Peninggalan Arkeologis Tertua di Nusantara | ||||||||||||||||||||||||||||
Agus Aris Munandar | Selasa, 24 Desember 2013 | ||||||||||||||||||||||||||||
Kepulauan Nusantara yang dilalui garis khatulistiwa merupakan
kawasan tropis yang mempunyai banyak peninggalan dari masa silam, baik
masa silam yang tidak terlalu jauh, atau pun masa silam yang cukup jauh
hingga ribuan tahun sebelum tarikh Masehi mulai dihitung. Dalam
perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya pembabakan
atau periodisasi yang meliputi beberapa tahapan perkembangan zaman
peradaban (the age of civilization). Pada hampir semua wilayah
Nusantara babakan pertama dari peradabannya adalah masa prasejarah,
suatu masa yang belum meninggalkan bukti-bukti tertulis. Masa
prasejarah tersebut ternyata berhenti pada waktu yang berbeda-beda di
tiap wilayah kepulauan Nusantara. Ada wilayah yang cepat meninggalkan
bukti tertulis dalam sekitar abad ke-4 M (adalah Kalimantan Timur dan
Jawa bagian barat), tetapi ada pula daerah yang sangat terlambat
mengenal tulisan (misalnya wilayah pedalaman pulau-pulau Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua). Di antara zaman prasejarah dan zaman sejarah, terdapat suatu masa peralihan yang lazim disebut dengan masa protosejarah. Suatu daerah disebut telah memasuki masa protosejarah apabila mempunyai dua bukti atau dua kondisi, sebagai berikut: 1.Apabila berita tentang daerah tersebut telah dicatat oleh penduduk wilayah lain yang telah mengenal tulisan, sementara penduduk setempat belum mengenalnya. 2.Apabila di suatu wilayah terdapat bentuk-bentuk yang diduga tulisan dan dipahatkan atau digoreskan pada media batu, logam, atau media keras lainnya, akan tetapi belum dapat dibaca atau diartikan hingga sekarang. Ketika wilayah Tarumanagara di Jawa bagian barat dan Kutai Kuno di Kalimantan Timur telah meninggalkan prasasti-prasastinya, maka pada masa itu banyak daerah lain di Nusantara masih dalam era prasejarah, sekurang-kurang dalam kondisi protosejarah sebab berita-berita tentang pantai timur Sumatra, dan Kalimantan telah dicatat dalam laporan-laporan perjalanan para musafir Cina. Pada waktu di Jawa, Sumatra, dan Bali telah berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha, maka di banyak wilayah pedalaman pulau lainnya di Nusantara masih dalam kondisi protosejarah. Berita-berita tentang wilayah yang belum meninggalkan sumber tertulis tersebut telah dicatat dalam naskah-naskah Jawa Kuno dan Bali Kuno misalnya dalam kakawin Nagarakrtagama dan kitab Pararaton. Demikianlah bahwa di berbagai daerah Indonesia, batas akhir zaman prasejarah dan protosejarah itu berbeda-beda, tidak mempunyai batas kronologi yang sama dan sejajar. Masa prasejarah adalah era panjang tanpa peninggalan tertulis, di kepulauan Indonesia masa prasejarah membentang sebelum zaman proto-sejarah (secara umum dihitung dari abad pertama hingga ke-4 M). Untuk mudahnya masa prasejarah Indonesia diidentifika-sikan dari abad pertama masehi dan terus mundur ke belakang hingga temuan tertua dari masa itu yang berhasil dikaji hingga sekarang. Berdasarkan temuan fossil Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Soloensis yang terdapat di Pulau Jawa dapat diduga manusia purba tersebut hidup sekitar 80.000—50.000 tahun yang lalu. Usia tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia Pithecanthropus adalah 75 tahun, umur harapan pada waktu lahir antara 20 tahun, sedangkan umur rata-rata hidup Pithecantropus antara 15—25 tahun (Soejono 1984: 79). Fossil manusia purba lainnya dari genus Homo yang ditemukan di Indonesia adalah Homo Wajakensis dan. Manusia Wajak telah dapat digolongkan sebagai Homo Sapiens, namun berbeda dengan manusia sekarang (Homo Sapiens-sapiens). Pada fossil Homo Wajakensis terdapat ciri yang memperlihatkan Mongoloid dan juga Australomelanesid, mungkin sekali dari ras Wajak tersebut menurunkan subras Melayu Indonesia sebagaimana yang hidup sekarang. Homo Wajakensis ditafsirkan hidup sekitar 40.000 tahun sebelum sekarang (Soejono 1984: 82). Ras-ras manusia purba tersebut yang diduga hidup dalam periode berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan dalam era selanjutnya, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Masa bercocok tanam di Indonesia berlangsung sekitar 10.000 tahun yang lalu, pada masa itu terdapat bukti-bukti bahwa penduduk kepulauan Indonesia telah menetap dan mengolah tanah untuk menghasilkan makanan. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah mengikuti hewan buruan dan mencari bahan pangannya. Setelah masa tersebut menyusul periode kemahiran pertukangan (perundagian), di Indonesia masa perundagian dimulai antara 4000 tahun-3000 tahun yang lalu (Soejono 1981: 20). Dalam masa perundagian masyarakat manusia telah mengenal perkakas logam, menghasilkan monumen-monumen dari batu besar, membuat rumah-rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang, dan ada bukti-bukti melakukan pemujaan kepada arwah leluhur. Mendekati tahun pertama Masehi, penduduk wilayah kepulauan Indonesia semakin maju kepandaiannya, dan sudah mulai dicatat dalam berita-berita para musafir dari India dan Cina. Demikianlah akhirnya pada abad ke-4 M, di sebagian wilayah Indonesia telah dikenal bentuk tulisan Pallawa yang berasal dari India, maka secara umum dapat dinyatakan bahwa kepulauan Indonesia memasuki zaman sejarahnya. /2/ Kajian ringkas ini membicarakan tentang peninggalan-peninggalan tertua yang terdapat di kepulauan Nusantara. Tentu saja kronologi yang berkaitan dengan peninggalan tertua tersebut adalah zaman prasejarah, bukan dari zaman Hindu-Buddha yang sudah berada dalam babakan sejarah. Pengertian peninggalan yang dimaksudkan dalam telaah ini adalah benda-benda dari masa lalu yang bersifat monumental dan besar (megalitihic), bukan artefak batu (lithic) yang dapat dibawa dengan mudah (moveable artifact) seperti kampak batu atau peralatan batu lainnya yang digolongkan ke dalam jenis palaeolithic atau pun Neolithic. Dataran tinggi agaknya wilayah yang telah lama menjadi perhatian nenek moyang bangsa Indonesia, karena di banyak tempat di wilayah dataran tinggi selalu didapatkan peninggalan purbakala yang mengindikasikan pernah adanya ritual keagamaan di masa silam. Beberapa contoh dataran tinggi yang mempunyai banyak kepurbakalaan dari kebudayaan masa silam Indonesia yang dihubungkan dengan aktivitas religi, antara lain adalah: (a) Bada, di wilayah Sulawesi Tengah, situs tersebut memiliki arca-arca batu monolitik berukuran besar, selain benda-benda batu lainnya seperti menhir dan kalamba, (b) dataran tinggi Parahyangan di Jawa Barat juga mempunyai banyak peninggalan kuno misal bangunan punden-punden berundak, (c) Dieng, merupakan dataran tinggi yang mempunyai peninggalan bangunan candi-candi Hindu dengan arsitektur tergolong tua di Jawa, dan (d) dataran tinggi Basemah (Pasemah) di Sumatera Selatan yang juga dipenuhi oleh berbagai peninggalan kuno yang sangat mungkin berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Dalam hal kepurbakalaan di dataran tinggi Dieng, dalam kajian ini tidak akan diperbincangkan lebih lanjut, karena termasuk peninggalan dalam zaman Hindu-Buddha, namun perlu disebutkan bahwa penghormatan kepada dataran tinggi ternyata terus berlanjut dalam era sejarah seperti di Dieng (abad ke-8--11 M), Gedong Songo (abad ke-8 M), dan Gunung Penanggungan (abad ke-14—15 M). Penghormatan seperti itu terus juga terjadi hingga masa perkembangan Islam di Tanah Jawa, namun hal dapat menjadi bahan kajian tersendiri. Sejalan dengan hal itu maka dalam telaah ini dikemukakan 3 situs penting di Indonesia yang terletak di dataran tinggi, namun aspek-aspeknya belum banyak diungkapkan oleh para ahli arkeologi. Ketiga situs itu adalah: 1.Situs megalitik Pasemah, sebagian besar situs terletak di wilayah Pagar Alam di Sumatera selatan. 2.Situs megalitik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah. 3.Situs Goa Made di wilayah Jombang bagian utara yang baru saja ditemukan dan dikaji dalam tahun-tahun terakhir ini. Kronologi ketiga situs tersebut masih belum dipastikan secara tepat, karena banyak temuan serta yang dapat membantu menentukan penanggalan relatifnya. Berdasarkan temuan serta yang ada situs-situs tersebut mempunyai kronologi panjang, sejak zaman bercocok tanam-perundagian hingga zaman sejarah. Di Goa Made kronologi termuda menembus hingga masa Kerajaan Majapahit dalam abad ke-14-15 M. /3/ Agar pembicaraan dapat terarah dan sistematis, selanjutkan diuraikan secara garis besar, gambaran 3 situs penting di Indonesia itu sebagai berikut: a.Situs Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah. Seorang pendeta Belanda dalam tahun 1898 melaporkan bahwa di daerah Sulawesi Tengah dekat dengan Danau Poso terdapat arca-arca batu berukuran besar dan kecil. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan datangnya peneliti Belanda lainnya bernama A.C.Kruyt dalam tahun 1908. Ia mendapatkan arca-arca megalitik di lembah yang luas, lembah itu dinamakan Bada, di jantung Pulau Sulawesi. Foto 1: Salah satu arca megalitik di Lembah Bada, tinggi 4 m, penduduk setempat Menamakannya dengan Paliodo (Internet, 2010). Di daerah Bada dan sekitarnya juga dijumpai bejana batu, ada yang dinding luarnya polos tanpa hiasan, namun ada pula yang dihias dengan relief rendah menggambarkan wajah manusia (topeng). Penduduk setempat menamakan bejana batu itu dengan kalamba dan mempunyai tutup batu pula, tetapi banyak tutup kalamba yang telah pecah. Ditafsirkan bahwa kalamba dahulu berfungsi untuk meletakkan jenazah, jadi sebagai kubur. Bejana batu sebagai kubur ternyata dijumpai pula di daratan Asia Tenggara, terutama di lembah Sungai Mekhong (Laos) (Prasetyo 2004: 128). Berdasarkan berbagai peninggalan arkeologi yang bersifat monumental tersebut dapat dikemukakan bahwa masyarakat pendukung peradaban di Lembah Bada pada masa silam relatif telah cukup maju, dan sengaja memilih dataran tinggi yang berupa lembah di antara rangkaian pegunungan yang mengitarinya. b.Situs Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan. Di wilayah Pagar Alam, di lereng Gunung Dempo (3159 m), Sumatra Selatan, terdapat situs megalitik yang sangat