GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (2)
Ditemukan Kuburan Anak Raja Kuno
Tim Penelitian
Arkeologi Nasional Puslit Arkenas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI
diketuai Prof DR Truman Simanjuntak berhasil menemukan 17 kerangka manusia
kuno di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji Kabupaten OKU
Sumsel.
Truman Simanjuntak yang ditemui di lokasi penggalian Kamis (14/4/2011)
mengatakan Gua Harimau memperlihatkan indikator hunian prasejarah dan
sekaligus hamparan kuburan. Terbukti sejak penelitian dari tahun 2008 hingga
saat ini sudah 17 kerangka manusia kuno yang diperkirakan hidup 3.000 tahun lalu,
ditemukan. Peneliti juga menemukan perkakas rumah tangga dari bahan logam.
Truman didampingi
Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata OKU Aufa S Syarkomi,
mengatakan tim peneliti akan melakukan penelitian dari tanggal 12 hingga 30
April mendatang di Gua Harimau.
Menariknya tim
peneliti juga menemukan satu kuburan dengan tiga tengkorak digabung dalam
satu liang. Menurut Truman penemuan ini semakin unik
dan menarik untuk diteliti. "Mungkin yang meninggal ini anak raja atau
pemimpin, biasanya pengawalnya ikut dibunuh dan dikubur dalam satu lubang
supaya anak raja ini bisa ada teman didunianya yang baru," terang Truman
seraya menambahkan itu baru analisa sementara, karena masih banyak
kemungkinan-kemungkinan lain.
Sejumlah kerangka
manusia kuno ini dikubur dengan berbagai posisi (tidak satu arah), ada
tengkorak orok. Baru separoh gua yang digali sudah ditemukan belasan
tengkorak. "Sudah terlihat hamparan kuburan," kata Truman seraya
menambahkan dapat disimpulkan Gua Harimau merupakan hunian dan sekaligus
hamparan kuburan.
Berbeda dengan
tempat-tempat lain yang biasanya kuburan tidak disatukan dengan hunian namun
di Gua Harimau ini karena ukuran guanya luas sehingga bila ada anggota
kelurga yang meninggal langsung dikubur di gua.
Gua ini tergolong
luas dengan ukuran pintu masuk dan ruang gua-gua 40-50 M. langit-langit atap
gua sangat tinggi sekitar 20-35 meter. Sementara ditempat-tempat lain kata
Truman biasanya kuburan berada dipuncak-puncak gua supaya tidak mengganggu
aktivitas penghuni gua.
Prof Truman kepada
Aufa S Syarkomi yang melihat langsung aktivitas peneliti berjanji akan datang
kembali ke lokasi. "Saya sangat tertarik dan ingin tahu lebih jauh
seputar temuan penelitian di Gua
Harimau ini," kata
Aufa. Sedangkan Truman mengungkapkan akan melakukan penelitian dari tanggal
11 hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.
Tim berjumlah 13
orang masing-masing Prof DR Truman Simanjuntak (ketua) Drs Wahyu dan anggota
Saptomo M Hum, Dr Bagyo Prasetyo, Dr Fadilla Arifin Aziz, Jatmiko M Hum,
Retno Handini MSi, Dwi Yani Yuniawati M Hum, Dariusman Abdillah ST, Dra Vita
dan tiga tenisi Romania Lumban Gaol, Ngadiman dan Sigit Eko Prasetyo.
Jejak Prasejarah di Gua Harimau Setelah Banjir Bandang Berlalu...
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas)
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala
yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten
Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan fosil
manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh
sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang
selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia.
Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari
batu.
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
Ratusan rumah
panggung yang ada di sana
pun ikut disapu arus yang naik dan melimpas desa begitu cepat. Ulak Pandan
dan Batanghari—dua desa yang mengapit Padang Bindu, di hilir dan
hulunya—tercatat menderita paling parah.
"Waktu itu saya masih kelas II SD. Kami, tujuh bersaudara, hanya dua
yang selamat. Lima saudara saya yang lain meninggal, satu di antaranya
hilang. Sampai hari ini tidak terberitakan kalau-kalau ada orang yang
menemukan mayatnya di daerah hilir sana," tutur Zarkoni (36), penduduk
Desa Ulak Pandan.
Padang Bindu dan sekitarnya, yang secara administratif berada di wilayah
Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang
rawan banjir. Sungai Ogan merupakan daerah limpasan air yang turun dari
gugusan perbukitan di lereng timur Pegunungan Bukit Barisan.
Begitu banyak mata air di sana, membentuk sungai-sungai kecil dan semua
mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan sebagai "induk"-nya. Sungai
Ogan sendiri, bersama delapan sungai besar lain yang ada di Sumatera Selatan,
pada akhirnya mengalir dan bermuara ke sungai yang lebih besar lagi: Sungai
Musi!
Sejak tragedi tahun 1982 itu, peristiwa banjir dalam skala serupa memang
tidak pernah terjadi. Akan tetapi, seiring perubahan bentang alam kawasan
ini, ketika hutan-hutan di perbukitan terus dibuka untuk perladangan dan
wilayah "hutan larangan" sebagai daerah tangkapan hujan di hulunya
mulai diincar pemodal besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ancaman
banjir bandang dalam skala yang mungkin lebih besar bukan suatu kemustahilan
akan berulang. Lebih-lebih di tengah perubahan iklim global seperti sekarang.
