GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (1)
Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera
Posted: 18 Sep 2011
HANDOUT
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan 4 fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Tim peneliti dipimpin Prof DR Truman Simanjuntak dengan anggota 10 orang tersebut memulai penelitian secara intensif sejak tanggal 14 hingga 28 Febrauri 2009. Foto ini dirilis pada jumpa pers di Pendopo Kabupaten OKU, Rabu (4/3/2010) malam.
Daun dan semak di sepanjang jalan setapak menuju perbukitan karst itu
masih basah oleh embun pagi. Kokok ayam dari kampung terdekat terdengar
kian sayup. Di pertigaan jalan setapak yang licin itu, ketika jalan
mulai menanjak, dua anggota rombongan memutuskan berpisah.Pindi dan
Fadhlan sudah ditunggu penunjuk jalan yang akan membawa mereka ke satu
ceruk gua di bukit sebelah timur. Dua hari sebelumnya diperoleh dari
seorang penduduk penjaga sarang walet tentang keberadaan beberapa gua
yang diduga menyimpan jejak hunian manusia, jauh di masa lampau.
"Tengah hari nanti kami akan menyusul ke Gua Harimau," kata Pindi
Setiawan, ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), yang juga ahli lukisan gua
prasejarah.
Fadhlan S Intan, geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), hanya berpesan
kepada Nurhadi Rangkuti—Kepala Balai Arkeologi Palembang yang baru
bergabung dengan tim sehari sebelumnya—agar berhati-hati menapaki jalan
licin menuju Gua Harimau. "Licin, terjal, dan banyak pacet," kata
Fadhlan setengah berteriak, sebelum 'menghilang' di tikungan jalan
menanjak yang bersemak perdu.
Temuan istimewa
Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau,
itu pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta
penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan
kalangan ilmuwan memang menggunakan kata "gua" (juga dalam pelafalannya,
seperti juga tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan
"goa" (istilah yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku
sehingga seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk
menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.
Disebut Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah
menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng
perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di
jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai
kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke
Sungai Ogan.
Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang
diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para
ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi
sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat
lukisan prasejarah.
Terkait keberadaan lukisan gua (art rock) itu, Truman
Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, bahkan
menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler. Anggapan disampaikan
karena selama ini ada semacam keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di
bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya
lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan
tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia
bagian timur.
"Akan tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan
mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia
Tenggara," kata Truman Simanjuntak.
Sebelumnya, dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi
oleh tim Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian
Perancis untuk Pembangunan atau Institut de Recherche pour le
Developpement (IRD) pada awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang
menyimpan lukisan gua. Temuan yang diperolah hanya jejak-jejak hunian
manusia dari rentang 9.000-2.000 tahun lalu.
Baru pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak
sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di
dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati
lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas
bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai
lukisan prasejarah.
Sementara dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas
lapisan tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka
manusia. Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang
juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala
Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua
Harimau adalah ras Mongoloid.
Dua jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut
artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar
untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada
khususnya dan Sumatera pada umumnya.
Sang pendahulu
Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah sepertiPithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensis sebagai bagian dari Homo erectus—yang
populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras
Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras
Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke
Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.
Ras Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap
evolusi berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai
mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu hal itu dalam
wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para
pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.
Sisa-sisa gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian,
serta batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa
mereka sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar
untuk kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang
berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga
keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua,
menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih
kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.
Oleh karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat
bahwa kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang
bangsa ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada
4.000-3.500 tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras
Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah
yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang
bangsa ini.
"Mereka adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang," kata Truman
Simanjuntak. "Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau
termasuk para penghuni awal manusia di Sumatera," kata Harry Widianto.
Kenyataan ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran
ke-"bhinekatunggalika"-an kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di
Nusantara, tiap kelompok beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda
sehingga lambat laun melahirkan keragaman fisik dan budaya. Selanjutnya
terjadi apa yang kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural
dan multikultur.
"Inilah hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar
belakang keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai
pada kehidupan masa depan," ujar Truman Simanjuntak.
Jadi? Mari terus kita rajut Nusantara!
|
Posted: 18 Sep 2011
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan
Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang
ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini
belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh
Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia
berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh
sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga
yang terbuat dari batu.
Hingga lepas tengah hari, Pindi dan Fadhlan belum juga muncul. Sejak
berpisah di jalan setapak yang licin di bawah bukit, saat embun pagi
masih menempel di daun-daun kopi, pencarian mereka untuk mengeksplorasi
jejak peradaban prasejarah di perbukitan karst itu belum juga berakhir.
Pindi Setiawan adalah ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan
Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), sedangkan Fadhlan S
Intan adalah seorang geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Hari itu, Pindi
dan Fadhlan berniat mengeksplorasi sejumlah ceruk di tebing-tebing
perbukitan karst di kawasan Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji,
Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Sementara itu, arkeolog Nurhadi Rangkuti sudah bersiap-siap turun dari
ceruk di sisi timur bukit. Di sana, di ceruk besar yang tersembunyi di
antara rimbun pepohonan tinggi menjulang, yang oleh penduduk sekitarnya
dikenali sebagai Gua Harimau, tim dari Puslit Arkenas masih terbenam
dalam kegiatan masing-masing.
