TABIR PERADABAN SUNGAI LEMATANG
Latar Belakang
Wilayah Sumatera Selatan terdapat   sungai-sungai
 besar yang dapat dilayari sampai ke hulu, yaitu Sungai Musi, Ogan, 
Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Calik dan Lalan. 
Sungai-sungai besar ini merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sejak 
masa lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang tersebar di daerah 
aliran sungai. Sungai Lematang mengalir di tengah-tengah aliran-aliran 
sungai yang lain. Dilihat dari posisinya secara geografis, Sungai 
Lematang memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan 
transportasi sungai di Daerah Batanghari Sembilan. 
Sungai
 Lematang berhulu di dataran tinggi Pasemah kemudian mengalir melalui 
Muara Enim dan bertemu dengan Sungai Enim yang berhulu di daerah Sinar 
Bulan, Kabupaten Lahat. Aliran Sungai Lematang terus melewati  Tanah Abang  dan
 akhirnya bermuara di Sungai Musi, yaitu sungai antiklinal di bagian 
hilirnya. Di daerah dataran rendah Sungai Lematang memiliki banyak 
kelokan (meander) dan aliran sungai berpindah-pindah. 
Seperti sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, Sungai Lematang 
mengalami pendangkalan oleh endapan-endapan material dari hulu. 
Perpindah aliran sungai dan pendangkalan sungai ini berpengaruh terhadap
 keberadaan situs-situs arkeologi yang ada di sepanjang aliran sungai 
dan bahkan telah mengakibatkan  tergerus dan hilangnya situs.
Bukan hal yang kebetulan apabila di sepanjang aliran Sungai Lematang mengelompok situs-situs arkeologi  dari
 hulu ke hilir. Hulu Sungai Lematang melewati wilayah-wilayah yang subur
 dan telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Tinggalan megalitik di
 Lahat dan Pagaralam menunjukan bahwa awal tumbuhnya peradaban di 
wilayah Sumatera Selatan di mulai dari dataran tinggi Pasemah. Di daerah
 hilir di dataran rendah tersebar situs-situs arkeologi, yaitu Kompleks 
percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong.
Sungai
 Lematang menghubungkan antara kebudayaan di pedalaman dan kebudayaan di
 hilir Sungai Musi, yaitu antara kebudayaan Pasemah dan pusat Sriwijaya 
di Palembang. Di antara kedua pusat kebudayaan itu terletak kawasan 
situs percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong. Lokasi kawasan 
candi tersebut dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap 
perkembangan kawasan dan karakteristik budaya kawasan tersebut.  Sebagaimana
 diketahui kebudayaan megalitik Pasemah merupakan sebuah tradisi budaya 
yang tetap eksis pada masa Sriwijaya (VII-XIII Masehi) dan bahkan sampai
 masa-masa berikutnya. Pada masa Sriwijaya komuniti-komuniti di dataran 
tinggi Pasemah hidup dalam tradisi budaya megalitik, walaupun pengaruh 
kekuasaan Sriwijaya di Palembang khususnya dalam bidang politik perdagangan sampai ke daerah Pasemah. 
Sementara itu hubungan antara pusat Sriwijaya di Palembang dengan  kawasan
 situs Bumiayu merupakan hubungan yang struktural. Piere Yves Manguin 
dkk (2006) mempersoalkan apakah kawasan situs Bumiayu  adalah pusat sistem politik yang otonom (mandala)  yang berfungsi pada daerah yang mengelilingi  Sriwijaya, seperti yang tersirat dalam prasasti-prasasti abad VII Masehi yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya. 
