Saturday, April 26, 2014

LEGENDA ATLANTIS

LEGENDA ATLANTIS PART 1 (Introduction)


Semenjak terbitnya buku karangan ilmuwan Brasil Prof Arysio Nunes Dos Santos, Ph.D. yang melakukan penelitian selama 30 tahun dan kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “The Lost Continent Finally Found” yang penelitiannya tidak hanya melakukan pendekatan secara geologis namun juga dengan penghitungan fisika nuklir serta pendekatan kajian etnolinguistik, tafsir kitab suci, arkeologis, dan filosofis. . Buku setebal 365 halaman (menurut versi aslinya dalam bahasa Inggris) ini sempat menggemparkan dunia, bahkan menjadi buku paling laris dan populer di kategorinya sejak diterbitkan pertama kali pada 10 Agustus 2005 silam. Buku ini terbagi atas IV Bab, daftar isinya adalah sebagai berikut:












• Dedication and Acknowledgements
• Preface
 • Introduction
• Part I – The True History of Atlantis
o Chapter 1 – Indonesia as the True Site of Eden
o Chapter 2 – Atlantis and the “Atlantic Ocean”
o Chapter 3 – What Really Happened During the Pleistocene?
o Chapter 4 – Indonesian Atlantis and the Four Rivers of Paradise
• Part II – Ancient Cosmograms, Maps and Symbolisms
o Chapter 5 – Atlantis in America
o Chapter 6 – Atlantis in Ancient Cosmograms
o Chapter 7 – Atlantis in Ancient Maps
o Chapter 8 – The Many Pillars of Hercules
o Chapter 9 – Atlantis in Minoan Symbolism
• Part III – The Many Sites of Atlantis
o Chapter 10 – The Atlantic Ocean of the Ancients
o Chapter 11 – The True Pillars of Hercules
o Chapter 12 – The Celtic Shelf, Morocco and Tartessos
o Chapter 13 – Antarctica and the Arctic Ocean
• Part IV – Paradise and the Far Eastern Atlantis
o Chapter 14 – Diodorus Siculus on Atlantis
o Chapter 15 – The Jewish Encyclopedia on the True Site of Eden
o Chapter 16 – The Case of Taprobane and Sunda Strait
• Bibliography
• Endnotes
• Subject Index

Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung berapi.

Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.

Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan.

Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera dan Kalimantan.

Bencana besar itu disebut Santos sebagai “Heinrich Events”. Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis.

Prof Arysio Nunes Dos Santos, Ph.D secara tegas menyatakan bahwa Indonesia sekarang merupakan bagian dari negeri Atlantis yaitu suatu pusat peradaban dunia di masa silam dimana kemajuan bangsa atlantis tersebut berdasarkan legenda digambarkan sebagai peradaban dengan tingkat kemajuan teknologi yang tinggi. Konon, Pesawat Terbang, Pendingin ruangan, batu baterai, dll telah ada pada masa itu. Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam.
Tentu saja terbitnya buku tersebut kembali memicu perdebatan tentang kebenaran “cerita Plato” ini, banyak yang tidak percaya dan banyak juga yang yakin bawah peradaban bangsa atlantis itu pernah ada dan letaknya adalah di Indonesia sekarang ini, karena itu dalam tulisan ini akan di bagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu (1). Bagian Pendahuluan bercerita tentang Buku karya Prof Arysio Nunes Dos Santos tersebut, legenda tentang Atlantis itu sendiri serta berbagai temuan dan penelitian terdahulu tentang lokasi atlatis. (2) Bagian kedua dari tulisan ini akan memuat berbagai pendapat yang setuju bahwa lokasi Atlantis tersebut adalah di Indonesia. (3) Bagian ketiga dari tulisan ini akan memuat berbagai pendapat yang menentang atau tidak setuju bahwa lokasi Atlantis berada di Indonesia. Sebagian besar tulisan-tulisan tersebut merupakan kumpulan dari berbagai tulisan-tulisan, posting serta artikel yang tersebar di internet, seperti Wikipedia, website dan blog yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun selalu diupayakan secara maksimal untuk mencantumkan sumber-sumbernya, untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan untuk kemajuan peradaban bangsa Indonesia.

1. LEGENDA ATLANTIS
Legenda yang berkisah tentang “Atlantis”, pertama kali ditemui dalam karangan filsafat Yunani kuno: Dua buah catatan dialog plato (427-347 SM) yakni: buku Critias dan Timaeus. Pada buku Timaeus, Plato berkisah: Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis.

Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut. Negara besar yang mempunyai peradaban tinggi itupun lenyap dalam semalam. Satu bagian dalam dialog buku Critias, tercatat kisah Atlantis yang dikisahkan oleh adik sepupu Critias. Critias adalah murid dari ahli filsafat Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog.

Kisahnya berasal dari cerita lisan Joepe yaitu moyang lelaki Critias, sedangkan Joepe juga mendengarnya dari seorang penyair Yunani bernama Solon ( 639-559 SM). Solon adalah yang paling bijaksana di antara 7 mahabijak Yunani kuno, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir, dari tempat pemujaan makam leluhur mengetahui legenda Atlantis. Catatan dalam dialog, secara garis besar seperti berikut ini:

“Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya, istana dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok dalam istana bertakhtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang”.
Atlantis digambarkan sebagai peradaban dengan tingkat kemajuan teknologi yang tinggi. Konon, Pesawat Terbang, Pendingin ruangan, batu baterai, dll telah ada pada masa itu. Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, keadaan kerajaan Atlantis diceritakan turun-temurun. Sama sekali bukan rekaannya sendiri. Plato bahkan pergi ke Mesir minta petunjuk biksu dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat  dibanding kisah yang direkayasa.

Jika semua yang diutarakan Plato memang benar-benar nyata, maka sejak 12.000 tahun silam, manusia sudah menciptakan peradaban. Namun di manakah kerajaan Atlantis itu? Sejak ribuan tahun silam orang-orang menaruh minat yang sangat besar terhadap hal ini. Hingga abad ke-20 sejak tahun 1960-an, laut Bermuda yang terletak di bagian barat Samudera Atlantik, di kepulauan Bahama, dan laut di sekitar kepulauan Florida pernah berturut-turut diketemukan keajaiban yang menggemparkan dunia, misalnya beberapa temuan tersebut antara lain ;

1. Suatu hari di tahun 1968, kepulauan Bimini di sekitar Samudera Atlantik di gugusan Pulau Bahama, laut tenang dan bening bagaikan kaca yang terang, tembus pandang hingga ke dasar laut. Beberapa penyelam dalam perjalanan kembali ke kepulauan Bimini, tiba-tiba ada yang menjerit kaget. Di dasar laut ada sebuah jalan besar! Beberapa penyelam secara bersamaan terjun ke bawah, ternyata memang ada sebuah jalan besar membentang tersusun dari batu raksasa. Itu adalah sebuah jalan besar yang dibangun dengan menggunakan batu persegi panjang dan poligon, besar kecilnya batu dan ketebalan tidak sama, namun penyusunannya sangat rapi, konturnya cemerlang. Apakah ini merupakan jalan posnya kerajaan Atlantis?

2. Awal tahun ’70-an, sekelompok peneliti telah tiba di sekitar kepulauan Yasuel, Samudera Atlantik. Mereka telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di dasar laut, atas ungkapan ilmiah, tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada 12.000 tahun silam. Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan, begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato! Namun, apakah di sini tempat tenggelamnya kerajaan Atlantis?

3. Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno mahakarya manusia! Apakah ini dibangun oleh orang Atlantis?

4. Tahun 1979, ilmuwan Amerika dan Perancis dengan peranti instrumen yang sangat canggih menemukan piramida di dasar laut “segitiga maut” laut Bermuda. Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter, lebih besar dibanding piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang. Piramida besar ini, apakah dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlan pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal dari kerajaan Atlantis?

5. Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut “segitiga maut”. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan besar vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan (binatang), kuil, bantaran sungai dll. Mereka berdua mengatakan: “Mutlak percaya, yang kami temukan adalah Benua Atlantik! Sama persis seperti yang dilukiskan Plato!” Benarkah itu?

Yang disayangkan, piramida dasar laut segitiga Bermuda, berhasil diselidiki dari atas permukaan laut dengan menggunakan instrumen canggih, hingga kini belum ada seorang pun ilmuwan dapat memastikan apakah sebuah bangunan yang benar-benar dibangun oleh tenaga manusia, sebab mungkin saja sebuah puncak gunung bawah air yang berbentuk limas.

Foto peninggalan bangunan kuno di dasar laut yang diambil tim ekspedisi Rusia, juga tidak dapat membuktikan di sana adalah bekas tempat kerajaan Atlantis. Setelah itu ada tim ekspedisi menyelam ke dasar samudera jalan batu di dasar lautan Atlantik Pulau Bimini, mengambil sampel “jalan batu” dan dilakukan penelitian laboratorium serta dianalisa. Hasilnya menunjukkan, bahwa jalan batu ini umurnya belum mencapai 10.000 tahun. Jika jalan ini dibuat oleh bangsa kerajaan Atlantis, setidak-tidaknya tidak kurang dari 10.000 tahun.

Mengenai foto yang ditunjukkan kedua kelasi Norwegia itu, hingga kini pun tidak dapat membuktikan apa-apa. Satu-satunya kesimpulan tepat yang dapat diperoleh adalah benar ada sebuah daratan yang karam di dasar laut Atlantik. Jika memang benar di atas laut Atlantik pernah ada kerajaan Atlantis, dan kerajaan Atlantis memang benar tenggelam di dasar laut Atlantik, maka di dasar laut Atlantik pasti dapat ditemukan bekas-bekasnya. Hingga saat ini, kerajaan Atlantis tetap merupakan sebuah misteri sepanjang masa.
Citra satelit Santorini dari udara. Tempat ini merupakan salah satu dari banyak tempat yang diduga sebagai lokasi Atlantis.

