Wednesday, April 23, 2014

Gunung Padang dalam Lintasan Sejarah

Nina Herlina Lubis: Gunung Padang dalam Lintasan Sejarah 1

Created on Sunday, 05 January 2014 19:27
Bandung, GATRAnews - Keberadaan situs Gunung Padang telah ditengarai sejak zaman Hindia Belanda. Itu terbukti dengan adanya laporan yang dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD), buletin Dinas Kepurbakalaan, tahun 1914. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan situs ini kembali disebut-sebut oleh sejarawan Belanda, N.J. Krom pada 1949.

Baru 30 tahun kemudian, situs ini ''dibuka'' kembali, Saat itu, tiga penduduk Desa Karya Mukti, yaitu Endi, Soma, dan Abidin melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran, yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede.

Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, dilakukan pengecekan.

Laporan disampaikan ke Puslitarkenas yang kemudian menangani situs ini sejak tahun 1979. Hasil kajian sementara menyimpulkan bahwa situs Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan megalitikum di Jawa Barat, yang terletak di Desa Karya Mukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur.

Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 meter persegi, pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut. Baru pada 1998, Gunung Padang ditetapkan sebagai situs cagar budaya dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139/M/1998.

Pada 2010, tiba-tiba saja Yayasan Turangga Seta, pimpinan Agung Bimo, Sutejo, mulai melansir adanya piramid di Gunung Lalakon di Soreang Kabupaten Bandung dan Gunung Sadahurip di Kabupaten Garut.

Kelompok penelitian yang menggunakan metode metafisik, dalam arti menggunakan wisikan atau wangsit leluhur ini berdiri sejak tahun 2004. Mereka menyosialisasikan temuan tersebut pada Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf, pada 3 Maret 2011 dan memperkenalkan hipotesisnya di Jurusan Tambang ITB pada 6 Mei 2011.

Staf Ahli Presiden Bidang Bantuan sosial dan Bencana, Andi Arief, waktu itu sedang melakukan penelitian mengenai gempa di kawasan Gunung Sadahurip dan Gunung Lalakon.

Entah dengan latar belakang apa, Andi Arief kemudian membentuk Tim Katastropik Purba untuk mendukung pernyataannya bahwa setelah dilakukan penelitian intensif, ditemukan adanya bangunan berbentuk piramida, yang selain tertinggi dan terbesar di dunia, juga tertua, yaitu lebih dari 6.000 tahun sebelum Masehi, di Desa Sadahurip, Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Pernyataan Andi Arief tentang adanya piramid, dibantah oleh para ahli geologi seperti Dr. Sujatmiko, yang melakukan observasi lapangan dan menyatakan kedua gunung itu bukanlah piramid, melainkan gunung api purba yang sudah mati.

Temuan Andi Arief juga dibantah oleh Kepala Pusat Penelitian Arkeologfi Nasional, Dr. Bambang Sulistyo, yang menyatakan bahwa budaya kita tidak mengenal piramid, melainkan punden berundak-undak atau candi.

Tidak lama kemudian, masyarakat Cianjur dan Jawa Barat khususnya, Indonesia umumnya, dikejutkan dengan berita yang dilansir oleh Tim Katastropik Purba bahwa di dalam situs Gunung Padang, di Kabupaten Cianjur, terdapat piramida, yang umurnya lebih tua daripada piramid di Mesir.

Tim Katastropik Purba yang terdiri dari geolog LIPI Dr. Danny Hilman, arkeolog Universitas Indonesia (UI) Dr. Ali Akbar, dan lain-lain terus melanjutkan penelitiannya dan mengekspos hasil penelitiannya di berbagai media massa.
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Bupati Cianjur, pada awal tahun 2012, mengundang para pakar yang terdiri dari Prof. Dr. Nina H. Lubis, MS (sejarawan), Dr. Budi Brahmantyo (ahli geologi), Lutfi Yondri (arkeolog Balar Bandung) dan lain-lain untuk mendengarkan paparan Tim Andi Arief di Pendopo Kabupaten Cianjur.

