Pages

Sunday, November 9, 2014

Kerohaniaan Masyarakat Indonesia Pada Zaman Pra Sejarah

Kerohaniaan Masyarakat Indonesia Pada Zaman Pra Sejarah

Oleh: Zaenal Abidin




Seperti yang diketahui oleh banyak orang, masyarakat Indonesia di jaman pra sejarah adalah masyarakat yang masih primitive dan kerpercayaan atau kerohanian masyarakat nusantara masih sangat mistis, doktrin dan pengetahuan seperti ini tumbuh dan mengakar kuat di kalangan anak bangsa. Para ahli sejarah umumnya berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam hal ini Indonesia adalah kawasan ‘pinggir’ dalam sejarah peradaban manusia. Dengan kata lain, peradaban Asia Tenggara bisa maju dan berkembang karena imbas-imbas migrasi, perdagangan, dan efek-efek yang disebabkan peradaban lain yang digolongkan lebih maju seperti Cina, India, Mesir, dan lainnya. Akibatnya, orang Indonesia tidak lagi bangga akan bangsanya sendiri. Mereka menganggap bahwa negerinya adalah negeri yang terbelakang dan selalu terbelakang.

Cara pandang dan anggapan seperti ini memang sangat berhasil dibentuk oleh orang-orang barat utamanya Zionisme, agar bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini tidak paham akan sejarahnya. Jika tidak paham tentu tidak ada rasa bangga dan bersyukur ditakdirkan oleh Allah swt hidup di bumi Nusantara Indonesia ini.

Memang, dalam hal penulisan sejarang bangsa ini, kita lebih banyak membebek kepada para penulis sejarah barat yang secara mayoritas menggambarkan betapa rendahnya taraf peradaban dan kebudayaan bangsa ini. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, orang-orang di negeri ini, baik itu orang cerdik-pandainya, apalagi orang awam begitu tergiur dan membabi buta mengikuti setiap argument atau pun pendapat dari sejarawan barat yang kebanyakan selalu memandang bahwa bangsa ini adalah bangsa yang rendah tingkat kebudayaan dan peradabannya. Akan tetapi alhamdulillah masih ada orang barat yang benar-benar murni ilmuwan, yang menilai berdasarkan keilmuan dan objektivitas, bahwa bangsa ini adalah keturunan bangsa besar, bahkan nusantara Indonesia ini adalah tempat lahirnya peradaban dunia. Seperti Prof. Arysio Santos pengarang buku, Atlantis, The Lost Continent Finally Found; Eden in The East karya dari Profesor Oxford, Stephen Oppenheimer dan juga Dick Heart yang dalam edisi Indonesia berjudul Penjelajah-Penjelajah Bahari.

Dalam buku Eden in The East setebal 814 halaman, yang merupakan karya dariStephen Oppenheimer berteori kalau bahasa manusia modern berawal dari kawasan Asia Tenggara. Saat benua Sundaland tenggelam ketika es mencair, para penduduk Sundaland yaitu Indonesia dan sekitarnya berimigrasi ke berbagai belahan dunia. Mereka bertebaran di muka bumi 8.000-6.000 tahun lalu. Para penduduk Sundaland membawa bahasa mereka yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa dunia yang ada sekarang. Oppenheimer mengatakan, ada semacam anomali dalam pohon percabangan kelompok bahasa di dunia, dan itulah kelompok bahasa Austronesia. Inilah bahasanya orang Indonesia dan orang Oseania. Ada garis tegas yang membedakan bahasa mereka dengan bahasa di belahan dunia lain.

Diduga, inilah bahasa purba yang tetap lestari sampai hari ini, ilmuwan menyebutnya Paleo-Hesperonesia. Menurut ilmuwan, ada 30 bahasa di Indonesia dan juga Malaysia yang masuk keluarga ini. Di Indonesia misalnya, ada bahasa-bahasa yang ilmuwan pun bingung memasukkan mereka ke kelompok mana. Hanya faktor geografis yang membuat mereka masuk keluarga Austronesia.

