Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan
Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van
Hekeren (1972, dalam Permana 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di
Sulawesi Selatan berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Lukisan
gua di Indonesia tersebar di wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku,
Papua, dan Kalimantan.
Penemuan lukisan gua di Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya dilakukan oleh C.H.M. Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PattaE. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah. Barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan.
Ada pun cap-cap tangan tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan pada dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Di gua tersebut juga ditemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).
Penelitian Heekeren di Gua Burung menemukan cap-cap tangan. Ini semua ternyata masih berasal dari cap tangan kiri. Penemuan lain yang dilakukan oleh C.J.H. Franssen menemukan pula cap tangan di gua dekat Sarippa, yang kemudian diberinama gua JariE. Berdasarkan temuan tersebut Heekeren melakukan penyelidikan bersama Franssen di gua tersebut, sehingga ditemukan sebanyak 29 buah cap tangan, yang terdiri dari empat kelompok.
Kelompok-kelompok tersebut adalah:
Berdasarkan data geografi dan data arkeologi, ada dua wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki gua berlukis, yaitu wilayah Kabupaten Maros (Kompleks Maros) dan Kabupaten Pangkajene (Kompleks Pangkajene).
Ada pun pola ikan ditemukan di gua Lasitae, Bulu Ballang, Akarassaka, Bulu Sippong, dan Bulu Ribba. Di gua Bulu Ballang terdapat juga pola kura-kura, sedangkan gua Bulu Ribba hanya tertera seekor ikan jenis lumba-lumba. Secara umum gua-gua tersebut memunyai pola cap tangan dan babi. Sedangkan pola perahu hanya terdapat pada Gua Bulu Sippong. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola religi-magis, yang dibuktikan dengan adanya semacam tatu atau bekas luka di punggungnya, terdapat di gua Sakapao (Poesponegoro, 2008: 198).
Gua Sakapao
Pada dindingnya tertela pola lukisan bewarna merah yang terdiri dari cap tangan dan babi. Untuk beberapa cap tangan, ada yang hanya digambar tangan bagian bawahnya. Gambar pola babi yang terdapat dalam lukisan ini nampaknya memiliki sebuah keunikan. Pertama, memperlihatkan suatu goresan pad tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka, mungkin akibat dari terkena sabetan senjata tajam atau tusukan tombak. Dari lukisan ini banyak ada orang yang mengartikan atau menghubungkannya dengan kekuatan magis, seperti makna lukisan yang terdapat dalam gua Pattakere I. Selain bermakna magis gambar ini juga bisa ditafsirkan sebagai simbol dalam perburuan, di mana masyarakat pada masa itu sudah mengenal perburuan babi, baik untuk bahan makanan maupun keperluan upacara. Kedua, menampilkan gambar babi yang tumpang-tindih, keduanya menghadap ke kanan. Kalau kita cermati lebih jeli nampak bahwa gambar babi memperlihatkan babi berkelamin. Adegan ini cenderung memiliki maksud memperlihatkan atau berhubungan dengan masalah kesuburan.
Gambar objek manusia
Nampaknya, gambar objek manusia jarang dipakai pada masa itu. Meski jarang ditemukan gambar objek manusia, tetapi bukan berarti tidak ada. Gambar berobjek manusia terdapat di sekitar Pulau Muna (Sulawesi Selatan) dan Pangkajene (Sulawesi Selatan), yaitu di Gua Lompoa, Kassi dan Sapiria. Goa Lampoa, selain memiliki lukisan pola manusia, juga memiliki pola lain seperti, cap tangan, babi, matahari, ikan, parahu, dan bentuk geometrik. Sedangkan yang menarik dari Gua Kassi adalah pola kapak, mata bajak dan ular.
Berdasarkan pola-pola yang terdapat pada keterangan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah menyadari sebuah keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Kedua makna ini nampaknya mempunyai arti yang terpadu antara nilai sosial-ekonomi, yang diwakili oleh pola babi, perahu, kapak, dan mata bajak; serta yang bernilai religis-magis yang diwakili oleh pola lukisan cap tangan dan matahari. Sedangkan gambar ular yang tertera dalam pola lukisan, hanya ditafsirkan sebagai peringatan kepada manusia agar berhati-hati terhadap hewan melata karena dianggap berbahaya.