luas, dalam kajian arkeologi Indonesia dikenal dengan nama situs megalitik Pasemah. Peneliti pertama yang membahas peninggalan arkeologi Pasemah, ialah L.Ullmann, telaahnya dimuat dalam karyanya berjudul “Hindoe-belden in de binnenlanden van Palembang” (1850), ia menyatakan bahwa arca-arca besar dari batu tunggal yang ditemukan tersebar di dataran tinggi Pagar Alam merupakan arca-arca dewa Hindu. Pernyataan itu diperkuat oleh E.P.Tombrink dalam karyanya yang berjudul “Hindoe-monumenten in Bovenlanden van Palembang” (1872). Dalam karyanya Tombrink menyimpulkan bahwa kepurbakalaan yang terdapat di pedalaman Palembang, atau di Tanah Basemah dibangun oleh orang-orang dari masa silam yang mendukung kebudayaan Hindu. Begitupun L.C,Westenenk dalam makalahnya yang berjudul “De Hindoe-Javanen in Midden- en Zuid Sumatra” (1921) dan “De Hindoe-Oudheden in de Pasemah-Hoogvlakte (Residentie Palembang)” (1922), menyatakan bahwa peninggalan kepurbakalaan di Pasemah tersebut berasal dari aktivitas orang yang beragama Hindu yang berasal dari luar Sumatera. Foto 2: “Batu Gajah” dari Pasemah yang sekarang disimpan di Museum Balaputradewa, Palembang (Internet, 2010). Peneliti yang secara luas mempelajari situs Pasemah ialah A.N.J.Th.a.Th.van Der Hoop dalam bukunya Megalithic Remains in South Sumatra (1932). Ia menyimpulkan bahwa arca-arca di situs Pasemah dibuat oleh masyarakat megalitik. Hasil kajian Van Der Hoop mencatat adanya bermacam peninggalan kebudayaan megalitik di dataran tinggi Pasemah, sebagai berikut: 1.Arca-arca yang diletakkan di berbagai lokasi, dengan orientasi berbeda menghadap ke berbagai arah. 2.Lesung batu, menurut Van der Hoop benda ini dapat dijadikan penanda adanya garis poros, namun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan garis poros tersebut. 3.Palung batu, bentuknya seperti sarkopagus dalam ukuran kecil, mungkin sebagai tempat untuk meletakkan tulang belulang si mati dalam proses penguburan kedua (secondary burial). 4.Batu-batu tegak (menhir) yang berdiri terpisah-pisah 5.Tetralith : kelompok 4 batu dengan denah empat persegi panjang, orientasinya timur-barat, terletak antara lain di Gunungmegang. Kelompok tetralith tersebut ada yang ditata dengan teratur, tetapi ada juga yang diletakkan “asal-asalan”. 6.Jalan dengan hamparan batu (stone avenue), terletak di Talang Padang dengan orientasi utara selatan. 7.Dolmen ditemukan di banyak lokasi, tidak memperlihatkan adanya pola atau garis poros yang dapat dihubungkan dengan keletakkan tersebut. 8.Kubur batu (stonecist), hampir semua kubur batu mempunyai orientasi timur-barat, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tradisi penguburan yang dikenal dalam kebudayaan Pasemah kuno adalah dengan arah demikian. 9.Batu-batu berlubang atau disebut juga batu dakon ditemukan di beberapa tempat ada yang mempunyai banyak sekali lubang di permukaannya, ada pula yang hanya sedikit lubang. 10.Kuburan bertingkat (terrace graves) , dalam sumber tradisi dianggap sebagai kuburan si Pahit Lidah terdapat di daerah Mingkik. Punden berundak tersebut mempunyai orientasi barat laut-tenggara, jika dibandingkan dengan punden bertingkat di Lebak Sibedug Banten, maka orientasinya berbeda, karena punden berundak Lebak Sibedug mempunyai orientasi timur-barat. Demikianlah dalam hal orientasi mata angin, maka megalitik di Pasemah mempunyai dua macam orientasi yang selalu dikenal, yaitu timur-barat dan barat laut-tenggara (van Der Hoop 1932: 151--153). Van Der Hoop menyatakan bahwa para pendukung kebudayaan megalitik di Pasemah bukan orang-orang Negrito, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh L.C.Westenenk (1921 & 1922), melainkan orang-orang setempat sendiri, merekalah nenek moyang etnik Melayu yang berkembang di masa kemudian. Masa itu di wilayah Pasemah berkembang kebudayaan megalitik bersamaan dengan teknik pembuatan benda-benda perunggu, hal itulah yang terlihat dari temuan kekunaan yang ada di wilayah tersebut (1932: 156—157). Pernyataan yang menarik dari Van Der Hoop adalah gambaran nekara yang dipahatkan di punggung tokoh pria yang menaiki gajah (Batu Gajah) haruslah dijadikan “leitfossil” (fosil pemandu) yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan megalitik Pasemah (1932: 158). Nekara perunggu ternyata dijumpai di beberapa lokasi lain di Indonesia, antara lain di Sumatra, Jawa, dan Bali. Oleh karena itu sepantasnya kemahiran membuat benda-benda perunggu telah tersebar merata di kalangan penduduk Nusantara sebelum datangnya pengaruh India. c.Topeng-topeng perunggu dari Situs Goa Made, Jombang, Jawa Timur Penelitian arkeologi di Goa Made mulai dilakukan oleh para arkeolog Indonesia dibantu Anacleto Spazzapan ahli geometri Italia dalam tahun 2006. Sebenarnya sebelum penggalian arkeologi tahun 2006 telah banyak ditemukan topeng perunggu oleh penduduk setempat. Topeng-topeng tersebut bentuknya bermacam-macam, namun sebagaimana topeng, maka yang digambarkan hanyalah bagian penutup wajah saja. Ada juga yang wujudnya patung dada jadi digambarkan kepala hingga dadanya (patung torso), dan terdapat pula topeng