Beberapa upaya penelitian dan pembuktian hipotesis melalui ilmu arkeologi atau ilmiah, sementara lainnya berdasarkan fisika atau lainnya. Banyak tempat usulan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan kisah Atlantis (air, bencana besar, periode waktu yang relevan), tetapi tidak ada yang berhasil dibuktikan sebagai kisah sejarah Atlantis yang sesungguhnya.

Kebanyakan lokasi yang diusulkan berada atau di sekitar Laut Tengah. Pulau seperti Sardinia, Kreta dan Santorini, Sisilia, Siprus dan Malta; kota seperti Troya, Tartessos, dan Tantalus (di provinsi Manisa), Turki; dan Israel-Sinai atau Kanaan. Letusan Thera besar pada abad ke-17 atau ke-16 SM menyebabkan tsunami besar yang diduga para ahli menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta yang semakin meningkatkan kepercayaan bahwa bencana ini mungkin merupakan bencana yang menghancurkan Atlantis.[16] Terdapat wilayah di Laut Hitam yang diusulkan sebagai lokasi Atlantis: Bosporus dan Ancomah (tempat legendaris di dekat Trabzon). Sekitar Laut Azov diusulkan sebagai lokasi lainnya tahun 2003. A. G. Galanopoulos menyatakan bahwa skala waktu telah berubah akibat kesalahan penerjemahan, kemungkinan kesalahan penerjemahan bahasa Mesir ke Yunani; kesalahan yang sama akan mengurangi besar Kerajaan Atlantis Plato menjadi sebesar pulau Kreta, yang meninggalkan kota dengan ukuran kawah Thera. 900 tahun sebelum Solon merupakan abad ke-15 SM.

Beberapa hipotesis menyatakan Atlantis berada pada pulau yang telah tenggelam di Eropa Utara, termasuk Swedia (oleh Olof Rudbeck diAtland, 1672–1702), atau di Laut Utara. Beberapa telah mengusulkan Al-Andalus atau Irlandia sebagai lokasi. Kepulauan Canary juga dinyatakan sebagai lokasi yang mungkin, sebelah barat selat Gibraltar tetapi dekat dengan Laut Tengah. Berbagai kepulauan di Atlantik juga dinyatakan sebagai lokasi yang mungkin, terutama Kepulauan Azores. Pulau Spartel yang telah tenggelam di selat Gibraltar juga telah diusulkan.
Antarktika, Indonesia, dibawah Segitiga Bermuda, dan Laut Karibia telah diusulkan sebagai lokasi Atlantis. Kisah benua “Kumari Kandam” yang hilang di India telah menginspirasi beberapa orang untuk menggambarkannya secara paralel dengan Atlantis. Menurut Ignatius L. Donnelly dalam bukunya, Atlantis: The Antediluvian World, terdapat hubungan antara Atlantis dan Aztlan (tempat tinggal nenek moyang suku Aztek). Ia mengklaim bahwa suku Aztek menunjuk ke timur Karibia sebagai bekas lokasi Aztlan.


LEGENDA ATLANTIS PART 2 (Kumpulan tulisan yang percaya wilayah Indonesia termasuk dalam kawasan benua Atlantis di masa lampau)


Pada bagian kedua tulisan tentang legenda atlantis ini kita mencoba mengumpulkan berbagai tulisan yang percaya atau paling tidak beranggapan bahwa wilayah dan peradaban bangsa Atlantis pernah ada dan lokasinya berada di wilayah Asia Tenggara sekarang termasuk wilayah Indonesia, beberapa tulisan yang kita dapatkan dari berbagai sumber di internet, antara lain, Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D ( Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis), Mohamad Asrori Mulky, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta, Hasil temuan riset terbaru deoxyribonucleic acid atau DNA tentang asal-usul manusia Asia yang telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009 berjudul “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” tulisan Ahmad Yulden Erwin di http://atlantis-lemuria-indonesia.blogspot.com/, tulisan di Forum kaskus.com, Wikipedia Online , Kontraversi dan rekonstruksi OPPENHEIMER , Prof Arysio Nunes Dos Santos, Ph.D serta pandangan dari aspek Geologis, Ethnogeneses dan Arkeologis


1. Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D. (Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis
Sumber: http://www.pikiran- rakyat.com/ cetak/2006/ 102006/02/ 0902.htm
MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?

Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.

Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.

2. Mohamad Asrori Mulky, (peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta)
Sumber : Jawa Pos, Minggu, 10 Januari 2010
CERITA mengenai keberadaan Benua Atlantis hingga kini terus menjadi misteri sejak dideskripsikan filsuf Yunani, Plato, pada ribuan tahun lalu dalam dua dialognya, “Timaeus” dan “Critias”. Tak hanya Plato, penulis kuno klasik lainnya seperti Homer, Hesiod, Pindar, Orpheus, Appolonius, Theopompos, Ovid, Pliny si tua, Diodorus Siculus, Strabo, dan Aelian juga ikut meramaikan soal keberadaan Atlantis.

Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan perdebatan tak kunjung usai di kalangan saintis klasik dan modern. Bahkan, masing-masing meletakkan Atlantis di tempat yang mereka yakini sesuai dengan hasil temuannya seperti Al-Andalus, Kreta, Santorini, Siprus, Timur Tengah, Malta, Sardinia, Troya, Antartika, Australia, Kepulauan Azores, Tepi Karibia, Bolivia, Laut Hitam, Inggris, Irlandia, Kepulauan Canary, Tanjung Verde, Isla de la Juventud dekat Kuba, dan Meksiko.

Pandangan yang paling mutakhir mengenai Atlantis -dan sangat mengejutkan kita- datang dari seorang geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil Prof Arysio Santos. Dia membantah tesis di atas dan meyakini bahwa Atlantis yang pernah digambarkan Plato sebagai sebuah negara makmur dengan kekayaan emas, batuan mulia, dan mother of all civilization dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga itu adalah Indonesia.

Kesimpulan Santos yang merujuk pada pandangan Plato bukan tanpa pertimbangan kuat. Selama 30 tahun ia melakukan studi dan penelitian. Selama itu pula hidupnya dipergunakan untuk mengungkap letak Atlantis yang sebenarnya. Hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization. Untuk memperkuat argumentasinya, Santos juga merujuk pada tradisi-tradisi suci tentang mitos banjir besar yang melanda seluruh dunia.

Dalam buku ini, secara tegas Santos menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia. Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis. Mereka memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan atas keserakahan dan keangkuhannya.

Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung berapi.

Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.

Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan.

Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera dan Kalimantan. Bencana besar itu disebut Santos sebagai “Heinrich Events”.

Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia.

Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis.

Terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Santos sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang luar ke Indonesia. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya, ini adalah suatu proses dari hukum alam tentang masa keemasan dan kemunduran suatu bangsa.
3. Temuan Riset DNA Bangsa Atlantis
Sumber OPINI Rakyatjelata | 22 Februari 2010 | 20:29
Hasil temuan riset terbaru deoxyribonucleic acid atau DNA tentang asal-usul manusia Asia menunjukkan bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografis utama dari populasi di Asia yang kemudian menyebar ke utara. Hasil riset tersebut telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009 berjudul “Mapping Human Genetic Diversity in Asia”. Hasil temuan tersebut akhirnya membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, serta membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan. Sehingga catatan sejarah sepertinya harus diperbaiki bila ditilik dari hasil temuan riset tersebut yaitu harusnya nenek moyang bangsa Asia berasal dari Asia Tenggara

Hasil temuan tersebut agak mirip dengan hasil pemikiran Prof santos yang menganggap Indonesia adalah Atlantis sebenarnya. Prof Santos dalam bukunya “Atlantis The Lost Continents Finally Found” menyebutkan Ketika jaman es berakhir, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dari paparan sunda dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika. Pada saat buku tersebut di terbitkan (2005) banyak ilmuan yang menolak hasil pemikiran dan penelitian 29 tahun Prof Santos menyangkut migrasi penduduk Atlantis karena dianggap tidak sesuai dengan catatan sejarah yang telah dituliskan sebelumnya.

Sebetulnya bila kita liat dari catatan Plato mengenai ciri-ciri geografis Atlantis agak mirip dengan Indonesia, walaupun perlu adanya temuan relief atau benda-benda sejarah untuk lebih memastikannya. Sampai saat ini belum ada temuan sejarah yang dapat mengarahkan dimanakah letak Atlantis. Keberadaan Atlantis hanya berasal dari catatan Plato dan bisa di interpretasikan di manapun di seluruh dunia bila di hubung-hubungkan.

Untuk bisa menghubung-hubungkan antara Indonesia dan Atlantis berarti kita harus melihat catatan dari Plato karena dari catatan tersebut awal permulaan polemik tentang keberadaan Atlantis. Ada catatan Plato ( Critias & Timaeus ) yang menggambarkan kharakteristik Atlantis mirip kharakteristik Indonesia :

1. Tanah Atlantis adalah tanah yang terbaik di dunia dan karenanya mampu menampung pasukan dalam jumlah besar (Critias)

2. Tanah ini juga mendapatkan keuntungan dari curah hujan tahunan, memiliki persedian yang melimpah di semua tempat (Cristias)

3. Orichalcum ( Tembaga dan Kuningan ) bisa di gali dibanyak wilayah di pulau itu. Pada masa itu Orichalcum lebih berharga dibanding benda berharga apapun kecuali emas. Di pulau itu juga banyak terdapat kayu untuk pekerjaan para tukang dan cukup banyak persedian untuk hewan-hewan ternak ataupun hewan liar, yang hidup di sungai ataupun darat, yang hidup di gunung ataupin daratan. Bahkan di pulau itu juga terdapat banyak gajah.(Cristias)

4. Kekuatan ini datang dari samudra Atlantik. Pada waktu itu, samudra Atlantik dapat dilayari dan ada sebuah pulau yang terletak di hadapan selat yang engkau sebut pilar-pilar hercules. Pulau itu lebih luas dibandingkan dengan gabungan Libya dan Asiakecil dan pilar-pilar ini juga merupakan pintu masuk ke pulau-pulau lain di sekitarnya, dan dari pulau-pulau itu engkau dapat sampai ke seluruh benua yang menjadi pembats laut Atlantik. Laut yang ada di dalam pilar-pilar Hercules hanyalah seperti debuah pelabuhan yang memiliki pintu masuk yang sempit. namun laut yang di luarnya dalah laut yang sesungguhnya, dan benua yang mengelilinginya dapat di sebut benua tanpa batas. Di wilayah Atlantis ini, ada sebuah kerajaan besar yang memerintah keseluruhan pulau dan pulau lain di sekitarnya serta sebagian wilayah di benua lainnya. (Timaeus)

5. Di tengah tengah pulau itu ada sebuah daratan yang dianggap terbaik dan memiliki tanah yang subur…(Cristias)

6. Banyak air bah yang telah terjadi selama 9000 tahun, yaitu jumlah tahun yang telah terjadi, yaitu jumlah tahun yang telah terjadi ketika aku berbicara. Dan selam waktu itu juga terjadi banyak perubahan. Tidak pernah terjadi dalam sejarah begitu banyak akumulasi tanah yang jatuh dari pegunungan di satu wilayah. Namun tanah telah berjatuhan dan menimbun wilayah Atlantis dan menutupinya dari pandangan mata.”