Gua Sumpang Bita (Pangkajene, Sulawesi Selatan)
Adalah satu-satunya lukisan yang ada cap kaki, lukisan tertera pada dinding gua bagian belakang. Walau belum diketahui secara pasti makna yang terkandung dalam lukisan dinding gua tersebut. Secara analogi dapat dikaitkan dengan upacara yang ada hubunganya dengan peristiwa seorang bayi mampu berjalan untuk pertama kalinya.
Berjalannya bayi untuk pertama kali, memang dianggap sakral dalam pandangan masyarakat. Guna memperingati kejadian atau peristiwa yang dianggap sakral ini, maka dipandang perlu untuk membuat tanda buktinya, yaitu dalam bentuk jejak kaki sebelah kanan yang dicantumkan dalam dinding gua tempat mereka tinggal. Kesamaan antara pola cap kaki dengan cap tangan adalah sama-sama digambar dalam bentuk negatif (negative footprint).
Sumber Rujukan:
Poesponegoro, M.D., dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I. Balai Pustaka: Jakarta.
Lukisan Goa”http://id.wikipedia.org/wiki/Lukisan_goa. 2009
Lukisan Kuda Di Dinding Gua Lambatorang Lukisan Prasejarah atau Tradisi Prasejarah yang Berlanjut. “http://www.academia.edu/3784654/LUKISAN_KUDA_DI_DINDING_GUA_LAMBATORANG…“
Sumber:
http://www.wacananusantara.org/lukisan-gua-sulawesi-selatan/
Penemuan lukisan gua di Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya dilakukan oleh C.H.M. Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PattaE. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah. Barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan.
Ada pun cap-cap tangan tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan pada dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Di gua tersebut juga ditemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).
Penelitian Heekeren di Gua Burung menemukan cap-cap tangan. Ini semua ternyata masih berasal dari cap tangan kiri. Penemuan lain yang dilakukan oleh C.J.H. Franssen menemukan pula cap tangan di gua dekat Sarippa, yang kemudian diberinama gua JariE. Berdasarkan temuan tersebut Heekeren melakukan penyelidikan bersama Franssen di gua tersebut, sehingga ditemukan sebanyak 29 buah cap tangan, yang terdiri dari empat kelompok.
Kelompok-kelompok tersebut adalah:
- Ada dua buah, masing-masing terdiri dari 7 dan 5 buah cap tangan dengan latar belakang cap merah.
- Ada empat buah cap tangan, yang mana satu di antaranya memiliki 4 jari, dan yang lain hanya memiliki tiga jari.
- Masing-masing terdiri dari 4 dan 5 buah, di antaranya ada yang tidak beribu jari.
- 4 buah cap tangan.
Berdasarkan data geografi dan data arkeologi, ada dua wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki gua berlukis, yaitu wilayah Kabupaten Maros (Kompleks Maros) dan Kabupaten Pangkajene (Kompleks Pangkajene).
- Kompleks Maros, merupakan objek arkeologi yang sering diteliti, bahkan paling banyak diteliti oleh peneliti dalam dan luar negeri. Serta paling lama diteliti, yaitu sejak zaman Belanda sampai sekarang.
- Kompleks Pangkajene, merupakan wilayah yang memiliki lukisan gua yang paling banyak jumlahnya, antara lain; Garunggung, Lasitae, Bulu Ballang, Lompoa, Kassi, Sapiria, Sakapao, Akarasaka, Sumpangbita, Bulusumi, Bulu Sipong, Camingkana, Patenungan, Bulu Ribba, Salluka, dan Cumi Lantang.
Ada pun pola ikan ditemukan di gua Lasitae, Bulu Ballang, Akarassaka, Bulu Sippong, dan Bulu Ribba. Di gua Bulu Ballang terdapat juga pola kura-kura, sedangkan gua Bulu Ribba hanya tertera seekor ikan jenis lumba-lumba. Secara umum gua-gua tersebut memunyai pola cap tangan dan babi. Sedangkan pola perahu hanya terdapat pada Gua Bulu Sippong. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola religi-magis, yang dibuktikan dengan adanya semacam tatu atau bekas luka di punggungnya, terdapat di gua Sakapao (Poesponegoro, 2008: 198).