Sebut saja bahasa Gayo, Batak, Nias, Mentawai, Enggano. Ilmuwan enggan memasukkan mereka ke keluarga bahasa Melayu karena memang berbeda. Bahasa Dayak Kayan, Kenyah dan Mahakam di Kalimantan juga berbeda. Sementara di Indonesia timur ada Bajo yang juga unik di Laut Sulu, Filipina Selatan. Mereka ini adalah para petualang. Sebut saja orang Bajo yang gemar berlayar ke Flores, sehingga ada daerah bernama Labuhan Bajo. Oppenheimer menilai, ketika bangsa-bangsa dari kawasan ini menyebar, bahasa mereka pun berubah. Namun bahasa di tempat asal mereka tetap lestari sampai hari ini.

Beliau juga menduga budaya tanam padi datang dari Asia Tenggara dan menyebar ke CinaSoalnya, situs arkeologi di China terkait penanaman padi ada di tepi sungai Yangtze sekitar 7.000 tahun silam, atau lebih muda sekitar 2.000 tahun.Oppenheimer menggabungkan pendapat sejumlah ilmuwan lain serta dihubungkan dengan temuan arkeologi berupa beras di dalam tembikar. Dia berpendapat masuk akal kalau masyarakat Asia Tenggara lebih mudah membudidayakan padi dari pada orang China, karena berada di iklim tropis. Peneliti yang juga pakar genetika ini pun mencoba membuat simulasi tersebarnya budaya tanam padi. Situs tertua untuk bukti pertanian berumur 5.150 tahun di Gua Sireh, Serawak, Malaysia. Lalu bergeser ke Ulu Leang di Sulawesi Selatan 5.100 tahun lalu. Dari sini budaya pertanian bergerak dua arah. Ada yang ke utara yaitu ke gua Rabel di Luzon, Filipina, 4.850 tahun lalu. Ada juga yang bergerak ke selatan, yaitu ke Uai Bobo di Timor Leste 4.100 tahun lalu.

Lantas, bagaimana menjelaskan orang Asia Tenggara menyebarkan budaya tanam padi ke India? Oppenheimer mengaitkannya dengan kenaikan air laut pada akhir Zaman Es, 8.500 tahun lalu. Saat itu, daratan antara Sumatera dan Malaysia berubah menjadi Selat Malaka. Lewat jalur laut, tersebarlah padi dari kawasan Sumatera dan semenanjung Malaysia ke India. Masyarakat India pun mulai menanam padi sekitar 5.000 tahun silam.

Dalam buku karangannya Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, Oppenheimer mengungkapkan penelitiannya terhadap DNA berbagai bangsa di dunia termasuk Indoneia. Pakar genetika ini memang pernah menjadi dokter keliling di sejumlah negara di Asia Tenggara.

Nah, saat menjadi dokter untuk mengobati anemia di Papua Nugini, Oppenheimer menyadari kalau suku-suku dengan bahasa yang sama, mempunyai ciri DNA yang sama pula walaupun mereka tersebar luas di Papua.

Oppenheimer lantas menduga penyebaran manusia di akhir Zaman Es, mungkin akan meninggalkan jejak DNA yang sama. Oppenheimer lantas mengelaborasi penelitian serupa dari sejumlah ilmuwan lain. Dia mencari yang dia sebut DNA ‘Eva’ alias DNA nenek moyang kita yang perempuan (induk). Caranya dengan merunut DNA manusia modern.

DNA orang di Papua kehilangan apa yang disebut ‘pasangan 9 basa (9-bp)’. Karakter DNA ini disebut motif Polinesia yang diperkirakan sudah ada sejak 17.000 tahun lalu. DNA ini tersebar ke arah kepulauan Pasifik tapi juga dimiliki oleh orang Indonesia Timur selain Papua, yaitu orang Maluku, Ternate, Flores dan Timor. Nah, orang Indonesia Barat tidak punya motif Polinesia.

