Pages

Wednesday, May 13, 2015

Austronesia dan Kebudayaan Sunda Kuna

Austronesia dan Kebudayaan Sunda Kuna
Oleh : Agus Aris Munandar
Departemen ArkeologiFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
I
Kebudayaan senantiasa berubah, mengalami dinamikanya sendiri, kebudayaan juga dapat diumpamakan seperti organisme, ada masa kelahiran, perkembangan, menyusut, dan punah. Dapat juga kebudayaan itu setelah kelahirannya lalu berkembang terus hingga sekarang, tetapi suatu waktu nanti niscaya akan digantikan dengan bentuk-bentuk baru, suatu bentuk yang menyesuaikan keadaan zamannya. Di wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan dalam masa prasejarah pernah berkembang suatu kebudayaan yang didukung secara luas oleh penduduk yang mendiami kawasan tersebut hingga Madagaskar, dan kepulauan di Pasifik Selatan, para ahli menamakan kebudayan tersebut dengan Austronesia.
Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia kemungkinan terjadi dalam kurun waktu 6000 SM hingga awal tarikh Masehi. Akibat mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah, orang-orang pengembang kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian berangsur-angsur mereka menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara daratan sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam pengalaman kehidupan mereka.
Pada sekitar tahun 3000-2500 BC, orang-orang Austronesia mulai berlayar dari pedalaman Cina selatan daerah Yunnan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Diaspora Austronesia berlangsung terus hingga tahun 2500 SM mereka mulai memasuki Sulawesi,  Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam sekitar tahun 2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga sekitar tahun 500 SM hingga awal dihitungnya tarikh Masehi.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh H.Kern seorang ahli linguistik dan didukung oleh W.Schmidt (antropolog), P.V.van Stein Callenfels, Robert von Heine Geldern, H.O.Beyer dan R.Duff (arkeolog). Memang hingga sekarang ini pendapat yang menyatakan bahwa tanah asal orang Austronesia adalah daratan Asia Tenggara dan Cina selatan (Yunnan) masih banyak pendukungnya, walaupun akhir-akhir ini juga mengemuka pendapat baru yang dicetuskan oleh para pakar lainnya.
Pendapat lain pernah digagas oleh I. Dyen (1965) seorang ahli linguistik, berdasarkan metode lexico-statistik ia kemudian menyimpulkan bahwa orang penutur bahasa Austronesia berasal dari Melanesia dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam masa prasejarah mereka menyebar ke barat ke arah kepulauan Indonesia dan daratan Asia Tenggara, dan juga ke Pasifik selatan. Menurutnya berdasarkan prosentase kekerabatan bahasa Austronesia dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
I.Bahasa Irian Timur dan Melanesia
II.Bahasa Melayu-Polinesia terdiri dari:
a.Hesperonesia (Bahasa-bahasa Indonesia Barat)
b.Maluku (Maluku, Sumba, Flores, Timor)
c.Heonesia (bahasa Polinesia dan Mikronesia)
(Keraf 1991: 9—10)
Pendapat yang kini populer adalah tentang “Out of Taiwan” yang menyatakan tempat asal orang-orang Austronesia adalah Taiwan.  Pendapat ini semula dikemukakan oleh Robert Blust  berdasarkan kajian terhadap bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia. Ia juga mengadakan kajian terhadap proto-bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora, fauna, dan gejala alam lainnya. Maka kesimpulannya adalah tempat asal penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan (Blust, 1984-85, 1995). Pendapat Blust tersebut kemudian mendapat dukungan dari penelitian arkeologi Peter Bellwood, walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam hal kronologi munculnya bahasa Austronesia, namun keduanya mempunyai pendapat yang sama tentang tahapan migrasi Austronesia, sebagai berikut:
  1. Migrasi petani prasejarah dari Cina ke Taiwan (5000—4000 SM), mereka belum berbahasa Austronesia. Setelah lama menetap barulah mengembangkan bahasa Austronesia.
  2. Migrasi dari Taiwan ke Filipina (sekitar 4000—3000 SM), mereka mengembangkan bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia.
  3. Migrasi dari Filipina ke arah selatan dan tenggara (3500 SM—sebelum 2000 SM), menuju ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku utara.
  4. Migrasi dari Maluku ke arah selatan dan timur (3000 SM atau 2000 SM), mencapai  Nusa Tenggara dan pantai Utara Papua Barat. Dalam pada itu orang Austronesia yang telah menghuni Kalimantan sebagian bermigrasi ke arah Jawa  dan Sumatera.
  5. Migrasi dari Papua ke barat (2500 SM) dan Timur (2000 SM atau 1500 SM) menuju Oseania. Austronesia dari Jawa dan Sumatera kemudian ada yang bermigrasi ke Semenanjung Malaysia dan Vietnam pada sekitar 500 SM, pada periode yang hampir sama sebagian orang Austronesia dari Kalimantan ada pula yang berlayar hingga sejauh Madagaskar (Tanudirdjo & Bagyo Prasetyo 2004: 82—84).