7. Karena hanya dalam semalam, hujan yang luar biasa lebat menyapu bumi dan pada saat yang bersamaan terjadi gempa bumi. Lalu muncul air bah yang menggenang seluruh wilayah.” (Critias)

8. “Masing-masing daratan memiliki sirkumferen yang berjarak sama dari tengah pulau tersebut. Jadi tidak ada satu orang dan satu kapalpun yang dapat mencapai pulau itu. Poseidon lalu membuat dua mata air di tengah-tengah pulau, satu air hangat dan satu lagi air dingin. ia juga membuat berbagai macam makanan muncul dari tanah yang subur.” (Critias)

9. Pasukan yang satu dipimpin oleh kota-kota Athena. Di pihak lain, pasukannya dipimpin langsung oleh raja-raja dari Atlantis, yaitu seperti yang telah aku jelaskan, sebuah pulau yang lebih besar dibanding gabungan Libya dan Asia, yang kemudian dihancurkan oleh sebuah gempa bumi dan menjadi tumpukan lumpur yang menjadi penghalang bagi para penjelajah yang berlayar ke bagian samudera yang lain. (Critias)

Dari 9 ( sembilan ) catatan Plato yang bisa di interpretasikan agak mirip dengan kharakteristik Indonesia karena itu kita bisa menghubung-hubungkannya. Plato menyatakan tanah Atlantis adalah tanah yang subur yang di beri curah hujan tinggi sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidup mahluk yang tinggal didalamnya mirip seperti daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Dari catatan tersebut juga menyebutkan bahwa penduduk bangsa Atlantis cukup besar di jaman-nya sehingga mampu membangun kekuatan militer yang besar, 3 ( tiga ) negara berpenduduk padat saat ini berada di India, China dan Indonesia. ke 3 (tiga) negara tersebut oleh Prof Santos disebut sebagai wilayah kekuasaan Atlantis.

Atlantis merupakan negara yang kaya mineral khususnya orichalcum (tembaga dan kuningan) dan tidak hanya tanah Atlantis begitu suburnya sehingga memiliki jumlah kayu dan tumbuhan yang berlimpah (hutan) serta hewan bahkan menyebutkan gajah. Hanya di negara beriklim tropis seperti Asia selatan, Asia Tenggara dan Amerika Selatan yang memiliki hutan yang lebat (hutan hujan tropis) sehingga memiliki jumlah banyak kayu. Negara beriklim tropis dimana Gajah berada hanya ada di kawasan hutan India dan Indonesia. Indonesia adalah penghasil tembaga terbesar ke 3 (tiga) di dunia.

Pada catatan Timeus di sebutkan Atlantis adalah negara kepulauan dimana kekuasaan Atlantis seluas libya ditambah asia kecil. Negara Atlantis berada di sebuah pulau yang menguasai pulau-pulau lain dan sebagian benua. Jadi menurut rakyat jelata bukan pulau yang di tempati negara Atlantis yang luas tapi luas kekuasaannya seperti halnya Majapahit pada abad ke 13. Majapahit di jamannya hanya seluas jawa timur + jawa tengah + Madura tetapi kerajaan-kerajaan yang tunduk di bawah kekuasaan majapahit bila di gabungkan sebesar nusantara + malaysia + filipina + thailand.

Bila kita lihat dari hasil gambaran jaman es ketika paparan sunda belum tenggelam, masih menunjukkan area yang patut di duga negeri Atlantis berupa benua Asia berbatasan dengan pulau-pulau besar seperti sulawesi, gabungan irian + australia serta kepulauan filipina, gambaran geografis tersebut menunjukkan bahwa di area itu merupakan geografis kepulauan.

Plato menyebutkan Athena berperang dengan raja-raja Atlantis, berarti ada gabungan dari beberapa kerajaan yang sedang berperang dengan Athena. Berarti perang yang terjadi mirip seperti perang troya yang memunculkan legenda kuda troya, dimana kerajaan troya di keroyok oleh gabungan kerajaan-kerajaan di Yunani tetapi menggunakan satu bendera. Jadi ada kemungkinan Athena dalam suasana akan diserang oleh kerajaan-kerajaan yang bergabung dalam bendera ATLANTIS.

Atlantis hancur karena bencana, bila kita baca dari catatan tersebut ada hujan lebat di iringi gempa bumi dan kemudian muncullah air bah. Kejadian tersebut mirip dengan catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa : Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera ( Letusan Gunung Krakatoa Purba ).

Tulisan mengenai letusan gunung krakatau purba berasal dari abad ke 4 ( empat ) tetapi apakah tulisan ini menggambarkan kejadian abad ke 4 (empat) atau menceritakan kejadian masa lampau yang telah lama terjadi bagaimana sumatra dan jawa bisa terpisah. Letusan gunung Krakatau juga pernah terjadi pada jaman es dan letusan krakatau di tambah gunung toba merupakan salah satu faktor yang patut di duga menimbulkan berakhirnya jaman es ( abad 6 SM ). Plato menceritakan berakhirnya era Atlantis karena bencana setelah terjadi 9000 tahun kalender mesir (6 SM), apakah tulisan jawa kuno itu juga menceritakan sesuatu yang telah berlalu lama mengenai terpisahnya jawa dan sumatra. Karena paparan sunda dan selat sunda yang yang masih berupa daratan akhirnya tenggelam pada masa berakhirnya jaman es. Pada saat tersebut jawa, sumatra, semanjung malaysia kalimantan masih bergabung dengan benua asia ( paparan sunda ) sedangkan irian dan Auatralia menjadi satu daratan.

Banyak sejarahwan yang masih meragukan keberadaan Atlantis di kawasan Paparan Sunda karena tidak banyak bukti sejarah berupa artefak, bangunan dan bukti fisik lainnya yang menunjukkan bahwa peradaban di asia tenggara pernah begitu maju di jamannya. Sebetulnya apabila menggunakan logika terbalik, dimana Atlantis itu paparan Sunda yang tenggelam berarti bukti-bukti sejarah itupun ikut tenggelam. Apabila di cari di daratan yang masih tersisa maka yang di temukan adalah peradaban yang berkembang setelahnya, karena banyak peradaban berkembang di dunia berada di area yang dekat pesisir /sungai (tidak jauh dari pantai / sungai). Sedangkan area pesisir itu sekarang menjadi lautan yang di kenal laut jawa. Berarti untuk menemukan bekas-bekas Atlantis yang di duga di paparan sunda maka laut jawa harus di teliti.

Ketika saya berdialog dengan beberapa teman mengenai Atlantis patut di duga berada di paparan sunda, mereka tidak percaya karena masyarakat dari sisa daratan paparan sunda yang tidak tenggelam seperti Jawa, Sumatra, Semenanjung Melayu,dan Kalimantan menunjukkan bercirikan agraris. Sebetulnya banyak individu lupa akan lagu nenek moyang ku seorang pelaut dan relief kapal candi borobudur, bahkan “Buku “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, karya Robert Dick-Read, terbitan Mizan (juni 2008), membawa angin segar terhadap bukti-bukti arkeologis tentang peranan pelaut Indonesia kuno dalam memajukan perdagangan dunia. 4000 tahun lalu, jejak pelaut Indonesia terekam di kerajaan Mesir, Fir’aun dinasti ke-12, Sesoteris III. Lewat data arkeolog mengenai transaksi Mesir dalam mengimpor dupa, kayu eboni, kemenyan, gading, dari daratan misterius tempat “Punt” berasal. Meski dukungan arkeologis sangat kurang, negeri “Punt” dapat diidentifikasi setelah Giorgio Buccellati menemukan wadah yang berisi benda seperti cengkih di Efrat tengah. Pada masa 1.700 SM itu, cengkih hanya terdapat di kepulauan Maluku, Indonesia.

Dengan ditemukannya sisa-sisa kambing di situs pemukiman Pulau Timor, menjadi bukti perdagangan pelaut Austronesia dengan Timur tengah dan kemungkinan kuat menggunakan kano atau perahu untuk pengangkutannya. Dimana pelaut-pelaut nusantara telah lama mengarungi lautan dan menemukan pulau-pulau eksotis, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar, madagaskar, tanjung harapan jauh sebelum bangsa Arab ataupun Shirazi. Bahkan orang jawa terkenal dengan kapal besar/ bahtera berbobot 1000 ton yg dipanggil jung (jenis kapal ini punah stelah Belanda memonopoli perdagangan dan melakukan penjajahan), kapal jung ini menjadi dekap kagum bangsa portugis karena kapal laut terbesar mereka bagaikan bukan kapal laut bila di sandingkan dengan bahtera kapal jung bangsa jawa. Semasa keemasan Sriwajaya, ada pengangkutan emas dari Afrika ke Sumatra itu kenapa sumatra dikenal dengan SwarnaDwipa. Pelaut Indonesia juga berhubungan erat dengan kerajaan Romawi dan Yunani Kuno, dengan sebuah pertanyaan ganjil, mengapa rempah-rempah berupa kayu manis (cassia) atau Cinnamun dan lada bisa sampai ke mediterania setelah pemindahan muatan di Horn of Africa? Robert Dick-Read menulis dalam buku’nya”. Bangsa ini menjadi mantan bangsa pelaut karena politik penjajahan bangsa Belanda yang memonopoli perdagangan dengan hanya kapal Belanda yang berkenan mengangkut hasil bumi.

