Sejarah Perkembangan Penduduk di Kalimantan
masih draft
A.2.1. Jaman Pra Sejarah
Suku
Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan.
Menurut mitos, nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Namun
catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sangat nihil.
Ada
beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang
menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal
dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang
beberapa milenium sebelumnya. (Avé 1996 : 6).01
Suku
Dayak diperkirakan mulai datang ke pulau Kalimantan pada tahun
3000-1500 sebelum Masehi. Mereka adalah kelompok-kelompok yang
bermigrasi dari daerah Yunnan, Cina Selatan. Kelompok ini disebut
Proto-Melayu. Dari daratan Asia kelompok-kelompok kecil tersebut
mengembara melalui Indocina ke Semenanjung Malaya, berlanjut ke
pulau-pulau di Indonesia, termasuk Kalimantan. Beberapa kelompok lain
diperkirakan ada yang melalui Hainan, Taiwan dan Filipina.
Beberapa
kelompok, terutama yang kemudian menetap di bagian selatan Kalimantan,
kemungkinan besar untuk beberapa waktu singgah di Sumatera dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi pada zaman glasial (zaman es), dimana permukaan
laut sangat surut sehingga dengan perahu-perahu kecil mereka dapat
menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu. Teknologi
perundagian yang telah dikenal di daratan Asia sekitar tahun 1500
sebelum Masehi memungkinkan perpindahan mereka menggunakan perahu
bercadik. Masa bercocok tanam diperkirakan dimulai sekitar tahun 1000
sebelum Masehi. Beliung persegi dan kapak persegi yang dibuat dengan
teknologi perundagian ditemukan di Nanga Balang, Kapuas Hulu. Kehidupan
religi pada zaman ini adalah memuja roh nenek moyang, sesuai dengan
kehidupan masyarakat zaman Megalithikum
Bukti awal yang diketahui tentang keberadaan manusia di Kalimantan adalah sebuah tengkorak Homo sapien yang ditemukan di Ambang Barat Gua Besar di Niah, Sarawak. Tengkorak tersebut memiliki pertanggalan mutlak [hasil pertanggalan radiocarbon C-14 terhadap matriks tanah tempat tengkorak tersebut ditemukan]
lebih dari 35.000 tahun. Meskipun masih terdapat perdebatan tentang
usia tengkorak tersebut, Niah tetap merupakan situs yang penting, karena
mengandung rekaman data tingkatan okupasi manusia terlama di Asia
Tenggara, Gua Niah merupakan sebuah situs dari Plestosen Atas yang
banyak mengungkapkan gaya hidup manusia Paleolitik pendukung budaya
manusia yang sudah menggunakan alat dalam menunjang kehidupan
sehari-harinya.3a
Gua-gua
di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat dari batu yang lebih
canggih dari 20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin
digunakan untuk membunuh dan memotong-motong makanan, dan kemudian jadi
model pembuatan alat-alat lain dari bambu dan kalu dan tulang.0b
Manusia
purba di Borneo berburu binatang, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil
hutan dalam kurun waktu 40.000-20.000 tahun yang lalu. Diantara
tulang-tulang yang patah dan terbakar di Niah terdapat tulang-tulang
binatang yang sekarang sudah punah, termasuk tapir Tapirus indicus, trenggiling purba, manis palaeojavanica dan celurut bergigi putih Crocidura fuliginosa. Manusia purba juga berburu kancil Traqulus spp, orang utan Pongo pygmaeus dan rusa Cervus unicolor, badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis serta beruang madu Helarctos malayanus. Tikus babi Hylomys suillus dan biul Melogale orientalis tercata dari ekskavasi di Niah. Binatang-binatang
tersebut sekarang hanya dapat ditemukan di tempat-tempat yang lebih
sejuk dan di lereng-lereng yang lebih tinggi di G. Kinabalu. Hal ini mendukung teori yang mengatakan bahwa iklim pada akhir Pleistosen lebih dingin. Manusia purba juga membawa ikan, burung, biawak dan buaya ke dalam gua. Gua-gua
di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat dari batu yang lebih
canggih dari 20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin
digunakan untuk membunuh dan memotong-motong makanan, dan kemudian jadi
model pembuatan alat-alat lain dari bambu dan kalu dan tulang.0b
Hasil
ekskavasi terbaru di Madai, Sabah, memperlihatkan bukti lebih jauh
tentang migrasi awal dan penghunian manusia di seluruh Kepulauan
Indonesia dengan penanggalan mutlak 30.000 tahun.
Tejadinya perhubungan darat pada masa Plestosen, gelombang kedatangan
manusia masa lampau menyapu daerah-daerah kepulauan di Paparan Sunda
dari Asia. Orang-orang Negrito, nenek moyang bangsa aborigin Australia dan Melanesia, mungkin telah menghuni Gua Niah pada 50.000 tahun
yang lalu, lalu digantikan oleh gelombang kedatangan Mongoloid Selatan.
Saat gelombang migrasi menyapu daerah kepulauan, mereka bercampur dan
melakukan persilangan dengan penduduk asli. Beberapa suku di Asia Tenggara seperti Negrito Malaysia memiliki budaya berburu dan mengumpulkan makanan yang masih primitif. Hal tersebut mengarahkan dugaan bahwa orang-orang Penan (Punan) juga berasal dari penduduk Negrito asli Kalimantan.
Beberapa kelompok suku bangsa di Asia Tenggara seperti bangsa Negrito dan bangsa Malay adalah pemburu primitif dan pengumpul. Suku Penan mungkin merupakan keturunan bangsa Negrito yang merupakan penduduk asli Borneo. Namun
ada juga spekulasi yang mengatakan bahwa suku Penan mungkin sudah
beralih dari cara hidup sebagai pemburu-pengumpul menjadi masyarakat
petani (Bellwood 1985; Hoffman 1981). Suku Penan mendiami sebagian besar daerah berhutan di Serawak dan Kalimantan. Mereka
tinggal di kemah-kemah sementara dengan beberapa keluarga, berburu
dengan sumpit, memanen sagu liar , mengumpulkan buah-buahan liar seperti
rambutan, durian dan manggis serta menukarkan hasil-hasil hutan dengan
masyarakat petani di sekitarnya, seperti suku Kayan (Hose dan McDougall
1912; Kedit 1978). Apakah benar suku Penan
berasal dari bangsa Negrito atau bangsa Mongolia yang bermigrasi lebih
akhir seperti suku Dayak, gaya hidup mereka sangat mencerminkan gaya
hidup manusia purba. 2
Di Kalimantan Selatan Pegunungan Meratus yang terbentuk dari karst batu gamping yaitu jenis butuan yang sangat baik untuk mengkonservasi tulang secara alamiah. Jika
harus dicari jejak-jejak masa lalu manusia prasejarah di daerah
Kalimantan Selatan, maka pegunungan kapur seperti ini adalah salah satu
tempat yang paling memberikan harapan untuk padang perbuman jejak
manusia prasejarah antara lain harus diarahkan pada celah-celah batu
gamping di Pegunungan Meratus yang banyak menyimpan gua-gua alamiah,
baik berupa ceruk (rock shelter) maupun gua (cave).