yang menggambarkan kepala hingga leher. Ukurannya bervariasi pada setiap topeng, untuk jelasnya perhatikan beberapa contoh topeng pada foto-foto berikut, Foto 3: beberapa contoh topeng yang ditemukan dari situs Goa Made (Hettabrezt spa, 2009) Ukuran ø 27 cm, tinggi 25 cm Ukuran ø 18 cm, tinggi 17 cm Ukuran 31 x 26, tinggi 36 cm Artefak perunggu dari Goa Made jumlahnya lebih dari 100 macam benda, umumnya berupa topeng, namun ada juga artefak lainnya seperti: 1.hewan gajah, 2.babi hutan yang ditunggangi manusia, 3.tabung silindris dengan puncak kepala manusia ganda (menghadap ke depan-belakang), 4.kelompok wadah seperti: bejana upacara, kendil, kendil bercucuk, dan lainnya 5.figur perempuan yang sedang menyusui anaknya, 6.gajah sedang mengamuk, belalainya membelit dan menginjak orang-orang, di punggungnya digambarkan ada pengendaranya yang sedang meniup terompet 7.Kereta dikendarai beberapa orang yang sedang ditarik gajah, dan sebagainya Dengan beranekanya temuan benda perunggu yang terdapat di situs Goa Made dan sekitarnya, menunjukkan bahwa areal situs tersebut di masa silam mempunyai peranan penting dalam aktivitas manusia. Pembicaraan selanjutnya adalah perihal topeng perunggu saja, karena topeng seperti itu tidak pernah dikenal dalam khasanah arkeologi Indonesia, sedangkan mengenai benda-benda lainnya akan dijelaskan dalam kajian selanjutnya. Apabila diperhatikan secara sepintas, maka raut wajah yang digambarkan oleh topeng-topeng tersebut banyak yang bukan memperlihatkan wajah orang Jawa atau orang Indonesia pada umumnya. Wajah-wajah topeng umumnya digambarkan dengan: (a) mata yang salah satu sudutnya (sudut luar) lebih naik dari sudut lainnya yang dekat dengan pangkal hidung, (b) beberapa topeng jelas digambarkan dengan mata yang sempit, (c) alis di atas mata juga digambarkan melengkung naik mengikuti mata yang digambarkan miring, hal itu mirip dengan raut wajah orang-orang Asiatic Mongoloid. Oleh beberapa arkeolog Indonesia situs Goa Made dihubungkan dengan periode Majapahit, alasan mereka adalah terdapatnya artefak perunggu dan batu yang dapat diidentifikasikan dari era Majapahit. Artefak-artefak khas Majapahit itu justru ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 2006 yang lalu. Penggalian itu dilakukan atas kerja sama antara arkeolog Indonesia dan ahli dari Italia, hasil penggalian menghasilkan bermacam temuan antara lain topeng perunggu, fragmen benda-benda perunggu, dan juga pecahan clupak batu (lampu minyak). Selain itu dari temuan lepas yang berasal dari sekitar situs Goa Made pun mengindikasikan bahwa banyak artefak perunggu justru berasal dari zaman Majapahit, seperti patung gajah, perempuan menyusui, perempuan dan anak-anaknya dalam perahu yang dihias bentuk kepala berang-berang, kereta yang ditarik gajah, dan sebagainya, jelas menunjukkan dari zaman Majapahit. Hal yang menarik adalah ditemukan arca bhiksu-bhiksu dan dewa-dewa Buddha yang khas bergaya Cina, dan itu pun dapat dipastikan berasal dari sekitar abad ke-13—14, artinya sezaman dengan perkembangan Majapahit. Perkara yang justru penting dan harus dijelaskan adalah banyaknya temuan artefak yang berwujud topeng dengan wajah yang umumnya berbeda dengan wajah-wajah orang Melayu (Malayan-Mongoloid). Penggambaran wajah-wajah yang tidak bercirikan wajah Melayu terdapat juga pada beberapa artefak batu dan nekara perunggu dari masa prasejarah dalam zaman megalitik Indonesia, artinya jauh dari masa perkembangan Majapahit. Foto 4: Perbandingan wajah topeng dari Goa Made dengan “topeng” dari Kalamba, Sulawesi Tengah (Hettabrezt spa, 2009 & Soejono, 1984) Pada foto 5 terlihat adanya bentuk lain dari wajah topeng-topeng Goa Made, torso perunggu tersebut wajahnya dilengkapi alis yang melengkung di atas matanya, namun mata digambarkan masih “sipit”, tidak bulat melebar. Hal yang menarik adalah penggambaran dagu yang kuat tajam pada bagian bawah wajah. Wajah patung batu (tinggi sekitar 3 m) dari Lembah Bada, Sulawesi Tengah, alis mata digambarkan masih mencuat naik ke arah dahinya, namun matanya telah digambarkan bulat melebar, bukan mata yang sipit lagi. Dagunya pun digambarkan kuat dan tajam seperti halnya dagu pada arca torso perunggu. Foto 5: Patung torso perunggu Goa Made dibandingkan dengan wajah arca Lembah Bada (Hettabrezt spa 2009 & Mulia, 1980) Hingga sekarang belum dapat dilakukan perbandingan terhadap seluruh temuan topeng dari Goa Made dengan artefak-artefak lain yang juga “mengandung” gambar topeng. Melalui beberapa topeng yang telah dibicarakan dapat diketahui adanya padanan antara wajah beberapa topeng Goa Made dengan wajah yang terdapat di artefak lainnya. Berdasarkan tinjauan tersebut dapat diketahui bahwa seluruh artefak pembanding kronologinya berasal dari era prasejarah Indonesia, karena semua artefak pembanding ditemukan di wilayah Indonesia. Beberapa topeng torso lainnya yang digambarkan memakai topi, antara lain topi seperti helm yang mencuat ke atas dan dilengkapi dengan seutas tali atau kabel dari bagian dahi kemudian naik ke puncak kepala dan menjuntai di bagian tengah-belakang kepala, ada