Pages

Saturday, August 30, 2014

Suku Jawa Masuk Jepang 20 ribu Tahun Lalu

Suku Jawa Masuk Jepang 20 ribu Tahun Lalu


Expand Messages


  • 19-02-2002 (17:20:38)

    Fujita Hideo:
    Suku Jawa Masuk Jepang 20 ribu Tahun Lalu

    Surabaya Post-
    Banyak di antara kita yang barangkali tidak sadar bahwa banyak
    sebenarnya kata-kata bahasa Indonesia yang mirip kata-kata bahasa
    Jepang. Tidak sedikit pula kata-kata yang mirip itu memiliki
    kemiripan dengan kata-kata dalam bahasa Tamil. Kesimpulannya, banyak
    kata-kata dalam ketiga bahasa itu yang memang mirip dan mempunyai
    arti yang sama pula.

    Kata-kata bahasa Indonesia yang mirip dengan bahasa Jepang antara
    lain adalah mundur, yang dalam bahasa Jepang adalah modoru. Kata
    masakan dalam bahasa Jepang adalah masaka, kata takabur sama dengan
    takaburu, dan kata makanan adalah makanau dalam bahasa Jepang.

    Masih banyak contoh lain. Kata kota mirip dengan koto (Jepang) dan
    koti (Tamil). Kemudian kata mirip dengan kotoba (Jepang) dan katai
    (Tamil). Kata karena sama dengan kara dan karana.

    Apakah kata-kata yang mirip itu sekadar serapan atau "saling pinjam"
    antarbangsa seperti yang biasa terjadi di dunia? Seperti kata-kata
    bahasa Inggris yang "dipinjam" bahasa Indonesia, atau kata-kata
    bahasa Arab yang banyak pula dipinjam oleh bahasa Inggris? Pinjam-
    meminjam kata di antara bahasa-bahasa di dunia memang merupakan
    sesuatu yang wajar.

    Tetapi bagi Fujita Hideo (68), mantan konsultan teknik beberapa
    perusahaan Jepang di Indonesia, kemiripan-kemiripan itu tidak terkait
    dengan pinjam-meminjam kata. Setelah meneliti beberapa waktu, dia pun
    yakin bahwa ada semacam garis merah hubungan antara masyarakat
    Indonesia termasuk dari Jawa dengan bangsa Tamil dan negeri yang kini
    bernama Jepang ribuan tahun yang di masa lalu.

    "Banyak orang mungkin tidak sadar adanya kemiripan-kemiripan itu
    karena dialek yang diucapkan dengan cepat. Tetapi ketika saya dalam
    usia 55 tahun datang di Indonesia, saya sadar atas kemiripan kata-
    kata yang mudah diingat itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa
    Jepang," kata Fujita.

    Menurut Fujita, para dosen perguruan tinggi yang meneliti bahasa
    Jepang lemah dalam arkeologi, terutama arkeologi bangsa asing. Oleh
    karena itu, mereka mengalami kesulitan dalam memikirkan dari mana
    sebenarnya asal usul bahasa Jepang. Beberapa teori baru yang
    dipaparkan tidak bisa langsung dipercaya, termasuk paparan Ohno
    Susumu tentang Analisis Asal-Usul Bahasa Jepang dari Bahasa Tamil.

    "Tetapi setelah saya melakukan penelitian tentang Analisis Asal-Usul
    Bahasa Jepang dari Bahasa Indonesia, saya menyetujui teori Ohno
    Susumu," kata Fujita.

    Apa yang disebut teori oleh Fujita tersebut dipaparkannya dalam
    seminar "Hubungan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang Periode Jomon
    (Perjalanan Suku Jawa ke Jepang dan Perubahan Bahasa Jepang)" di Nice
    Center Surabaya pada 15 Februari lalu. Dia didampingi Gurubesar
    Universitas Negeri Surabaya, Prof Abbas A. Badib PhD, yang
    menyampaikan makalah "Survei Terbentuknya Bangsa dan Bahasa Jepang".

    Berwisata ke Masa Lampau

    Menyampaikan makalah berjudul "Rute Perjalanan Suku Pulau Selatan dan
    Perubahan Bahasa Jepang", Fujita seolah mengajak peserta seminar
    untuk berwisata jauh ke masa lalu. Mungkin ada yang sulit percaya,
    tetapi para ilmuwan atau para peminat bahasa, arkeologi sampai
    sejarah terbuka untuk menelitinya.

    Fujita antara lain mengatakan, orang-orang Suku Wajak dari Jawa telah
    datang ke Jepang sekitar 20.000 tahun yang lalu. Namun karena belum
    ada peta, mereka tidak tiba-tiba langsung datang ke Jepang. Pada
    zaman Jomon --setelah zaman batu dari tahun 10000 hingga tahun 300
    Sebelum Masehi-- mereka menyeberangi lautan menggunakan sampan yang
    dibuat dari pohon besar yang dilubangi.

    "Di Okinawa, sampan tersebut dinamakan sabani. Sabani berasal dari
    kata bahasa Indonesia sabasani. Orang-orang yang membuat perahu
    pertama kali di Jepang adalah orang-orang yang berbahasa Indonesia,"
    kata Fujita.