Penelitian
intensif ekskavasi di Gua Babi di Bukit Batu Buli (Tabalong, Kalimantan
Selatan) selama 1995 - 1999 berhasil menemukan komponen manusia yang
bersifat fragmentaris dengan kuantitas yang cukup tinggi. Berdasarkan karakter morfologisnya diketahui adanya tidak kurang dari 11 individu yang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Penemuan
rangka manusia di Gua Tengkorak pada 1999 memberikan indikasi yang
sangat penting dan signifikan tentang ras manusia pendukung budaya
kawasan Bukit Batu Buli, yaitu Austromelanesoid.[1]
Di Kalimantan Selatan, aktivitas masyarakat prasejarah pada masa berburu dan meramu tingkat sederhana
ditunjukkan dengan adanya bukti beberapa tinggalan budaya paleolit yang
ditemukan di Awangbangkal Aranio (Kabupatcn Banjar) berupa kapak
perimbas oleh seorang geolog bernama Toer Soetardjo pada tahun 1958. Sebelumnya, H. Kupper pada tahun 1939 juga menemukan alat-alat batu di daerah tepi selatan sungai Riam Kanan di Awangbangkal. Alat-alat
yang ditemukan digolongkan sebagai unsur budaya kapak perimbas dibuat
dari batu kuarsa terdiri dari 5 buah kapak perimbas dan 2 (dua) buah
alat serpih.3a
Bentuk pertama pertanian menetap mungkin berkaitan dengan introduksi sagu dari Indonesia bagian timur, sagu lebih banyak tumbuh di rawa-rawa pesisir yang lembab. Masyarakat
purba mungkin mengambil pati dari sagu ini, lalu memelihara tumbuhan
sagu, seperti yang dilakukan oleh suku Melanau di delta Rejang, Serawak. Masyarakat
pesisir dan pinggiran sungai mulai menangkap ikan dan mengumpulkan
moluska air tawar; dengan kemampuan untuk memanen sagu secara teratur,
kemudian terbentuk pemukiman menetap (Ave dan King 1986).0b
Perubahan gaya hidup yang cukup penting terjadi bersamaan dengan penemuan biji besi dan cara-cara untuk mengekstraksi dan mengolahnya. Di Borneo ada beberapa tempat dengan endapan biji besi dan penduduk asli sudah menggunakan di delta-delta sungai di Kuching. Serawak pada tahun 1.000 (Ave dan King 1986). Keterampilan
dalam membuat alat-alat dari besi mungkin sudah ada
sebelumnya,bersamaan dengan dikenalkan dengan pengenalan artefak dari
besi dan perunggu tembaga dan tekhnologi penggunaannya dari orang-orang Vietnam, Cina dan India antara abad ke 6 ke 10 (Bellwood 1985). Gua
Agop Atas pada batu kapur Madai sudah dihuni dari tahun 200-500 dan di
dalamnya terdapat pecahan-pecahan tembikar, perunggu dan besi. Guci-guci yang berkaitan dengan kurun waktu itu juga ditemukan di gua Madai dan Tapadong di Sungai Segama; guci-guci ini juga dipakai di Niah pada akhir masa Neolitik. Guci yang tertua berasal dari tahun 200 SM. Tradisi ini mungkin berasal dari India dan Asia Tenggara dari permulaan milenium pertama sebelum Masehi.0b
Penggunaan besi membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat setempat. Dengan alat-alat yang terbuat dari besi, hutan lebih mudah dibuka dan pembukaan hutan ini memungkinkan penanaman padi dan taro. Masyarakat Dayak berubah dari pengumpul sagu alam menjadi masyarakat yang aktif menanam padi. Peladangan dengan padi dilahan-lahan kering masih tetap dilakukan sampai sekarang. 0b
Bangsa-bangsa
Austronesia yang kemudian menyebar di Kepulauan Indomalaya dari daratan
Asia membawa bentuk ekonomi pertanian, yang semula hanya memfokuskan
pada padi-padian dan memperkenal tembikar serta alat-alat baru serupa beliung dari batu. Dalam
permulaan Kal Holosen, kira-kira 7.000 tahun yang lalu, padi liar dan
padi-padian lain dibudidayakan di punggung daerah aliran sungai Yangtze,
yaitu lahan-lahan basah musiman di sebelah selatan. Padi
mungkin diperkenalkan di Indonesia oleh imigran bangsa Mongolia, tetapi
mungkin tidak langsung berhasil di tanam di Borneo, karena tidak ada
bukti-bukti baik di Niah atau Madai (Bellwood 1985)
Besi
digunakan untuk membuat pisau dan alat-alat pertanian serta alat untuk
membuat lubang pada sumpit dari kayu besi yang keras. Sumpit ini merupakan ciri khusus Borneo. Pemburu
purba di Borneo sudah mengenal panah dan anak panah, tetapi sumpit yang
terbuat dari kayu ini adalah senjata yang jauh lebih hebat, lebih
akurat dan mampu membunuh mangsa dari jarak jauh. Ujung anak sumpit dimasukkan kedalam racun alami yang diambil dari getah tumbuhan.0b
Daerah
Apo kayan kaya akan biji besi, demikian pula Mantalat (Barito Hulu),
Mantikai (anak sungai Sambas) dan Tayah di Kalimantan Barat. Parang dan Mandau merupakan senjata untuk berkelahi yang dicari oleh orang Dayak )Ave dan King 1986).0b
Batu
megalitik yang ditemukan di sumber air s.Baram disekitar g. Murud dan
tempat-tempat lain di pegunungan Kelabit dan di Kalimantan Tengah
mungkin berasal dari kurun waktu ini (Harrisson 1962;Chin 1980). Masyarakat Kelabit terus membuat megalit sampai tahun 1950, ketika mereka berubah menjadi penganut agama Kristen. Megalit ini berkaitan dengan upacara-upacara penguburan tokoh-tokoh masyarakat, seperti kepala suku. Daerah
dataran tinggi Bahau di Kalimantan Timur barangkali merupakan pusat
arkeologi yang paling banyak memiliki benda-benda purba di Kalimantan. Disini terdapat kira-kira 50 pusat pemukiman dan kuburan yang disebut ”ngorek” yang memiliki monumen batu.0b
Bukti-bukti arkeologi dari lokasi kuburan menunjukkan bahwa Borneo memiliki sejarah perdagangan yang panjang dengan dunia luar. Para pedagang India mulai mengunjungi Indonesia pada abad pertama. Kerajaan
hindu Kutai didirikan dalam kurun waktu ini dan tempat-tempat
penyembahan Brahma di Muara Kaman dan patung-patung Hindu di dalam G.
Komeng di Kalimantan Timur kira-kira berasal dari abad ke 5 (Boyce,
1986).0b
Hubungan
diplomasi antara bangsa Cina dan masyarakat di daerah pesisir Borneo
tercatat dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. 0b
Relief
yang menggambarkan seorang pemburu dengan sumpit di galeri candi
Borubodur di Jawa Tengag yang dibuat pada abad ke sembilan menyatakan
bahwa hubungan antara orang Dayak dan orang Jawa sudah terjadi dalam
kurun waktu ini (Ave dan King 1986). Selama abad
ke-14 dan abad ke-15, di bagian selatan, barat dan timur Borneo
merupakan daerah-daerah di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa
Timur. Bahkan sebelum ini Borneo sudah memiliki hubungan dnegan negara-negara Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan oleh adanya candi hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan.0b
Pemukiman masyarakat dayak terpusat di dalam desa-desa inti, mereka tinggal bersama di dalam rumah panjang untuk alasan sosial dan keamanan. Sebagian
besar masyarakat Dayak memiliki akses atau sudah pernah terlibat dalam
pertukatan tembikar dan besi dengan kulit kayu sebgai bahan pakaian
mereka. Praktek-praktek lain yang dilakukan oleh
suku Dayak adalah pembuatan tato, yang juga ditemukan diseluruh kalangan
bangsa Astronesia. 0b
A.2.2. Masa Kerajaan
Pada umumnya sejarah Indonesia dalam mengungkapkan dan menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu kepada historiografi tradisional seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi
tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan,
yaitu: (1) etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme[2]. Diakui
historiografi tradisional penulisannya tidak berlandaskan kepada metode
sejarah, tetapi sumber-sumber historiografi tradisional sebagai sumber
dapat dipergunakan selama sumber terbaik belum ditemukan.
Keadaan
geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan jumlahnya mencapai ribuan
pulau besar kecil menyebabkan daerah pesisir telah memegang peranan yang
cukup penting di bidang perdagangan maupun kekuasaan politik dan
ekonomi. Melihat kenyataan bahwa sejak permulaan berdirinya kerajaan
Islam di Indonesia baik yang terletak di Sumatera, Jawa, Sulawesi,
Kalimantan dan Maluku, maka daerah pesisirlah yang menjadi pusat
kerajaan, hal ini tidak mengenyampingkan peranan kerajaan Mataram Islam
yang berpusat di pedalaman. Dengan keadaan geografis semacam ini akan
sulit kiranya membayangkan adanya suatu kekuasaan tunggal untuk
menguasai seluruh Indonesia pada saat itu. Dalam perkembangan masyarakat
Indonesia-Hindu yang berpindah secara perlahan dan lambat ke masyarakat
Indonesia Islam dan lenyapnya kekuasan raja Indonesia-Hindu yang
digantikan oleh munculnya kekuasaan kerajaan Indonesia Islam telah
membawa akibat pula dalam transformasi politik dan sosial untuk menuju
ke sistem masyarakat baru.
Perkembangan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan di daerah Kalimantan Selatan sampai dengan permulaan abad 17 masih sangat kabur karena kurangnya data sejarah.
Adanya Hikayat Raja-Raja Banjar dan Hikayat Kotawaringin tidak cukup
memberikan gambaran yang pasti mengenai keberadaan Kerajaan-kerajaan
tersebut[3].
Sekilas Kerajaan di Kalimantan
Pada
abad 17 salah satu tokoh yaitu Pangeran Samudera (cucu Maharaja
Sukarama) dengan dibantu para Patih bangkit menentang kekuasaan
pedalaman Nagara Daha, kemudiian menjadikan Banjarmasin di pinggir
Sungai Kwin sebagai pusat pemerintahannya (daerah ini disebut Kampung
Kraton).
Pemberontakan Pangeran Samudera tersebut merupakan pembuka jaman baru dalam sejarah Kalimantan
Selatan sekaligus menjadi titik balik dimulainya periode Islam dan
berakhirnya jaman Hindu. Sebab dialah yang menjadi cikal bakal Islam
Banjar dan pendiri Kerajaan Banjar.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang Bangsawan Banjar yaitu Pangeran Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan
Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonialisme Belanda
meskipun akhirnya pada Tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil
ditumpas oleh Belanda.
Kelancaran hubungan dengan Pulau Jawa turut mempengaruhi perkembangan di Kalimantan Selatan. Bertumbuhnya pergerakan-pergerakan kebangsaan di Pulau Jawa dengan cepat menyebar kedaerah Kalimantan
Selatan, hal ini tercermin dengan dibentuknya wadah-wadah perjuangan
pada Tahun 1912 di Banjarmasin seperti berdirinya Cabang-cabang
Sarikat Islam di seluruh Kalimantan Selatan. Seiring dengan itu para pemuda Kalimantan
terdorong membentuk Organisasi Kepemudaan yaitu Pemuda Marabahan,
Barabai dan lain-lain, yang kemudian pada Tahun 1929 terbentuk
Persatuan Pemuda Borneo.
Organisasi-organisasi
perjuangan tersebut merupakan wadah untuk menyebarluaskan kesadaran
kebangsaan melawan penjajahan Kolonial Belanda.
Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang paling heroik dalam sejarah Kalimantan
Selatan, dimana pada tanggal 16 Oktober 1945 dibentuk Badan
Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan
(BPRIK) yang dipimpin oleh Hadhariyah M. dan A. Ruslan, namun dalam
perjalanan selanjutnya gerakan perjuangan ini mengalami hambatan,
terutama dengan disepakatinya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15
Nopember 1945. Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah
Republik Indonesia menjadi terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa,
Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini
|
Dibawah ini beberapa catatan singkat tentang kerajaan di Kalimantan :
- Kutai Karta Negara di Kaltim :
[4]Kalimantan
Timur mempunyai sejarah yang berbeda dengan propinsi – propinsi lainnya
di Negara Republik Indonesia. Sejarah tersebut antara lain adanya
kerajaan yang tertua pada abad ke - VI yaitu kerajaan Mulawarman Nala Dewa. Turunan Raja Mulawarman dapat berlanjut sampai dengan Raja ke – 25 yang bernama Maharaja Derma Setia pada abad ke - XII dengan nama Kerajaan Kutai Ing Martapura.
Menjelang kepudaran kerajaan tersebut, telah berdiri beberapa kerajaan di Kalimantan Timur, yang dimulai dengan kerajaan Kutai Kartanegara,
kerajaan Berau, kerajaan Bulungan dan kerajaan Pasir. Semua kerajaan
tersebut memerintah di wilayahnya masing – masing tanpa ada peperangan
antara mereka, hingga masuk Belanda dan mulai menjajah Kalimantan Timur
ini pada tahun 1844, demikian pula ketika Jepang menjajah wilayah ini
pada tahun 1941 – 1945. Pada masa perjuangan fisik, tahun 1945 – 1949
rakyat juga turut bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan yang
puncaknya pada peristiwa sanga- sanga sekitar January 1947 )
Pada
abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai
Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan
pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan
raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali
menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Setelah
mengalami masa-masa perubahan system pemerintahan dari bentuk kerajaan
menjadi daerah istimewa tahun 1956, dan akhirnya menjadi Kabupaten tahun
1960, yaitu Kabupaten Kutai, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan dan
Kabupaten Pasir ditambah dengan KotaPraja Samarinda dan Balikpapan.
Semua daerah kabupaten / KotaPraja tersebut dibawah naungan Propinsi
Kalimantan Timur tepat pada bulan January 1957.
- Kerajaan Nan Sarunai – Dipa – Daha – Banjar Di Kalsel :
Di
Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16
yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam,
telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama
yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan
Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya
Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan
Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya
pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping
kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara
Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya
kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan
Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman
keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18.
Pada masa itu teriadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan
sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang
terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di
berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
(1710-1812)[R1]
Melacak
latar belakang keberadaan Negara Nan Sarunai, Dipa dan Daha masih
sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk nyanyian Orang Maanyan
dan Hikayat Banjar[5]. Menurut Ras, Hikayat Banjar terbagi dalam dua versi[6]. Versi pertama merupakan versi yang telah dirubah dan disusun pada masa Kerajaan Banjarmasin
yang secara definitif telah memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua
dianggap sebagai versi yang berasal dari Negara Dipa secara definitif
beragama Hindu.
Dalam
cerita rakyat dan Hikayat Banjar, di area Kalimantan Selatan ini
dulunya terdapat sebuah negara bernama Nan Sarunai lalu sirna[7], kemudian
muncul Negara Dipa, lalu digantikan oleh kerajaan Daha. Disadari
informasi dari Hikayat Banjar tentang Negara Dipa dan Daha ditandai oleh
sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan
ceritanya.
Tidak
jelas kapan kerajaan ini berdiri, namun ada sebuah catatan yaitu Pada
Abad XIV, Negara Nan Sarunai diserang oleh Majapahit dan mengalami
kekalahan. Dampak dari serangan ini, membuat Orang Maanyan eksodus
meninggalkan Sarunai. Peristiwa tragis yang dialami oleh Orang Maanyan
kemudian dituangkan kedalam nyanyian atau wadian yang kemudian
ditranformasikan kepada generasi berikutnya.
Dalam
eksodus itu, Orang Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku
kecil yang masing-masing bernama: (1) Maanyan Siung bermukim di Telang,
Paju Epat dan Buntok, (2) Maanyan Patai bermukim di aliran Sungai Patai,
(3) Maanyan Paku berdomisili di wilayah Tampa, (4) Maanyan Paju X
bermukim di sepanjang aliran Sungai Karau dan Barito, (5) Maanyan Paju
Epat bermukim di wilayah aliran sungai yang sama dengan pemukiman Paju
X, (6) Maanyan Dayu menghuni aliran Sungai Dayu, dan (7) Maanyan, mereka
menghuni di wilayah Bintang Karang, Tumpang Murung, Dusun Timur,
Tamiang Layang, Belawa, Tupangan Daka dan Barito[8]
Negara Dipa dan Daha Sebagai Negara Awal
Menurut Hikayat Banjar Kerajaan Dipa diawali dari cerita tentang saudagar bernama Mpu Jatmika yang berasal dari Keling[9],
bersama dengan dua orang anaknya bernama Lambung Mangkurat dan Mpu
Mandastana telah tiba di Hujung Tanah. Tanah di Hujung Tanah ketika
dicium oleh Mpu Jatmika berbau harum, sehingga ia yakin bahwa daerah itu
cocok untuk membangun negeri yang bernama Dipa dengan ibukotanya
bernama Kuripan dan mengangkat dirinya untuk menjadi raja sementara di
kerajaan itu di Hujung Tanah.
Lebih
lanjut Hikayat Banjar meriwayatkan, bahwa Negara Dipa digantikan oleh
negara baru yang bernama Negara Daha. Beralihnya Negara Dipa ke Negara
Daha merupakan suatu peristiwa kekeluargaan antara seorang keturunan
Pangeran Suryanata bernama Sekarsungsang yang secara tidak sadar telah
mengawini ibunya bernama Putri Kalungsu. Perkawinan antara Sekarsungsang
dan Putri Kalungsu oleh Hikayat Banjar dijadikan titik pangkal
munculnya Negara Daha dengan rajanya yang bernama Sekarsungsang yang
bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Pusat
Negara terletak di Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pelabuhannya.
Dengan Daerah-daerah kekuasaan itu meliputi Batang Tabalung, Batang
Baritu, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Balangan, Batang Petak
beserta komunitas-komunitas yang mendiami bukit-bukit di sekitarnya,
Biaju Kecil, Biaju Besar, Sabangau, Mandawai, Katingan, Sampit, dan
Pambuang.
Runtuhnya Negara Daha
Dimulai
dari Raden Sukarama memerintah Negara Daha yang mewasiatkan tahta
kekuasaan Negara Daha kepada cucunya bernama Raden Samudera, tetapi
wasiat itu ditentang oleh ketiga anaknya, yaitu Mangkubumi, Tumenggung,
dan Bagalung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merampas
kekuasaan.
Raden
Samudera memilih untuk menjadi pelarian politik dan bersembunyi di
hilir Sungai Barito yaitu Kampung Banjarmasih, dan ia dilindungi oleh
kelompok-kelompok (melayu) yang dipimpin Pati Masih[10]
Perjalanan
selanjutnya Raden Samudera diangkat menjadi kepala negara oleh kelompok
Melayu di daerah itu dan merupakan embrio bagi kelahiran Orang Banjar.
Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan ke
Demak guna persiapan untuk mengambil kembali tahtanya atas Negara Daha.
Permintaan bantuan dari Raden Samudera oleh Sultan Demak diterima,
tetapi dengan suatu syarat, bahwa Raden Samudera beserta pengikutnya
harus memeluk agama Islam. Raden Samudera menyanggupi persyaratan itu,
tidak lama kemudian, Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin
oleh Khatib Dayan. Gelar atau nama Khatib Dayan lebih mencerminkan nama
seorang penyampai khotbah atau penyiar agama ketimbang nama atau gelar
seorang panglima perang[11].
Peperangan
dimenangkan oleh Raden Samudera yang kemudian memindahkan rakyat Negara
Daha ke Banjarmasih. Perpindahan rakyat Negara Daha ke Banjarmasih
merupakan manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut jumlah tenaga
manusia, dan pengukuhan Raden Samudera sebagai kepala negara yang
mempunyai kharisma. Pembauran penduduk di Banjarmasih, yang terdiri dari
rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak, dan Orang Jawa (kontingen dari
Demak), pada dasarnya menggambarkan bersatunya masyarakat sebagai
kesaktian utama.
Kemenangan
Raden Samudera atas Pangeran Tumenggungg pada abad XVI merupakan suatu
perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya
berbasiskan agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim, dan
Islam dijadikan sebagai agama negara. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kemudian menjadi Kerajaan Banjar
Dalam Hikayat Banjar ditemui istilah-istilah seperti: Negeri Banjar, Orang Banjar, Raja Banjar dan Tanah Banjar. Istilah-itilah
itu mengacu kepada pengertian wilayah Kerajaan ini, yaitu wilayah
kerajaan dimana penduduknya disebut orang Banjar dan rajanya disebut
Raja Banjar.
Kerajaan
Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau
Kesultanan Banjar. Pengaruh Kesultanan Banjar melebar meliputi gabungan
seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Propinsi Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada
beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Propinsi Kalimantan
Barat.
Kerajaan
Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan
Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari
Kerajaan Banjar. Pada akhir abad
ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan
secara sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin
pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang herhasil dikuasainya
dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo
(Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah bangsa
Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi
disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.
- Kerajaan Sambas di Kalbar :
Sejarah
tentang asal usul kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di
Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan
persaudaraan yang sangat erat. Pada jaman dahulu, di Negeri Brunei
Darussalam, bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan
Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak
cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang kesembilan
yaitu Sultan Abdu lDjalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama
sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kerajaan
Tanjungpura (Sukadana). Karena prilaku dan tata kramanya sesuai dengan
keadaan sekitarnya, beliau disegani bahkan Raja Tanjungpura rela
mengawinkan dengan anaknya bernama ratu Surya. Dari perkawinan ini
terlahirlah Raden Sulaiman. Saat itu di Sambas memerintah seorang ratu
keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat
pemerintahannya di Kota Lama kecamatan Telok keramat skt 36 Km dari Kota
Sambas. Baginda Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri. Yang sulung
dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama raden Prabu Kencana dan
ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah,
tibalah raja Tengah beserta rombongannya di Sambas. Kemudian banyak
rakyat menjadi pengikutnya dan memeluk agama Islam. Tak berapa lama,
Ratu Sepudak wafat. Menantunya Raden Prabu Kencana naik tahtadan
memerintah dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada peristiwa bersamaan
putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden
Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah. Perkawinan ini dikaruniai seorang
putera bernama Raden Boma. Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda,
diangkatlah pembantu-pembantu Administrasi kerajaan. Adik kandungnya
bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus
mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga mewakili raja. Raden
Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam dan
luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat
lebih menghargai Raden Sulaiman daripada Pangeran Mangkurat, hingga
menimbulkan rasa iri dihati Pangeran Mangkurat. suatu ketika tangan
kanan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti dibunuh pengikut Pangeran
Mangkurat. setelah dilaporkan kepada raja, ternyata tak ada tindakan
positif, suasana makin keruh. Raden Sulaiaman mengambil kebijaksanaan
meninggalkan pusat kerajaan, menuju daerah baru dan mendirikan sebuah
kota dengan nama Kota bangun. Jumlah pengikutnyapun makin banyak. Hal
ini telah mengajak Petinggi Nagur, Bantilan dan Segerunding mengusulkan
untuk berunding dengan Ratu Anom Kesuma Yuda. Hasil mufakat keduanya
meninggalkan kota lama. Raden Sulaiman menuju kota Bandir dan Ratu Anom
Kesuma Yuda berangkat menuju sungai Selakau. Kemudian agak ke hulu dan
mendirikan kota dengan ibukota pemerintahannya diberi nama Kota Balai
Pinang.
Meninggalnya
Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Mangkurat, putera Ratu Anom yang
bernama Raden Bekut diangkat menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota
Balai. Beliau beristrikan Mas Ayu Krontiko, puteri Pangeran Mangkurat.
Raden Mas Dungun putera raden Bekut adalah Panembahan terakhir Kota
Balai. Kerajaan ini berakhir karena utusan Raden Sulaiman menjemput
mereka kembali ke Sambas. Kurang lebih 3 tahun kemudian berdiam di Kota
Bandir, atas hasil mufakat, berpindahlah mereka dan mendirikan pusat
pemerintahannya di Lubuk Madung, pada persimpangan tiga sungai : sungai
Sambas Kecil, Sungai Subah dan Sungai Teberau. Kota ini juga disebut
orang " Muara Ulakan". Kemudian keraton kerajaan dibangun dan hingga
kini masih berdiri megah.
Di
tempat inilah raden sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di
kerajaan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I.
Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin digelar pangeran Bendahara Sri
Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma.
Raden Bima (anak Raden Sulaiman) ke Sukadana dan kawin dengan puteri
raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan
Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera diberinama Raden Meliau, nama
yang terambil dari nama sungai di Sukadana. Setahun kemudian merka pamit
ke hadapan Sultan Zaiuddin untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman
dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk menemui kaum keluarga.
Sekembalinya dari Brunai, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan dengan
gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Bersamaan dengan itu, Raden Akhmad
putera Raden Abdu Wahab dilantik menjadi Pangeran Bendahara Sri
Maharaja. Wafatnya Sultan Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan
Puteranya Raden Meliau dengan gelar Sultan Umar Akamuddin I.
Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).
Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).
Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian
diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang
lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau
bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah
Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom
dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok
lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali
Syafeiuddin I wafat. Puteranya
Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma)baru berumur 6 tahun. Karena itu
roda pemerintahan diwakilikan kepada Sultan Usman Kamaluddin.
Tanggal
11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan
kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar
Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan
gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera
sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota
dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II
diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun
1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko' (Pangeran Ratu
Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga
atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk
study.
Tahun
1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan
Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan
dengan gelar sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang
istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang
putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota. Dari
istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad
Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden
Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya
yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan
Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa
sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai
wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.
Setelah
memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan
diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa
pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban
keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan
Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat
tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian
kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah
tempayan keramik dari negeri Cina dan kaca kristal dari negeri Belanda
Dengan menurunnya kekuasaan Majapahit, Islam semakin tersebar ke seluruh kepualauan mengikuti jalur perdagangan. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para pedagang Islam sudah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Borneo dalam abad ke-13. Kerajaan Brunei mungkin sudah berdiri sejak abad ke-15. Sultan
Brunei mendapat kekayaan yang sangat banyak dari penarikan pajak dari
daerah-daerah tepi sungai di Pontianak sampai kebagian selatan Filipina. Kerajaan
Islam lain yang cukup penting adalah Sambas, Sukadana dan Landak di
pesisir barat, dan Banjarmasin di sebelah selatan.0b[R2]
Dengan
pertambahan pedagangan Islam yang menetap di daerah pesisir, suku Dayak
semakin masuk kepedalaman damal beberapa gelombang migrasi[t3] . Suatu kelompok imigran yang paling akhir yaitu suku Iban, yang terkenal dengan penyebaran yang sangat luas di daerah aliran S. Kapuas di Kalimantan barat sampai ke sebagian besar negara bagian Serawak dalam kurun 400 tahun terakhir. Menjelang tahun 1850
mereka sudah mendiami sebagian besar daerah Rajang (St. John 1974) dan
selama abad ke-19 mereka terus berpindah kearah utara yaitu ke Brunei. Mereka membuka hutan tropis yang sangat luas di sepanjang lembah-lembah sungai untuk melakukan perladangan berpindah. Penyebaran ini barangkali tidak seluruhnya didorong oleh tekanan kepadatan penduduk dan kebutuhan untuk menanam tanaman pangan yang lebih banyak, tetapi juga oleh kebutuhan budaya dan ritus mereka untuk mengumpulkan kepala orang.0b
Sejarah Tionghoa Masuk ke Kalimantan Barat
Sejak
abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan
perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya
melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin
musim. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat
sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian
masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi
sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan
Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat. Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
Di
abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute
yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara -
Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk
kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah
menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan
di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk
kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan). Tahun
1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan
Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di
kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina
di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar
upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi
mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan
dan sebagainya. Semenjak itu timbulah Republik Kecil yang berpusat di
Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada
Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang
bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton
membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara.
Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu
yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya
juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah
Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu
Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya
mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah
Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah
kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo
Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat,
majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao
Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama
yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung
dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami
masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao
Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan
mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus
Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong
Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di
bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga
merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang)
sampai ke San King (Air Mati).
Abad 18
Lo
Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan
pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong
meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada
tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal
dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun
mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina
Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat
di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena
pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang,
daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas,
kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang
panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu
benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas
disebut juga Perang Tengku Sambo.
|
A.2.3. Masa Penjajahan
Sistem
Pemerintahan Hindia Belanda mulai diberlakukan di Kalimantan Selatan
ketika F.N. Nieuwenhuyzen mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan
Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Dalam proklamasi tersebut antara
lain dinyatakan Kerajaan Banjar dihapuskan dan tidak lagi diperintah
oleh raja (sultan) dan seluruh pemerintahan di lingkungan bekas Kerajaan
Banjar langsung di bawah kekuasaan Gubernemen Hindia Belanda di bagian
Selatan dan Timur pulau Borneo[12].
Kemudian
dibentukan Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo, maka pada
tahun 1865 Belanda, afdeling di wilayah-wilayah bekas kesultanan Banjar
yang telah dikuasai,sebagai berikut :
1. Afdeling Banjarmasin termasuk Onderafdeling Kween (Kuin)
2. Afdeling Martapura yang terbagi atas lima district. (Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan, Banua Ampat, Margasari
3. Afdeling Tanah Laut, terbagi atas empat district (Pleihari, Tabanio, Maluka dan Satui
4. Afdeling Amuntai yang terbagi atas tujuh district (Amuntai, Nagara, Balangan, Alai, Amandit, Tabalong, Kalua[13]
Keorganisasian
pemerintahan Hindia Belanda selalu mengalami perubahan, begitupula
dengan jumlah afdeling dan distriknya. Berdasarkan Staatsblad tahun 1898
nomor 178, di daerah Borneo bagian Selatan dibagi ke dalam beberapa
wilayah administratif, yakni Afdeling Banjarmasin dan daerah sekitarnya (ommelanden) Afdeling Martapura; Afdeling Kandangan; Afdeling Amuntai; Afdeling Tanah-tanah Dusun/Teweh (Doesoenlanden); Afdeling Tanah-tanah Dayak/Kapuas (Dajaklanden); Afdeling Sampit; Afdeling Pasir dan Tanah Bumbu[14].
Tercatat dalam buku sejarah propinsi Kalimantan Selatan[15] bahwa Sultan Tahmidullah II pada tahun 1787 menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan kepada VOC (Veregnide Oost Indische Company) yang ditandai dengan Akte penyerahan (Acte van afstand) tertanggal Kayutangi 17-8-1787. Akte penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan Tahmidullah II di depan Residen Walbeck.
Hal ini terjadi setelah Sultan Tahmidullah berhasil menguasai tahta
kerajaan dengan bantuan VOC dan selanjutnya Kerajaan Banjar menjadi
taklukan VOC.
Berdasarkan
akte peenyerahan tersebut, Sultan Tahmidullah juga menyerahkan status
wilayah kekuasaannya termasuk daerah-daerah dayak ((dajaksche provintien) ke
bawah kekuasaan VOC. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan bubar,
selanjutnya penguasaan daerah bekas taklukan VOC diambil alih oleh
kerajaan Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia
(sekarang Jakarta). Dengan demikian daerah dayak juga berada di bawah
kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pada tanggal 1 Januari 1817, ditanda tangani kontrak persetujuan Karang Intan I oleh sultan Sulaiman di depan Residen Arnout van boekholzt
dari pemerintah hindia Belanda. Enam tahun kemudian, yakni tanggal 13
september 1923, dilakukan alterasi dan ampliasi (perubahan, peralihan,
penambahan, perluasan dan penyepurnaan) yang dikenal dengan nama Kontrak Persetujuan Karang Intan II. Kontrak tersebut juga ditanda tangani oleh Sultan Sulaiman di depan Residen Mr.Tobias.
Berdasarkan
kontrak persetujuan ke II ini, Sultan melepaskan secara penuh
hak-haknya atas seluruh kawasan di Kalimantan yang dianggap sebagai
wilayah kerajaan Banjar itu, termasuk yang disebut Belanda sebagai Daerah Dayak (Dajaksche provintien). Pihak Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pemetaan di kawasan dajaksche provintien. Sungai kahayan dalam pemerintaha Belanda di sebut Groote dajak Rivier sedang sungai kapuas di sebut Kleinee dajak rivier
Sebelum adanya akte penyerahan Kayutangi tersebut, wilayah Dajaksche provintien yang kini dikenal sebagai wilayah Propinsi Kalimantan Tengah tidak langsung dikuasai VOC. Ketika Perang Banjar (1859-1865) usai dengan Belanda sebagai pemenangnya, suku dayak masih melanjutkan pertempurannya melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Barito (1865-1905).
Tetapi akibat akte penyerahan serta Kontrak Perjanjian Karang Intan I
dan II, tertancaplah kekuasaan penjajah Belanda di Kaimantan.
Namun
penguasaan yang sangat luas itu tidak berlangsung mulus. Belanda
mengalami kekurangan tenaga dalam mengelola pemerintahan meskipun telah
dilakukan pembagian wilayah. Belanda kemudian membatasi kekuasaan
langsungnya pada tingkat onderafdeling saja, sedang untuk pemerintahan distrik dan onderdistrik Belanda menggunakan para petinggi Suku Dayak. Beberapa Temanggong dan Damang diangkat menududuki jabatan Kepala distrik dan kepala onderdistrik.
Sejak tahun 1823, kawasan yang disebut wilayah dayak (Dajaksche provintien) dimasukan dalam wilayah yang disebut kapoeas-Moeroeng Gabied yang merupakan bagian dari afdeling Marabahan yang berkedudukan di Marabahan membawahi beberapa Onderafdeling, salah satunya adalah Onderafdeling Koeala Kapoeas yang dipimpin seorang Controleur. Salah satu distrik dilingkup Onderafdeling koeala Kapoeas adalah distrik Pangkoh yang berkedudukan di Pangkoh. Wilayah distrik Pangkoh meliputi seluruh aliran sungai Kahayan dan pada tahun 1872 dipimpin oleh Temanggong Rambang sebagai kepala distrik.
Memasuki abad ke-20 (tahun 1913), kawasan kapoeas-Moeroeng gebied dibentuk menjadi 2 afdeling yaitu (1) afdeling dajaklanden (tanah dayak) berkedudukan di Banjarmasin,dan (2)Afdeling dusunlanden (tanah dusun)berkedudukan
di Muara teweh. Distrik pangkoh yang sebelumnya membawahi seluruh
aliran Sungai kahayan dihapuskan dan dibentuk 2 onderafdeling yaitu (1)onderafdeling boven dajak berkedudukan di Kuala Kurun,dan (2) onderafdeling Beneden dajak berkedudukan di Kuala Kapuas. Desa/kampung Pahandut terletak dalam onderafdeling Beneden dajak. Kedua onderafdeling termasuk dalam lingkup afdeling dajaklanden.
Pada tahun 1946, afdeling kapuas Barito beserta seluruh onderafdeling-nya dihapus. Bekas wilayah onderafdeling Beneden dajak di pecah menjadi 2 distrik,yaitu (1) distrik Kapuas dan (2)distrik Kahayan. Distrik kahayan itu sendiri terbagi menjadi 2 onderdistrik,yaitu (1) Onderdistrik kahayan Hilir dengan Ibukota Pulang Pisau dan (2) Onderdistrik Kahayan Tengah dengan ibukota Pahandut.
Kaltim ; Pada
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui
pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di
Banjarmasin.
Kalbar : SEJARAH KAPUAS HULU PADA ZAMAN BELANDA
Sejumlah pegunungan yang membentang di Kabupaten Kapuas Hulu, serupa Schwaner dan Muller, ternyata diabadikan dari nama sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing pertengahan abad XIX di daerah itu. Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-Mahakam, suku Busang termasuk sub suku Uma Suling dan lain-lain serta suku Long Gelat sebuah sub suku dari Modang menempati daratan-daratan yang subur, sedangkan suku Aoheng mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua desa kecil Aoheng dan Semukng. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho atau Punan Keriu, serta suku semi nomad Hovongan atau Punan Bungan.
Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah Mayor Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I yang sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendati Sultan Kutai enggan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Berita kematian Muller menyulut kontroversi yang berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-waktu setiap kali informasi baru muncul. Sampai tahun 1950-an pengunjung-pengunjung daerah itu pun masih juga menanyakan nasib Muller. Bahkan sampai hari ini hal-hal sekitar kematian Muller belum juga terpecahkan. Diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas. Sangat mungkin bahwa pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab. Bagaimanapun, ketika ekspedisi Niewenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller.
Menjelang pertengahan abad XIX, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan perdagangan di muara sungai besar. Penguasaan niaga saja ternyata tidaklah cukup, dan kekuatan-kekuatan kolonial membutuhkan penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang berdasarkan struktur-struktur administratif dan militer. Dalam rangka inilah ekspedisi-ekspedisi besar dilakukan pada perempat akhir abad XIX. Ekspedisi ke Kapuas Hulu dimulai pada 1893 oleh Nieuwenhuis. Eksplorasi lebih lanjut lalu menyusul pada tahun-tahun pertama abad yang baru oleh Enthoven di Kapuas Hulu Hingga di tahun 1930-an, seluruh pedalaman Borneo telah jatuh di bawah kekuasaan sebenarnya dari kekuatan-kekuatan kolonial, kecuali Kesultanan Brunei yang sudah sangat menciut.
Informasi tentang Borneo dari sebelum zaman penjajahan tidak banyak diketahui. Abad XIX terjadi migrasi suku Dayak Iban secara besar-besaran, memasuki lembah Rejang dari selatan, mungkin dari daerah aliran Sungai Kapuas. Sebelumnya di daerah aliran Sungai Rejang tidak terdapat suku Iban. Dengan bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, suku Iban menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai itu pada tahun 1863 dan terus maju ke utara dan ke timur. Pesta perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya. Menjelang awal tahun 1900-an suku Dayak pengayau telah memasuki daerah hulu Sungai Rajang, Kayan, Mahakam dan Kapuas yang terpencil.
Pada
6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September
Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan
Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November
diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina
di Sambas. Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak
dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor
menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan
hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda
dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun
pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu
Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda
karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam
Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul
mundur ke Monterado.
Setelah
gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret
penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei
komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan
kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Tahun 1850, kerajaan Sambas yang
dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian
gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta
bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin
Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat
pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit
Penibungan, Pemangkat.
Abad 18
Tahun
1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar
perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas
yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado
yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4
Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah,
dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan
oleh Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi
pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan
di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan
pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan
Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa
untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak
Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi
prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina
(tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang
Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat. Tahun 1921-1929 karena di
Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang
Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak
dan Kalimantan Barat.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin
dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie
Waterafdeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh
seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957
Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau
Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7
Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua
provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
A.2.4. Masa Kemerdekaan
But
the country was not aiming at subjecting to it's former ruler again.
Strong resistance, mainly on Jawa, and several diplomatical manouvres
lead to the call for independence in 1945. The Netherlands didn't recognise the government, and only have Indonesia
sovereignty four years later. Kalimantan did not play an important role
during the battle for independence, but it had important military role
in the Indonesian confrontation with Malaysia.
Because both camps realized Sukarno was not looking for more land, but
only internal political power, no big fights were fought. Dayak at both
sides of the borders used the opportunity to headhunt several people,
the ultimate way to show courage. (Tetapi negeri adalah tidak mengarahkan tunduk kepada adalah penguasa/penggaris terdahulu lagi . Perlawanan yang kuat terutama di Jawa dan beberapa manuver diplomatik mendorong terjadinya kemerdekaan indonesia pada tahun 1945. Netherlands tidak mengenali pemerintah, dan hanya mempunyai Kedaulatan Indonesia empat tahun kemudian. Kalimantan
tidak memainkan peranan penting dalam pertempuran untuk mencapai
kemerdekaan, namun ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan malaysia justru dimainkan peranannya. ,
Sebab kedua-duanya kemah [merealisir/sadari] Sukarno adalah tidak
mencari lebih [] daratan, tetapi hanya kuasa politis internal, tidak
(ada) perkelahian besar dilancarkan. Dayak pada kedua sisi (menyangkut)
perbatasan menggunakan kesempatan ke headhunt beberapa orang, jalan/cara
yang terakhir untuk menunjukkan keberanian)
A.2.5. Sejarah Pembentukan Wilayah Administrasi
Pada
masa kemerdekaan yakni sesudah pemulihan kedaulatan yang ditandai
dengan konprensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 14 Agustus 1950
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan
Pemerintah nomor 21 tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS
atas 10 propinsi (propinsi administratif). Satu diantaranya adalah Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 keresidenan yakni Keresidenan kalimantan Barat, Keresidenan kalimantan Selatan dan Keresidenan kalimantan Timur.
1. Residentie Zuid-Borneo (Keresidenan kalimantan Selatan)
2. Residentie Oost-Borneo (keresidenan kalimantan Timur)
3. Residentie West-Borneo (keresidenan Kalimantan Barat)^
Eks
Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3
Kabupaten yaitu ; (1) Kabupaten Kapuas,(2) Kabupaten Barito dan (3)
Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama daerah Otonom Daerah Banjar dan
Federasi Kalimantan Tenggara, di gabungkan kedalam Keresidenan
Kalimantan Selatan.
Undang-undang
Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Januari
1953, tapi karena terbentur sulitnya cara-cara pemilihan/pengangkatan
anggota DPRD Propinsi, hingga selalu gagal, maka sampai saatnya
Kalimantan dipecah menjadi tiga propinsi otonom[16].
Setelah
satu tahun terbentuknya Propinsi Kalimantan dan setelah meninjau
berbagai segi, rupanya pemerintah pusat berpendapat bahwa kini tibalah
saatnya untuk meninjau kembali pembagian Kalimantan
lebih lanjut dalam beberapa daerah otonom propinsi. Dan kabinet dalam
rapatnya ke 33 tanggal 4 Oktober 1956 pada prinsipnya telah memutuskan
untuk memekarkan Propinsi Kalimantan yang sekarang ini menjadi tiga
propinsi otonom, sedangkan untuk memudahkan dibentuknya Propinsi
Kalimantan Tengah kelak di kemudian hari, maka secara administratif
Kalimantan Selatan segera sesudah berlakunya undang-undang tersebut akan
dibagi menjadi dua keresidenan.
Propinsi
Kalimantan Tengah yang akan meliputi Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas
dan Kabupaten Kotawaringin pembentukannya ditangguhkan
selambat-lambatnya tiga tahun. Penangguhan ini mengingat akan keadaan
uang negara, besarnya penghasilan dapat dipungut oleh propinsi sendiri
di daerahnya masing-masing serta keadaan peralatan pemerintah pada
umumnya dan khususnya kekurangan akan tenaga-tenaga teknis yang kapabel[17].
Sesudah
melalui sidang-sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah
maka akhirnya disahkanlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang
tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi
Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1956) yang diundangkan pada tanggal 7
Desember 1956. Tetapi di dalam Pasal 93 disebutkan bahwa Undang-undang
ini mulai berlaku pada hari yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam
Negeri. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 52/10/50 tanggal 12
Desember 1956 ditetapkan bahwa Undang-undang tersebut mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Pada tanggal 9 Januari 1957
dengan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah
dilakukan serah terima kekuasaan pemerintahan antara Gubernur Kalimantan
(Milono) dengan Acting Gubernur Kalimantan Selatan Syarkawi, Acting
Gubernur Kalimantan Barat A.R Afloes, Acting Gubernur Kalimantan Timur
Bambang Pranoto di Banjarmasin. Pada
kesempatan ini telah diresmikan pula oleh Menteri Dalam Negeri Kantor
Gubernur Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin[18].
Pasal
1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tersebut di atas menyebutkan :
“Daerah Otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang
Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 Nomor 8) dibubarkan dan
wilayahnya dibagi untuk sementara menjadi Daerah Tingkat I, yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan
batas-batas sebagai berikut :
1. Propinsi
Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak, yang wilayahnya
meliputi Daerah-daerah Otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang,
Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Kota Besar Pontianak, tersebut dalam
Pasal 1 ad. 1 Nomor 9 sampai dengan 15 Undang-undang Darurat Nomor 2
Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);
2. Propinsi
Kalimantan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin, yang wilayahnya
meliputi Daerah-daerah Otonom Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan,
Hulu Sungai Utara, Barito, Kapuas, Kotawaringin, Kotabaru dan Kota Besar
Banjarmasin, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1 Nomor 1 sampai dengan 8
(delapan) Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 (Lembaran Negara
Nomor 9 Tahun 1953);
3. Propinsi
Kalimantan Timur yang berkedudukan di Samarinda yang wilayahnya
meliputi Daerah-daerah Otonom Istimewa Kutai, Bulongan dan Berau,
tersebut dalam Pasal 1 ad. II Nomor 1 sampai 3 Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953).[19]
Di
dalam Pasal 3 Undang-undang tersebut ditetapkan jumlah anggota Dewan
Pemerintah Daerah (DPD) masing-masing Propinsi sekurang-kurangnya lima
orang, dengan ketentuan jumlah tersebut diluar Gubernur Kepala Daerah
Propinsi yang menjabat Ketua Dewan Pemerinah Daerah Propinsi dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Propinsi ini masing-masing terdiri dari
tiga puluh orang. Kemudian dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan
Perubahan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Swantantra Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur, maka terjadi pengurangan wilayah pemerintahan atas
Propinsi Kalimantan Selatan. Propinsi Kalimantan Selatan yang semula
terdiri dari delapan daerah kabupaten berkurang menjadi empat kabupaten
dan satu kota besar, karena Kapuas, Barito dan Kotawaringin dimasukkan ke dalam wilayah Propinsi Kalimantan Tengah[20].
Dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1956, tentang Pembentukan DPRD dan DPD
Peralihan, ditentukan antara lain bahwa DPRD Peralihan akan bubar,
sesudah DPRD atas dasar pemilihan umum dilantik, tetapi
selambat-lambatnya satu tahun. Pada tanggal 24 September 1956 dinyatakan
mulai berlaku tentang undang-undang pemilihan anggota DPRD (dengan
dasar pemilihan umum) berdasarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1956).[21]
Tetapi
meskipun satu tahun berlaku ternyata DPRD atas dasar Undang-undang
tersebut belum dapat dibentuk , maka oleh Pemerintah Pusat dengan
Undang-undang Darurat Nomor 9 Tahun 1957 yang ditetapkan kemudian dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1958, ditentukanlah perpanjangan masa kerja
DPRD Peralihan dengan ketentuan baru dapat bubar setelah DPRD atas
dasar pemilihan umum dilantik sampai dengan 17 Juli 1957. Sementara DPRD
Peralihan terus berjalan, keluarlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Peraturan Daerah sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 yang menjadi dasar pemerintahan daerah ke DPRD
semula, karena undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 18
Januari 1957, sedangkan DPRD Peralihan di wilayah Kalimantan Selatan
belum bubar maka dengan sendirinya DPRD Peralihan menjalankan wewenang
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Dan dengan dasar
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 inilah nama-nama daerah berubah yakni :
1. Propinsi menjadi Daerah Swatantra Tingkat I
2. Kabupaten menjadi Daerah Swatantra Tingkat II
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
1956 serta Petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri juga Peraturan Daerah
Propinsi Kalimantan Selatan tanggal 25 Februari 1957 Nomor 13 Tahun 1957
(yang diubah beberapa kali), terakhir dengan Peraturan Daerah Propinsi
Kalimantan Selatan tanggal 20 Desember 1957 Nomor 23 Tahun 1957 diadakan
serentak Pemilihan Umum DPRD Swatantra Tingkat I dan Tingkat II/
Kotapraja di seluruh Wilayah Kalimantan Selatan (tidak termasuk lagi
Kalimantan Tengah), masing-masing daerah telah tersusun dan dilantik
pada pertengahan 1958. Kemudian menyusullah penyempurnaan Pemerintahan
Daerah yang karena belum dapat dipilih oleh rakyat, dipilih oleh
masing-masing DPRD. Adapun dasar dari pemilihan Kepala Daerah tersebut
di atas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1957 tentang
Penerapan Umum Mengenai Syarat-syarat Kecakapan Pengetahuan dan Cara
serta Pengesahan Kepala Daerah.[23]
Dengan
keluarnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan
Undang-undang Darurat Tahun 1953 menjadi Undang-undang maka Daerah
Tingkat I Kalimantan Selatan akhirnya mempunyai wilayah sebanyak tujuh
Daerah Tingkat II / Kotapraja yang terdiri dari :
1. Daerah Kotapraja Banjarmasin dengan ibukotanya Banjarmasin
2. Daerah Tingkat II Banjar dengan ibukotanya Martapura
3. Daerah Tingkat II Barito Kuala dengan ibukotanya Marabahan
4. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Selatan ibukotanya Kandangan
5. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Tengah ibukotanya Barabai
6. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara ibukotanya Amuntai
Berdasarkan Undang Undang Darurat No.2 tahun 1953 [R6] (Lembaran
Negara Tahun 1953 No.8) terbentuk Daerah Kalimantan dengan ibukotanya
di Banjarmasin. Perkembangan ketatanegaraan, maka Pemerintah Pusat
mengeluarkan UU Nomor 25 tahun 1956 yang isinya membagi Kalimantan
menjadi 3 (tiga) propinsi dan diberlakukan terhitung tanggal 1 januari
1957, maka Kalimantan menjadi Kalimantan timur, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Barat. Penjelasan UU nomor 25 tahun 1956 tersebut hanya
menyatakan, bahwa Kalimantan Tengah Akan dibentuk menjadi propinsi
otonom selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga (3) tahun, sebelumnya
akan dibentuk terlebih dahulu daerah kerisedenan sebagai persiapan.
Akhirnya
dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran Negara Nomor
53 tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 1284
tertanggal 23 mei 1957 dibentuklah Propinsi Kalimantan Tengah
A.2.6. Masa Eksploitasi
Sejarah Kota Pontianak
Pada
tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober
1771 Masehi, rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di
persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas
untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat
tersebut diberi nama Pontianak. Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman
Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan.
Tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Adapun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak: 1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808 2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819. 3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855. 4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872. 5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895. 6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944. 7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945. 8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.
SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA
Kota
Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie (lahir 1742 H)
yang membuka pertama Kota Pontianak, pada hari Rabu tanggal 23 Oktober
1771 bertepatan dengan tanggal 14 Radjab 1185, untuk kemudian pada
Hijriah sanah 1192 delapan hari bulan Sja'ban hari Isnen, SYARIF ABDURRAHMAN ALKADRIE dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak.
Selanjutnya
2 tahun kemudian setelah Sultan Kerajaan Pontianak dinobatkan, maka
pada Hijrah sanah 1194 bersamaan tahun 1778, masuk dominasi kolonialis
Belanda dari Batavia (Betawi) utusannya Petor (Asistent Resident)
dari Rembang bernama WILLEM ARDINPOLA, dan mulai pada masa itu bangsa
Belanda berada di Pontianak, oleh Sultan Pontianak. Bangsa Belanda itu ditempatkan di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama TANAH SERIBU (Verkendepaal).
Dan
baru pada tanggal 5 Juli 1779, 0.1. Compagnie Belanda membuat
perjanjian (Politiek Contract) dengan Sultan Pontianak tentang
penduduk Tanah Seribu (Verkendepaal) untuk dijadikan tempat kegiatan
bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi tempat/kedudukan Pemerintah
Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan
Borneo lstana Kadariah Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der
Affleeling van Pontianak (Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten
Pontianak) dan selanjutnya Controleur het Hoofd Onderaffleeling van
Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur van Pontianak (bersamaan dengan
Kepatihan) membawahi Demang het Hoofd der Distrik Van Pontianak
(Wedana) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Siantan (Ass.
Wedana/ Camat) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Sungai
Kakap (Ass. Wedana/Camat).