 Pendekatan-Pendekatan
Tidak
 sedikit penelitian dan kajian tentang keberadaan kawasan percandian 
Bumiayu di daerah aliran Sungai Lematang dalam konteks lingkungan, 
sejarah dan budaya. Dalam konteks lingkungan dipaparkan kondisi 
geologis-geografis serta ditelaah adaptasi manusia dan faktor-faktor 
yang mempengaruhi pemilihan lokasi situs. Hal yang tidak dapat diabaikan
 adalah konteks sejarah untuk menempatkan situs candi Bumiayu dalam 
kaitannya dengan urut-urutan peristiwa pada masa Kerajaan Sriwijaya di 
Sumatera dan hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik dengan 
kerajaan-kerajaan lain. Konteks sejarah ini dapat bertalian dengan 
konteks budaya khususnya pengaruh kalangan elit (raja dan kaum pendeta) 
dalam menentukan teritori Kerajaan Sriwijaya, pemilihan lokasi bangunan 
suci dan agama yang melatarinya. Demikian pula campur tangan elit tetap 
dominan pada seni dan arsitektur bangunan dan arca, makna-makna simbolik
 yang terkandung dalam budaya materi dan aktivitas-aktivitas ritual 
bahkan aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari di kawasan Bumiayu. Semua 
konteks tersebut harus ditafsirkan melalui artefak-artefak (dalam arti 
luas) yang ditemukan dalam konteks arkeologi, dimana tinggalan tersebut 
telah mengalami transformasi bentuk, ruang dan waktu.
Sebenarnya
 berbagai kajian itu merupakan upaya para arkeolog dan peneliti untuk 
merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu di kawasan candi Bumiayu 
secara multidimensi. Namun keterbatasan data (terutama data arkeologi 
dan data tekstual) yang diperoleh selama ini menyebabkan peradaban kuna 
itu masih merupakan tabir yang baru sebagian tersibak. 
Sungai Lematang yang punya peran besar  terhadap
 tumbuhnya peradaban tersebut tampaknya belum mendapat perhatian yang 
besar oleh para arkeolog untuk dikaji lebih luas dan lebih dalam. 
Karakteristik sungai Lematang dan jaringannya dengan aliran-aliran 
sungai lainnya, serta penempatan situs pada lokasi-lokasi tertentu di 
daerah aliran sungai merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan peran 
dan fungsi kawasan situs Bumiayu dalam skala makro. 
Tulisan
 ini memfokuskan pada peranan Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi 
pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam tumbuh kembangnya peradaban di daerah
 alirannya. Kawasan situs Bumiayu merupakan situs masa Sriwijaya yang 
menjadi pokok bahasan kajian ini dengan menggunakan pendekatan keruangan
 dalam arkeologi (spatial archaeology) dan pendekatan 
wilayah. Bertitik tolak dari persebaran dan hubungan antarsitus serta 
kaitannya dengan lingkungan, maka situs arkeologi dan lingkungan 
sekitarnya dianggap sebagai tempat manusia masa lalu melakukan 
aktivitas-aktivitas misalnya aktivitas rumah tangga, subsistensi, 
ritual, dan aktivitas sosial lainnya. Dengan mengadopsi konsep-konsep 
geografi, situs merupakan ajang sosial (social space) masa lampau  dimana terjadi proses-proses kehidupan (social processes)
 yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, atau juga dapat 
secara tidak tetap. Proses-proses kehidupan tersebut menimbulkan 
pola-pola kehidupan (social patterns) tertentu (Bintarto 1995).
Identifikasi
 hubungan antarsitus pada gilirannya mengarah pada hubungan eksternal 
dari kegiatan sosial penduduk masa lalu pada suatu wilayah dengan 
penduduk di wilayah lain  melalui berbagai jalur 
komunikasi. Dalam hal ini dipelajari hubungan antara kawasan situs 
Bumiayu dengan pusat kerajaan Sriwijaya dan hubungan dengan daerah 
pedalaman yang kaya dengan sumber-sumber alam.