Satu teori migrasi Austronesia lainnya yang juga mendapat perhatian dari para sarjana adalah yang menyatakan bahwa orang Austronesia tersebut berasal dari kepulauan Asia Tenggara, lalu menyebar ke berbagai arah. Adalah John Crawfurd yang pertama kali mempunyai gagasan seperti itu, dalam tulisannya yang berjudul On the Malayan and Polynesian Languages and Races (1884), walaupun tanpa bukti yang cukup namun  ia telah berkeyakinan bahwa orang Indonesia tidak berasal dari mana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke mana-mana. Maka pendapat ini kemudian memperoleh dukungan dari Gorys Keraf (1991) yang menyatakan berdasarkan teori migrasi bahasa, keadaan geologi zaman purba, dan penyebaran homo sapiens-sapiensyang sudah menghuni kepulauan Indonesia dan Filipina, ketika masih bersatu dengan daratan Asia sekitar 15.000 tahun yang lalu. Gorys Keraf menyatakan:
“Ketika es-es dalam zaman Pleistosen mulai mencair sehingga air laut perlahan-lahan menggenangi lembah-lembah dan dataran, kelompok-kelompok homo sapiens-sapiensyang tersebar luas itu perlahan-lahan mundur ke tempat-tempat yang lebih tinggi, yang lambat laun membentuk pulau-pulau sekarang ini.”
Terdapat kelompok-kelompok bahasa-bahasa Austronesia di daratan Asia karena proses yang sama. Ketika daerah lembah dan dataran rendah yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata, maka penutur bahasa-bahasa yang berkerabat itu mundur perlahan-lahan ke tempat yang belum digenangi yang sekarang menjadi daerah Asia Tenggara dan Timur. Bahwa kemudian terjadi migrasi lokal tau interinsuler sesudah terbentuknya pulau-pulau dengan menggunakan alat-alat transportasi sederhana seperti rakit atau dalam bentuk yang lebih maju berupa perahu-perahu kecil yang disebut wangkang, benaw, berok dan sebagainya, hal itu tidak dapat disangkal.
Karena itu, dengan mempertimbangkan keadaan geografi dunia, khususnya Asia dan kepulauan di sekitarnya, pada zaman Pleistosen dan awal periode Holosen, serta perkembangan-perkembangan primat khususnya dari hominoidae ke hominidae, dariAustralopithecus hingga homo sapiens sapiens, dan mempertimbangkan lagi dalil-dalil migrasi bahasa, maka negeri asal bangsa dan bahasa-bahasa Austronesia haruslah di wilayah Indonesia dan Filipina, termasuk laut dan selat di antaranya” (Keraf 1991: 18—19).
Pendapat Gorys Keraf tersebut memang belum banyak diperhatikan oleh para ahli, akan tetapi apa yang dikemukakannya dapat diterima secara ilmiah dan empirik. Sebab selama ini para pakar selalu fokus pada data bahasa, kebudayaan material (artefak), dan ciri ras manusianya saja, apabila mereka memperbincangkan diaspora Austronesia. Padahal orang Austronesia itu sudah tentu hidup di ruang geografi dan lingkungan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian apabila lingkungan alam tempat mereka hidup juga berubah, maka akan terjadi perpindahan (migrasi) mencari lokasi di ruang geografi yang lebih aman. Teori Gorys Keraf sejatinya hendak menyatakan bahwa diaspora Austronesia itu telah terjadi jauh dalam zaman prasejarah di akhir zaman es, sekitar 11.000 tahun SM, ketika paparan Sunda di bagian barat Indonesia yang menyatu dengan daratan Asia Tenggara tenggelam karena air laut naik akibat mencairnya es. Itulah awal tercerai-berainya masyarakat Austronesia dalam berbagai pulau dan lokasi di kawasan Asia Tenggara. Di masa kemudian setelah paparan Sunda tenggelam, bisa saja terjadi migrasi orang-orang Austronesia yang dilakukan antarpulau dan antardaerah, itulah yang mulai dilakukan pada sekitar 5000 SM sehingga 500 M.
II
Ketika migrasi telah jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia telah menetap dengan ajeg di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkan kebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antara abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son. Penamaan itu diberikan atas dasar kekayaan situs Dong-son dalam beragam artefaknya, semuanya artefak perunggu yang ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son sebenarnya nama situs yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara). Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikan ornamen Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur.
Bermacam artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekara dalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son adalah kaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son (senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 25—26). Kemahiran seni tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh seniman sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Tidak hanya kepandaian dalam seni tuang perunggu saja yang telah dimiliki oleh orang-orang Austronesia, seorang ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yang mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah. Brandes menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:
01.Telah dapat membuat figur boneka
02.Mengembangkan seni hias ornamen
03.Mengenal pengecoran logam
04.Melaksanakan perdagangan barter
05.Mengenal instrumen musik
06.Memahami astronomi
07.Menguasai teknik navigasi dan pelayaran
08.Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan  pengetahuan
09.Menguasai teknik irigasi
10.Telah mengenal tata masyarakat yang teratur
Pencapaian peradaban tersebut dapat diperluas lagi berkat kajian-kajian terbaru tentang kebudayaan kuno Asia Tenggara yang dilakukan oleh G.Coedes. Beberapa pencapaian manusia Austronesia penghuni Asia Tenggara sebelum masuknya kebudayaan luar antara lain:
Di bidang kebudayaan materi telah mampu:
a.mengolah sawah, bahkan dalam bentuk terassering dengan teknik irigasi yang cukup maju
b.Mengembangkan peternakan kerbau dan sapi
c.Telah menggunakan peralatan logam
d.Menguasai navigasi secara baik
Pencapaian di bidang sosial
a.Menghargai peranan wanita dan memperhitungkan keturunan berdasarkan garis ibu
b.Mengembangkan organisasi sistem pertanian dengan pengaturan irigasinya
Pencapaian di bidang religi:
a.Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang suci dan keramat
b.Pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship)
c.Mengenal penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong, tempayan, atau sarkopagus.
d.Mempercayai mitologi dalam binary, kontras antara gunung-laut, gelap-terang, atas-bawah, lelaki-perempuan, makhluk bersayap, makhluk yang hidup dalam air, dan seterusnya (Hall 1988: 9).