Namun DNA dengan karakter 9-bp serupa rupanya muncul jauh di luar Indonesia. Sejumlah gugus DNA maternal Asia Tenggara ini muncul di India Selatan yang berbeda dengan India Utara. Bahkan DNA orang Swedia dan Finlandia menunjukkan ciri serupa.

Oppenheimer pun berteori, manusia Asia Tenggara ini berimigrasi sampai India Selatan pada akhir Zaman Es dari benua Sundaland yang tenggelam. Mereka terus menembus Asia Tengah, bahkan sampai ada yang ke Eropa. Jika argumen ini Anda pikir tidak masuk akal, anda bisa melihatnya pada ilustrasi gambar yang diberikan Oppenheimer dibukunya nanti. Kapak perunggu dari Danau Sentani, Papua ternyata mirip dengan kapak Galstad, Swedia berumur 800 tahun SM.

Tak jauh berbeda dengan Prof. Oppenheimer, Prof. Arysio Santos dalam bukunya, Atlantis, The Lost Continent Finally Found juga menguatkan bahwa Indonesialah tempat lahirnya peradaban dunia. Bahkan secara tegas beliau mengatakan bahwa lokasi Atlantis sebenarnya yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu, yang sering diklaim oleh bangsa-bangsa di dunia ini adalah Nusantara Indonesia.Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. 


Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah  Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 30 tahun.


Profesor Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

I. Kepercayaan Masyarakat Nusantara Pada Zaman Pra Sejarah
Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhahan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oleh bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks ke-budayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:

1. “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu
Prof. Dr. Purbatjaraka seorang ilmuwan, budayawan dan juga pakar sastra jawa mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).

Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).

J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Peran-cis pendahulunya, yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan sebagainya, dimana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi. Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI.

Selanjutnya, kekuatan Yang Maha tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah” (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang puncaknya bersaju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan danawa).

Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri (abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.

Yang jelas sebagai generasi muda mau tidak mau kita harus belajar dan memehami sejarah bangsa kita ini. Jangan sampai kita terus membebek dengan barat. Ingat sudah ada banyak ilmuwan yang berdasarkan keilmuwan pula mereka mengatakan bahwa Indonesia adalah tempat lahirnya peradaban dunia. Bangsa ini bukan berasal dari bangsa kerdil, namun merupakan bangsa dari keturunan awal pembentuk peradaban dunia. Maka tugas kita sekarang untuk melanjutakan penelitian-penelitian dari ilmuawan-ilmuwan yang secara tidak langsung, meskipun dia bukan orang Indonesia, akan tetapi sangat mencintai Indonesia seperti Prof. 

Santos misalnya yang tetap berpegang teguh bahwa Atlantis adalah Indonesia, bukan yang lain. Padahal seperti kita tahu bahwa Negara asal beliau adalah Brazil. Dan orang-orang Brazil sendiri mengklaim bahwa Atlantis adalah negeri mereka itu.
Masihkah kita tidak bersyukur dan bangga ditakdirkan oleh Allah swt lahir, hidup dan mati, insya Alah di Indonesia??? Yang merupakan tempat tempat awal peradaban dan kebudayaan dunia, bahkan tempat manusia pertama ada??? Masihkah kita tidak bersyukur ditakdirkan oleh Allah sebgai mukmin-muslim yang hidup di negeri yang keindahan alam dan kekayaannya sangat luar biasa ini???? Semoga kita semakin tercerahkan dan sadar bahwa sebagai warga Indonesia harus bangga dan terus berusah bangkit dari keterpurukan yang kini melanda bangsa ini. Ingat bangsa ini adalah bangsa besar!!!!


Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/29/kerohaniaan-masyarakat-indonesia-pada-zaman-pra-sejarah-391847.html

No comments:

Post a Comment