Hubungan-hubungan
 eksternal semacam itu pada masa Sriwijaya telah ditelaah oleh beberapa 
ahli dalam bentuk model dan teori. Sebagai contoh diambil di sini adalah
 model tentang hubungan antara kadatuan Sriwijaya di pusat dengan mandala-mandala di sekitarnya dalam wilayah (bhumi) Sriwijaya oleh Hermann Kulke (1993) berdasarkan kajian terhadap Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) abad VII Masehi. Kadatuan atau keraton sebagai tempat tinggal raja dilingkungi oleh sebuah wilayah yang disebut wanua yang berciri kekotaan (urban) dimana terdapat bangunan-bangunan suci  dan bangunan-bangunan publik lainnya. Para saudagar (vaniyaga) dan nakhoda kapal (puhavam) dari luar melakukan hubungan langsung dengan pusat dalam kegiatan perniagaan dan komunikasi. Sementara itu mandala-mandala di luar pusat masing-masing dipimpin oleh seorang datu yang berasal dari kerabat kerajaan atau dari daerah setempat (local). Seperti halnya pusat, daerah yang dipimpin datu terdiri dari wanua dan daerah pedalaman (samaryyada). Pusat (kadatuan) mengendalikan dan mengawasi  daerah (mandala) oleh “para staf kerajaan” (huluntuhan), termasuk menerima pajak dan penghasilan (dravya)
 dari daerah. Model yang disusun Hermann Kulke merupakan “model 
konsentris” yang menganggap ruang sebagai teritori dari persepsi politik
 elit (raja, datu) pada masa itu.
Dari segi ekonomi dan perdagangan dikembangkan model dendritik sebagai penyesuaian dari teori tempat pusat (central place teory).
 Beberapa ahli misalnya Bennet Bronson (1977), yang kemudian 
dikembangkan oleh John Miksic (1984) dan Piere Yves Manguin (2002) telah
 menerapkan model tersebut pada wilayah Sumatera yang memiliki jaringan 
sungai yang menghubungkan antara daerah pesisir dan daerah pedalaman 
melalui kajian arkeologi. Model dendritik digunakan untuk menjelaskan 
jenjang situs mulai dari situs yang dianggap sebagai tempat pusat 
tingkat pertama (di hilir dan muara sungai di pantai) dan kaitannya 
dengan situs-situs di tempat-tempat pusat yang lebih rendah tingkatannya
 yang terdapat pada anak dan cabang sungai di hulu dan di pertemuan 
sungai.
Kedua
 model struktur keruangan tersebut (model teritori konsentris dan model 
dendritik tempat pusat) tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk 
menafsirkan peran Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi yang 
mempengaruhi tumbuh kembangnya peradaban kuna di kawasan situs Bumiayu.
Kawasan Situs Bumiayu
Keberadaan
 situs percandian Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada 
tahun 1864, kemudian oleh Knapp 1902 dan tahun 1930an oleh Westenenk, 
Bosch dan Schnitger. Dalam laporan Knapp yang mengadakan perjalanan 
melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan (tumulus)
 yang tingginya 1,75 meter yang mengandung bata. Menurut penduduk situs 
itu merupakan peninggalan Kerajaan Kadebong Undang yang wilayahnya 
mencakup Modong dan Babat.  Di Situs Babat Schnitger mencatat adanya sebuah arca Brahma dan di Situs Modong terdapat sebuah lingga (Soeroso 1994). 
Kawasan
 Situs Bumiayu, Situs Modong dan Babat menempati lembah Sungai Lematang.
 Secara administratif Kawasan situs Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, 
Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, 
sedangkan Situs Modong berada di bagian hilirnya berjarak sekitar 17 km.
 Situs Modong dan Babat kini hanya  menyisakan 
pecahan-pecahan bata kuno dan lokasi sekitar situs Modong telah menjadi 
lahan pemakaman penduduk. Sebagian besar sisa bangunan bata telah hilang
 karena pengikisan tebing sungai.
Proses fluvial yang terjadi di sepanjang  aliran
 Lematang berupa pengikisan, pengendapan dan pengangkutan material oleh 
air. Pada saat banjir air meluap sampai ke dataran, air mengendapkan 
material sungai sehingga membentuk tanggul alam (natural levee),
 yaitu tempat yang lebih tinggi, sedangkan daerah yang lebih rendah dan 
cekung selalu tergenang air banjir sehingga membentuk rawa belakang (backswamp). 