    Dikatakan pula, di Pulau Tokunoshima di dekat Okinawa pernah
    ditemukan sebuah batu bundar dari lapisan tanah. Batu untuk membuat
    sampan itu diperkirakan berusia 12.000 tahun. Batu yang serupa juga
    ditemukan di Pulau Selatan (wilayah Jepang sekarang).

    Waktu orang-orang Wajak tersebut menempuh perjalanan jauh dengan
    sampan, kata Fujita, mereka berlayar menyusuri pantai untuk
    menghindari badai dan agar dapat segera merapat ke pantai.

    Fujita kemudian menyebut legenda-legenda dan mitos Jepang, yang
    dikatakannya banyak datang dari orang-orang negeri selatan. Mitos
    tentang dewa matahari berasal dari kepercayaan menyembah matahari
    terutama mitos dari negeri selatan. Di Jepang juga ada legenda yang
    mirip legenda "Sangkuriang".

    Bentuk asal kuil di Jepang disebutnya mirip dengan atap gudang di
    negeri-negeri selatan. Bentuk atap tinggi di Indonesia terdiri atas
    empat atau enam tiang. Ini bangunan untuk menyimpan gabah baru guna
    mengundang nenek moyang dan dewa-dewa, sesaji persembahan sebagai
    tanda bersyukur atas hasil panen. Gudang tinggi tersebut disebut
    hokura. Pada zaman Jomon, agar makanan bisa tersimpan lama, dibuatlah
    gudang yang tinggi. Tahun-tahun berikutnya bentuk gudang tinggi itu
    menjadi kuil.

    Dalam wawancara dengan Surabaya Post, Fujita menunjukkan foto-foto
    kuil di Jepang yang bentuk atapnya mirip dengan bangunan-bangunan
    tradisional di Indonesia.

    "Coba kalau kita lihat hiasan di kedua penyangga atap kuil, maka
    terlihat hampir sama dengan hiasan yang dipasang pada atap di
    Indonesia," katanya.

    Hiasan-hiasan itu semula terbuat dari kayu yang menjorok panjang,
    namun kayu yang terlalu panjang itu tidak dipakai. Tetapi ketika
    perayaan panen, bentuk yang sama dengan atap gudang sengaja dibuat
    untuk hiasan dan dijadikan tempat untuk persembahan. Inilah asal-usul
    bentuk kuil, tutur Fujita.

    Peminat Budaya

    Fujita Hideo sebenarnya bukanlah seorang linguis, tetapi lebih tepat
    bila disebut sebagai peminat budaya dan bahasa. Mungkin seperti Prof
    Sudjoko dari Jurusan Arsitektur ITB tetapi dikenal sebagai pemerhati
    bahasa yang menonjol. Sudjoko bahkan menatar para dosen mengenai
    kebahasaan.

    Prof Abbas Badib mengatakan paparan Fujita benar-benar sangat
    informatif, rinci dan jelas, sehingga dia mendapat masukan baru yang
    berguna untuk melanjutkan penelitiannya tentang asal usul bangsa dan
    bahasa Jepang. Namun Fujita sendiri mengaku dirinya belum lama
    meneliti soal hubungan bahasa Indonesia dan Jepang. Meskipun dia
    telah lebih 10 tahun tinggal di Indonesia --dari tahun 1990-2000--
    dia baru melakukan studi perbandingan kedua bahasa itu pada tahun
    2000.

    Pekerjaan utamanya selama tinggal di Indonesia adalah di bidang
    teknik. Setelah pensiun dari Komatsu Ltd., insinyur mesin lulusan
    Universitas Komatsu di Jepang ini pernah menjadi instruktur pelatihan
    teknik mesin di Boma-Bisma-Indra Surabaya pada 1988, dan tahun
    berikutnya jadi penanggung jawab manajemen PT Toyota Astra Motor di
    Jakarta. Pada 1990, Fujita mendirikan PT Yamamori Indonesia di
    Surabaya.

    Aktivitas di bidang sosial antara lain dilakukan saat dia terpilih
    sebagai Wakil Ketua Japan Club di Surabaya pada 1996. Di organisasi
    itu ayah dari seorang putri itu juga aktif menjadi pemimpin redaksi
    Japan Club Newsletter.

    Perhatian Fujita pada bidang studi barunya tentang bahasa rupanya
    sangat serius. Insinyur mesin ini fasih berbicara tentang prinsip
    persesuaian (kesamaan) fonetis menurut Linguistik Historis
    Komparatif. Dia sebut misalnya adanya persesuaian fonetis antara
    bahasa Islandia dan bahasa Latin, antara bahasa Indonesia dan
    Madagaskar, juga antara bahasa Tamil dan Korea.

    Saat bertamu ke Surabaya Post, Fujita menunjukkan berlembar-lembar
    kertas berisi daftar kata bahasa Jepang yang mirip bahasa Indonesia
    dan Tamil. Itu adalah bagian naskah bukunya, "Hubungan Antara Budaya
    Indonesia dan Budaya Jomon".

    "Nanti kalau terbit, Anda saya kirimi. Dalam bahasa Jepang lo ya,"
    kata Fujita pula. (Djoko Pitono)
  • Sumber: https://groups.yahoo.com/neo/groups/pecinan/conversations/topics/2696

No comments:

Post a Comment