Yang rakyat jelata bayang-bayangkan ini bukan fakta sejarah mengenai keberadaan bangsa Atlantis di paparan sunda, hanya menghubung-hubungkan dari catatan Plato dengan kharakteristik dan apa yang di ketahui rakyat jelata mengenai sejarah bangsa ini. Banyak buku yang terbit mengenai ATLANTIS berasal dari terwangan para pemikir terhadap catatan Plato bukan dari bukti-bukti fisik yang di temukan. Atlantis masih menjadi perdebatan di dunia, keberadaannya banyak di klaim di berbagai tempat. Biarkan waktu yang menjawab dimana keberadaannya

4. AHMAD YULDEN ERWIN
Sumber: http://atlantis-lemuria-indonesia.blogspot.com/
Setelah berkonsultasi dengan “pakar” soal Atlantis dari Indonesia, saya dapat jawaban sebagai berikut: “Ada banyak versi tentang Atlantis, E. Cayce bilang bahwa Lemuria itu nama benuanya, dan Atlantis itu nama negaranya (diperkirakan eksis 24.000 – 10.000 SM.)

“Negara Atlantis itu terbagi dalam beberapa daerah atau pulau atau kalau sekarang istilahnya mungkin provinsi atau negara bagian. Daerah kekuasaan Atlantis terbentang dari sebelah barat Amerika sekarang sampai ke Indonesia. Atlantis menurut para ahli terkena bencana alam besar paling sedikit 3 kali sehingga menenggelamkan negara itu.

“Jadi, kemungkinan besar Atlantis itu tenggelam tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan, dan terakhir yang meluluh lantakkan negara itu terjadi sekitar tahun 12.000 – 10.000 SM. Pada masa itu es di kutub mencair dan menenggelamkan negara itu. Terjadi banjir besar yang dahsyat, dan penduduk Atlantis pun mengungsi ke dataran-dataran yang lebih tinggi yang tidak tenggelam oleh bencana tersebut. Itulah sebabnya di beberapa kebudayaan mulai dari timur sampai barat, terdapat mitos-mitos yang sejenis dengan kisah perahu Nabi Nuh. Kenapa bisa ada berbagai mitos sejenis dengan kisah perahu Nabi Nuh pada berbagai peradaban di dunia pada masa lalu? Kemungkinan besar karena memang mitos itu berasal satu “kejadian yang sama” dari satu kebudayaan dan tempat yang sama.

“Setelah negeri Atlantis tenggelam, maka penduduk Atlantis itu pun mengungsi ke daerah yang lebih tinggi yang sekarang kita kenal dengan Amerika, India, Eropa, Australia, Cina, dan Timur Tengah. Mereka membawa ilmu pengetahuan-teknologi dan kebudayaan Atlantis ke daerah yang baru.”
Di kalangan para Spiritualis, termasuk Madame Blavitszki — pendiri Teosofi — yang mengklaim bahwa ajarannya berasal dari seorang “bijak” dari benua Lemuria di India. Di dalam kebudayaan Lemuria, spiritualitasnya didasari oleh sifat feminin, atau mereka lebih memuja para dewi sebagai simbol energi feminin, ketimbang memuja para dewa sebagai simbol energi maskulin.

Hal ini cocok dengan spiritualitas di Indonesia yang pada dasarnya memuja dewi atau energi feminin, seperti Dwi Sri dan Nyi Roro Kidul (di Jawa) atau Bunda Kanduang (di Sumatera Barat, Bunda Kanduang dianggap sebagai simbol dari nilai-nilai moral dan Ketuhanan). Bahkan di Aceh pada masa lalu yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pernah dipimpin 5 kali oleh Sultana (raja perempuan) sebelum masuk pengaruh kebudayaan dari Arab yang sangat maskulin. Sebelum itu di kerajaan Kalingga, di daerah Jawa Barat/Jawa Tengah sekarang, pernah dipimpin oleh Ratu Sima yang terkenal sangat bijak dan adil. Di dalam kebudayaan lain, kita sangat jarang mendengar bahwa penguasa tertinggi (baik spiritual atau politik adalah perempuan), kecuali di daerah yang sekarang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah masa Atlantis (Lemuria) ada 5 ras yang berkuasa, yaitu: kulit kuning, merah, coklat, hitam, dan pucat. Pada masa itu kebudayaan yang menonjol adalah kulit merah, jadi kemungkinan besar kebudayaan Indian/Aztec/Maya juga berasal dari Atlantis. Tetapi, kemudian kebudayaan itu mengalami kemunduran dan selanjutnya kebudayaan kulit hitam/coklat di India yang mulai menguasai dunia. Inilah kemungkinan besar jaman kejayaan yang kemudian dikenal menjadi Epos Ramayana (7000 tahun lalu) dan Epos Mahabarata (5000 tahun lalu). Tetapi, kemudian kebudayaan ini pun hancur setelah terjadi perang Baratayuda yang amat dahsyat itu, kemungkinan perang itu menggunakan teknologi laser dan nuklir (sisa radiasi nuklir di daerah yang diduga sebagai padang Kurusetra sampai saat ini masih bisa dideteksi cukup kuat).

Selanjutnya, kebudayaan itu mulai menyebar ke Mesir, Mesopotamia (Timur Tengah), Cina, hingga ke masa sekarang. Kemungkinan besar setelah perang Baratayuda yang meluluhlantakkan peradaban dunia waktu itu, ilmu pengetahuan dan teknologi (baik spiritual maupun material) tak lagi disebarkan secara luas, tetapi tersimpan hanya pada sebagian kecil kelompok esoteris yang ada di Mesir, India Selatan, Tibet, Cina, Indonesia (khususnya Jawa) dan Timur Tengah. Ilmu Rahasia ini sering disebut sebagai “Alkimia”, yaitu ilmu yang bisa mengubah tembaga menjadi emas (ini hanyalah simbol yang hendak mengungkapkan betapa berharganya ilmu ini, namun juga sangat berbahaya jika manusia tidak mengimbanginya dengan kebijakan spiritual)

Kelompok-kelompok esoteris ini mulai menyadari bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tanpa mengembangkan kebajikan spiritual, akan sangat berbahaya bagi peradaban dunia. Itulah sebabnya kelompok-kelompok esoteris ini memulai kerjanya dengan mengembangkan ilmu spiritual seperti tantra, yoga, dan meditasi (tentu saja dengan berbagai versi) untuk meningkatkan Kesadaran dan menumbuhkan Kasih dalam diri manusia. Ajaran-ajaran spiritual inilah yang kemudian menjadi dasar dari berbagai agama di dunia. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi disimpan dahulu dan hanya diajarkan kepada orang-orang yang dianggap telah mampu mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam dirinya.

Tetapi, manusia memang mahluk paling ironik dari berbagai spesies yang ada di bumi. Berabad kemudian, ilmu spiritual ini justru berkembang menjadi agama formal yang bahkan menjadi kekuatan politik. Agama justru berkembang menjadi pusat konflik dan pertikaian di mana-mana. Sungguh ironik, ilmu yang tadinya dimaksudkan untuk mencegah konflik, justru menjadi pusat konflik selama berabad-abad. Tetapi, itu bukan salah agama, melainkan para pengikut ajaran agama itulah yang tidak siap memasuki inti agama: spiritualitas.

Pada abad pertengahan di Eropa, masa Aufklarung dan Renaissance, kelompok-kelompok esoteris ini mulai bergerak lagi. Kali ini mereka mulai menggunakan media yang satunya lagi — ilmu pengetahuan dan teknologi — untuk mengantisipasi perkembangan agama yang sudah cenderung menjadi alat politis dan sumber konflik antar bangsa dan peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini disimpan mulai diajarkan secara lebih luas. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Leonardo Da Vinci, Dante Alegheri, Copernicus, Galelio Galilae, Bruno, Leibniz, Honore de Balzac, Descartes, Charles Darwin bahkan sampai ke Albert Einstein, T.S. Elliot, dan Carl Gustave Jung adalah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni modern yang berhubungan — kalau tidak bisa dikatakan dididik — oleh kelompok-kelompok esoteris ini.

Tetapi, sejarah ironik kembali berkembang, kebudayaan dunia saat ini menjadi sangat materialistis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya digunakan untuk “menyamankan” kehidupan sehari-hari manusia, sehingga manusia punya lebih banyak waktu untuk mengembangkan potensi spiritualitas di dalam dirinya, justru menjadi sumber pertikaian dan alat politik. Konflik terjadi di mana-mana. Ribuan senjata nuklir yang kekuatannya 10 – 100 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945, kini ada di bumi, dan dalam hitungan detik siap meluluhlantakkan spesies di bumi.

Belum lagi eksploitasi secara membabi buta terhadap alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global di mana-mana. Menurut para ahli, hutan di bumi saat ini dalam jangka seratus tahun telah berkurang secara drastis tinggal 15%. Ini punya dampak pada peningkatan efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, diperkirakan kalau manusia tidak secara bijak bertindak mengatasi kerusakan lingkungan ini, maka 30 sampai 50 tahun lagi, sebagian besar kota-kota di dunia akan tenggelam, termasuk New York City, Tokyo, Rio De Jenero, dan Jakarta. Dan sejarah tenggelamnya negeri Atlantis akan terulang kembali.