Pengikisan terjadi pada tebing luar meander sungai, sedangkan di teras 
bagian dalam meander terjadi pengendapan. Akibat pengikisan tebing luar 
meander terjadi pemenggalan meander dan air sungai mengalir meneruskan 
saluran yang dibentuk oleh pemenggalan itu. Meander yang terpenggal itu 
pada kedua ujungnya tersumbat oleh endapan tanahliat karena kederasan 
aliran air berkurang (Tjia 1987). Penggalan meander yang sudah terpisah 
dari sungai asalnya dan masih berisi air disebut danau ladam (oxbow lake), sedangkan jika kering dikenali sebagai saluran penggalan meander (meander cut-off).
Beberapa bentuklahan (landform)
 yang terbentuk oleh proses fluvial tersebut merupakan tempat-tempat 
yang dipilih manusia untuk bermukim. Pada masa sekarang perkampungan 
penduduk Bumiayu dan sekitarnya  menempati tanggul alam, teras meander, teras danau ladam (ox-bowe lake) dan dataran aluvial.  Kompleks
 percandian Bumiayu menempati dataran aluvial di sisi barat Sungai 
Lematang dengan latar belakang Danau Candi yang merupakan rawa belakang.
 Pada bagian utara kawasan situs dijumpai lagi rawa belakang yang 
dikenal dengan nama Danau Lebar. 
Pada
 sisi timur aliran Sungai Lematang terletak Danau Besar dan Danau kecil,
 keduanya merupakan ujung-ujung dari sebuah danau ladam yang terbentuk 
oleh penggalan meander. Penduduk menyebutnya Danau Keman. Pada teras 
bekas meander Sungai Lematang itu ditemukan artefak-artefak tembikar dan
 keramik kuna yang menunjukkan adanya  permukiman 
kuna. Pada masa lalu lokasi tersebut menyatu dengan kawasan percandian 
sebelum dipisahkan oleh aliran Sungai Lematang. Dahulu dusun lama 
Bumiayu terletak di teras danau ladam itu, ketika aliran Sungai Lematang
 berpindah, penduduk pun ikut pindah di lokasi sekitar candi sekarang.
Pada
 saat ini proses pengikisan tebing luar meander Sungai Lematang semakin 
mengancam keberadaan situs candi. Pengukuran erosi meander pada tahun 
1991-1992 memperlihatkan bahwa perpindahan Sungai Lematang akibat erosi 
ke samping atau erosi meander adalah lebih kurang 10 meter/tahun. Pada 
saat itu diperkirakan pada tahun 2013 candi yang terdekat dengan sungai,
 yaitu Candi 1 akan lenyap karena erosi meander (Intan 1994)[1]. Pada tahun 2006 - 2007  beberapa rumah penduduk telah lenyap karena lahannya runtuh ke sungai. 
| 
 | 
Para
 ahli memperkirakan kronologi kawasan situs Bumiayu berasal dari abad IX
 – XIII Masehi berdasarkan analisis keramik (lihat tulisan Eka Asih 
Putrina), gaya arsitektur candi (lihat tulisan Tri Marhaeni) dan bentuk 
tulisan kuno (paleografi) pada selembar kerta emas yang ditemukan pada 
buli-buli di sekitar situs (Atmodjo 1993). Analisis C-14 dari sampel 
arang yang ditemukan dalam penggalian Pusat Penelitian dan Pengembangan 
Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) pada 2007, menghasilkan 
pertanggalan sekitar tahun 1110 – 1330 atau abad  XII – XIV Masehi. 