Dalam pada itu kesatuan budaya bangsa Austronesia di Asia Tenggara lambat laun menjadi memisah, membentuk jalan sejarahnya sendiri-sendiri. Menurut H.Th.Fischer, terjadinya bangsa dan aneka suku bangsa di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
  1. Telah ada perbedaan induk bangsa dalam lingkungan orang Austronesia sebelum mereka melakukan migrasi.
  2. Setelah bermigrasi mereka tinggal di daerah dan pulau-pulau yang berbeda, lingkungan yang tidak seragam, dan kemampuan adaptasi budaya mereka dengan alam setempat.
  3. Dalam waktu yang cukup lama setelah bermigrasi mereka jarang melakukan komunikasi antara  sesamanya (Fischer 1980: 22-25).
Berdasarkan ketiga hal itulah sub-sub bangsa Austronesia terbentuk, mereka ada ratusan yang tinggal di kepulauan Indonesia, puluhan di Filipina, Malaysia, dan Myanmar, dan yang lainnya ada yang menetap di Kamboja, Vietnam, dan Kalimantan Utara.  Sebenarnya terdapat beberapa hal lainnya yang menjadikan bangsa Austronesia terbagi dalam sub-sub bangsa, yaitu (a) adanya pengaruh asing yang berbeda-beda memasuki kebudayaan yang mereka usung, dan (b) adanya penjajahan bangsa-bangsa barat di wilayah Asia Tenggara dengan karakter dan rentang waktu yang berbeda pula. Demikianlah pada masa yang sangat kemudian terbentuklah bangsa-bangsa Asia Tenggara yang mempunyai kebudayaan dengan aneka corak bentuknya, namun apabila ditelusuri bentuk awalnya niscaya dari bentuk kebudayaan Austronesia yang telah mengalami akulturasi selama berabad-abad dengan berbagai kebudayaan luar yang datang.
III
Salah satu sub bangsa Austronesia yang mulai hidup di Pulau Jawa dalam zaman perundagian mulai tahun 3000 SM sampai awal tarikh Masehi adalah nenek moyang orang Sunda yang untuk mudahnya disebut dengan Masyarakat Sunda Kuno Awal. Masyarakat tersebut yang belum mendapat pengaruh budaya luar (India atau Cina), jadi mereka masih melaksanakan budaya leluhur, yaitu kebudayaan Austronesia. Mengikut pada perkembangan waktu, lambat laun masyarakat Austronesia yang tinggal di Jawa bagian barat  mulai membentuk cirinya tersendiri, yaitu budaya yang berkembang di masa kemudiannya, kebudayaan Sunda. Sangat mungkin awal  berkembangnya Bahasa Sunda kuno yang kemudian menjadi Basa Sunda kiwari terjadi dalam periode tersebut, ketika masyarakat Austronesia mulai tinggal di bagian barat Pulau Jawa.
Maka dapat ditafsirkan bahwa nenek moyang orang Sunda tersebut juga telah mengenal 10 kepandaian masyarakat perundagian, walaupun mungkin ada beberapa butir di antaranya sudah tidak banyak dilaksanakan lagi. Untuk jelasnya berikut diperbincangkan butir-butir kepandaian perundagian dalam kehidupan masyarakat Sunda Kuno Awal sebelum masuknya pengaruh India, jadi sebelum berdirinya Tarumanagara.
Masyarakat Sunda Kuno Awal atau Sunda pra-Tarumanagara telah dapat membuat figur manusia atau hewan, sebagaimana suku-suku bangsa Nusantara lainnya orang Sunda Kuno dalam masa prasejarah/proto-sejarah telah mampu membuat arca-arca batu yang menggambarkan nenek moyang. Cukup banyak arca megalitik di Jawa bagian barat. Dalam hal ini jangan dikelirukan dengan arca Sunda-Pajajaran yang bercorak megalitik. Pada masa Sunda-Pajajaran juga dibuat arca-arca yang penggambarannya berbeda dengan arca-arca prasejarah. Arca-arca demikian  disebut “Arca tipe Pajajaran” yang menggambarkan secara lengkap anggota tubuhnya, mengenakan gelang, kalung, kelat bahu, dan kain, jadi berbusana arca Klasik, hanya saja penggarapan permukaan kasar, dan sikap tubuhnya yang statik mirip dengan arca prasejarah.
Arca buatan orang Sunda Kuno Awal bukanlah arca-arca yang disebut dengan Tipe Pajajaran yang dibuat oleh orang Sunda Pasca-Tarumanagara, melainkan arca-arca prasejarah yang sederhana, anggota tubuh tidak digambarkan lengkap, bagian bawah tidak digarap, dan kesannya masih merupakan batu alami yang dibentuk kasar menjadi seperti sesosok manusia. Contoh arca demikian banyak tersebar di beberapa wilayah Jawa bagian barat, seperti halnya yang terdapat wilayah Majalengka, Kuningan, Sukabumi, Bogor, dan Pandeglang.