Jaman ini adalah jaman penentuan bagi kebudayaan “Lemuria” atau “Atlantis” yang ada di bumi. Pada saat ini dua akar konflik, yaitu “agama” dan “materialisme” telah bersekutu dan saling memanfaatkan satu sama lain serta menyebarkan konflik di muka bumi. Agama menjadi cenderung dogmatik, formalistik, fanatik, dan anti-human persis seperti perkembangan agama di Eropa dan timur tengah sebelum masa Aufklarung. Esensi agama, yaitu spiritualitas yang bertujuan untuk mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam diri manusia, malah dihujat sebagai ajaran sesat, bid’ah, syirik, dll. Agama justru bersekutu kembali dengan pusat-pusat kekuasaan politik, terbukti pada saat ini begitu banyak “partai-partai agama” yang berkuasa di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan pada paham materialisme juga sudah terlanjur menguasai dunia. Persekutuan antara kaum agama dan materialisme, atau “agama-materialistik” ini mulai menggejala di mana-mana, berwujud dalam bentuk-bentuk teror yang mengancam dunia.

Sudah saatnya, para spiritualis di “Lemuria” mulai bersatu kembali. Segala pertikaian remeh-temeh tentang materialisme-spiritualistik atau spiritualisme-materialistik harus diselesaikan sekarang. Tugas yang sangat penting tengah menanti, bukan tugas profetik, tetapi tugas yang benar-benar menyangkut keberlangsungan eksistensi seluruh spesies di “Lemuria”, di bumi yang amat indah ini. Tugas ini tidak bisa dikerjakan oleh satu dua orang Buddha atau Nabi atau Wali atau Resi atau Avatar seperti pada masa lalu. Tetapi, seluruh “manusia-biasa” juga harus terlibat di dalam tugas ini.
Jika hipotesis Prof. Santos memang benar, bahwa Atlantis pada masa lalu itu berada di Indonesia, maka hal itu berarti kita yang tinggal di sini punya tugas yang penting. Ini bukan suatu kebetulan. Kita yang tinggal di Indonesia harus bangkit kembali, bangkit Kesadarannya, bangkit Kasihnya, bangkit sains dan teknologinya untuk mengubah jalannya sejarah Lemuria yang selama ini sudah salah arah.

Kejayaan masa lalu bukan hanya untuk dikenang, atau dibanggakan, tetapi harus menjadi “energi-penggerak” kita untuk mengambil tanggung jawab dan tugas demi kejayaan Indonesia dan keberlanjutan peradaban Lemuria beserta seluruh spesies yang ada di bumi ini. Seperti kata Bapak Anand Krishna, dalam bukunya yang bertajuk Indonesia Jaya, “Masa depanmu jauh lebih indah dan jaya daripada masa lalumu, wahai putra-putri Indonesia!” Indonesia Jaya!

5. Kontraversi dan Rekonstruksi OPPENHEIMER
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya
buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang
banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan
Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau
dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata
dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus
yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti sebenarnya adalah
Taman.

Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai
Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia
Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi,
mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di
wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban
Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang
menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia,
Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.

Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es
(Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu,
muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia
menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika
bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan
banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.

Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar
yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang
lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga
5−10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah
dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland
malah menjadi pulau−pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa,
Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat
dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan
nelayan.

Bagi Oppenheimer, kisah Banjir Nuh atau Benua Atlantis yang
hilang tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena
alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti
ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun
belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman
Eden.

6. Prof Arysio Nunes Dos Santos, Ph.D

Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso Santos. Profesor asal Brasil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang
sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut
Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama
30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally
Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization
(2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan,
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam,
gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa
Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian
Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur.
Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah
itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera
yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.

Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat
bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar
bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan
Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang
banjir besar seiring berakhirnya zaman es.

Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan
gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es
yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan−
lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut.

Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh−puluh gunung berapi
secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan
gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba,
dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang
memecah bagian−bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda
(Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara
dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).

Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis
yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan
lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut
membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar
biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua.

Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung−
gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang
tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan :
pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan
pendapat penulis.

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik
Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di
Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar,
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani.
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua
kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli
Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan
bekas−bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena−
mena ada peribahasa yang berkata, (Amicus Plato, sed magis amica
veritas)? Artinya,? Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih
senang kepada kebenaran. ?

Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan
utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan
tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang
masa.

7. Pandangan dari Aspek Geologis

Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es.
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng
kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia
Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan
fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen,
letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di
timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi
dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).

Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti−inti
kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area
paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah
permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari
Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut
Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.

Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim
kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia−
Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur
tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan
Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa
Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur
gunungapi (magmatic arc).

Dikenal sebagai Sundaland Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya
dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos,
yang menyakini Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang
menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu,
timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada
jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di
dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut
Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain
yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato
benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.

Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik
lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik−titik pusat gempa,
barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan
banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif,
titik−titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti
sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk
Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu
besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah
Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.

Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti
Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana
geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang
menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung
berapi yang bersamaan.

Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban
manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es
suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan
pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es
sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi
utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es.
Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es
digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan
Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.

Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses
pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan
dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan gunung api
dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori
kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala
besar.

Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000
tahun yang lalu dan berakhir kira−kira 10.000 tahun lalu atau pada
awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman
ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini
berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.

Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang,
karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala
itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat
tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua
Australia.

Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi
penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi
manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan
situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi
tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat
sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).

Tempat−tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di
Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya
pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m
lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi−lokasi tersebut juga
bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.

Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu
(hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan
berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain.
Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih
baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi
Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan
astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer
beranggapan bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland.

Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak porandakan dan mengubur
sebagian besar hutan−hutan maupun taman−taman sebelumnya. Bahkan
sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada
dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan
dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.

8. Pandangan dari Aspek Ethnogeneses dan Arkeologi

International Symposium on The Dispersal of
Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia
Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran
tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal
usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu temuan penting
dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut
adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut
Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.

Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah
seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler.
Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang
benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler,
penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa
Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang
disebut-sebut dalam mitos Plato.

Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’,
bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu
menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang
disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun
lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia
menempati separuh muka bumi.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul
Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat
berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng
dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia,
menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan
tumbuh-tumbuhan.

Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban
manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat
dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier.
Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami
kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.

Diantara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta
kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang
memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat
kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.

Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya
peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk
aapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki
dari muka laut sekarang.

Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi
tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami.
 Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia
dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China
Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang
sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan
sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah
sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau
Kalimantan bagian Barat dan Utara.

Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa
menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai
terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan
Pulau kalimantan bagian Selatan.

Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah
Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim
sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat
menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa
dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan
Artik dan Antartika sekarang ini.

Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin
sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam
kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi,
dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah
satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk
kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas
dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat
didiami dan tetap subur.

Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang
dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana
geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang
dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah
longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa
lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung
Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam
penelitian geologi.

Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena
Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman
Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh
temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian
dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan.

Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka
peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor
pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu
kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis
penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya,
akan berpotensi menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat
menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat
seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll.

LEGENDA ATLANTIS PART 3 (Kumpulan Tulisan yang tidak setuju Sundaland sebagai Benua Atlantis)


Bagian ke tiga sebagai bagian terakhir legenda Atlantis ini, kita ingin mengumpulkan berbagai tulisan yang berpandangan sebaliknya, yaitu membantah bahwa wilayah Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya merupakan bagian dari benua dan peradaban atlantis itu, diantaranya pendapat geolog dari BP Migas, Awang Satyana, dan tulisan Budi Brahmantyo di Harian Pikiran Rakyat, juga serta Laporan Hasil Seminar tentang Atlantis yg diadakan oleh PT Ufuk Publishing House Di gedung auditorium Museum Indonesia TMII, Jakarta, pada Sabtu 20 Februari 2010. Tulisan-tulisan tersebut pada intinya meragukan tentang bukti-bukti dan argumentasi yang dikembangkan oleh Prof Santos bahwa Asia Tenggara khususnya Indonesia merupakan Benua yang hilang tersebut.

1. Awang Satyana
Sumber : From: Awang Satyana
Date: Mon, 1 Feb 2010 11:48:07
To:
Cc: Forum HAGI; Geo Unpad;
Eksplorasi BPMIGAS
Subject: Bls: [iagi-net-l] Atlantis! Surga yang Hilang Itu Adalah Indonesia
Akhir November 2009 yang lalu, saya diberi buku ini oleh penerbitnya (penerjemah) di Indonesia (PT Ufuk Press, Jakarta) untuk membahasnya dalam
acara bedah buku yang diadakan oleh Fakultas Teknik Geologi Universitas
Padjadjaran. Acara diadakan di Auditorium Badan Geologi di Jl. Diponegoro,
Bandung, dihadiri para mahasiswa geologi, para dosen geologi, para ahli
geologi, dan masyarakat umum yang tertarik dengan isyu ini.
Dari Ufuk Press, hadir beberapa perwakilannya.

Buku terjemahannya enak dibaca, dicetak sesuai dengan tampilan aslinya. Saat
itu buku terjemahan ini belum diedarkan, tetapi saya punya karena langsung
diberi oleh penerbitnya, gratis lagi he2…
Meskipun begitu, setelah mempelajarinya cukup detail dan membandingkannya
dengan ilmu geologi yang saya tekuni, saya tidak sepakat dengan hipotesis Prof.
Santos (alm.) bahwa Indonesia (tepatnya Sundaland) adalah Atlantis yang hilang
itu. Argumen-argumen mengapa hipotesis ini tidak bernalar secara geologi
(mainstream geology) saya kemukakan di forum bedah buku tersebut.

