Fujita Hideo:
Suku Jawa Masuk Jepang 20 ribu Tahun Lalu
Surabaya Post-
Banyak di antara kita yang barangkali tidak sadar bahwa banyak
sebenarnya kata-kata bahasa Indonesia yang mirip kata-kata bahasa
Jepang. Tidak sedikit pula kata-kata yang mirip itu memiliki
kemiripan dengan kata-kata dalam bahasa Tamil. Kesimpulannya, banyak
kata-kata dalam ketiga bahasa itu yang memang mirip dan mempunyai
arti yang sama pula.
Kata-kata bahasa Indonesia yang mirip dengan bahasa Jepang antara
lain adalah mundur, yang dalam bahasa Jepang adalah modoru. Kata
masakan dalam bahasa Jepang adalah masaka, kata takabur sama dengan
takaburu, dan kata makanan adalah makanau dalam bahasa Jepang.
Masih banyak contoh lain. Kata kota mirip dengan koto (Jepang) dan
koti (Tamil). Kemudian kata mirip dengan kotoba (Jepang) dan katai
(Tamil). Kata karena sama dengan kara dan karana.
Apakah kata-kata yang mirip itu sekadar serapan atau "saling pinjam"
antarbangsa seperti yang biasa terjadi di dunia? Seperti kata-kata
bahasa Inggris yang "dipinjam" bahasa Indonesia, atau kata-kata
bahasa Arab yang banyak pula dipinjam oleh bahasa Inggris? Pinjam-
meminjam kata di antara bahasa-bahasa di dunia memang merupakan
sesuatu yang wajar.
Tetapi bagi Fujita Hideo (68), mantan konsultan teknik beberapa
perusahaan Jepang di Indonesia, kemiripan-kemiripan itu tidak terkait
dengan pinjam-meminjam kata. Setelah meneliti beberapa waktu, dia pun
yakin bahwa ada semacam garis merah hubungan antara masyarakat
Indonesia termasuk dari Jawa dengan bangsa Tamil dan negeri yang kini
bernama Jepang ribuan tahun yang di masa lalu.
"Banyak orang mungkin tidak sadar adanya kemiripan-kemiripan itu
karena dialek yang diucapkan dengan cepat. Tetapi ketika saya dalam
usia 55 tahun datang di Indonesia, saya sadar atas kemiripan kata-
kata yang mudah diingat itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang," kata Fujita.
Menurut Fujita, para dosen perguruan tinggi yang meneliti bahasa
Jepang lemah dalam arkeologi, terutama arkeologi bangsa asing. Oleh
karena itu, mereka mengalami kesulitan dalam memikirkan dari mana
sebenarnya asal usul bahasa Jepang. Beberapa teori baru yang
dipaparkan tidak bisa langsung dipercaya, termasuk paparan Ohno
Susumu tentang Analisis Asal-Usul Bahasa Jepang dari Bahasa Tamil.
"Tetapi setelah saya melakukan penelitian tentang Analisis Asal-Usul
Bahasa Jepang dari Bahasa Indonesia, saya menyetujui teori Ohno
Susumu," kata Fujita.
Apa yang disebut teori oleh Fujita tersebut dipaparkannya dalam
seminar "Hubungan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang Periode Jomon
(Perjalanan Suku Jawa ke Jepang dan Perubahan Bahasa Jepang)" di Nice
Center Surabaya pada 15 Februari lalu. Dia didampingi Gurubesar
Universitas Negeri Surabaya, Prof Abbas A. Badib PhD, yang
menyampaikan makalah "Survei Terbentuknya Bangsa dan Bahasa Jepang".
Berwisata ke Masa Lampau
Menyampaikan makalah berjudul "Rute Perjalanan Suku Pulau Selatan dan
Perubahan Bahasa Jepang", Fujita seolah mengajak peserta seminar
untuk berwisata jauh ke masa lalu. Mungkin ada yang sulit percaya,
tetapi para ilmuwan atau para peminat bahasa, arkeologi sampai
sejarah terbuka untuk menelitinya.
Fujita antara lain mengatakan, orang-orang Suku Wajak dari Jawa telah
datang ke Jepang sekitar 20.000 tahun yang lalu. Namun karena belum
ada peta, mereka tidak tiba-tiba langsung datang ke Jepang. Pada
zaman Jomon --setelah zaman batu dari tahun 10000 hingga tahun 300
Sebelum Masehi-- mereka menyeberangi lautan menggunakan sampan yang
dibuat dari pohon besar yang dilubangi.
"Di Okinawa, sampan tersebut dinamakan sabani. Sabani berasal dari
kata bahasa Indonesia sabasani. Orang-orang yang membuat perahu
pertama kali di Jepang adalah orang-orang yang berbahasa Indonesia,"
kata Fujita.
Dikatakan pula, di Pulau Tokunoshima di dekat Okinawa pernah
ditemukan sebuah batu bundar dari lapisan tanah. Batu untuk membuat
sampan itu diperkirakan berusia 12.000 tahun. Batu yang serupa juga
ditemukan di Pulau Selatan (wilayah Jepang sekarang).
