Pages

Sunday, November 9, 2014

Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa

Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa

Perdebatan tentang ”piramida Sadahurip” memasuki babak baru. Tak kurang dari 200 ilmuwan dan tokoh masyarakat berkumpul di Sekretariat Negara untuk menghadiri gelar penjelasan tentang ”bangunan bersejarah di Gunung Sadahurip, Garut, dan Gunung Padang, Cianjur”, Selasa, 7 Februari lalu.
Acara yang diselenggarakan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana ini adalah fenomena menarik. Kontroversi ada tidaknya piramida buatan manusia di bawah Sadahurip yang semula hanya berada di ranah publik dan ”akademis” rupanya kini telah dibawa masuk ke ranah politik, terutama politik identitas. Hal ini dapat terjadi ketika konstruksi pengetahuan akademis diharapkan dapat dipakai sebagai legitimasi jati diri dari suatu komunitas atau rezim.
Secara akademis, wacana ”piramida Sadahurip” sebenarnya bukan masalah besar. Kontroversi dapat segera mendapat penjelasan jika pemerintah mau memfasilitasi kerja multidisiplin. Dengan melibatkan pakar kompeten dan dukungan teknologi memadai, hanya dalam beberapa bulan kepastian tentang keberadaan piramida itu dapat diperoleh. Masalahnya justru menjadi panjang ketika politik identitas mulai ikut mewarnai wacana ini.

Politik identitas

Temuan ”piramida” yang dikatakan mirip Piramida Giza di Mesir tetapi lebih tua itu (6.000 tahun lalu) diharapkan dapat membuktikan tingginya peradaban ”Indonesia” jauh sebelum ada peradaban lain di muka bumi ini. Dengan begitu, temuan ”piramida” ini akan mengangkat citra jati diri bangsa ini.

Harapan ini menjadi cocok ketika orang ingat hipotesis Stephen Oppenheimer. Dalam bukunya Eden in the East (1998) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dokter ahli genetika ini menyatakan bahwa Paparan Sunda merupakan tempat asal peradaban dunia. Oppenheimer membayangkan, pada akhir Zaman Es telah terjadi setidaknya tiga kali banjir besar yang menenggelamkan Paparan Sunda sehingga terbentuk kepulauan Nusantara yang sekarang.
Gagasan yang sama pernah digaungkan oleh Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis-The Lost Continent Finally Found (2005). Sebagai akibatnya, penduduk Paparan Sunda yang ketika itu sudah memiliki peradaban tinggi terpaksa bermigrasi ke berbagai penjuru dunia: Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur, dan juga Pasifik. Di daerah baru itu, mereka lalu mengembangkan peradaban baru yang memicu munculnya peradaban besar, antara lain di Mesir, Mesopotamia, India, China, dan Jepang.
Di Kepulauan Pasifik, para migran itu menjadi penghuni awal dan perintis peradaban. Hipotesis ”Atlantis” ini memang dibalut dengan penyajian yang menawan dan sederet bukti yang tampaknya kuat, termasuk genetika, mitos, dan geologi.
Dalam konteks politik identitas, hipotesis ”Atlantis” yang menobatkan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia itu tentu dianggap amat strategis. Bahkan, ada yang menafsirkan Sundaland sebagai ”tanah Sunda”. Maka, kalau benar ada piramida di Jawa Barat, ditambah lagi dengan teras batu berundak di Gunung Padang, Cianjur, cocoklah kedua hal itu sebagai bukti kebenaran hipotesis Atlantis itu. Karena itu, perlu diupayakan agar ”piramida” itu benar-benar ada!
Rupanya, pesan ini yang ingin diyakinkan kepada masyarakat. Dengan cara pikir ini, kiranya tidak sulit melihat benang merah antara gelar ”piramida Sadahurip” di Sekretariat Negara dan audiensi Oppenheimer, yang diantar sejumlah ilmuwan dan petinggi negara, dengan Presiden RI.

Bias pengetahuan

Lalu, mengapa hal ini terjadi? Ada tiga hal yang dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama adalah ada bias dalam konstruksi pengetahuan masyarakat. Ini terkait dengan industri buku yang tidak terkendali. Demi profit besar, yang diterjemahkan dan beredar di masyarakat hanya buku impor yang laris. Genre buku ”sejarah” populer seperti Da Vinci Code karya Dan Brown, 1421 dan 1434 (tentang Zheng-He) karya Gavin Menzies, dan Atlantis karya Arysio Santos itulah yang mengonstruksi pikiran masyarakat umum.

Padahal, sering kali buku seperti ini ”mengecoh” pikir. Pembaca akan mudah mendapat kesan buku itu ilmiah karena datanya meyakinkan, tetapi sebenarnya tidak. Dalam arkeologi, karya seperti ini disebut pseudo-archaeology. Di sisi lain, masyarakat tidak mudah mengakses tinjauan kritis atas karya-karya itu. Jarang ada resensi yang cukup berbobot tentang buku-buku itu kecuali di jurnal-jurnal yang sulit diakses publik. Akibatnya, ada bias pengetahuan dalam masyarakat. Seakan pendapat para penulis itu sudah benar.
Oppenheimer memang ilmuwan andal dalam bidang genetika, tetapi bukunya Eden in the East tidak cukup dipandang dalam kajian sejarah budaya dunia. Rekonstruksi arkeologis, linguistik, dan geologinya kurang meyakinkan. Buku ini telah mengundang kritik sejak diterbitkan (a.l. Bellwood, 2000). Resensi buku ini pernah dimuat di Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada pada 2003. Tafsiran data genetika hipotesis Atlantis pun pernah diperdebatkan di Indo-Pacific Prehistory Association di Taiwan pada 2002. Sayangnya, tinjauan-tinjauan kritis ini jarang sampai di masyarakat sehingga pengetahuan yang ada di masyarakat menjadi bias.
Penjelasan kedua berkaitan dengan kondisi budaya di Indonesia. Memang kini kita telah menjadi masyarakat modern. Hanya saja, modernitas itu baru menyentuh tataran sosial dan teknologi. Itu terbukti dari penggunaan teknologi maju, gaya hidup, konsumsi tinggi, dan pergaulan dunia. Namun, kita belum mencapai modernitas ideologis (cara pikir rasional) sehingga kita tidak mampu berpikir kritis.
Sebaliknya, kita masih mudah dikuasai oleh pikiran mitis, rumor, dan isu tak jelas. Tendensi konsumerisme yang tinggi adalah bukti pikiran mitis yang mudah ”terhasut” oleh iklan yang menciptakan mitos-mitos modernitas. Karena itu, tidak heran jika jati diri bangsa yang kini hendak dibangun masih berdasarkan pengetahuan mitis atau di-mistifikasi-kan.

Kehilangan jati diri

Penjelasan lain soal kontroversi ”piramida Sadahurip” adalah gejala millenarisme, atau cargo-cult, yang menginginkan kembalinya kebahagiaan dan kejayaan masa lalu. Gejala ini umumnya muncul di tengah masyarakat yang sedang goyah menghadapi perubahan zaman dan ketidakpastian hidup. Masyarakat akan lari pada bayang-bayang kehidupan di masa silam yang penuh dengan kejayaan. Kalau itu tidak dapat dialami lagi secara fisik, hal itu dilakukan hanya dalam pikiran (mitis). Ini adalah cermin masyarakat yang frustrasi dan kehilangan jati diri di tengah tataran pikir yang masih mitis. Itulah yang kini sedang terjadi di Indonesia.

Kalau kita mau becermin dari kasus ini, sesungguhnya kita harus malu dengan diri kita. Niatnya, menemukan jati diri bangsa yang luar biasa hebat. Namun, kenyataan menunjukkan, bangsa ini telah kehilangan jati diri dan sedang mencari jati diri. Sayangnya, cara-cara yang digunakan masih beralaskan pikiran mitis.


Oleh: Daud Aris Tanudirjo
Sumber: kompas.com
http://arkeologi.web.id/articles/wacana-arkeologi/2342-piramida-atlantis-dan-jati-diri-bangs
a

No comments:

Post a Comment