Di luar dugaan saya, ternyata PT Ufuk Press gembira mengapa saya menyerang buku
yang diterjemahkannya itu dan diberikannya secara gratis kepada saya. Rupanya,
Ufuk suka menerjemahkan buku-buku yang kontroversial. Pada kesempatan yang
sama, saya juga diminta membahas secara geologi buku “Misteri 2012″ (Greg
Braden dkk.) yang juga kontroversial dan diterjemahkan oleh PT Ufuk Press. Bila
buku2-nya kontroversial, biasanya akan meramaikan pasar, katanya. Hm..
Berikut adalah beberapa antitesis yang saya kemukakan sebagai keberatan2 atas
hipotesis Prof. Santos bahwa Indonesia adalah Atlantis.

Prof. Arysio Santos (AS) : Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang
berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya
(Spanyol).

Awang H. Satyana (AHS) : Atlantis berasal dari bahasa Yunani : Ἀτλαντὶς νῆσος,
“island of Atlas” AS : Lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu (9600
BC) itu adalah di Indonesia dan Laut Cina Selatan (tepatnya Sundaland).
Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka,
Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang)
sebagai pusatnya.

AHS : India, Srilangka, Laut Cina Selatan dan Indonesia Timur bukan bagian
Sundaland. Laut Cina Selatan bukan paparan benua yang tenggelam.
AS : Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat
letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian
besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistosen) .
AHS : Atlantis sank into the ocean “in a single day and night of misfortune”.
(Plato, 360 BC : Timaeus & Critias), bukan gradual akibat deglasiasi.
AS : Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang
sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah
sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya
letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa
Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan
pulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan
yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang
memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran
Sunda.
AHS : Supervolcano Toba meletus pada 74.000 tahun yang lalu, jauh lebih awal
daripada masa Atlantis 11.600 tyl. Tidak ada bukti bahwa Krakatau pernah
meletus pada 11.600 tyl.
AS : Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang
sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah
sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya
letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa
Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan
pulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan
yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang
memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran
Sunda.
AHS : Letusan supervolcano lebih mungkin menyebabkan musim dingin karena abu
volkanik menutupi atmosfer menghalangi sinar Matahari (Tambora 1815 : a year
without a summer), bukan mencairkan es.
AS : Pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan
lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan
lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya,
mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama
pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi
oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat.
AHS : Gempa tidak disebabkan beban sedimen dan air pada dasar samudera, bila
begitu maka pusat-pusat gempa akan memenuhi seluruh samudera. Gempa disebabkan
patahan batuan pada wilayah interaksi lempeng.
AS : Ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara
tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan
bencana banjir dan gempa yang sangat hebat.
AHS : Studi detail masalah late glacial & postglacial sea level rise untuk
Sundaland menggunakan isotop oksigen-18 menunjukkan bahwa penenggelaman
Sundaland oleh naiknya muka laut terjadi pada periode antara 13.000 – 14.000
tahun BP.
AS : Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke
udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian
besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan
menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai
akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di kutub
Utara dan Eropah kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang
rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang
menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter diatas dataran rendah Indonesia.
Dataran rendah di Indonesia tenggelam dibawah muka laut, dan yang tinggal
adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.
AHS : Fly ash berasal dari erupsi supervolcano akan menyebabkan musim dingin
volkanik, sinar Matahari tak akan mencapai permukaan Bumi. Tidak ada es yang
mencair. Studi detail glasiasi dan post-glasial menunjukkan maksimum air laut
naik 16 m selama 300 tahun dari 14.600-14.300 tyl oleh proses perubahan iklim.
AS : Ketika bencana yang diceritakan diatas terjadi, dimana air laut naik
setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar
dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika. Suku Aryan
yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena
glacier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka
bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestin, Afrika Utara, dan Asia
Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali
budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.
AHS : Penelitian biomolekuler DNA menunjukkan arus migrasi bukan dari Sundaland
ke luar, tetapi dari luar menuju Sundaland.
Saya mengakhiri bedah buku dengan menyimpulkan yang saya percayai dan yakini,
seperti di bawah ini.

Tesis-tesis yang diajukan Prof. Santos dalam bukunya “Atlantis : the Lost
Continent Finally Found” (2005) tidak mempunyai bukti dan argumentasi geologi.
Sundaland adalah paparan benua stabil yang tenggelam pada 15.000 – 11.000 tahun
yang lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim, bukan oleh
erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam
jangka panjang.

Tidak ada bukti letusan supervolcano Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu.
Letusan tertua Krakatau yang dapat diidentifikasi adalah pada tahun 460 AD.
Gempa, erupsi volkanik dan tsunami tidak pernah disebabkan beban sedimen dan
air laut pada dasar samudera, tetapi akibat interaksi lempeng-lempeng tektonik.
Migrasi manusia Indonesia (Sundaland) ke luar setelah penenggelaman Sundaland,
bertolak belakang dengan bukti-bukti penelitian migrasi manusia modern secara
biomolekuler.

Karena mekanisme-mekanisme geologi yang diajukan Prof. Santos tidak mempunyai
nalar geologi yang benar, maka sangat diragukan bahwa Indonesia (Sundaland)
merupakan benua Atlantis.

Terakhir, saya menginformasikan kepada Penerbit Ufuk yang disambutnya dengan
gembira, bahwa ada buku lain yang kontroversial yang menyangkut Indonesia,
tulisan Stephen Oppenheimer : “Garden in the East”, yang mengatakan hal yang
mungkin bisa mendukung hipotesis Prof. Santos, bahwa Sundaland adalah Taman
Firdaus itu. Buku ini kontroversial dan telah meyulut api perdebatan di antara
para ahli genetika dan antropologi. Buku ini pernah saya ulas secara geologi di
milis ini.

2. Budi Brahmantyo di Harian Pikiran Rakyat,
a. Tulisan Bagian pertama
Tulisan saya di Harian Umum Pikiran Rakyat (7 Okt 2006: Sundaland = Benua Atlantis yang Hilang? ) membantah artikel di harian yang sama yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D (2 Okt 2006) dengan judul “Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia.” Prof. Priyatna tersanjung karena Indonesia dinyatakan sebagai benua Atlantis yang hilang menurut pendapat Profesor Brasil Arysio Santos melalui bukunya yang terbit pada 2005: “Atlantis: the Lost Continent Finally Found”. Akhirnya buku yang dijadikan acuan Prof. Priyatna untuk artikelnya itu, baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ufuk pada tahun 2009 dan mulai diedarkan di awal 2010 ini.

Ketika pada tahun 2006 menulis artikel di PR itu, saya terus terang belum membaca bukunya Prof. Santos. Namun demikian saya berani membantah karena saya telah menduga sebelumnya bahwa mestinya bukti-bukti Indonesia sebagai Atlantis didasarkan pada temuan-temuan di bidang geologi dan arkeologi.

Dari sudut pandang dan temuan-temuan geologi dan arkeologi itulah sebenarnya telah sangat jelas bahwa penenggelaman Sundaland (yang menurut Prof Santos menjadi inti Atlantis di Indonesia) tidak terjadi dalam satu malam, waktu penenggelaman seperti diungkapkan Plato. Penenggelaman paparan luas itu terjadi secara evolutif memakan waktu ribuan tahun. Itupun bukan oleh suatu gempa bumi yang diikuti tsunami raksasa, tetapi akibat perubahan iklim berupa pemanasan global dari zaman es ke zaman antar es.

Dari sisi arkeologi, ketika Atlantis diperkirakan oleh Plato berjaya sampai sekitar 10.000 tahun yang lalu, kebudayaan Indonesia purba tidaklah semaju seperti yang digambarkan oleh Plato. Kehidupan purbakala saat itu masih berada pada Zaman Paleolitik. Masyarakatnya hidup terutama dari berburu dengan hanya menggunakan bahan-bahan alam dari batu, tulang, atau kayu/bambu. Hidup mereka diduga tinggal di tepi-tepi sungai dengan tempat berteduh sederhana dari ranting-ranting pohon, atau di gua-gua alami. Bandingkan di waktu yang sama, bangsa Mesir telah berperadaban tinggi, di antaranya sudah sanggup membuat piramid.

Setelah saya mendapatkan dan membaca buku itu dalam versi Bahasa Indonesia, rupanya kedua alasan kuat di atas dibantah habis oleh Prof. Santos. Tadinya saya pikir Prof. Santos akan berargumen dengan temuan-temuan baru geologis dan arkeologis di Indonesia. Namun alasannya rupanya lebih didasarkan argumen-argumen mitologi dan kebetulan-kebetulan atau kesamaan linguistik. Peta-peta dan buku-buku kuno Ramayana, Mahabarata, Iliad, dll. serta dongeng-dongeng yang tersebar di seantero dunia dari tradisi Yahudi Kuno, Kristiani Awal, kepercayaan-kepercayaan pagan yang menyembah berhala, adalah referensi untuk menyatakan argumennya bahwa akhirnya benua Atlantis yang hilang telah ditemukan (di Indonesia), seperti judul bukunya.

Begitupun alasan-alasan dari sisi geologi sama sekali tidak mendasar. Akhir Atlantis menurut Santos adalah letusan dahsyat G. Krakatau (Proto Krakatau) pada 11.600 tahun lalu, yang di geologi tidak pernah ada catatan penentuan umur produk letusan itu. Krakatau dianggap Pilar Herkules yang sesungguhnya dengan pendamping G. Dempo di Sumatera Selatan yang di geologi catatan tentang letusan G. Dempo sangatlah miskin dan juga belum pernah diketahui meletus dahsyat. Akhirnya Prof Santos menggunakan argumen letusan Toba 74.000 tahun lalu yang jelas tidak cocok dengan berakhirnya Atlantis yang menurut Prof. Santos sendiri berakhir 11.600 tahun yang lalu.

Pada awal-awal buku, saya sudah kehilangan selera untuk menamatkannya dengan argumen-argumen yang sangat tidak berdasar tersebut. Apalagi, pengakuannya bahwa penemuan Atlantis di Indonesia itu setelah melakukan riset selama 30 tahun, tetapi belum sekali pun Prof. Santos mengunjungi Indonesia.