Contoh arca dari masayarakat Sunda Kuno Pra-Tarumanagara adalah yang terdapat di Kabupaten Kuningan, yaitu arca di situs Sisubur, Cibuntu, Kecamatan Pasawahan. Tinggi arca Sisubur sekitar 70 cm, terbuat dari batu sedimen, digambarkan tanpa tungkai bawah, arca ditegakkan di permukaan tanah, bagian wajah dan tangan hanya ditandai dengan goresan yang tidak terlalu dalam pada permukaan batu. Tidak ada penggarapan yang lebih rinci  lagi, misalnya adanya atribut-atribut lainnya. Hanya saja arca ini di bagian dadanya membusung, mungkin yang dimaksudkan adalah arca perempuan (Widyastuti 2003: 74—75). Contoh lainnya adalah arca yang ditemukan di situs Danghyang Heuleut, Desa Sanghyang Dengdek, Cisata Pandeglang.  Di situs tersebut selain ditemukan menhir yang tingginya 139 cm, terdapat juga arca sederhana yang disebut Sanghyang Dengdek. Penduduk menamakannya demikian karena arca sederhana itu sekarang dalam posisi berdiri agak miring (Sunda: dengdek). Arca terbuat dari batu tinggi dari permukaan tanah 95 cm, keliling bagian badan 120 cm, dan keliling bagian kepala 20 cm. Tidak digambarkan bagian kaki pada arca itu, hanya lengan yang dibuat menyatu dengan badan, lalu terdapat perbedaan badan dengan kepala, karena digambarkan bahu arca, dan kepalanya yang berbentuk bulatan. Raut wajah sudah tidak jelas lagi, karena batunya sudah sangat aus (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang 2005: 43).
Masyarakat Sunda Kuno Awal pastinya telah mengenal teknik mengecor logam, sebab banyak artefak dari logam yang dijumpai di Jawa bagian barat. Salah satu contohnya adalah ditemukannya kampak perunggu, gelang, dan arca perunggu seorang pria bertolak pinggang, tinggi 24, 8 cm di wilayah Bogor (Bernet Kempers 1959: 28, Plate 5—6).
Selain itu di situs Pasir Angin, Cibungbulang, di kawasan Bogor juga, didapatkan artefak batu bersamaan dengan temuan  artefak logam, antara lain kampak corong, kampak perunggu candrasa, bandul kalung perunggu, “tongkat” perunggu, kampak besi, mata tombak besi, dan yang menarik adalah ditemukannya topeng emas serta lempengan emas tipis yang mungkin dahulu dipergunakan untuk ritual penguburan (Munandar 2007: 16). Contoh-contoh tersebut kiranya cukup mewakli bahwa masyarakat Sunda Kuno Tua telah mahir dalam mengenal dan mengecor logam. Membuat peralatan dari logam bukan pekerjaan yang mudah, diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan media yang tentunya telah memadai pada waktu itu. Kemahiran mengecor logam dalam masa perundagian  telah menjadi dasar untuk pengerjaan logam dalam zaman selanjutnya di era sejarah.
Dalam hal seni hias ornamen, masyarakat Sunda Kuno Awal telah mengenalnya dengan baik. Ragam hias tersebut diterakan pada berbagai bentuk gerabah yang antara lain ditemukan di situs Buni, Bekasi utara. Situs Buni dikenal dalam kajian arkeologi sebagai situs Protosejarah yang sangat kaya dengan artefak, diperkirakan berasal dari abad pertama hingga abad ke-2 M. Di situs tersebut ditemukan perhiasan emas, peralatan besi, kubur dan kerangkanya, dan juga gerabah lokal atau asing ada yang masih utuh, namun banyak pula yang tinggal pecahannya saja. Gerabah Buni tidak polos saja melainkan berbagai bentuk ragam hias terdapat di permukaannya.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap gerabah Buni, maka ragam hias yang yang telah dikenal oleh masyarakat Sunda Kuno Awal adalah: (a) deretan tumpal, (b) deretan bentuk S dalam bingkai garis lengkung, (c) motif duri ikan, (d) deretan lingkaran kecil, (e) deretan tanda seperti koma, (f) garis-garis yang membentuk anyaman, (g) garis sejajar saling memotong membentuk motif belah ketupat, (h) bentuk daunan berbentuk lentik (daun asam Jawa), (i) bentuk meander, (j) dan bentuk-bentuk asimetris lainnya. Bentuk-bentuk ragam hias tersebut menjadi dasar perkembangan lebih lanjut dari ornamen yang dikenal oleh orang Sunda Kuno. Mengenai motif hias Sunda Kuno Awal agaknya terus bertahan tanpa banyak perubahan dalam masyarakat Kanekes yang akan diutarakan lebih lanjut pada bagian berikut dalam risalah ini.
Mengenai instrumen musik, hingga sekarang etnik Sunda sangat akrab denganxylophone. Angklung dan calung adalah waditra yang khas Sunda, kedua instrumen tersebut bersama kentongan merupakan sangat mungkin alat musik tua yang tergolongxylophone. Orang-orang Kanekes yang tidak terjamah pengaruh luar secara mendalam dan masih mempertahankan tradisinya dari abad-abad silam, mempunyai alat musik yang dikeramatkan berbentuk angklung juga. Waditra angklung sangat populer dan tersebar meluas di Jawa bagian barat, baik di Provinsi Jawa Barat atau pun Banten. Angklung banyak ragamnya, angklung yang dianggap klasik adalah angklung Buncis,angklung Bungko, angklung Gubrag, dan angklung Baduy Kanekes.  Calung adalah waditra xylophone juga yang menggunakan bambu sebagai penghasil bunyinya. Bentuknya ada yang dijinjing dan ada pula yang statis diletakkan pada tempat tertentu seperti halnya gambang  (Rosidi 2000: 51—53 dan 142).
