berdasarkan pada nilai penting ilmu pengetahuan adalah
pemanfaatan situs Mount Vernon di Sungai
Potomac dekat Washington, D.C, Amerika. Situs ini didesain dengan model wisata pendidikan dimana pengunjung
yang datang dapat berpartisipasi sebagai peneliti dalam aktivitas penelitian
arkeologis, seperti kegiatan penggalian (ekskavasi). Akibat pelibatan publik
dalam kegiatan penggalian, menjadikan situs ini selalu ramai dikunjungi oleh
wisatawan (White, 2002: 146-147).
b.
Kepentingan
kebudayaan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk kepentingan
kebudayaan mencakup dua nilai yakni nilai estetika dan nilai publik.
Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada estetik adalah tetap
mempertahankan unsur estetika yang mencakup lukisan dinding dan keserasian
antara sumberdaya budaya dan lingkungannya. Sumberdaya budaya yang merupakan
penyusun nilai estetika tidak ditafsirkan hanya sebatas keindahan produk masa
lalu, tetapi juga peran dan fungsinya dalam konteks masyarakat sekarang.
Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada nilai publik adalah
menjadikan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai media/sarana pembelajaran
untuk generasi mendatang. Proses pembelajaran dalam arti luas tidak terbatas
hanya di ruang kelas tetapi juga mencakup pendidikan di luar sekolah.
Pendidikan di ruang kelas dilakukan setiap hari di sekolah, sedang cakupan
pendidikan di luar sekolah antara lain berupa kunjungan ke objek maupun praktek. Bentuk pemanfaatan
ini terkait dengan bentuk pemanfaatan pada nilai ilmu pengetahuan.
Dari sisi pariwisata, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae harus
direncanakan secara bersama oleh stakeholder sehingga dapat menciptakan
keadilan, baik peran dalam pelestarian maupun pemanfaatan. Perlu ada penyamaan
visi antara stakeholder bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan
sumberdaya yang mempunyai nilai ilmu pengetahuan yang tinggi sehingga dalam
pemanfaatannya aspek pelestarian harus menjadi kerangka kerja. Pelestarian
tidak sekedar melestarikan fisik, tetapi juga melestarikan nilai penting itu
sendiri.
Sebagai contoh bentuk pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai kebudayaan
dapat kita lihat pada pemanfaatan situs Petra di Yordania. Terletak di barat daya Yordania, ± 230 km selatan kota
Amman ibu kota Jordania Petra dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata dengan
nama Petra National Park. Masyarakat
berperan aktif dalam usaha pemanfaatan petra dengan cara berpartisipasi pada usaha pelayanan dalam
tingkat wisata mikro. Usaha penginapan dalam skala kecil hanya ditujukan untuk
masyarakat lokal. Begitu juga dengan masyarakat yang mempunyai rumah yang
berasitektur tradisional diarahkan untuk dijadikan sebagai penginapan yang khas
di Petra. Hal ini mendorong peningkatan standar hidup masyarakat serta
membangun kesadaran publik untuk mengapresiasi dan melindungi Petra (Najjar,
1997: 36-40). Bahkan situs Petra dijadikan sebagai pilot project penelitian bagaimana masyarakat dapat bertahan hidup
dengan sumberdaya air terbatas. Hasil penelitian menjadi rekomendasi untuk
mengatasi persoalan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan sumber air bersih,
serta menjadi solusi dalam pemanfaatan sumberdaya air oleh manusia demi menjaga
kestabilan ekosistem.
Salah satu
alternatif bentuk pemanfaatan yang dapat diterapkan di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae adalah menjadikan Kompleks Gua Prasejarah Bellae menjadi Laboratorium
alam. Sebagai laboratorium alam, Kompleks Gua Prasejarah Bellae berfungsi
sebagai pusat penelitian dari berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu
arkeologi. Ada berbagai alasan pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae
sebagai laboratorium alam. Pertama, pemanfaatan sebagai laboratorium alam
berarti memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sesuai dengan nilai
pentingnya yakni nilai ilmu pengetahuan.
Kedua, dalam penerapannya,
kegiatan penelitian di laboratorium alam dapat melibatkan masyarakat dalam
proses penelitian sehingga masyarakat dapat memahami sumberdaya budaya baik
bentuk, fungsi maupun proses penafsirannya. Ketiga, Kompleks Gua Prasejarah
Bellae memiliki data baik secara kuantitas maupun kualitas yang memungkinkan
untuk dilakukan penelitian baik arkeologi maupun disiplin ilmu lainnya.