Kronologi kawasan situs candi tersebut  mengarah
 pada hubungan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan 
kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad IX Masehi terjadi peperangan antara
 raja Balaputra dengan iparnya, Rakai Pikatan. Balaputra berhasil 
dikalahkan kemudian melarikan diri ke Suwarnadwipa dan menjadi raja di 
Sriwijaya (BB Utomo 1993).  Satyawati Sulaiman 
(dalam BB Utomo 1993) beranggapan bahwa arca-arca yang bergaya seni Jawa
 Tengah atau bergaya Sailendra dibawa oleh keluarga Sailendra 
(Balaputra) yang menyingkir ke Sumatera pada pertengahan abad IX Masehi.
Pemetaan
 awal pada situs ini pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Arkeologi 
Nasional menampakkan adanya gundukan-gundukan tanah yang dikelilingi 
oleh sungai-sungai kecil, yaitu Sungai Piabung, Sungai Tebat Jambu, 
Sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang.  Sungai-sungai
 tersebut saling berhubungan sebagai pembatas lahan candi dan alirannya 
kemudian masuk ke Sungai Batanghari Siku yang bermuara ke Sungai 
Lematang. 
Lahan percandian seluas kurang lebih 75 ha yang dikelilingi sungai-sungai merupakan lokasi yang dipilih para elit (Guru, silpin)
 untuk mendirikan bangunan suci. Menurut pandangan agama Hindu, suatu 
tempat suci adalah suci karena potensinya, yaitu tanahnya, sedangkan 
bangunan menduduki tempat nomor dua (Soekmono 1974; Ferdinandus 1993). 
Hal ini mengacu pada konsep ksetra dan tirtha dalam persyaratan mendirikan bangunan suci di India. Ksetra adalah tempat-tempat tinggi (gunung, bukit) yang dianggap suci, sedangkan tirtha atau air yang dianggap suci, sehingga lokasi yang dianggap suci untuk mendirikan bangunan candi adalah lokasi yang terletak  dekat air atau dikelilingi air.
Di
 luar area percandian yang dikelilingi sungai yang membentuk parit 
keliling, ditemukan situs-situs permukiman di sepanjang Sungai Lematang.
 Tidak tertutup kemungkinan di sepanjang tepi aliran Lematang dari 
percandian Bumiayu sampai ke situs Modong dan Babat pernah dimukimi oleh
 penduduk masa lalu dalam beberapa kelompok, namun jejak-jejaknya 
sebagian telah terhapus oleh erosi tebing meander dan 
berpindah-pindahnya aliran Sungai Lematang. Sisa-sisa hunian juga 
ditemukan di dalam area percandian (di dalam parit keliling) melalui 
penggalian-penggalian arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi 
Palembang dan Puslitbang Arkenas. 
Struktur Internal dan Hubungan Eksternal
Serangkaian
 penelitian arkeologi menggambarkan adanya kelompok-kelompok permukiman 
penduduk pada masa berfungsinya candi-candi di Bumiayu, yaitu permukiman
 pada area candi dan permukiman di sepanjang tepi aliran Sungai 
Lematang. Bukti-bukti arkeologis tersebut menggiring kita kepada 
skenario mengenai kehidupan kelompok-kelompok sosial di kawasan Bumiayu.
 Dapat dibayangkan sedikitnya ada dua kelompok sosial yang mendukung 
tumbuhnya peradaban di wilayah Bumiayu, yaitu kelompok elit dan kelompok
 penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku.
Kelompok elit menempati lokasi pusat (central place),
 mungkin pada area percandian atau dekat area percandian. Kelompok ini 
mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, memelihara 
candi dan bangunan-bangunan serta lainnya di area percandian. Kelompok 
ini terdiri dari para pendeta dan pembantu-pembantu pendeta yang 
bertugas menyiapkan upacara serta kelengkapannya dan mengurus bangunan 
suci. Kelompok elit lainnya adalah kalangan birokrasi  yang mengatur daerah Bumiayu secara otonom. Kelompok ini dipimpin oleh seorang  yang berkuasa di wilayahnya yang mengatur segala urusan  untuk kepentingan status dan kekuasaan mereka. Mengacu pada model teritori Kulke (1993) pimpinan kelompok elit itu semacam datu yang membawahi sebuah mandala. Datu, keluarga dan pembantu-pembantunya menempati lokasi pusat (central place) yang dilingkungi oleh hunian kaum elit lainnya yang terdiri dari kalangan birokrasi, kaum pendeta dan para pembantu mereka.