Gua Sakapao
Pada dindingnya tertela pola lukisan bewarna merah yang terdiri dari cap tangan dan babi. Untuk beberapa cap tangan, ada yang hanya digambar tangan bagian bawahnya. Gambar pola babi yang terdapat dalam lukisan ini nampaknya memiliki sebuah keunikan. Pertama, memperlihatkan suatu goresan pad tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka, mungkin akibat dari terkena sabetan senjata tajam atau tusukan tombak. Dari lukisan ini banyak ada orang yang mengartikan atau menghubungkannya dengan kekuatan magis, seperti makna lukisan yang terdapat dalam gua Pattakere I. Selain bermakna magis gambar ini juga bisa ditafsirkan sebagai simbol dalam perburuan, di mana masyarakat pada masa itu sudah mengenal perburuan babi, baik untuk bahan makanan maupun keperluan upacara. Kedua, menampilkan gambar babi yang tumpang-tindih, keduanya menghadap ke kanan. Kalau kita cermati lebih jeli nampak bahwa gambar babi memperlihatkan babi berkelamin. Adegan ini cenderung memiliki maksud memperlihatkan atau berhubungan dengan masalah kesuburan.
Gambar objek manusia
Nampaknya, gambar objek manusia jarang dipakai pada masa itu. Meski jarang ditemukan gambar objek manusia, tetapi bukan berarti tidak ada. Gambar berobjek manusia terdapat di sekitar Pulau Muna (Sulawesi Selatan) dan Pangkajene (Sulawesi Selatan), yaitu di Gua Lompoa, Kassi dan Sapiria. Goa Lampoa, selain memiliki lukisan pola manusia, juga memiliki pola lain seperti, cap tangan, babi, matahari, ikan, parahu, dan bentuk geometrik. Sedangkan yang menarik dari Gua Kassi adalah pola kapak, mata bajak dan ular.
Berdasarkan pola-pola yang terdapat pada keterangan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah menyadari sebuah keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Kedua makna ini nampaknya mempunyai arti yang terpadu antara nilai sosial-ekonomi, yang diwakili oleh pola babi, perahu, kapak, dan mata bajak; serta yang bernilai religis-magis yang diwakili oleh pola lukisan cap tangan dan matahari. Sedangkan gambar ular yang tertera dalam pola lukisan, hanya ditafsirkan sebagai peringatan kepada manusia agar berhati-hati terhadap hewan melata karena dianggap berbahaya.
Gua Sumpang Bita (Pangkajene, Sulawesi Selatan)
Adalah satu-satunya lukisan yang ada cap kaki, lukisan tertera pada dinding gua bagian belakang. Walau belum diketahui secara pasti makna yang terkandung dalam lukisan dinding gua tersebut. Secara analogi dapat dikaitkan dengan upacara yang ada hubunganya dengan peristiwa seorang bayi mampu berjalan untuk pertama kalinya.
Berjalannya bayi untuk pertama kali, memang dianggap sakral dalam pandangan masyarakat. Guna memperingati kejadian atau peristiwa yang dianggap sakral ini, maka dipandang perlu untuk membuat tanda buktinya, yaitu dalam bentuk jejak kaki sebelah kanan yang dicantumkan dalam dinding gua tempat mereka tinggal. Kesamaan antara pola cap kaki dengan cap tangan adalah sama-sama digambar dalam bentuk negatif (negative footprint).
Sumber Rujukan:
Poesponegoro, M.D., dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I. Balai Pustaka: Jakarta.
Lukisan Goa”http://id.wikipedia.org/wiki/Lukisan_goa. 2009
Lukisan Kuda Di Dinding Gua Lambatorang Lukisan Prasejarah atau Tradisi Prasejarah yang Berlanjut. “http://www.academia.edu/3784654/LUKISAN_KUDA_DI_DINDING_GUA_LAMBATORANG…“
Sumber:
http://www.wacananusantara.org/lukisan-gua-sulawesi-selatan/
No comments:
Post a Comment