Keempat, pemanfaatan sebagai laboratorium alam, dapat melibatkan masyarakat
dalam proses penelitian sebagaimana pelibatan masyarakat pada situs Mount
Vernon. Dengan demikian, proses pemberian pemahaman tentang pentingnya
sumberdaya budaya akan berjalan semakin efektif.
Dalam penerapannya, pemanfaatan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam tentunya mempunyai
konsekuensi-konsekuensi. Sebagai laboratorium alam, ada kesan pemanfaatan hanya
diperuntukkan oleh ilmuwan atau peneliti. Oleh karena itu, untuk tetap memberi
akses pada masyarakat luas perlu ada
penyediaan lahan tersendiri untuk dimanfaatkan sebagai museum terbuka yang
terbebas dari kegiatan penelitian arkeologis. Museum terbuka juga merupakan
pusat informasi yang berkaitan dengan Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan
berfungsi sebagai wahana pembelajaran bagi generasi muda. Berdasarkan pada
kualitas dan kuantitas sumberdaya arkeologi serta potensi lingkungannya, Leang Sakapao dan Leang Caddia mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai museum
terbuka. Hal ini juga untuk lebih memfokuskan jenis pemanfaatan pada Leang
tersebut yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan BP3 Makassar menjadi
pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai penting kebudayaan.
Dengan demikian, pemanfaatan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang menggabungkan antara laboratorium alam dan
museum terbuka dapat mencerminkan dan tetap mempertahankan nilai penting yang
terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berbagai kepentingan stakeholder
dapat terakomodasi baik untuk kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik
yang dapat mewakili berbagai kepentingan stakeholder yang terkait sehingga
potensi konflik dapat dimiminalisir. Peluang pemanfaatan sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya, dimungkinkan untuk menerapkan bentuk pemanfaatan berupa
laboratorium alam dan museum terbuka.
2.
Model Pengelolaan
Untuk melaksanakan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang efektif,
akomodatif dan berkelanjutan, maka perlu ada koordinasi antara stakeholder
terkait. Stakeholder harus bersama-sama menentukan kebijakan pemanfaatan dan
menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka. Jika selama ini kebijakan
pelestarian dan pemanfaatan menjadi otoritas negara, saatnya kebijakan
pelestarian dan pemanfaatan tidak lagi
diputuskan sepihak oleh instansi pemerintah, tetapi perlu mengakomodasi
kepentingan stakeholder
yang lain sehingga pemanfaatan bisa bermanfaat bagi semua pihak. Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak lagi
dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian semata menurut perspektif negara,
tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjalankan pengelolaan yang akomodatif dan berkelanjutan secara
operasional, maka perlu dibentuk lembaga pengelola. Sebagai lembaga yang
bertujuan menegosiasikan kepentingan stakeholder, maka anggota lembaga bersama
merupakan wakil-wakil dari stakeholder yakni BP3 Makassar, Dinas Pariwisata
Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan Kabupaten Pangkep, Pemerintah setempat,
akademisi, organisasi pencinta alam, dan masyarakat. Selain stakeholder
tersebut, lembaga ini juga beranggotakan LSM yang bergerak baik di bidang
pelestarian budaya maupun yang bergerak di bidang lingkungan. Peran LSM ikut mengontrol pemanfaatan kompleks gua
prasejarah Bellae sehingga pemanfaatan tersebut bersifat berkelanjutan tidak bersifat
eksploitatif. LSM juga diharapkan dapat menyuarakan kepentingan masyarakat yang
selama ini tidak pernah terlibat dalam pemanfaatan kompleks gua prasejarah
Bellae.
Melihat beragamnya kepentingan dari anggota lembaga bersama tersebut,
langkah awal yang harus dilakukan oleh lembaga bersama adalah menyamakan visi
tiap stakeholder. Penyamaan visi sangat penting untuk lebih memudahkan
menegosiasikan kepentingan sehingga rencana pemanfaatan yang dihasilkan dapat
mengakomodasi kepentingan semua stakeholder. Tugas utama lembaga bersama itu
sendiri adalah membuat rencana stategis, implementasi, monitoring dan evaluasi
sebagaimana langkah kerja CRM.
Rencana strategis yang berdasarkan pada nilai penting, peluang dan hambatan
pengelolaan mencakup strategi pelestarian, strategi pemanfaatan dan strategi lain
yang dianggap perlu. Selanjutnya mengimplementasikan rencana strategi tersebut
dan memonitoring pelaksanaannya.