Kelompok kedua, yaitu kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku
 lainnya, merupakan kelompok yang bertumpu pada kegiatan ekonomi dan 
subsistensi. Kelompok ini terdiri dari para penghasil bahan makanan 
(pertanian dan perikanan) pengumpul dan peramu hasil hutan dan tambang. 
Kelompok inilah yang mendiami tempat-tempat di sepanjang tepi Sungai 
Lematang. Sungai tersebut merupakan akses menuju  hilir (pusat Sriwijaya) dan daerah pedalaman (samaryyada) yang ada di  sekitar kawasan Bumiayu sampai hulu Lematang di dataran tinggi Pasemah untuk memperoleh bahan baku lainnya yang dibutuhkan. 
Skenario tentang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Bumiayu mengacu pada tipe masyarakat “rank redistribution”
 yang memiliki ciri-ciri: bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 
sendiri dan subsistensi. Pada masyarakat semacam itu muncul kelompok 
elit yang memperlihatkan status mereka yang lebih tinggi antara lain 
melalui bidang keagamaan dengan bangunan-bangunan sucinya. Dengan 
memperlihatkan status dan kekuasaan, mereka  menganggap
 dirinya layak menerima upeti yang akan membebaskan mereka dari 
keharusan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Untuk 
membangun candi misalnya dibutuhkan tenaga arsitek demikian pula untuk 
kelengkapan upacara diperlukan jasa pembantu pendeta.  Hal itu menumbuhkan kelas pekerja baru yang bukan subsistensi (non-food producer) yang pada gilirannya masuk dalam kelompok elit pula. Kelompok elit ini menempatkan huniannya  terpisah dari kelompok lain dan biasanya menempati lokasi pusat (central place) dimana masyarakat datang membawa upeti yang dibutuhkan (Johnston 1984).
Kembali kepada masyarakat masa lampau Bumiayu. Kelompok elit mengelola surplus produksi bahan makanan dan bahan baku lainnya yang  selanjutnya menumbuhkan kegiatan pertukaran (exchange) atau perdagangan. Kegiatan tersebut mendatangkan kelompok pedagang (vaniyaga) dari luar yang mengorganisasikan transaksi komoditi di wilayah Bumiayu untuk didistribusikan ke Palembang.  Berkaitan dengan hal itu wilayah Bumiayu diduga kuat  menjadi  tempat penyimpanan komoditi (entrepot) bahan makanan dan bahan baku lainnya. Hal itu dapat terjadi dengan adanya pelabuhan di  Sungai Lematang sebagai jalur distribusi komoditi hulu-hilir. 
Posisi Sungai Lematang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pusat-pusat penghasil produk  di dataran tinggi Pasemah dan sekitarnya.  Dataran
 tinggi ini memasok barang-barang komoditi yang sangat dibutuhkan 
seperti hasil pertanian, komoditi-komoditi hasil hutan, emas dan 
pertambangan bijih besi. Oleh para saudagar komoditi-komoditi tersebut 
selanjutnya didistribusikan ke tempat pusat utama di Palembang melalui Sungai Lematang sampai ke hilir Musi. 
Peran kaum pedagang  (vaniyaga)
 sangat besar dalam pengembangan ekonomi Kerajaan Sriwijaya sejak abad 
VII Masehi, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu dan data 
tekstual lainnya (Cina, Arab). Sebenarnya yang ingin dikemukakan 
sehubungan dengan kelompok pedagang adalah kehidupan sosial penduduk 
masa Sriwijaya yang berciri “rank redistribution” terutama di daerah hulu mengalami proses perubahan dalam pengelolaan surplus bahan makanan dan bahan baku lainnya dengan kedatangan para pedagang dari luar. Pada gilirannya kegiatan perdagangan mempengaruhi organisasi sosial dari “rank redistribution” ke “merkantilisme” (merchantilism). 