juga topeng torso yang bagian puncak kepalanya lancip meninggi, dan topeng yang pada bagian tengah dahinya mempunyai semacam tanduk kecil (contoh: topeng di foto 3), belum dapat dijelaskan dalam kajian ini. Jadi masih banyak peluang untuk melakukan penelitian di masa mendatang. Di wilayah utara Jombang yaitu di kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan, jadi tidak terlalu jauh dengan situs Goa Made, pernah dilaporkan adanya penemuan nekara. Di Tuban nekara ditemukan di Weleran, daerah perbukitan kapur. Ketika ditemukan nekara tersebut dalam posisi terbalik, bidang pukulnya terdapat di bawah, tinggi nekara 74 cm, adapun garis tengah bidang pukulnya 93 cm. Di dalam nekara terdapat arca gajah perunggu, dan 8 artefak lain, yaitu senjata tajam dari besi dan pecahan tanah liat. Arca gajah perunggu digambarkan sedang berdiri dengan belalainya diangkat ke atas, ekornya melengkung hingga punggung, sehingga bagian ekor itu dapat difungsikan sebagai pegangan untuk mengangkat arca tersebut. Tinggi arca gajah 32 cm, panjang 36 cm (Prasetyo 2004: 152). Dalam pada itu dari daerah Kradenrejo, Lamongan, ditemukan juga 2 nekara perunggu yang bagian kakinya bertemu, jadi bentuk kedua nekara itu seperti kendang berpinggang, karena kedua bidang pukul berada di kedua sisinya. Hal yang menarik ukuran kedua nekara tersebut relatif sama, yaitu tinggi 42 cm dan garis tengah bidang pukulnya 27 cm. Di dalam kedua nekara yang dipertemukan tersebut terdapat manik-manik dari batu kalsedon, kalung dan tusuk konde emas, alat-alat perunggu dan besi, alat kayu, batu-batuan, tulang hewan, dan rangka anak-anak (Prasetyo 2004: 153—154). Dalam pada itu di area sekitar Goa Made sendiri pernah dilaporkan adanya temuan kerangka manusia dalam ukuran kecil, mungkin kerangka anak-anak. Hanya saja tulang belulang kerangka itu sekarang telah tiada, hancur karena pengerjaan pertanian yang dilakukan oleh penduduk setempat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa situs Goa Made sebagai bukti peradaban masa silam tidaklah “sendirian” berada di tengah lingkungannya, namun di daerah utaranya ditemukan berbagai bukti aktivitas masyarakat yang menghasilkan artefak-artefak perunggu dan besi. /4/ Lembah Bada, walaupun disebut lembah sebenarnya merupakan dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan. Karena wilayah itu lebih rendah dari perbukitan di sekitarnya, maka dinamakan dengan lembah, padahal Lembah Bada terletak pada ketinggian sekitar 2000 m dari permukaan laut. Peninggalan arkeologis di Lembah Bada, Sulawesi Tengah, secara dominan menunjukkan adanya sejumlah arca batu yang digambarkan statis dan sederhana. Arca-arca itu tingginya ada yang mengesankan antara 3—4 m, dan penggarapannya pun hanya secara garis besar saja pada wajah dan tangan. Kesan secara keseluruhan arca-arca di Lembah Bada seperti tonggak atau tiang (pilar) batu yang kokoh berdiri mencuat dari dalam tanah. Arca-arca Lembah Bada secara keseluruhan digambarkan tanpa kaki, karena batu tegak yang mirip pilar itu ditancapkan ke dalam muka tanah. Penggarapan wajah arca pun sederhana saja, hidung digambarkan sedikit menonjol dan pangkal hidung menyatu dengan garis alis yang mencuat ke atas, ke arah dahi. Mata digambarkan dengan bentuk bulatan, dan banyak wajah arca dibuat tanpa penggambaran mulut. Dalam pada itu di bagian tepi wajah terdapat garis batas tebal yang memisahkan wajah dengan bagian kepala lainnya, maka kesan yang diperoleh adalah wajah arca yang digambarkan sejatinya bukan wajah asli, melainkan wajah topeng yang dikenakan pada arca. Wajah dengan alis yang mengarah ke dahi sebagaimana telah dikemukakan merupakan wajah orang Mongoloid yang mengandung ciri Austramelanesid yang menjadi akan cikal bakal penduduk kepulauan Nusantara. Temuan lain yang terdapat di Lembah Bada adalah bejana-bejana (kalamba) yang beberapa di antaranya dihias relief rendah menggambarkan wajah, terdapat juga batu dakon, batu berlubang, batu bergores dan lainnya. Temuan serta tersebut sama jenisnya dengan yang terdapat di dataran tinggi Pasemah, di tempat itu juga memiliki tinggalan batu dakon, menhir, dolmen, batu bergores dan lainnya, namun temuan di Pasemah lebih beraneka. Arca-arca batu dalam ukuran besar sangat dominan ditemukan di Pasemah, batu-batu besar itu ada yang dipahat dengan relief rendah membentuk figur orang sedang menaiki gajah, dinamakan dengan Batu Gajah. Van Der Hoop (1932) telah menyatakan bahwa Batu Gajah dapat dijadikan fosil pemandu untuk membantu menjelaskan peradaban Pasemah masa lalu. Mungkin tepatnya bukan fosil pemandu, melainkan artefak pemandu untuk menjelaskan --walaupun sedikit-- permasalahan yan masih meliputi peninggalan kuno di Pasemah. Batu Gajah menggambarkan seorang pria dengan wajah tegas digambarkan dengan mata melotot, mengenakan topi seperti helm, menaiki gajah dengan memegangi telinganya. Hal yang menarik orang itu digambarkan memakai sepatu boot, membawa pedang (belati panjang), dan dipunggungnya terikat nekara, tentunya nekara yang dibawa orang tersebut adalah nekara perunggu. Penggambaran pria dengan