Orang Austronesia sebenarnya telah mengenal waditra dalam bentuk idiophone, yaitu nekara dan moko. Berdasarkan kajian analogi etnografi dengan etnik yang masih menggunakan moko, dapat diketahui bahwa waditra itu digunakan untuk tujuan sakral, dan juga sebagai pusaka atau mas kawin. Selain itu dikenal juga kentongan yang penggunaannya tersebar di seluruh kawasan Asia Tenggara hingga masa kini. Instrumen mirip gambang juga dikenal di Madagaskar, dan beberapa daerah pantai timur Afrika, hal itu menunjukkan luasnya pengaruh kebudayaan Austronesia. Dalam hal sub Austronesia yang tinggal di Jawa Bagian barat, yaitu masyarakat Sunda Kuno Awal pra-Tarumanagara, maka sangat mungkin mereka mengembangkan angklung yang keberadaannya terus dipertahankan oleh anak keturunannya orang Sunda sekarang,  angklung merupakan pusaka budaya orang Sunda yang dikenal sangat luas dan populer di berbagai pelosok Tatar Sunda.
Sampai sekarang dalam masyarakat Sunda masih dikenal pantun, walaupun sudah jarang dipagelarkan. Pantun sejatinya adalah tuturan lisan yang disampaikan oleh seseorang (juru pantun) kepada para pendengarnya. Isinya cukup beragam dari kisah mitologi, sejarah masa silam, pengetahuan, dan juga tentang tradisi budaya. Dalam hal pantun penyampaian kognisi suatu generasi ke generasi berikutnya dilakukan secara lisan, hal ini memang memperlihatkan salah satu pencapaian orang Sunda Kuno Awal yang belum mengenal tulisan. Pantun adalah salah satu bentuk yang lebih maju dari pada tuturan lisan yang dahulu telah dikembangkan oleh masyarakat Sunda Pra-Tarumanagara. Ketika tulisan dari India telah diperkenalkan, tradisi tuturan lisan yang telah ada itu tetap dipertahankan dan dikembangkan di kalangan rakyat, maka terbentuklah pantun. Dengan demikian terus hidup berdampingan dengan tradisi keberaksaraan dalam masa Kerajaan Sunda. Pada masa itu pantun telah berkembang pesat dengan berbagai kisahnya, kitab Sang Hyang Siksa Kandang Karesian (awal abad ke-16 M) mencatat beberapa judul pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Tradisi lisan dalam bentuk pantun tersebut mempunyai akarnya yang panjang sejak nenek moyang orang Sunda Kuno hidup dalam masa pra-Tarumanagara hingga sekarang ini masih dipertahankan.
Mengenai perdagangan barter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, sampai sekarang masyarakat Sunda yang tinggal di pedalaman, di desa di pelosok-pelosok, dengan mudah melakukan tukar menukar barang. Misalnya jika seseorang mempunyai hasil bumi (jagung, umbi-umbian, atau padi) dan orang itu menginginkan barang lain misalnya bahan mentah material seperti kayu, bambu atau bata, dapat terjadi tukar-menukar barang tanpa harus menggunakan uang sebagai alat tukar. Kembali mengambil contoh masyarakat Kanekes terutama yang tinggal di Tri Tantu, praktek barter tersebut senantiasa bertahan, walaupun mata uang telah dikenal.
Beberapa kepandaian lain misalnya astronomi, navigasi, dan penataan masyarakat tentunya juga telah dikenal oleh orang Sunda Kuno pra-Tarumanagara. Orang-orang tua di pedesaan mendapat warisan pengetahuan tentang ilmu perbintangan praktis untuk mulai mengerjakan lahan pertanian, menanam, dan panen. Ilmu perbintangan juga dapat digunakan untuk menandai musim kemarau atau mulainya penghujan. Navigasi dikembangkan secara tradisional oleh para nelayan Sunda Kuno hingga sekarang. Para nelayan di pantai selatan Jawa Barat adalah mereka yang sangat mungkin mewarisi kepandaian navigasi dari masa kuno yang cukup jauh, sedangkan nelayan yang tinggal di pantai utara Jawa bagian barat, kebanyakan pendatang dari wilayah pantura Jawa Tengah, Timur, dan pulau-pulau lainnya.
Panataan masyarakat pasti sudah berlangsung dengan baik, sebab tidak mungkin institusi kerajaan akan dapat berkembang di suatu wilayah jika penduduknya sukar diatur. Maka dapat ditafsirkan bahwa ketika Tarumanagara didirikan masyarakat masa itu sudah dapat diatur dengan baik, telah tertata dalam golongan-golongan dan terbuka kepada anasir budaya baru.
IV
Wilayah Jawa bagian barat jauh sebelum Tarumanagara berdiri telah dihuni oleh masyarakat yang beradab dengan beberapa kepandaiannya. Dalam kajian para ahli arkeologi dan sejarah masyarakat tersebut pendukung kebudayaan prasejarah. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa penduduk prasejarah Jawa bagian barat tersebut adalah mereka yang mendukung kebudayaan Austronesia, dan bukan berasal dari mana-mana, melainkan penghuni asli kepulauan Nusantara.