Pada
 awal mula merkantil pedagang dalam jumlah kecil bepergian dari satu 
tempat ke tempat lain membeli surplus produksi dan menjual produk lain 
sebagai gantinya. Frekuensi kunjungan mereka ke setiap tempat akan 
tergantung pada volume produksi di sana
 dan sifat produk (misalnya bulanan, tahunan). Seiring dengan 
peningkatan produksi yang melibatkan jumlah orang dalam sistem produksi 
yang dikelola kelompok elit,  menimbulkan permintaan (demand)
 yang lebih besar bagi jasa merkantil. Terlebih lagi dengan semakin 
terspesialisasi penghasil dalam kegiatan mereka dan juga semakin 
tergantung pada penghasil lain dalam berbagai produk yang dibutuhkan, 
maka mereka perlu lebih banyak membeli kebutuhan hidup mereka. Para pedagang menyiapkan hal ini dengan mengumpulkan berbagai produk terlebih dulu di tempat tertentu dan waktu tertentu.  Kumpulan para pedagang ini merupakan tempat-tempat terartikulasinya perdagangan (trade articulation point). Para pedagang dan penghasil produk bertemu pada waktu tertentu di tempat-tempat itu untuk kegiatan jual-beli atau pasar (Johnston 1984).
Dalam hal ini wilayah Bumiayu merupakan pasar berbagai produk hasil bumi dan bahan baku
 lainnya dimana para pedagang dari tempat pusat tingkat pertama atau 
dari pusat Kerajaan Sriwijaya datang untuk melakukan transaksi. Kegiatan
 perdagangan ini mendatangkan keuntungan bagi kelompok elit lokal. 
Kelompok ini menikmati pendapatan dari upeti dan keuntungan dari 
perdagangan untuk kepentingan status sosial mereka dan kekuasaan. 
Sebagian dari pendapatan digunakan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan 
candi dan kelangsungan hidup para pengelolanya, termasuk  membeli
 komoditi impor antara lain keramik kualitas tinggi untuk memperlihatkan
 status mereka (lihat tulisan Eka Asih). Sebagian lagi dari keuntungan 
mungkin disetorkan ke pusat Kerajaan Sriwijaya sebagai pajak atau 
penghasilan (dravya), dimana pusat mengendalikan dan mengawasi tempat-tempat pusat (central places) yang ada di daerah. 
Berdasarkan
 data arkeologi, keramik yang berasal dari abad X – XIII Masehi 
merupakan keramik yang paling banyak ditemukan di kawasan situs Bumiayu 
(lihat tulisan Sukowati dan Eka Asih Putrina). Hal ini menunjukkan bahwa
 perkembangan permukiman penduduk termasuk bangunan-bangunan suci 
terjadi pada masa-masa tersebut. Tumbuh dan berkembangnya mandala  Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) terjadi sekitar dua abad setelah wanua Sriwijaya dibangun di Palembang.  Mandala
 Bumiayu tetap eksis selama kurang lebih empat abad. Hampir tidak ada 
tempat pusat lainnya di wilayah Sumatera Selatan (kecuali pusat 
Sriwijaya di Palembang) yang mengimbangi kawasan Bumiayu, berdasarkan 
besaran dan kompleksitas situs serta banyaknya bangunan-bangunan suci. 
Pada abad XI – XIII Masehi Bumiayu sebagai tempat pusat (central place)
 tingkat kedua tampaknya menyaingi pusat Sriwijaya di Palembang, apalagi
 ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami penyerbuan pasukan Rajendra Cola 
dari India pada tahun 1025 dan pindahnya ibukota Sriwijaya ke Jambi. 