busana demikian sungguh aneh dan menarik, pertanyaan yang segera mengemuka adalah “siapakah sebenarnya tokoh pria tersebut?” Menilik pedang atau belati yang diselipkan di pinggangnya, para ahli menyatakan belati itu sama dengan bentuk artefak belati dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam. Begitupun nekara perunggu yang dibawa di punggung pria tersebut tentunya ada hubungannya dengan kebudayaan perunggu Dong-son pula. Akan tetapi mengapa penggambaran relief “Pria Dong-son” justru ada di Pasemah, Sumatra Selatan, sedangkan di Vietnam, di situs Dong-sonnya sendiri tidak ada relief atau arca batu yang menggambarkan pria dengan busana demikian? Tidak hanya di Batu Gajah terdapat “pria Dong-son”, namun dijumpai pula para arca-arca batu lainnya di Pasemah yang menggambarkan lelaki, memakai topi seperti helm, dan mengenakan sepatu boot yang bentuknya seperti garis-garis melingkari kedua kakinya. Mengingat banyaknya penggambaran arca demikian di Pasemah sebaiknya disebut saja sebagai figur “Pasemah warrior” yang dahulu pernah mendiami dataran tinggi Pasemah. Hingga sekarang belum diketahui kronologi akurat dari situs Pasemah, namun kronologi relatif yang dapat dikenakan kepada situs Pasemah berdasarkan adanya relief nekara dan belati perunggu di Batu Gajah, mungkin semasa dengan perkembangan kebudayaan Dong-son. Kronologi termuda dari Kebudayaan perunggu Dong-son berasal dari tarikh 300 SM, namun masa awalnya dapat jauh lebih tua, mungkin sekitar tahun 2000 SM sejalan dengan proses migrasi penduduk di kawasan Asia Tenggara. Tinjauan ringkas yang telah dilakukan terhadap topeng-topeng dari situs Goa Made ternyata sangat dekat dengan “wajah” pada artefak batu dari Lembah Bada. Dapat kiranya dinyatakan bahwa tidak semua artefak perunggu yang ditemukan dari situs Goa Made berasal dari era Majapahit, terdapat juga artefak perunggu yang berasal dari periode yang lebih tua, dalam zaman prasejarah Indonesia (Munandar 2010: 11). Apabila kebudayaan Dong-son dipandang sebagai pusat kebudayaan logam perunggu dalam periode prasejarah, maka kebudayaan itu pula yang pengaruhnya dijumpai di beberapa lokasi di kawasan Asia Tenggara. Penentuan kronologi yang didasarkan kepada hasil kajian komparasi dari perspektif gaya seni topeng Goa Made dengan “wajah” pada artefak-artefak prasejarah lainnya, agaknya tidak berbeda terlalu jauh dengan kesimpulan pengujian laboratorium logam yang dilakukan oleh Anacleto Spazzapan seorang ahli geometri Italia. Spazzapan membawa sampel artefak perunggu dari Goa Made untuk dinalisis di laboratorium Arcadia di Milano, untuk diketahui kronologinya. Maka dari uji laboratorium tahun 2000 tersebut dapat diketahui bahwa umur salah satu artefak logam berasal dari sekitar tahun 1000 SM. Hal yang cukup mengejutkan adalah hasil uji laboratorium terhadap tabung perunggu dengan puncak berhiaskan kepala manusia yang dilakukan oleh Laboratorium Arcadia dalam tahun 1999, kronologi yang didapatkan dari artefak tersebut adalah tahun 3000 SM ! (Munandar 2010: 12). Perbandingan gaya wajah topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar batu di Lembah Bada, ternyata mempunyai beberapa kemiripan, jika topeng-topeng perunggu di Goa Made ditaksir dari era 3000 SM, maka arca-arca pilar di Lembah Bada juga diperkirakan berasal dari kronologi yang sama dengan situs Goa Made. Masih dalam argumen yang sama pula, bahwa artefak perunggu Goa Made dapat dijadikan patokan untuk menentukan kronologi relatif situs Pasemah, maka dapat ditafsirkan bahwa arca-arca batu di situs Pasemah sangat mungkin berasal dari periode yang sama pula dengan era Goa Made dan Lembah bada, yaitu sekitar 3000—1000 SM. Secara sederhana perbandingan dari ketiga situs masa prasejarah tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
1.Ketiga situs terletak di pedalaman pulau, Sulawesi, Sumatra, Jawa, di daerah dataran tinggi. 2.Wajah Mongoloid terihat pada arca-arca pilar Lembah Bada, wajah Austramelanesoid terdapat pada arca-arca Pasemah, namun kedua macam wajah itu terdapat pada topeng-topeng perunggu dari situs Goa Made. 3.Ketiga situs mempunyai asosiasi dengan penjelasan: a.antara Goa Made dan Lembah Bada ada kemiripan pada wajah topeng-topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar. b.antara Goa Made dan Pasemah ada asosiasi dengan bukti adanya benda perunggu yang nyata di Goa Made, dan penggambaran benda perunggu (nekara dan belati) pada relief Batu Gajah. Selain itu terdapat topeng-topeng perunggu Goa Made yang wajahnya mirip dengan wajah arca-arca batu di Pasemah. c.antara Pasemah dan Lembah Bada terdapat persamaan terutama pada lokasi kedua situs itu yang terletak di pedalaman pulau dan di dataran tinggi antara 1000—2000 m dari muka laut. d. Jika Goa Made ßà Lembah Bada, dan jika Goa Made ßà Pasemah, maka Pasemah diduga mempunyai asosiasi pula dengan Lembah Bada. Ketiga situs dari masa prasejarah tersebut agaknya telah dirancang dan dipilih dengan baik oleh para pendukungnya dahulu. Jika situs Lembah Bada dan Pasemah temuan arkeologisnya terdapat di permukaan tanah, maka situs