Menyusuri Jejak Nenek Moyang Kita
Jakarta, 12 Oktober 2011
Rekonstruksi
Homo erectus dipajang di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Minggu
(27/9/2009). Rekonstruksi wajah tersebut berdasarkan spesimen tengkorak
P VIII oleh Yoichi Yazawa dengan supervisi oleh Dr Fachroel Aziz dari
Museum Geologi dan hisao Baba dari Jepang untuk pameran Rivving
Pithecanthropus di Jepang, tahun 1996. (sumber : kompas.com)
KOMPAS
- Nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal
di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi
ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada
periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan
dahsyat Gunung Toba di Sumatera. Mungkinkah kedua peristiwa ini saling
memengaruhi?
Tidak
mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kejadian yang sudah berlangsung
ribuan tahun itu hanya bisa dibuktikan lewat jejak peninggalan mereka.
Ironisnya, semua bukti tampaknya terkubur material yang dimuntahkan
Gunung Toba.
Paling
tidak begitulah kesimpulan Craig Chesner, geolog dari Eastern Illinois
University. Letusan terakhir Toba menimbun nyaris seluruh daratan
Sumatera mulai dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka
di sebelah timur. Ketebalan material rata-rata 100 meter dan di
beberapa area bahkan mencapai 400 meter.
Sebagai
bandingan, jejak arkeologi yang terkubur letusan Gunung Tambora di
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (1815), ditemukan pada kedalaman 3 meter
di bawah lapisan piroklastik, batuan apung, abu, dan tanah lempung.
Berdasarkan Volcanic Explosivity Index, kekuatan letusan Tambora adalah
pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba ribuan tahun
sebelumnya.
Untunglah
ilmu pengetahuan terus berkembang. Kini, upaya memahami asal-usul
manusia modern bisa dilakukan dengan membaca urutan sekuen DNA
(deoxyribonucleic acid) atau rantai panjang polimer nukleotida yang
mengandung informasi genetik untuk diturunkan.
Selain
informasi genetik, DNA juga bisa menginformasikan riwayat kehidupan
nenek moyang kita. Di sinilah perubahan dalam tubuh terekam—seiring
dengan perubahan pola makan, lingkungan, ataupun aktivitasnya—dan
memberikan gambaran bagaimana sebenarnya pola kehidupan yang mereka
jalani. Hasil perbandingannya dengan DNA populasi di berbagai tempat
lain menggambarkan proses berlangsungnya migrasi dan bagaimana hubungan
kekerabatannya.
”Keragaman
genetik manusia adalah arsip evolusi manusia selama ribuan tahun yang
dapat dieksplorasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof dr Sangkot Marzuki, MSc, PhD, DSc, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Maka,
ketika digagas studi besar untuk memetakan genetik populasi bangsa
Asia tahun 2004, Lembaga Eijkman antusias ikut serta. Dalam penelitian
yang berlangsung lima tahun, 93 peneliti dari 40 institusi bergabung
dalam penelitian ini. Mereka berasal dari Jepang, Korea, Malaysia,
Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, China, Nepal, India, dan tentu
saja Indonesia.
Disebut
Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide Polymorphism), tujuan
proyek memang untuk memahami asal-usul keragaman genetik di Asia. Di
bawah payung Human Genome Organisation, studi meneliti DNA pada 73
populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan sekitar 2.000 sampel
darah untuk mendapatkan 50.000 marka (titik data) per sampel.
Marka
tersebut adalah single nucleotide polymorphisms (SNPs), suatu tempat
pada kromosom yang membedakan individu satu dengan lainnya. Jumlah
variasinya, disebut haplotype, mengindikasikan kedekatan dua individu
secara genetik. Maka, distribusi haplotype secara geografis akan
menunjukkan jejak migrasi, termasuk yang berlangsung pada zaman
prasejarah.
Rute selatan
Penelitian
sebelumnya—dimuat dalam Proceedings of the National Academy of
Sciences (1999)—menyimpulkan bahwa Homo sapiens dari Afrika yang
menjadi nenek moyang manusia modern bermigrasi lewat tiga rute:
Oseania, Asia yang sebagian lagi berlanjut ke Amerika, dan Eropa.
Temuan pada mitokondria DNA yang diwariskan dari kromosom ibu
dikonfirmasi dengan filogeni kromosom Y yang hanya ada pada pria.
Selanjutnya
studi genetik Konsorsium Pan-Asian SNP yang selesai tahun 2009
menemukan, jalur utama migrasi manusia modern ke Asia adalah melalui
Sunda Besar yang sekarang dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara.
”Temuan ini melawan arus besar teori migrasi yang menyebutkan bahwa
nenek moyang kita berasal dari Asia bagian utara,” kata Sangkot.
Selama
ini, migrasi Homo sapiens ke Asia dipercaya berasal dari tempat
singgah mereka di kawasan Timur Tengah dan berlangsung dalam dua
gelombang. Gelombang terbesar berjalan melintasi stepa Eurasia dan
kemudian berbelok ke selatan melalui daratan Asia. Gelombang kedua yang
dianggap tidak berperan penting bergerak melewati pesisir selatan
memutari India menuju Indonesia, Malaysia, Filipina, sebelum ke
Pasifik.
Namun,
studi terakhir membuktikan keragaman genetik justru makin berkurang
dari selatan ke utara. Sebagian besar kode genetik yang ditemukan di
Asia Timur ternyata lebih banyak lagi ditemukan di selatan. Artinya,
Homo sapiens bermigrasi ke Asia hanya dalam satu gelombang melalui rute
pesisir selatan (Science, 2009).
Tempat
persinggahan utama mereka adalah Sunda Besar. ”Dengan demikian, Asia
Tenggara-lah sumber geografis utama populasi Asia Timur dan Asia Utara,”
ujar Sangkot.
Apabila
dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu juga menunjukkan bahwa nenek
moyang kita ternyata mampu bertahan dari bencana dahsyat yang
berpotensi memusnahkan kehidupan.
”Skenario
survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di
kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari
kawasan Sunda Besar. Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan
manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah
mengindikasikan bahwa mereka tidak musnah karena letusan Toba,” papar dr
Herawati Sudoyo, MS, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman.
No comments:
Post a Comment