Kronologis berdirinya Plaatselijk Fonds seterusnya Stadsgemeente, Pemerintah Kota Pontianak, Kotapraja, Kota Besar, Kotamadya Dati 11 Pontianak dapat diuraikan sebagai berikut :
PLATSELIJK FONDS
Berada
dibawah kekuasaan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van
Pontianak (semacam Bupati KDH Tk. II Pontianak). Plaatselijk Fonds
merupakan badan, yang mengelola dan mengurus Eigendom (milik)
Pemerintah, dan mengurus dana /keuangan yang diperoleh dari : Pajak,
Opstalperceelen, Andjing Reclame, Minuman keras dan Retribusi Pasar,
penerangan jalan, semuanya berdasarkan Verordening/Peraturan yang
berlaku.
Daerah
kerja Platselijk Fonds adalah daerah Verkendepaal (Tanah Seribu).
Pimpinan Plaatselijk Fonds terdiri dari : Voorziter (Ketua) Beheerder
Staadfonds (Pimpinan selain Voorzter), Sekretaris. Behercomisie
dibantu beberapa Comisieleden (Pengawasan) Plaatselijk Fonds, setelah
pendaratan Jepang, praktis terhenti, terkecuali soal kebersihan, dan
bekerja kembali dengan pimpinan tentara Jepang, setelah masuk tenaga
sipil Jepang dan adanya Kenkarikan (semacam Asisten Resident) Jepang,
maka Platselijk Fonds dihidupkan kembali berganti nama SHINTJO yang
dipimpin orang Indonesia yaitu Alin. Bp. MUHAMMAD ABDURRACHMAN sebagai
SHINTJO dan untuk Pimpinan Pemerintah Sipil tetap ada Demang & Ass.
Demang dengan nama Jepang adalah GUNTJO.
STADSGEMEENTE (LAMDSHAAP GEMEENTE)
Berdasarkan
Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No.
24/1/1940 PK yang disahkan/Goedgskeurd de Resident der WesteraMeeling
Van Borneo (Dr. J VAN DER SWAAL) menetapkan sementara sebagai berikut:
Yang menjadi Syahkota pertama adalah R. SOEPARDAN, dan Syahkota melakukan serah terima harta benda dan keuangan Platselijk Fonds pada tanggal 1 Oktober 1946 dari Staats Fonds MUHAMMAD ABDURRACHMAN.
Masa
jabatan Syahkota R. SOEPARDAN 1 Oktober 1946 dan berakhir awal tahun
1948, untuk selanjutnya berdasarkan penetapan Pemerintah Kerajaan
Pontianak diangkat ADS. HIDAYAT, dengan jabatan BURGERMESTER Pontianak
sampai tahun 1950.
PEMERINTAHAN KOTA PONTIANAK
Pembentukan Stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak
tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/I946/KP dirobah dan diperhatikan kembali dengan Undang-Undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP, memutuskan mulai dari tanggal Peraturan ini berlaku maka Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak bertanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1946/KP dirubah dan diperhatikan kembali. Dalam undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah kota Pontianak. Sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota Pontianak. Walikota pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah NY. ROHANA MUTHALIB, sebagai wakil Walikota Pontianak, dan apa sebab kedudukannya sebagai Wakil Walikota Pontianak, mengingat pasal 25 dari U.U. Ketua Pontianak sebagai Walikota hanya dapat diangkat lelaki yang menurut keputusan Hakim.
Sebagai
pengganti NY. ROHANA MUTHALIB, oleh Pemerintah diangkat SOEMARTOYO,
sebagai Walikota Besar Pontianak, mengingat peralihan Kekuasaan
Swapraja Pontianak kepada Bupati/Kabupaten Pontianak tidak termasuk,
maka Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak berstatus Otonom. Sesuai
dengan perkembangan Tata Pemerintahan, maka dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan LANDSCHAP GEMEENTE,
ditingkatkan menjadi KOTA PRAJA Pontianak. Pada masa ini Urusan Pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Daerah ( Otonomi Daerah ).
Selanjutnya
perkembangan Pemerintah Kota Praja Pontianak berubah dan sebutannya
yaitu dengan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Penetapan
Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960,
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang Undang No.
18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja
Pontianak No. 021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota
Praja Pontianak diganti menjadi KOTAMADYA PONTIANAK. Kemudian dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 1974, maka sebutan/nama Kotamadya Pontianak
berubah menjadi KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PONTIANAK. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah yang
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia merubah sebutan untuk
Pemerintah Tingkat 11 Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota
Pontianak.
|
[1] Harry Widianta dan Retno Handini. Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap III - IV Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin. 1998/1999.
[2] Sartono Kartodirdjo, ”Historiografi Tradisional, Modern , Fungsi dan Strukturnya”, dalam Makalah Simposium Internasional Ilmu Humaniora I, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993, hal. 7.
[4] http://0141117.tripod.com/sejarah.htm
[5]
“Hikayat Banjar” adalah sebuah manuskrip tua yang telah lama dikenal di
daerah Kalimantan Selatan sejak Zaman Kerajaan Banjar. Nama asli dari
manuskrip tersebut beberapa macam, misalnya : Hikayat Lambung Mangkurat,
Tutur Candi, Hikayat Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, Cerita Lambung
Mangkurat dan Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin. Tidak diketahui
mengenai penulis Hikayat Banjar, tetapi satu hal yang jelas adalah
penulis atau penyalinnya bukanlah satu orang Raja, melainkan ditulis
dan/atau disalin dari sumber lisan oleh orang banyak. Oleh karena itu
dapat dimengerti jika terdapat banyak koleksi naskah Hikayat Banjar yang
tidak sama bentuk dan isinya.
[6] Lihat J.J. Ras, Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography, The Martinus Nijhoff, 1968, hal. 238.
[7]
Tentang Sarunai Fridolin Ukur menyebutnya sebagai sebuah kerajaan Orang
Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa. Lihat .Fridolin Ukur, Tanya Jawab Tentang Suku Dayak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977, hal. 46.
[8] A.B. Hudson, ibid.
[9] Menurut Schrieke, Keling identik dengan Kediri Utara lihat B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies Part Two, N.V. Mijvarking van Hocke, Bandung, 1957, hal. l26.
[10] A. Van Der Ven, op.cit., hal.93
[11] M.Z. Arifin Anis,”Banjarmasih Sebagai Bandar Perdagangan Pada Abad XVII”.Dalam Jurnal Vidya Karya Nomor 2, Oktober 2000, Banjarmasin, hal. 91
[12] Lebih jauh tentang isi Proklamasi 11 Juni 1860, lihat Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 51-53 dan H.G. Gusti Mayur, Perang Banjar, CV. Rapi, Banjarmasin, 1979, hal. 60-61.
[13] Soenarto et al., ibid., hal. 32-33. Lihat pula Depdikbud, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin,
1977/1978, hal. 64-65 yang terdiri dari 3 afdeling yaitu Afdeling
Banjarmasin, Afdeling Martapura dan Afdeling Amuntai. Bandingkan dengan
Amir Hasan Kiai Bondan, op.cit., hal. 192-194.
[14] M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1978/1979,
[15] bagian ini diambil dari anonim (1978),sejarah daerah Kalimantan Selatan. Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta;Gusti Mayur H (1979). Perang Banjar. CV Rapi. Banjarmasin dan Anonim (2002)Sejarah kaimantan Tengah.Draft-3.Naskah Belum diterbitkan
[16] Kodam X/LM, loc.cit.
[17] Alex A. Koroh, op.cit, hal. 58.
[18] Alex A. Koroh, ibid, hal. 59.
[19] Alex A. Koroh, ibid, hal. 60.
[20] Alex A. Koroh, loc.cit.
[21] Kodam X/LM, ibid, hal. 574
[22] Kodam X/LM, loc.cit.
[23] Kodam X/LM, loc.cit.
[24] Kodam X/LM, ibid, hal. 576.
[R1]Masukkan kedalam sejarah saja
[R2]Kerajaan islam
[t3]Lebih detail permasalajhan migrasi penduduk cari di Bab 8
[R4]Cek lagi. Sebelum
1865 kalseltim dikuasai secara tidak langsung oleh VOC, Kekalahan Pada
perang Banjar menyebabkan kerajaan Banjar dan Bawahannya di kuasai penuh
kecuali Kalteng karena mereka masih berperang sampai tahun 1905
[R5]Dari sejarah banjar.
Sumber:
http://soborneo.blogspot.com/2006/04/sejarah-perkembangan-penduduk-di.html
No comments:
Post a Comment