Goa Made, temuan arkeologis yang berupa topeng tersebut terdapat di lorong-lorong bawah tanah yang agaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Lorong-lorong bawah tanah di Goa Made di bagian tertentu diperkuat dengan susunan bata berukuran besar-besar, lorong itu pun dapat dimasuki oleh manusia dewasa dengan cara membungkuk dan di ruang lorong yang besar dapat berdiri bebas. Memang sampai sekarang penelitian tentang Goa Made masih belum tuntas benar, namun hal yang menarik adalah temuan topeng perunggu dalam jumlah besar, dan berdasarkan kronologi akuratnya mengacu kepada penanggalan 3000 tahun SM, lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam. /5/ Adalah seorang ahli geologi dan fisikawan nuklir bernama Arysio Nunes dos Santos yang menerbitkan bukunya dalam tahun 1997 dengan judul Atlantis-The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan terbit pertama kali tahun 2009 yang lalu dengan judul gado-gado Atlantis: The Lost Continent Finally Found The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization, Indonesia Ternyata Tempat lahir Peradaban Dunia (Jakarta: Penerbit Ufuk). Thesa penting dalam buku ini adalah kesimpulan penting dari Arysio Santos bahwa benua Atlantis yang hilang sebagaimana yang diuraikan oleh Plato sebenarnya berada di wilayah Indonesia sekarang. Semula benua itu merupakan bagian dari Asia Tenggara yang tidak digenangi airlaut ketika zaman es meliputi bumi. Pada sekitar 11.600 tahun yang lalu zaman es berakhir, maka dataran rendah Tenggara lalu digenangi air dan menjelma menjadi Laut Jawa dan bagian selatan Laut Cina Selatan. Daerah-daerah ketinggian, rangkaian pegunungan dan gunung-gunung tinggi tetap tidak digenangi air lalu menjelma menjadi pulau-pulau Nusantara dewasa ini. Atlantis yang telah mempunyai peradaban maju itu, menurut Plato mempunyai karakter geografis dan geologis tertentu, itulah yang ditelusuri oleh Dos Santos dan pada akhirnya membawa kepada kesimpulan bahwa Atlantis sekarang terletak di dasar Laut Jawa sekarang. Pakar itu menyatakan: “Laut Jawa dan Selat Sunda membentuk sebuah daratan yang luas semasa zaman es, saat masih berupa daratan. Daratan seluas itu amat langka. Terlebih lagi paparan Laut Jawa yang bentuknya persegi berukuran sekitar 600 x 400 km2. Ukuran tersebut sama persis dengan gambaran Plato tentang Dataran Agung Atlantis. Jadi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Laut Jawa sekarang ini ada hubungannya dengan Dataran Agung Atlantis” (Dos Santos 2010: 151). Pada bagian lain dari bukunya Dos Santos menyatakan: “Kota Atlantis berada di Selat Sunda, selat yang memisahkan Jawa dan Sumatra serta memungkinkan akses ke Dataran Agung Atlantis melalui kanal raksasa yang mengarah ke laut di depan sepanjang Selat Sunda” (2010: 261). Dos Santos dengan yakin menduga bahwa dataran Atlantis yang dimaksudkan dengan Plato adalah paparan Sunda yang sekarang tenggelam menjadi laut Jawa, jadi sangat mungkin di dasar laut itulah terdapat sisa-sisa peradaban Atlantis kuno. Secara tegas ia juga menyatakan kota besar Atlantis dahulu berada di dataran yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra yang sekarang telah terbelah menjadi Selat Sunda, akibat meletusnya Krakatau Purba di akhir zaman es sekitar 11.600 tahun yang lalu. Perihal Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang di lereng tengahnya terdapat situs megalitik yang sangat luas, yaitu situs Pasemah di Pagar Alam, Dos Santos menyatakan bahwa menurut uraian Plato di dataran Atlantis mengalir 4 sungai yang bermata air di sebuah gunung dan mengalir di dasar laut. Keempat sungai itu berhulu di dekat atau di Gunung Dempo, salah satu gunung tinggi di kawasan Sumatra bagian selatan yang dahulu pernah aktif sebagaimana layaknya Krakatau (Dos Santos 2010: 151-152). Demikianlah kesimpulan yang berhasil dikemukakan Dos Santos tentang benua yang hilang Atlantis yang menurutnya berada di wilayah Indonesia, selanjutnya melangkah pada tahap pembuktian pendapat Dos Santos tersebut. Kalangan ilmuwan yang skeptis hanya menganggap angin lalu saja pendapat terbaru tentang lokasi Atlantis tersebut. Sebab banyak pendapat tentang lokasi Atlantis yang telah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu. Mungkin saja di masa mendatang akan muncul lagi pendapat lain yang menempatkan Atlantis di lokasi lain di bumi ini. Akan tetapi dalam kajian arkeologi Indonesia tentang 3 situs prasejarah yang telah dikemukakan dalam telaah ini terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain sebagai berikut: 1.Di lereng Gunung Dempo yang dikemukakan Dos Santos sebagai salah satu puncak gunung Atlantis, terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang hanya berasal dari 300 SM, situs itu adalah Pasemah. 2.Pria dengan busana “Pasemah warrior” tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Suatu penggambaran pakaian perang yang belum dapat dikenali. 