Berita Cina menyebutkan bahwa pada 1079 dan 1082 ibukota Sriwijaya  pindah
 dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina pada tahun 1079
 dan 1088 berasal dari Zanbei (Jambi) (Ninie Susanti 2006). Akibat 
peristiwa-peristiwa politik tersebut, kontrol pusat terhadap mandala
 Bumiayu berkurang dan semakin longgar. Hal ini memberikan keleluasaan 
bagi kelompok elit lokal Bumiayu untuk mempertahankan bahkan 
mengembangkan kekuasaannya. Wilayah Bumiayu menjadi tempat pusat 
terpenting sebagai entrepot produk pertanian dan bahan baku lainnya yang diperoleh dari  daerah pedalaman Kerajaan Sriwijaya. 
Dalam bidang keagamaan  kelompok elit Bumiayu mengadakan kontak langsung dengan para penguasa dan kalangan pendeta dari luar pusat Sriwijaya.  Kontak
 budaya tersebut berkaitan dengan pendalaman ajaran-ajaran dan 
aliran-aliran agama Hindu (antara lain Tantis Siwa) dengan memadukan 
unsur-unsur budaya setempat dengan unsur-unsur budaya luar. Hal ini 
tercermin  dari bentuk-bentuk arsitektur candi dan
 ikonografi arca-arca dari abad XI-XIII Masehi yang ditemukan di kawasan
 situs Bumiayu (lihat tulisan Tri Marhaeni dan Sondang S. Siregar). 
Uraian-uraian
 tersebut di atas merupakan sebuah skenario untuk menyingkap tabir 
peradaban di daerah aliran Sungai Lematang. Tentunya skenario ini perlu 
didukung oleh penelitian-penelitian lebih lanjut yang berkesinambungan.  
DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo, MM Sukarto, 1993, Tirthayatra, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993, Menyingkap Lumpur Lematang, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bintarto, H.R., 1995,  “Geografi Manusia”. Yogyakarta: Fakultas Geografi Univ. Gadjah Mada.
Ferdinandus, Peter, 1993, Peninggalan Arsitektural dari Situs Bumi Ayu Sumatera Selatan, dalam Amerta Berkala Arkeologi 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Intan, Fadhlan S., 1994, Candi Tanah Abang di Antara Kemegahan dan Ancaman Kepunahannya: Suatu Sumbangan Pemikiran, dalam Amerta Berkala Arkeologi 14. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Johnston, R.J., 1984, City and Society An Outline for Urban Geography. London: Hutchinson University Library.
Kulke,Hermann, 1993, “Kadatuan Srivijaya”- Empire or Kraton of Srivijaya? A Reassesment of the Epigraphical Evidence, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Paris: EFEO.
Manguin, Piere-Yves,  2002, “The Amorphous nature of Coastal Polities in Insular Southeast  Asia: Restricted Centres, Extended Peripheries”. Moussons.  dalam The Early Historical Maritime States
Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan. Jakarta: Puslibang Arkeologi Nasional.
Ninie Susanti, Y.,2006,  Sejarah Kerajaan Melayu Kuno: Keterkaitannya dengan Kerajaan-Kerajaan Lain di Nusantara, dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari. Jambi 16 Desember 2006: Bappeda Provinsi.
Soekmono, 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas Indonesia.
Soeroso, M.P., 1994, South Sumatra in the 12th – 13th Century AD”., dalam Southeast Asian Archaeology 1994 Proceedings of the 5th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaelogist. Paris, 24th-28th  October 1994.
Tjia, H.D., 1987, Geomorfologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
[1]  Beberapa
 tahun setelah pengukuran itu Bupati Muara Enim memerintahkan untuk 
membuat saluran untuk mengurangi aliran Sungai Lematang. Mungkin karena 
penempatan sudetan itu kurang tepat, erosi masih tetap terjadi sampai 
sekarang.
Sumber:
http://nurhadirangkuti.blogspot.com/2009/05/tabir-peradaban-sungai-lematang_16.html 
 
No comments:
Post a Comment