Beberapa peneliti melanjutkan pendataan dan pemetaan hasil temuan di 10
kotak ekskavasi. Sejumlah tenaga lokal mulai memotong-motong papan yang
khusus didatangkan dari desa terdekat, Padang Bindu, untuk dijadikan
kotak penutup belasan rangka manusia purba yang ditemukan selama
ekskavasi pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanah.
Sedikitnya 18 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam
proses penggalian itu memang harus didokumentasikan sebelum
lubang-lubang galian (masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter) yang
memanjang membentuk huruf L tersebut dipendam kembali ke perut bumi.
Selain sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan
binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat
akibat bersentuhan dengan udara luar.
Namun, kekhawatiran yang paling dirisaukan justru menyangkut keberadaan
sejumlah "lukisan" prasejarah yang ditemukan di dinding dan
langit-langit gua. Kakhawatiran itu sangat beralasan. Baru setahun
setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya
oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun
berikutnya (20 September-3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk
pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah muncul
torehan baru oleh tangan-tangan jahil manusia masa kini.
Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih
sangat sederhana. Hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau
gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa
lingkaran konsentris bersusun tiga. Beberapa di antaranya berbentuk
seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.
Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud
hewan atau aktivitas manusia, misalnya. Keragamannya pun tidak sekaya
motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan.
Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas,
baru sebatas menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan nonfiguratif.
Akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi. Selain
merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera (dan Jawa),
temuan ini sekaligus bisa mematahkan pandangan lama atas zona sebaran
lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara.
Lebih dari itu, dikaitkan keberadaan sisa-sisa rangka manusia berikut
tradisi yang mereka bangun di kawasan ini, teori migrasi ras Mongoloid
dengan budaya Austronesia yang mereka bawa dari daratan Asia—sebelum
akhirnya menyebar ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi—juga
bisa berubah.
Masih misteri
Ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langit-langit pojok
timur laut gua, lukisan berwarna merah-kecoklatan itu dibuat menggunakan
oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat
di kawasan ini. Namun, hingga sejauh ini tim peneliti belum berani
membuat kesimpulan sementara terkait fungsi dan makna guratan yang
tertera di sana.
"Kemungkinannya banyak, tetapi satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa
keberadaan gambar-gambar di Gua Harimau pasti terkait ritual tertentu.
Ini bisa dilihat dari keletakan gambar dan keberadaan temuan rangka
manusia yang ada di sana," kata Pindi.
Ahli komunikasi visual yang telah bertahun-tahun mendalami fenomena
lukisan gua (Pindi sendiri menghindari penggunaan istilah lukisan
ataupun seni untuk terjemahan rock art, ia lebih memilih istilah
"gambar cadas") ini menduga, tiap gambar yang ada di Gua Harimau dibuat
untuk upacara tertentu dan hanya dipahami oleh si pembuatnya. Artinya,
anggota yang terlibat dalam ritual itu pun sesungguhnya tidak mengetahui
makna gambar tersebut.
Mengingat masyarakat prasejarah belum mengenal konsep tentang huruf,
gambar cadas adalah suatu sarana bagi mereka untuk berkomunikasi melalui
rupa. Konsep ini tentu berbeda pada mereka yang sudah mengenal aksara
(apa pun bentuknya), tetapi mencoba mengomunikasikan ide dan gagasannya
melalui lukisan, misalnya. Begitu pun logika komunikasinya. Akan tetapi,
satu hal yang pasti, ciri utama komunikasi pada umumnya adalah adanya
pola yang berulang.
"Pola berulang itulah yang diwujudkan pada gambar cadas, yang kemudian
pola informasi yang diguratkan pembuatnya itu akhirnya dipahami manusia
prasejarah lainnya pada masa itu," ujar Pindi.
Seperti gambar cadas pada umumnya, keberadaan gambar-gambar prasejarah
di Gua Harimau pun diyakini mengandung imaji-imaji yang mewakili pesan
tertentu. Hanya saja, dari bentuk yang terpapar, Pindi menduga jenis
imaji yang ditorehkan pada dinding dan langit-langit Gua Harimau lebih
bersifat spontan. Bentuknya tidak mewakili apa yang dilihat mata (imaji
mimetis), juga tidak merujuk pada apa yang dikhayalkan orang ataupun
mencerminkan suatu konsep yang ada di benak.
Namun, apa pun bentuk dan seribu kemungkinan makna yang bisa ditafsir
dari garis-garis merah kecoklatan itu, suatu cerita sudah diguratkan
oleh para pendahulu kita: nenek moyang bangsa ini!
|
Posted: 18 Sep 2011
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan
Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang
ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini
belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh
Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia
berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh
sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga
yang terbuat dari batu.
Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang
Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan
lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan
oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang
Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia. Temuan
ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa
prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada
keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak
tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian
timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya
di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai
goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang
tidak mengenal tradisi lukisan gua.
"Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera
(barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya
harus direvisi lagi," kata Truman Simanjuntak.
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang
mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain
lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia
paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali
dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar
hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo
sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat
gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo
sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi
sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
"Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya," kata Pindi.
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak
ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran
(intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu,
gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan
makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang
tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun
oleh masyarakat berbudaya tulis.
Itulah "suara" dari masa silam. "Suara" yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini.
|
Sumber: http://www.obbrow.info/
http://radendasun.blogspot.com/2012/05/gua-harimau-di-padang-bindu-1.html
|
No comments:
Post a Comment