3.Sejumlah topeng perunggu dari Goa Made, memperlihatkan manusia dengan memakai topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia atau dunia. Agaknya merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Topi perang dari peradaban manakah itu?, apalagi kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang berasal dari tahun 3000 SM. 5.Arca-arca pilar di Lembah Bada sebenarnya juga menggambarkan topeng yang wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang bukan Malayan-Mongoloid. 4.Situs Pasemah, Lembah Bada, dan Goa Made terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di ketinggian. Mungkinkah hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang besar dari lautan (tsunami) yang menerjang daerah-daerah rendah? 5.Apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian dalam segitiga itu ternyata adalah Laut Jawa yang diduga Dos Santos adalah bekas dataran agung Atlantis yang telah menjelma menjadi laut pada sekitar 11.600 tahun dari sekarang. Peta Indonesia yang memperlihatkan keletakkan situs Pasemah, Goa Made, dan Lembah Bada, dalam lingkup segitiga itulah terdapat Laut Jawa dan sekitarnya yang merupakan bekas Dataran Agung Atlantis, sebagaimana pendapat Arysio Nunes dos Santos. Satu hal yang patut dicatat adalah dalam masa Jawa Kuno menjelang masuknya agama Islam telah digubah kitab yang berjudul Tantu Panggelaran (Abad ke-15 M). Apabila Dos Santos mengutip kitab Pustaka Raja Purwa dalam kajian tentang penentuan Atlantis, maka kitab Tantu Panggelaran diuraikan banyak hal yang tiada terduga sebelumnya dan menarik untuk dipahami lebih lanjut. Misalnya uraian tentang penciptaan manusia pertama yang hidup di Tanah Jawa, Pulau Jawa yang selalu bergoncang-goncang karena diterpa gelombang lautan, pemindahan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Tanah Jawa, dan penghentian matahari oleh seorang mpu yang mengakibatkan kegoncangan jagat. Tantu Panggelaran hingga saat ini diketahui sebagai kitab yang dipandang sebagai sumber kehidupan keagamaan dalam era Majapahit akhir, agaknya perlu dilakukan kajian mendalam dengan “membongkar” bermacam metafora yang sengaja dibuat oleh para penyusunnya dahulu tentang Pulau Jawa “yang selalu bergerak”. Demikianlah kajian ringkas tentang peninggalan-peninggalan arkeologis tertua yang ada di wilayah kepulauan Nusantara. Kajian ini sepenuhnya didasarkan kepada data arkeologi yang telah umum diketahui oleh para arkeolog dan peminat kajian kebudayaan kuno Indonesia pada umumnya. Jika ada perbedaan antara kajian ini dengan pendapat para arkeolog umumnya, hanyalah terletak pada interpretasinya. Kajian ini berupaya untuk menghubungkan ketiga situs prasejarah penting di Nusantara itu secara integral. Ternyata kesimpulan yang dihasilkan setelah melakukan perbandingan serta penelusuruan asosiasi fenomena arkeologi ketiga situs itu, didapatkan kenyataan yang menarik, ada bukti-bukti bahwa masa prasejarah Indonesia justru menghasilkan kebudayaan perunggu, kemudian kebudayaan perunggu itu mempengaruhi perkembangan kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Mungkinkah ada pengaruh kebudayaan lain yang lebih tua dari pada apa yang diperlihatkan oleh ketiga situs tersebut itu?, jawabannya masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan meluas. “Kita bukan dari mana-mana, tetapi kita pergi ke mana-mana…!” DAFTAR PUSTAKA Der Hoop, A.N.J.Th.a.Th.van, 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. (Translated by William Shirlaw). W.J.Thieme & Cie, Zutphen, Netherland. Mulia, Rumbi, 1980. “Beberapa Catatan Mengenai Arca-arca yang Disebut Arca Tipe Polinesia”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm.599—646. Munandar, Agus Aris, 2010. “Bronze Masks Discovered in Made Cave and Its Surrounding”, Research Report for Hettabrezt Spa via Emilia Ponente 130-40133, Bologna, Italy. (Unpublish). -------------, & Yose Rizal, 2009. “Simbolisme Kepurbakalaan Megalitik di Wilayah Pagar Alam, Sumatera Selatan”, makalah dalam Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Kerja sama antara Pemerintah Kota Pagar Alam, Yayasan Jurai Besemah, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pagar Alam, 27 Februari—1 Maret 2009. Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (Penyunting), 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Santos, Arysio Nunes dos, 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found: The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization. Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia. Jakarta: Ufuk Press. Soejono, R.P., 1981. Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia. dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No.5. Jakarta: Proyek Penelitian Kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. --------------, (penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Steiner, Andreas M. & Massimo Vidale, 2010. “Goa Made: The mystery of the green masks”, Archeo Attualita Del Passato. Anno XXVI, n 2 (300), Febbraio 2010 Mensile Culturale. Milano: via Castel Morrone, 18-20129. Simber: http://suluhnuswantarabakti.org/ysnb/artikel.php?newsid=68 |
Tuesday, May 27, 2014
Peninggalan Arkeologis Tertua di Nusantara
Labels:
6. Sundaland
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment