Pages

Tuesday, May 27, 2014

GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (1)

GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (1)

Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera

Posted: 18 Sep 2011

HANDOUT

Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan 4 fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Tim peneliti dipimpin Prof DR Truman Simanjuntak dengan anggota 10 orang tersebut memulai penelitian secara intensif sejak tanggal 14 hingga 28 Febrauri 2009. Foto ini dirilis pada jumpa pers di Pendopo Kabupaten OKU, Rabu (4/3/2010) malam.
 
Daun dan semak di sepanjang jalan setapak menuju perbukitan karst itu masih basah oleh embun pagi. Kokok ayam dari kampung terdekat terdengar kian sayup. Di pertigaan jalan setapak yang licin itu, ketika jalan mulai menanjak, dua anggota rombongan memutuskan berpisah.Pindi dan Fadhlan sudah ditunggu penunjuk jalan yang akan membawa mereka ke satu ceruk gua di bukit sebelah timur. Dua hari sebelumnya diperoleh dari seorang penduduk penjaga sarang walet tentang keberadaan beberapa gua yang diduga menyimpan jejak hunian manusia, jauh di masa lampau.
 
"Tengah hari nanti kami akan menyusul ke Gua Harimau," kata Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), yang juga ahli lukisan gua prasejarah.
Fadhlan S Intan, geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), hanya berpesan kepada Nurhadi Rangkuti—Kepala Balai Arkeologi Palembang yang baru bergabung dengan tim sehari sebelumnya—agar berhati-hati menapaki jalan licin menuju Gua Harimau. "Licin, terjal, dan banyak pacet," kata Fadhlan setengah berteriak, sebelum 'menghilang' di tikungan jalan menanjak yang bersemak perdu.
Temuan istimewa 
Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan memang menggunakan kata "gua" (juga dalam pelafalannya, seperti juga tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan "goa" (istilah yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku sehingga seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.
 
Disebut Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan.
 
Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat lukisan prasejarah.
 
Terkait keberadaan lukisan gua (art rock) itu, Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, bahkan menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler. Anggapan disampaikan karena selama ini ada semacam keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia bagian timur.
 
"Akan tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia Tenggara," kata Truman Simanjuntak.
 
Sebelumnya, dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi oleh tim Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perancis untuk Pembangunan atau Institut de Recherche pour le Developpement (IRD) pada awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang menyimpan lukisan gua. Temuan yang diperolah hanya jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9.000-2.000 tahun lalu.
 
Baru pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai lukisan prasejarah.
 
Sementara dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas lapisan tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka manusia. Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau adalah ras Mongoloid.
 
Dua jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada khususnya dan Sumatera pada umumnya.

Sang pendahulu 
Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah sepertiPithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensis sebagai bagian dari Homo erectus—yang populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.
 
Ras Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap evolusi berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu hal itu dalam wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.
 
Sisa-sisa gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua, menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.
 
Oleh karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat bahwa kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4.000-3.500 tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang bangsa ini.
 
"Mereka adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang," kata Truman Simanjuntak. "Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau termasuk para penghuni awal manusia di Sumatera," kata Harry Widianto.
 
Kenyataan ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran ke-"bhinekatunggalika"-an kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di Nusantara, tiap kelompok beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda sehingga lambat laun melahirkan keragaman fisik dan budaya. Selanjutnya terjadi apa yang kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural dan multikultur.
 
"Inilah hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar belakang keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai pada kehidupan masa depan," ujar Truman Simanjuntak.
Jadi? Mari terus kita rajut Nusantara!

Posted: 18 Sep 2011

PUSLIT ARKENAS/HANDOUT

Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
 
Hingga lepas tengah hari, Pindi dan Fadhlan belum juga muncul. Sejak berpisah di jalan setapak yang licin di bawah bukit, saat embun pagi masih menempel di daun-daun kopi, pencarian mereka untuk mengeksplorasi jejak peradaban prasejarah di perbukitan karst itu belum juga berakhir. Pindi Setiawan adalah ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), sedangkan Fadhlan S Intan adalah seorang geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Hari itu, Pindi dan Fadhlan berniat mengeksplorasi sejumlah ceruk di tebing-tebing perbukitan karst di kawasan Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
 
Sementara itu, arkeolog Nurhadi Rangkuti sudah bersiap-siap turun dari ceruk di sisi timur bukit. Di sana, di ceruk besar yang tersembunyi di antara rimbun pepohonan tinggi menjulang, yang oleh penduduk sekitarnya dikenali sebagai Gua Harimau, tim dari Puslit Arkenas masih terbenam dalam kegiatan masing-masing.
 
Beberapa peneliti melanjutkan pendataan dan pemetaan hasil temuan di 10 kotak ekskavasi. Sejumlah tenaga lokal mulai memotong-motong papan yang khusus didatangkan dari desa terdekat, Padang Bindu, untuk dijadikan kotak penutup belasan rangka manusia purba yang ditemukan selama ekskavasi pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanah.
 
Sedikitnya 18 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam proses penggalian itu memang harus didokumentasikan sebelum lubang-lubang galian (masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter) yang memanjang membentuk huruf L tersebut dipendam kembali ke perut bumi. Selain sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar.
 
Namun, kekhawatiran yang paling dirisaukan justru menyangkut keberadaan sejumlah "lukisan" prasejarah yang ditemukan di dinding dan langit-langit gua. Kakhawatiran itu sangat beralasan. Baru setahun setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun berikutnya (20 September-3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah muncul torehan baru oleh tangan-tangan jahil manusia masa kini.
 
Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih sangat sederhana. Hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa lingkaran konsentris bersusun tiga. Beberapa di antaranya berbentuk seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.
 
Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud hewan atau aktivitas manusia, misalnya. Keragamannya pun tidak sekaya motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan. Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, baru sebatas menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan nonfiguratif.
 
Akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi. Selain merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera (dan Jawa), temuan ini sekaligus bisa mematahkan pandangan lama atas zona sebaran lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara.
 
Lebih dari itu, dikaitkan keberadaan sisa-sisa rangka manusia berikut tradisi yang mereka bangun di kawasan ini, teori migrasi ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang mereka bawa dari daratan Asia—sebelum akhirnya menyebar ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi—juga bisa berubah.
 
Masih misteri 
Ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langit-langit pojok timur laut gua, lukisan berwarna merah-kecoklatan itu dibuat menggunakan oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat di kawasan ini. Namun, hingga sejauh ini tim peneliti belum berani membuat kesimpulan sementara terkait fungsi dan makna guratan yang tertera di sana.
 
"Kemungkinannya banyak, tetapi satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa keberadaan gambar-gambar di Gua Harimau pasti terkait ritual tertentu. Ini bisa dilihat dari keletakan gambar dan keberadaan temuan rangka manusia yang ada di sana," kata Pindi.
 
Ahli komunikasi visual yang telah bertahun-tahun mendalami fenomena lukisan gua (Pindi sendiri menghindari penggunaan istilah lukisan ataupun seni untuk terjemahan rock art, ia lebih memilih istilah "gambar cadas") ini menduga, tiap gambar yang ada di Gua Harimau dibuat untuk upacara tertentu dan hanya dipahami oleh si pembuatnya. Artinya, anggota yang terlibat dalam ritual itu pun sesungguhnya tidak mengetahui makna gambar tersebut.
 
Mengingat masyarakat prasejarah belum mengenal konsep tentang huruf, gambar cadas adalah suatu sarana bagi mereka untuk berkomunikasi melalui rupa. Konsep ini tentu berbeda pada mereka yang sudah mengenal aksara (apa pun bentuknya), tetapi mencoba mengomunikasikan ide dan gagasannya melalui lukisan, misalnya. Begitu pun logika komunikasinya. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ciri utama komunikasi pada umumnya adalah adanya pola yang berulang.
 
"Pola berulang itulah yang diwujudkan pada gambar cadas, yang kemudian pola informasi yang diguratkan pembuatnya itu akhirnya dipahami manusia prasejarah lainnya pada masa itu," ujar Pindi.
 
Seperti gambar cadas pada umumnya, keberadaan gambar-gambar prasejarah di Gua Harimau pun diyakini mengandung imaji-imaji yang mewakili pesan tertentu. Hanya saja, dari bentuk yang terpapar, Pindi menduga jenis imaji yang ditorehkan pada dinding dan langit-langit Gua Harimau lebih bersifat spontan. Bentuknya tidak mewakili apa yang dilihat mata (imaji mimetis), juga tidak merujuk pada apa yang dikhayalkan orang ataupun mencerminkan suatu konsep yang ada di benak.
 
Namun, apa pun bentuk dan seribu kemungkinan makna yang bisa ditafsir dari garis-garis merah kecoklatan itu, suatu cerita sudah diguratkan oleh para pendahulu kita: nenek moyang bangsa ini!

Posted: 18 Sep 2011

PUSLIT ARKENAS/HANDOUT

Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
 
Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia. Temuan ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
 
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang tidak mengenal tradisi lukisan gua.
 
"Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera (barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya harus direvisi lagi," kata Truman Simanjuntak.
 
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
 
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
 
"Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya," kata Pindi.
 
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran (intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu, gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
 
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun oleh masyarakat berbudaya tulis.
 
Itulah "suara" dari masa silam. "Suara" yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini.

Sumber: http://www.obbrow.info/
http://radendasun.blogspot.com/2012/05/gua-harimau-di-padang-bindu-1.html

No comments:

Post a Comment