"Takut nian, Pak, kami kalau sampai hutan di hulu sana 'dijual' oleh
pemerintah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebab, kabarnya daerah
'hutan larangan' itu sudah akan dibuka, tinggal menunggu waktu," kata
salah seorang penduduk Padang Bindu.
Di tengah kekhawatiran sebagian kecil warga yang paham akan risiko banjir
bandang yang mungkin suatu saat akan terulang, di tengah kian rusaknya
kawasan perbukitan di pinggang timur Pegunungan Bukit Barisan di wilayah ini,
sejak 10 tahun terakhir sebuah aktivitas kecil oleh tim penelitian dari
Puslitbang Arkenas mencoba mengeksplorasi jejak-jejak hunian prasejarah di
daerah mereka.
Hanya beberapa kilometer di seberang desa mereka, dipisah oleh Sungai
Ogan yang berair keruh-pekat—tanda di bagian hulu terjadi erosi
terus-menerus—terbentang gugusan perbukitan karst yang diselang-selingi tanah
datar. Jauh lebih ke belakang, Pegunungan Bukit Barisan menjadi semacam
penyekat bagian timur dan barat Pulau Sumatera.
Hasil penelitian awal cukup mencengangkan. Dari kotak-kotak galian di Gua
Harimau saja sudah 18 individu manusia prasejarah ras Mongoloid yang berhasil
diidentifikasi. Jarak antara satu individu dan individu yang lain sangat
dekat. Lokasi kuburan pun menyebar di seluruh kotak yang digali, mengindikasikan
Gua Harimau sebagai lokasi penguburan.
Di lokasi galian juga didapati distribusi artefak—berupa alat serpih
terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan—dalam sebaran yang
cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk pemakaman,
tetapi sekaligus tempat hunian.
Jejak hunian masa lampau itu kini mulai terkuak. Akankah kawasan
bersejarah itu rusak akibat keserakahan manusia masa kini?
Kerangka Purba di Gua Harimau Para Penghuni Awal Sumatera
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih
utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan
Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga "sang majikan" yang dikubur di atas keduanya.
Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga "sang majikan" yang dikubur di atas keduanya.
Posisi penguburan yang unik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah
dalam sistem penguburan pada masa itu, antara 3.500 dan 2.000 tahun lalu,
manusia prasejarah di Nusantara telah mengenal strata sosial di mana apabila
ada tokoh atau orang-orang tertentu meninggal, maka perlu ada tumbal yang
harus ikut dikubur? Mungkinkah sudah ada kepercayaan kehidupan setelah mati
di alam lain sehingga "sang majikan" tetap perlu dilayani
pascakematiannya?
"Segala kemungkinan selalu ada, tetapi yang pasti seluruh rangka
manusia dari Gua Harimau merupakan ras Mongoloid," kata Harry Widianto,
ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran.
Harry begitu yakin temuan "kuburan" massal di Gua Harimau adalah
sisa-sisa rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid. Keyakinan itu
berangkat dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, terutama dari bentuk
tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak
bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk
orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan
tubuh mereka yang khas Mongoloid.
"Ciri-ciri morfologisnya memang menunjukkan identitas mereka sebagai
bagian dari ras Mongoloid," kata Harry.
Siklus kehidupan
Individu-individu itu umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan
barat (kaki). Lewat penguburan semacam ini, patut diduga bahwa mereka sudah
mengenal semacam filosofi tentang siklus kehidupan. Arah timur sebagai lokasi
kepala adalah arah matahari terbit, sedangkan barat sebagai arah kaki adalah
arah matahari tenggelam. Dalam konteks ini, penguburan dengan orientasi
semacam itu mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat) dari kehidupan.
Filosofi itu juga tecermin dari adanya penguburan terlipat, yang
menggambarkan posisi bayi di dalam perut sebelum ia dilahirkan. Dengan
mengubur secara terlipat diharapkan pada saat kematian yang bersangkutan
telah dibebaskan dari segala belenggu duniawi dan dikembalikan pada kehidupan
awal pada saat dia mati.
"Dengan demikian, posisi penguburan terlipat tersebut mengisyaratkan
individu tersebut kembali suci pada saat dia meninggal," tutur Harry
Widianto.
Melalui temuan ini, teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah
pendukung budaya Austronesia ke Nusantara perlu dibangun kembali. Paling
tidak, teori lama bahwa "pendudukan" Sumatera oleh ras Mongoloid
dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi—kemudian dalam perjalanan
migrasi mereka selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan
Jawa (dikenal sebagai teori "Out of Taiwan")—bukanlah satu-satunya
kebenaran.
Sebab, temuan-temuan rangka manusia berikut artefak tinggalan budaya
mereka di kawasan perbukitan karst Padang Bindu, Sumatera Selatan—juga temuan
semasa di Ulu Tijanko, Jambi—menunjukkan usia yang sama tuanya (sekitar 3.500
tahun) dengan budaya Austronesia di Sulawesi, misalnya. Tafsir baru yang
dapat dimajukan adalah bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya
terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi
juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa.
"Sisa-sisa rangka manusia di Gua Harimau, juga di Pondok Selabe dan
Gua Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan 'jalur
baru' tersebut," kata Harry.
Sumber:
http://radendasun.blogspot.com/2012/05/gua-harimau-di-padang-bindu-2.html
No comments:
Post a Comment