Waktu orang-orang Wajak tersebut menempuh perjalanan jauh dengan
sampan, kata Fujita, mereka berlayar menyusuri pantai untuk
menghindari badai dan agar dapat segera merapat ke pantai.
Fujita kemudian menyebut legenda-legenda dan mitos Jepang, yang
dikatakannya banyak datang dari orang-orang negeri selatan. Mitos
tentang dewa matahari berasal dari kepercayaan menyembah matahari
terutama mitos dari negeri selatan. Di Jepang juga ada legenda yang
mirip legenda "Sangkuriang".
Bentuk asal kuil di Jepang disebutnya mirip dengan atap gudang di
negeri-negeri selatan. Bentuk atap tinggi di Indonesia terdiri atas
empat atau enam tiang. Ini bangunan untuk menyimpan gabah baru guna
mengundang nenek moyang dan dewa-dewa, sesaji persembahan sebagai
tanda bersyukur atas hasil panen. Gudang tinggi tersebut disebut
hokura. Pada zaman Jomon, agar makanan bisa tersimpan lama, dibuatlah
gudang yang tinggi. Tahun-tahun berikutnya bentuk gudang tinggi itu
menjadi kuil.
Dalam wawancara dengan Surabaya Post, Fujita menunjukkan foto-foto
kuil di Jepang yang bentuk atapnya mirip dengan bangunan-bangunan
tradisional di Indonesia.
"Coba kalau kita lihat hiasan di kedua penyangga atap kuil, maka
terlihat hampir sama dengan hiasan yang dipasang pada atap di
Indonesia," katanya.
Hiasan-hiasan itu semula terbuat dari kayu yang menjorok panjang,
namun kayu yang terlalu panjang itu tidak dipakai. Tetapi ketika
perayaan panen, bentuk yang sama dengan atap gudang sengaja dibuat
untuk hiasan dan dijadikan tempat untuk persembahan. Inilah asal-usul
bentuk kuil, tutur Fujita.
Peminat Budaya
Fujita Hideo sebenarnya bukanlah seorang linguis, tetapi lebih tepat
bila disebut sebagai peminat budaya dan bahasa. Mungkin seperti Prof
Sudjoko dari Jurusan Arsitektur ITB tetapi dikenal sebagai pemerhati
bahasa yang menonjol. Sudjoko bahkan menatar para dosen mengenai
kebahasaan.
Prof Abbas Badib mengatakan paparan Fujita benar-benar sangat
informatif, rinci dan jelas, sehingga dia mendapat masukan baru yang
berguna untuk melanjutkan penelitiannya tentang asal usul bangsa dan
bahasa Jepang. Namun Fujita sendiri mengaku dirinya belum lama
meneliti soal hubungan bahasa Indonesia dan Jepang. Meskipun dia
telah lebih 10 tahun tinggal di Indonesia --dari tahun 1990-2000--
dia baru melakukan studi perbandingan kedua bahasa itu pada tahun
2000.
Pekerjaan utamanya selama tinggal di Indonesia adalah di bidang
teknik. Setelah pensiun dari Komatsu Ltd., insinyur mesin lulusan
Universitas Komatsu di Jepang ini pernah menjadi instruktur pelatihan
teknik mesin di Boma-Bisma-Indra Surabaya pada 1988, dan tahun
berikutnya jadi penanggung jawab manajemen PT Toyota Astra Motor di
Jakarta. Pada 1990, Fujita mendirikan PT Yamamori Indonesia di
Surabaya.
Aktivitas di bidang sosial antara lain dilakukan saat dia terpilih
sebagai Wakil Ketua Japan Club di Surabaya pada 1996. Di organisasi
itu ayah dari seorang putri itu juga aktif menjadi pemimpin redaksi
Japan Club Newsletter.
Perhatian Fujita pada bidang studi barunya tentang bahasa rupanya
sangat serius. Insinyur mesin ini fasih berbicara tentang prinsip
persesuaian (kesamaan) fonetis menurut Linguistik Historis
Komparatif. Dia sebut misalnya adanya persesuaian fonetis antara
bahasa Islandia dan bahasa Latin, antara bahasa Indonesia dan
Madagaskar, juga antara bahasa Tamil dan Korea.
Saat bertamu ke Surabaya Post, Fujita menunjukkan berlembar-lembar
kertas berisi daftar kata bahasa Jepang yang mirip bahasa Indonesia
dan Tamil. Itu adalah bagian naskah bukunya, "Hubungan Antara Budaya
Indonesia dan Budaya Jomon".
"Nanti kalau terbit, Anda saya kirimi. Dalam bahasa Jepang lo ya,"
kata Fujita pula. (Djoko Pitono)- Sumber: https://groups.yahoo.com/neo/groups/pecinan/conversations/topics/2696
Pages
▼
No comments:
Post a Comment