Ketika pengaruh budaya India datang mereka telah berada dalam zaman protosejarah, penduduk Jawa bagian barat bersama penduduk sezaman di Asia Tenggara lainnya telah mengenal 10 kepandaian dan ditambah dengan kepandaian lainnya yang juga secara umum dikenal di masa awal tarikh Masehi. Kemudian nenek moyang orang Sunda itu ada yang berinteraksi dan menerima anasir baru tersebut, lalu dibentuklah Kerajaan pertama di Jawa bagian barat, Tarumanagara. Akan tetapi tidak seluruh penduduk kemudian secara langsung menerima pengaruh kebudayaan India, tentunya banyak di antara mereka yang terus melanjutkan tradisi leluhur mereka, mempertahankan kebudayaan Austronesia yang telah disesuaikan dengan lingkungan alam di Jawa bagian barat. Tafsiran yang mengemuka adalah bahwa mereka yang mempertahankan tradisi pra-Tarumanagara tersebut yang bermukim di pedalaman, di daerah pegunungan, dan daerah berhutan di gunung-gunung Jawa bagian barat.
Tarumanagara pun lalu berdiri sekitar abad ke-4 M, meninggalkan prasasti-prasastinya yang agaknya hanya dikeluarkan oleh seorang raja Purnnawarmman. Hingga sekarang belum dijumpai lagi prasasti dari Tarumanagara yang menyebutkan adanya nama raja lain, namun berita Cina menyebutkan bahwa kerajaan tersebut masih mengirimkan utusan-utusannya ke Cina hingga pertengahan abad ke-7 M (Sumadio 1984: 44). Dengan demikian setidaknya Tarumanagara agaknya berkembang lebih dari 200 tahun lamanya.
BAGAN I: Perkembangan kebudayaan di Jawa bagian barat
Setelah itu berita tentang Tarumanagara tidak ada lagi, justru yang tampil menurut sumber yang layak dipercaya, yaitu naskah Fragmen Carita Parahyangan, muncul Kerajaan Sunda dengan raja pertamanya Trarusbawa (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003). Trarusbawa pula yang mendirikan kedaton Sunda di Pakwan yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Ia menghuni kedaton tersebut hingga kemudian digantikan oleh Maharaja Harisdarma (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 188). Dalam naskah Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Rakryan Jambri atau Sanjaya pergi ke barat sampai di Kerajaan Sunda, diangkat menantu oleh Tohaan di Sunda. Dialah yang disebut dengan Harisdarma dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan yang agaknya bagian awal dari Carita Parahyangan yang ditemukan lebih belakangan dari Carita Parahyangan. Dapat ditafsirkan bahwa setelah Tarumanagara runtuh berdirilah banyak  kerajaan kecil di Tatar Sunda, antara lain Sunda yang berkuasa di bagian barat Tatar Sunda, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Tatar Sunda bagian timur, antara lain Galuh, Denuh, Surawulan, Rawunglangit, Mananggul, Tepus dan lain-lain (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 192).
Sanjaya kemudian berhasil mempersatukan seluruh wilayah Jawa bagian barat bahkan wilayah kuasanya sampai meliputi Jawa bagian tengah. Sanjaya pula yang mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732 M yang ditulis dengan bahasa Sansekerta, bukan Sunda Kuno dan bukan pula Jawa Kuno. Agaknya ia menyadari bahwa rakyatnya ada yang sebagian berbahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno, maka ia memilih bahasa resmi kaum pendeta brahmana India, yaitu Sansekerta untuk mengukuhkan bahwa ia raja yang telah memeluk agama Hindu-saiwa. Nama kerajaannya yang disebut Mataram sangat mungkin berasal dari dua kata, yaitu parama + taruma, kemudian diambil katama + taruma, lalu menjadi matarum dan akhirnya menjelma menjadi Mataram. Raja Sanjaya agaknya memang mengakui dan melanjutkan kerajaan Tarumanagara yang pernah berdiri di masa sebelumnya, parama + taruma dapat diartikan sebagai Taruma yang bersifat tertinggi, unggul, atas, puncak, dan seterusnya yang menunjukkan paling puncak atau paling utama. Mataram adalah penerus Tarumanagara, namun tidak hanya sebagai penerus melainkan juga  Kerajaan Mataram harus lebih unggul dari kerajaan Tarumanagara. Demikian kiranya harapan para pendiri Mataram dengan memilih nama itu untuk kerajaan yang baru berkembang di Pulau Jawa bagian barat dan tengah sekitar pertengahan abad ke-8 M.
Apabila keadaan Tatar Sunda pasca-Tarumanagara dapat diterangkan secara agak jelas, walupun belum jelas benar, hal lain yang menarik untuk diperbincangkan adalah gambaran masyarakat Sunda Kuno pra-Tarumanagara atau masyarakat Sunda dalam era proto-sejarah. Masa itu orang Sunda telah mengenal peradaban, namun yang belum dikenal adalah 3 anasir dari budaya India, yaitu aksara Pallawa, agama Hindu-Buddha, dan sistem penghitungan tahun (kalender Saka). Apabila gambaran peradaban Sunda proto-sejarah tersebut disesuaikan dengan kehidupan tradisi orang Sunda secara hati-hati, maka akan ditemukan pandanan yang luar biasa miripnya. Kehidupan masyarakat Sunda Kuno proto-sejarah yang telah mengenal 10 kepandaian, memuliakan leluhur dan tradisinya, menghormati tempat-tempat tinggi (puncak bukit, lereng, gunung), menggunakan peralatan logam, mengenal pembagian secara binary(konsep pembagian dua), dan sebagainya dapat dijumpai dalam masyarakat Kanekes sampai sekarang.