Sebagai seorang doktor fisika nuklir (dan geolog? Seperti tertulis di sampul buku versi Bahasa Indonesia) — hasil dari penelusuran di internet — ternyata karya tulis Prof. Santos hanya di seputar Atlantis saja (yang jelas semua argumennya tidak mengacu kepada bidang fisika nuklir). Benar-benar hanya pakar Atlantologi rupanya.

Dan ini… Satu hal yang semakin meragukan lagi adalah bahwa di daftar referensinya ternyata tidak ada satu pun sekali lagi TIDAK SATU PUN mengacu pada literatur tentang geologi dan arkeologi Indonesia. Padahal telah sangat berjibun referensi tentang geologi, arkeologi, mitologi, sejarah, antropologi, dan lain sebagainya tentang Paparan Sunda, Sundaland, atau Indonesia, baik yang ditulis peneliti-peneliti Indonesia dalam bahasa Inggeris maupun mancanegara/internasional. Misalnya buku paling lengkap membahas prasejarah Indonesia oleh Peter Bellwood (Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, 1985; edisi Bahasa Indonesia diterbitkan Gramedia, 2000) sama sekali tidak dirujuk.

Saya tidak sendiri membantah Prof. Santos. Berikut saya kutipkan juga pendapat geolog dari BP Migas, Awang Satyana, yang pengetahuan tentang geologinya sangat luar biasa. Pak Awang sempat didaulat untuk bedah buku Prof. Santos itu di akhir November 2009. Kutipan ini saya copy dari postingnya di milis iagi.net yang sangat panjang dan saya salin bagian resumenya saja sebagai berikut:

Tesis-tesis yang diajukan Prof. Santos dalam bukunya “Atlantis: the Lost Continent Finally Found” (2005) tidak mempunyai bukti dan argumentasi geologi. Sundaland adalah paparan benua stabil yang tenggelam pada 15.000 – 11.000 tahun yang lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim, bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang.

Tidak ada bukti letusan supervolcano Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu. Letusan tertua Krakatau yang dapat diidentifikasi adalah pada tahun 460 AD. Gempa, erupsi volkanik dan tsunami tidak pernah disebabkan beban sedimen dan air laut pada dasar samudera, tetapi akibat interaksi lempeng-lempeng tektonik.

Migrasi manusia Indonesia (Sundaland) ke luar setelah penenggelaman Sundaland, bertolak belakang dengan bukti-bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler. Karena mekanisme-mekanisme geologi yang diajukan Prof. Santos tidak mempunyai nalar geologi yang benar, maka sangat diragukan bahwa Indonesia (Sundaland) merupakan benua Atlantis.

Memang, akhirnya buku Prof Santos hanyalah buku yang penuh argumen yang tidak berdasarkan kepada temuan ilmiah. Seperti diungkapkan oleh Thomas Djamaluddin, peneliti/astronom dari LAPAN di http://nasional.vivanews.com/news/read/100793-ilmuwan_indonesia__atlantis_itu_pseudoscience, pendapat Santos hanya akan menjadi pseudoscience yang seolah-olah seperti sains tetapi cara pengungkapannya lebih hanya kepada opini-opini penulis sendiri yang didasarkan pada mitos dan legenda, dan tidak didukung bukti-bukti geologi atau arkeologi yang meyakinkan.

Hal itu, bagi saya, membuat penilaian pada buku Prof. Santos (yang telah meninggal dunia) menjadi sangat – sangat negatif dan meragukan. Akhirnya, buku yang sangat tebal ini menjadi begitu membosankan dengan argumen-argumen yang tidak masuk akal dan dipaksakan untuk cocok alias dicocok-cocokkan. Baru di buku inilah saya begitu banyak membuat coretan, catatan pinggir, dan catatan kaki.

B. Tulisan Bagian ke-dua.
Setelah tulisan saya, dengan argumen geologis-arkeologis, di Harian Pikiran Rakyat Sabtu 7 Oktober 2006 yang menafikan pendapat bahwa benua mitos Atlantis adalah di Indonesia dan menolak pendapat seorang Brasil Profesor Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” yang menyatakan bahwa Atlantis adalah Indonesia, masih banyak komentar (bahkan yakin) bahwa benua Atlantis adalah Indonesia, tepatnya Sundaland (paparan Sunda).

Di bawah ini saya kutipkan 24 syarat Atlantis (di mana saja di seluruh dunia) hasil kesepakatan para peneliti Atlantis dari 15 negara yang berkumpul di Pulau Milos, Yunani, dari 11 hingga 13 Juli 2005. Mereka bertukar pikiran mengenai keberadaan Benua Atlantis.

Selama konferensi dengan judul “Hipotesis Atlantis – Mencari Benua yang Hilang”, para spesialis dalam bidang arkeologi, geologi, volkanologi dan ilmu-ilmu lain memperesentasikan pandangannya tentang keberadaan Atlantis, waktu menghilangnya, penyebabnya, dan kebudayaannya.

Berdasarkan kepada tulisan Plato, peserta konferensi akhirnya setuju pada 24 kriteria yang secara geografis harus memenuhi persyaratan keberadaan lokasi Atlantis, yaitu:
1. Metropolis Atlantis harus terletak di suatu tempat yang tanahnya pernah ada atau sebagian masih ada.
2. Metropolis Atlantis harus mempunyai morfologi yang jelas berupa selang-seling daratan dan perairan yang berbentuk cincin memusat.
3. Atlantis harus berada di luar Pilar-pilar Hercules.
4. Metropolis Atlantis lebih besar dari Libya dan Anatolia, dan Timur Tengah dan Sinai (gabungan).
5. Atlantis harus pernah dihuni oleh masyarakat maju/beradab/cerdas (literate population) dengan ketrampilan dalam bidang metalurgi dan navigasi.
6. Metropolis Atlantis harus secara rutin dapat dicapai melalui laut dari Athena.
7. Pada waktu itu, Atlantis harus berada dalam situasi perang dengan Athena.
8. Metropolis Atlantis harus mengalami penderitaan dan kehancuran fisik parah yang tidak terperikan (unprecedented proportions).
9. Metropolis Atlantis harus tenggelam seluruhnya atau sebagian di bawah air.
10. Waktu kehancuran Metropolis Atlantis adalah 9000 tahun Mesir, sebelum abad ke-6 SM.
11. Bagian dari Atlantis berada sejauh 50 stadia (7,5 km) dari kota.
12. Atlantis padat penduduk yang cukup untuk mendukung suatu pasukan besar (10.000 kereta perang, 1.200 kapal, 1.200.000 pasukan)
13. Ciri agama penduduk Atlantis adalah mengurbankan banteng-banteng.
14. Kehancuran Atlantis dibarengi oleh adanya gempa bumi.
15. Setelah kehancuran Atlantis, jalur pelayaran tertutup.
16. Gajah-gajah hidup di Atlantis.
17. Tidak mungkin terjadi proses-proses selain proses-proses fisik atau geologis yang menyebabkan kehancuran Atlantis.
18. Banyak mata air panas dan dingin, dengan kandungan endapan mineral, terdapat di Atlantis.
19. Atlantis terletak di dataran pantai berukuran 2000 X 3000 stadia, dikelilingi oleh pegunungan yang langsung berbatasan dengan laut.
20. Atlantis menguasai negara-negara lain pada zamannya.
21. Angin di Atlantis berhembus dari arah utara (hanya terjadi di belahan bumi utara)
22. Batuan Atlantis terdiri dari bermacam warna: hitam, putih, dan merah.
23. Banyak saluran-saluran irigasi dibuat di Atlantis.
24. Setiap 5 dan 6 tahun sekali, penduduk Atlantis berkurban banteng.
Mungkinkah Sundaland? Di Indonesia? Silakan pertimbangkan sendiri…
Saya lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa “the location of Atlantis was in Plato’s mind.”

3. Seminar Nasional tentang Atlantis yg diadakan oleh PT Ufuk Publishing House
Di gedung auditorium Museum Indonesia TMII, Jakarta, sebuah gedung yang asri
dengan batu dan tiang-tiang berukir nan megah, seminar Atlantis digelar PT Ufuk
Publishing House pada Sabtu 20 Februari 2010 tadi pagi-siang pukul 09.30-13.30.
Seminar dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan yang meminati isu
Atlantis. Jadwal selesai mundur 1 ½ jam oleh serunya diskusi.

Sejak buku terjemahannya diterbitkan PT Ufuk akhir tahun lalu, buku tulisan
Prof. Arysio Santos (ahli fisika nuklir Brazil) laku keras di pasaran. Buku
kontroversial yang mengatakan bahwa benua Atlantis yang hilang itu ternyata
Indonesia tentu menimbulkan minat tersendiri bagi orang Indonesia. Berdasarkan
hal itulah maka PT Ufuk serius menggelar seminar ini mengundang para narasumber
yang berkaitan dengan bidang bahasan buku Atlantis.

Menganggap bahwa isu yang dilempar Prof. Santos ini penting untuk harga diri
bangsa (sebab Atlantis terkenal berkebudayaan tinggi) dan penting bagi ilmu
pengetahuan Indonesia, maka PT Ufuk mengundang Prof. Dr Jimly Assidiqie (mantan
ketua MK, dan anggota Watimpres) untuk memberikan pidato kunci. Sebelumnya,
seminar dibuka oleh Prof. Dr. Umar Anggara Jenie (Ketua LIPI) yang memberikan
pengantar tentang aspek ilmu pengetahuan isu Atlantis ini.

Prof. Umar Jenie bersikap netral dalam isu ini sebab beliau mengakui tak
mempunyai kapasitas untuk menilai pendapat Prof. Santos (Pak Umar adalah
seorang ahli farmasi). Tetapi Pak Umar mengutip Arthur Clarke bahwa kebenaran
itu tak harus selalu berdasarkan kebenaran pada saat kini, bisa juga didasarkan
atas imajinasi yang saat ini belum terbukti tetapi kelak mungkin saja terbukti.
Dan bila sebuah seminar internasional tentang Atlantis diperlukan diadakan,
LIPI akan mendukungnya. Buku Prof. Santos baik, dalam hal bisa merangsang
perdebatan sebab perdebatan merupakan jalannya ilmu pengetahuan.