Pada tataran implementasi, setiap stakeholder melaksanakan perannya sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya. Jika selama ini peran pelestarian hanya
dilakukan oleh BP3 Makassar, maka dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah
Bellae merupakan tanggung jawab bersama stakeholder. Dinas Pariwisata tidak
sekedar memanfaatkan, tetapi juga melestarikan. Peran masyarakat tidak sebatas
memberikan usulan dalam penyusunan rencana strategis, tetapi mencakup
pelestarian dan ikut menikmati hasil dari pemanfaatan. Organisasi pencinta alam
tidak hanya mencintai alam dan, memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tetapi juga melestarikan
sumberdaya budaya.
Agar saat implementasi dari
rencana strategis berjalan sesuai dengan rencana dan tidak keluar dari koridor
kesepakatan, serta tetap memperhatikan aspek pelestarian, maka perlu ada
monitoring atau pengawasan. Pengawasan ada dua macam yakni pengawasan secara internal
dan pengawasan secara eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh
pengelola Kompleks Gua Prasejarah sendiri, dan pengawasan eksternal dilakukan
oleh akademisi dan LSM. Pengawasan diperlukan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Berangkat dari pemikiran bahwa
pemanfaatan sumberdaya budaya disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat,
maka tidak tertutup kemungkinan kepentingan stakeholder pada suatu saat akan
berubah sesuai perkembangan jaman. Pemaknaan masyarakat tentang kompleks gua
prasejarah Bellae tentunya akan ikut berubah. Oleh karena itu, rencana
strategis pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae harus merupakan proses
dinamis dan bukan sebagai produk final. Sebagai sebuah proses, maka pelaksanaan
rencana strategi akan dievaluasi bersama oleh stakeholder dengan melihat sisi
positif dan negatifnya. Penilaian kembali terhadap kompleks gua prasejarah
Bellae harus dilakukan untuk melakukan perencanaan kembali sesuai dengan
konteks sosial masyarakat.
Dengan demikian, model pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae yang diajukan akan mampu menjaga kelestarian
sumberdaya arkeologi, tidak bersifat eksploitatif dan berkelanjutan. Model
pemanfaatan sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya pada tataran
konsep. Menyangkut pelaksanaan konsep pada tataran aplikatif merupakan
tanggungjawab stakeholder lewat lembaga bersama yang diusulkan. Jika dalam
perkembangan selanjutnya model ini berhasil pada tahap pelaksanaan, maka konsep
ini bisa dijadikan rujukan dan dapat diadaptasi untuk pemanfaatan sumberdaya
arkeologi yang sejenis.
3.
Penutup
Tingginya nilai penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae tentunya harus
dipertahankan dan dilestarikan untuk kepentingan bersama saat ini maupun untuk
kepentingan generasi selanjutnya. Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah tentunya
harus tetap mengacu pada nilai penting sehingga sehingga pemanfaatan Kompleks
Gua Prasejarah Bellae tidak bersifat eksploitatif yang bahkan dapat menurunkan
bahkan menghilangkan nilai penting tersebut. Pemanfaatan bukan berdasarkan satu
kepentingan tertentu, tetapi harus mencakup berbagaai kepentingan stakeholder
yang terkait.
Oleh karena itu, dalam upaya pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae
perlu ada suatu konsep pemanfaatan dalam kerangka Cultural Resource Management (CRM). Perlu ada kesamaan visi dari
tiap stakeholder bahwa pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae bukan hanya
pada aspek kebendaan saja tetapi mencakup
nilai penting yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pemanfaatan
yang dapat menjembatani kepentingan stakeholder yang terkait, serta pemanfaatan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya tulisan ini hanya
sebatas memberi konsep dasar pengelolaan dan rekomendasi pemanfaatan Kompleks
Gua Prasejarah Bellae. Pengembangan selanjutnya yang sesuai dengan tuntutan
serta teknis pelaksanaan menjadi wewenang dari stakeholder yang terkait. Konsep
dasar yang diajukan tidak tertutup kemungkinan suatu saat perlu dievaluasi
kembali sesuai dengan tuntutan kepentingan tiap stakeholder. Selalu perlu ada
penyesuaian-penyesuaian antara konsep pemanfaatan dengan konteks sosial
masyarakat. Dengan demikian pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae adalah
pemanfaatan dalam kerangka pelestarian, berkelanjutan dan tetap memperhatikan
keselarasan lingkungan serta daya dukung sumberdaya budaya.
[1] Bulu merupakan
bahasa Bugis yang berarti gunung. Dalam bahasa Bugis istilah bulu mencakup istilah gunung dan bukit. Dalam tulisan ini, penggunaan kata bulu untuk menyebut Bulu Matojeng dan Bulu Matenre
lebih mengarah pada istilah bukit.
Sumber:
No comments:
Post a Comment