Dalam kehidupan masyarakat Kanekes, 10 kepandaian yang dimiliki oleh orang-orang Austronesia dalam zaman proto-sejarah tetap dipertahankan hingga sekarang. Mungkin kepandaian navigasi  kurang dikembangkan lagi setelah mereka bermukim lama di daerah pedalaman, akan tetapi pengetahuan tentang seluk beluk sungai, anak sungai, arus sungai, lubuk di sungai, dan mencari dangkal atau dalamnya sungai untuk diseberangi dikenal oleh orang Kanekes secara baik. Dalam pada itu tentang penataan masyarakat yang teratur jelas tergambarkan dalam masayarakat, dengan adanya Telu Tantu yang meliputi puun dari ketiga permukiman mereka. Puun Cikeusik adalah Puun rama, Puun Cikartawana adalah Puun resi, dan Puun Cibeo adalah Puun Ponggawa (Danasasmita & Anis Djatisunda 1986: 12). Itulah penataan masyarakat asli Kanekes, bahwa mereka mengenal 3 pemimpin dalam masyarakatnya, yaitu
  1. Rama adalah istilah asli Jawa/Sunda Kuno yang bukan dari Sansekerta artinya pemimpin wilayah tertentu, pemimpin yang langsung berurusan dengan masyarakat.
  2. Resi adalah istilah dari bahasa Sansekerta rsi, yang artinya orang-orang suci karena tekun bertapa mendekatkan diri kepada dewa-dewa. Dalam masyarakat Kanekes Resi dapat berarti orang yang dituakan karena pengetahuan spiritualnya yang tinggi.
  3. Ponggawa dari kata Sansekerta punggawa arti sebenarnya pemimpin atau ketua, kerapkali istilah ponggawa mengacu kepada pemimpin kemiliteran, komandan militer atau pengawal keamanan.
Akan halnya pembagian 3 pimpinan dalam masyarakat menjadi pemimpin wilayah, pemimpin spiritual, dan pemimpin bidang keamanan tidak pernah dijumpai dalam kebudayaan Jawa Kuno manapun, sejak Mataram kuno hingga Majapahit, juga tidak pernah dijumpai di lingkungan kebudayaan Hindu-Bali. Apabila ditelusuri hingga kebudayaan India, maka pembagian 3 pimpinan masyarakat tersebut tiada pernah dijumpai juga. Maka dapat ditafsirkan bahwa aslinya pembagian 3 pimpinan tersebut adalah temuan masyarakat Sunda masa proto-sejarah, kemudian ketika anasir budaya India datang, istilah-istilah dalam penyebutannya diganti dengan kata Sansekerta, kecuali kata rama yang tetap bertahan.
Ketika Kerajaan Sunda berkembang pembagian 3 pimpinan dalam masyarakat tetap dikenal sebagaimana yang diuraikan dalam Kropak 632 (Amanat Galunggung) yang berbunyi: “Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (“dunia bimbingan berada di tangan sang rama, dunia kesejahteraan berada di tangan sang resi, dunia pemerintahan berada di tangan sang raja) (Danasasmita & Anis Djatisunda 1986: 13). Hal itu jelas merupakan pengembangan cakupan tugas dari para pimpinan masyarakat Sunda Kuno ketika pengaruh India telah masuk.
Sampai sekarang masyarakat Kanekes mengenal pembagian binary, ada urang Tantu(Baduy jero) dan ada urang Panamping (Baduy luar), ada warna putih untuk urang Tantu dan ada warna hitam/biru tua untuk urang Panamping, ada huma puun ada pulahuma serang dan seterusnya. Jika masyarakat Austronesia mengenal kebudayaan perunggu Dong-son dengan menghargai benda-benda perunggu, seperti nekara, moko, kapak dan bejana perunggu, masyarakat Kanekes juga menghargai benda peralatan rumah tangga yang terbuat dari tembaga, misalnya dandang (seeng), teko, dan lainnya. Konon dalam masyarakat Kanekes orang yang berada dan berhasil dalam panenan padinya, dapat diketahui dari jumlah dandang yang dimilikinya. Dandang dapat dijadikan tolok ukur sepintas perihal “kekayaan” seorang waraga Kanekes.  Bahkan di beberapa tempat di Tatar Sunda masih ada tradisi seni “Parebut Seeng” yang sebenarnya sarat dengan makna. Seeng dapat diartikan sebagai benda yang dihormati dengan berbagai caranya oleh karena itu harus diperebutkan, seeng adalah benda untuk memasak nasi, bahan makanan utama maka patut dimuliakan, seeng juga merupakan simbol berkat dari para karuhun karena dalam pembuatannya diperlukan kemahiran khusus dari para pande.