Prof. Jimly, sebagai seorang ahli hukum juga tak bisa menilai pendapat Prof.
Santos ini, tetapi Pak Jimly mengatakan bahwa bila isu ini benar, maka buku
Atlantis ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia, paling tidak bisa
membangun kembali harga dirinya di dunia internasional. Sebelum buku Atlantis
ini, ada buku kontroversial lain yang ditulis Stephen Oppenheimer ahli genetika
dari Inggris berjudul “Eden in the East” yaitu Sundaland sebagai tempat awal
peradaban manusia modern. Dua buku ini penting bagi identitas bangsa Indonesia,
begitu menurut Prof. Jimly.

Pembahasan teknis detail pendapat Prof. Santos dilakukan melalui disiplin ilmu
arkeologi (oleh Prof.Dr. Harry Truman Simanjuntak) dan geologi (oleh saya).
Setelah Prof. Truman dan saya presentasi, Radhar Panca Dahana melanjutkan acara
dengan berbicara tentang aspek budaya Indonesia masa lalu.

Presentasi Prof. Truman (Centre for Prehistoric and Austronesian Studies,
mantan Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia) berjudul “Atlantis –Indonesia ?”.
Sebagai seorang ilmuwan senior, Prof. Truman mengemukakan pertama kali
bagaimana sebuah karya ilmiah itu dibangun, bagaimana analisis sumber data itu
dilakukan, bagaimana kondisi datanya. Bila premis dibangun atas data yang tak
sahih (valid), maka premis salah, hipotesis salah, kesimpulan pun salah. Itulah
yang terjadi dengan buku Prof. Santos. Tak ada analisis data dilakukan. Prof.
Santos hanya menyambungkan fakta atau fiksi di sana-sini menjadi suatu
rangkaian cerita. Uji sumber data tak dilakukan, kesimpulan didasarkan bukan
atas data dan analisis yang valid. Banyak kerancuan dikemukakan dengan
pembahasan yang tidak sistematis.

Selanjutnya, Prof. Truman membahas kebudayaan tinggi Indonesia 11.600 tahun yang lalu versi Prof.Santos (saat penenggelaman Atlantis Indonesia terjadi) dikontraskan dengan penemuan-penemuan artefak di Indonesia yang berangka tahun sekitar 11.600 tahun. Pada masa ini, manusia Indonesia berada pada MMA (manusia modern awal) pada tingkat kebudayaan latest paleolithic dan preneolithic. Kebudayaan pada masa ini berdasarkan penemuan2 arkeologi dicirikan oleh berburu, meramu, hunian gua dan teknologi lithik (batu). Dengan terjadinya deglasiasi pada masa
ini, manusia makin banyak tinggal di dalam gua dan mengembangkan kebudayaan gua
termasuk rock art, perkembangan konsepsi kepercayaan. Dengan kata lain, tak ada
tingkat kebudayaan yang maju seperti yang diceritakan Plato di dalam cerita
Atlantis. Karena tak ada bukti arkeologi sama sekali bahwa Indonesia telah
berkebudayaan maju sebelum 11.600 tahun yang lalu, maka Prof. Truman dengan
tegas menolak pendapat Prof. Santos.

Tentang bantahan geologi atas pendapat-pendapat Prof. Santos telah saya
kemukakan di dalam diskusi-diskusi di milis dari beberapa tahun yang lalu sejak
Prof. Santos mengeluarkan pendapatnya itu pada tahun 2005. Saya
mempresentasikan materi berjudul “Benua Atlantis yang Hilang itu Indonesia ? :
Antitesis-Antitesis Geologi”. Pada intinya, Prof. Santos menyamakan
penenggelaman Sundaland sebagai penenggelaman Atlantis. Hanya, mekanisme
penenggelaman itu bukan karena siklus deglasiasi, tetapi karena letusan
rangkaian gunungapi dari India sampai Jawa termasuk Toba dan Krakatau yang
terjadi pada 11.600 tahun yang lalu. Air laut naik sampai 130 meter pada saat
itu menenggelamkan seluruh Sundaland. Pendapat ini sama-sekali tak punya bukti
geologi dan ngawur secara kronologi.

Toba terakhir meletus hebat sebagai sebuah supervolcano pada 74.000 tahun yang lalu dan letusan pertama Krakatau terjadi pada 416 M, itulah bukti-bukti geologi yang kita punya. Sundaland
memang pernah tenggelam akibat air laut naik secara signifikan, tetapi itu terjadi pada 14.600-14.300 tahun yang lalu. Kenaikan selama 300 tahun itu menaikkan air laut sampai 16 meter, atau 5,3 cm per tahun (Lihat publikasi-publikasi terbaru dari Hanebuth et al., 2000, Rapid Flooding of the
Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record. Science. v. 288, no. 5468, pp.
1033-1035 dan Hanebuth et al., 2004, Depositional sequences on a late
Pleistocene–Holocene tropical siliciclastic shelf (Sunda Shelf, southeast
Asia). Journal of Asian earth Science. v. 23, pp. 113-126).

Bagaimana Prof. Santos bisa mengatakan bahwa airlaut naik sampai 130 meter hanya dalam satu
tahun ? Mekanisme letusan volkanik menyebabkan deglasiasi pun tak kita kenal
dalam geologi, justru volkanisme dalam banyak kasus menyebabkan winter
volcanic. Secara dimensi pun, tsunami sehebat apa pun tak akan menenggelamkan
Sundaland secara sekaligus. Tsunami Krakatau 1883 hanya menyebabkan
tsunami di sekitar pantai Lampung, Banten dan sedikit Jakarta. Itu saja.

Kemudian, Selat Sunda itu sudah terbentuk sejak Miosen Akhir saat Pulau Jawa
melakukan rotasi anti-clockwise dan Sumatra melakukan rotasi clockwise. Ini
telah ada bukti pengukuran paleomagnetikya (antara lain lihat publikasi Ngkoimi
et al., 2006 untuk Jawa, dan Ninkovich, 1976 untuk Sumatera). Akibatnya, Selat
Sunda membentuk celah segitiga menyempit ke timurlaut melebar ke baratdaya.
Retakan ini menyebabkan banyak sesar-sesar di sekitar Selat Sunda dan salah
satu perpotongan sesar itu diduduki Krakatau. Bukanlah Krakatau yang meretakkan
Selat Sunda pada 11.600 tahun yang lalu. Maka, saya pun tak bisa menerima
pendapat Prof. Santos bahwa Indonesia itu Atlantis, tak ada bukti2 geologi
ditemukan di bukunya, dan cara Prof. Santos menerangkan geologi di dalam
bukunya tidaklah nalar, paling tidak bukan mekanisme2 yang dikenal di dalam
main stream geological sciences.

Radhar Panca Dahana (sastrawan dan ahli sosiologi Universitas Indonesia)
berbicara di akhir sesi tentang kejayaan budaya Indonesia masa lalu terutama
dari segi maritimnya. Pelaut-pelaut Nusantara saat itu sudah menjelajah ke
India, Afrika, dsb.termasuk membawa kebudayaan-kebudayaannya, maka ditemukanlah
kebudayaan-kebudayaan yang mirip Nusantara di India, Madagaskar atau Afrika
Selatan. Pak Radhar tak membahas pendapat Prof. Santos, dari pembicaraannya tak
bisa disimpulkan apakah ia mendukung atau menolaknya. “I don’t care with
Santos”, kata Pak Radhar; yang jelas sejarah Indonesia itu bukan hanya
Kutai, Sriwijaya, Mataram, Majapahit, tetapi jauh sebelum itu.

Bila masa sejarah Indonesia dikenal mulai tahun 400 M, itu hanyalah karena pengaruh datangnya
orang-orang Aria dari India yang membawa kebudayaan kontinen; sebelumnya,
Nusantara telah mengunjungi India bahkan Afrika. Hanya pelaut-pelaut Nusantara
memang tak punya tradisi mencatat. Begitu komentar Pak Radhar Panca Dahana yang tulisan-tulisan kritik sastranya bisa kita temukan di koran-koran.

Pertanyaan-pertanyaan banyak diajukan oleh para peserta seminar, dimoderatori
oleh Pak Agus Samekto dari Universitas Indonesia baik teknis maupun nonteknis,
menyangkut arkeologi, geologi, filsafat, bahkan sampai spiritualisme. Para
peserta umumnya netral, tetapi ada juga yang mendukung Prof. Santos maupun
menolaknya. Yang menolaknya umumnya senang karena presentasi dari Prof. Truman
dan saya juga menolaknya. Yang mendukung juga senang karena ulasan Pak Radhar
seolah-olah mendukung Prof. Santos.

Apa pun itu, seminar oleh PT Ufuk Publishing dalam membedah buku-buku asing
yang kontroversial apalagi yang menyangkut Indonesia, patut diacungi jempol
sebab ini bagian dari usaha mencerdaskan masyarakat Indonesia. Buku-buku asing
yang menyangkut Indonesia harus dilihat dengan hati-hati, jangan agar
masyarakat menelannya mentah-mentah, lalu bangga dengan sesuatu yang secara
ilmiah lemah. Adalah tugas para penerbit dan ilmuwan mendidik masyarakatnya.

Demikian, pengamatan saya atas seminar yang menarik ini.Seusai seminar, hujan
deras mengguyur TMII, niat berburu buku-buku langka di ujung TMII batal. Di tol
Jagorawi di tengah hujan yang makin memutih karena semakin menderas :
Atlantis, prasejarah, geologi, bahari Nusantara berkelebatan silih berganti di
pikiran. Indonesia begitu menariknya bagi dunia ilmu pengetahuan apa pun,
semoga ilmuwan Indonesia makin berjaya dan berdaya di negerinya sendiri. Amin.

Salam,
Awang


Sumber:
http://adilesmana.wordpress.com



No comments:

Post a Comment