Berdasarkan data yang masih ditemukan dalam masyarakat Kanekes, maka dapat ditafsirkan bahwa orang Kanekes yang sangat mempertahankan adat/tradisi leluhur adalah keturunan dari masyarakat Sunda Kuno pra-Tarumanagara ketika mereka masih mengembangkan kebudayaan Austronesianya. Secara hipotetis dapat dikemukakan bahwa sebelum pengaruh kebudayaan India datang ke Jawa bagian barat, masyarakat masa itu tentunya mengembangkan kebudayaan Austronesia yang dikenal meluas di wilayah Asia Tenggara. Sekitar abad ke-3—4 diterimalah anasir budaya India oleh masyarakat Sunda Kuno Awal tersebut, lalu sebagiannya ada yang beralih untuk menerima agama dari budaya India. Sejatinya agama yang dikembangkan oleh Purnnawarmman di Kerajaan Tarumanagara adalah Weda-brahmana, bukanlah agama Hindu.; Hindu-saiwa baru berkembang dalam masa Mataram sesuai dengan berita Prasasti Canggal (732 M) yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Selanjutnya ecara berangsur-angsur masyarakat mulai mengenal kebudayaan India, setelah Tarumanagara runtuh,  kemudian disusul dengan tumbuh kembangnya Kerajaan Sunda dan Galuh. Walaupun masa itu telah banyak anasir kebudayaan India yang diterima oleh masyarakat, akan tetapi dapat diketahui bahwa masyarakat Sunda Kuno zaman Sunda, Galuh, dan Pakwan-Pajajaran tidak sepenuhnya menerima agama Hindu-Buddha. Banyak kajian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Sunda zaman Galuh  dan Pakwan Pajajaran hanyalah penutup bagian luar saja, akan tetapi inti di dalamnya masih melanjutkan tradisi pemujaan leluhur yang diseru denganHyang.
Dalam pada itu terdapat masyarakat yang tinggal di pedalaman Jawa bagian barat, di lokasi yang jauh di pelosok pegunungan, di balik bukit-bukit yang jarang dikunjungi orang luar, yang tetap mempertahankan tradisi kebudayaan Austronesianya. Merekalah leluhur masyarakat Kanekes. Maka sebenarnya masyarakat Kanekes dewasa ini adalah keturunan dari orang Kanekes kuno yang telah ada di lokasi tersebut sebelum Kerajaan Tarumanagara berdiri. Ketika kerajaan demi kerajaan silih berganti berkembang dan runtuh, mereka tetap mempertahankan adat tradisi leluhurnya hingga sekarang.
Ketika penduduk lainnya di Tatar Sunda menerima pengaruh budaya India baik dalam masa Tarumanagara ataupun kemudian dalam era Kerajaan Sunda, orang Kanekes hanya menerima sedikit saja pengaruh tersebut. Begitupun ketika agama Islam mulai berkembang hingga sekarang, pengaruh itu pun diterima sedikit pula. Mereka tetap mempertahankan sebagian besar tradisi dari karuhunnya yang sejatinya adalah warisan dari kebudayaan Austronesia purba.
Permasalahan yang menarik adalah apabila keberadaan orang Kanekes dihubungkan dengan pandangan dari Gorys Keraf, bahwa bangsa Austronesia purba tersebut menyebar ke berbagai arah dari tempat kelahirannya di kepulauan Nusantara ketika masih menyatu dengan daratan Asia Tenggara. Tempat asal yang asli dari orang Austronesia tersebut tenggelam bersamaan dengan berakhirnya zaman es, hal inilah yang akhir-akhir ini dirujukan dengan peristiwa tenggelamnya Atlantis. Pada akhirnya muncul pertanyaan yang menunggu jawabnya lebih lanjut melalui penelitian-penelitian mendalam di masa mendatang,  jika demikian kebudayaan orang Kanekes tersebut sejatinya mewarisi kebudayaan purba Austronesia yang telah tenggelam itu? (ed.ays)
Daftar Pustaka
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung.
Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.
Blust, R., 1984—85. “The Austronesian Homeland: a linguistic perspective”, Asian Perspective. 26. 1:45—68.
Danasasmita, Saleh & Anis Djatisunda, 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes.Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”, dalam Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya  Sunda. Sunda Lana 1.Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman 173—208.
Fischer, G.Th., 1980. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia. Seri Pustaka Sarjana. Terjemahan Anas Makruf. Jakarta: PT.Pembangunan.
Hall, D.G.E., 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh I.P.Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional.
Keraf, Gorys, 1991. Penetapan Negeri Asal Bahasa-bahasa Austronesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta. Rabu, 8 Mei.
Munandar, Agus Aris (Penyunting), 2007. Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat: Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Propinsi Jawa Barat.
Rosidi, Ajip (Pemimpin Redaksi), 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Tanudirdjo, Daud A. & Bagyo Prasetyo, 2004. “Model “Out of Taiwan dalam Perspektif Arkeologi Indonesia”, dalam Polemik tentang Masyarakat Austronesia: Fakta atau Fiksi? Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan VIII, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Halaman 77—101.
Wagner, Frizt A., 1995, Indonesia: Kesenian Suatu Daerah Kepulauan. Tranlated by Hildawati Sidharta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Widyastuti, Endang, 2003. “Penelitian Arca-arca di Kuningan dalam Rangka Pengungkapan Perkembangan Religi”, dalam Agus Aris Munandar (Penyunting),Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi (IAAI). Halaman 71–84

Sumber:
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/11/09/austronesia-dan-kebudayaan-sunda-kuna/


No comments:

Post a Comment