Mei 2012, Tim Katastrofik Purba berganti nama menjadi Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang. Tim Andi Arief mengundang para pakar: Prof. Dr. Nina H. Lubis (sejarawan), Lutfi Yondri, MHum (dari Balai Arkeologi Bandung), Prof. Mundarjito (arkeolog senior dari UI), Dr. Bambang Sulistyo (Kepala Puslitarkenas), dan lain-lain untuk rapat di Bina Graha.

Waktu itu, penulis meminta agar penelitian dipimpin oleh arkeolog senior Prof. Mundarjito. Tapi permintaan tersebut ditolak, maka tim pakar menolak untuk duduk dalam tim tesebut.

Tim Andi Arief, yang ganti nama lagi menjadi Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM), berjalan terus melakukan penelitian tanpa mengindahkan kritik dan kecaman para pakar arkeologi ataupun pakar geologi, seperti Prof. Soetikno Bronto, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak, Dr. Sujatmiko.

Akhirnya, sebanyak 34 peneliti mengadakan pertemuan di Puslitarkenas untuk membahas penelitian yang dilakukan TTRM ini dan mengajukan petisi kepada Presiden SBY, yang disusun sejak Jumat 26 April 2013.
Mereka berafiliasi di bawah bendera Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Kelompok Riset Cekungan Bandung, dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Isi petisi: moratorium ekskavasi Gunung Padang yang dilakukan TTRM.

Selanjutnya, dilansir berita oleh TTRM bahwa pada 11-12 Mei akan dilakukan ekskavasi besar-besaran dengan melibatkan tenaga sukarela masyarakat awam. Oleh karena itu, pada 9 Mei 2013, Wamendikbud, Wiendu Nuryanti, mengundang para pakar untuk rapat di Jakarta.

Tujuannya, untuk membentuk tim peneliti Gunung Padang di bawah Dirjenkebud Direktorat Cagar budaya. Dalam rapat itu datang dua anggota tim Andi Arief, yaitu Dr. Danny Hilman dan Dr Ali Akbar. Tim ini batal dibentuk entah karena apa.

Namun, diberitakan bahwa pada 18 Mei 2013, tim Andi Arief melakukan presentasi di depan Presiden SBY.

Selanjutnya, pada 24 Mei 2013, Presiden SBY mengadakan rapat Koordinasi membahas hasil temuan Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang. Rapat itu dihadiri oleh TTRM, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam; Mendikbud, Mohammad Nuh; Menteri PU, Djoko Kirmanto; Menparekraf, Mari E. Pangestu; Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya; Kepala BPN, Hendarman Soepandji; dan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan.

Hasil rapat: tim Andi Arif didukung untuk penelitian dengan bantuan dana abadi Kemendikbud. Pada 19 November 2013, keluar surat keputusan Gubernur Jawa Barat yang menunjuk TTRM sebagai tim peneliti Gunung Padang.

Namun pada 16 Desember 2013, Gubernur menarik SK tersebut untuk direvisi dan membatalkan TTRM sebagai tim peneliti satu-satunya yang didukung Pemprov Jawa Barat.

[Nina Herlina Lubis, Guru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran/Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.]
[Rubrik: KOLOM, Majalah GATRA Edisi no 09 tahun ke 26, Beredar 2 Januari 2014)

Gunung Padang dalam Lintasan Sejarah 2

Created on Sunday, 05 January 2014 19:20
Bandung, GATRAnews - Mengapa sejarawan dilibatkan dalam persoalan Gunung Padang, padahal situs ini situs prasejarah yang menjadi wilayah kajian para arkeolog dan geolog? Situs-situs di Tatar Sunda, berlaku prinsip multi-component sites. Artinya, situs masa prasejarah tersebut difungsikan secara berlanjut dari masa prasejarah hingga masa sejarah (masa setelah masyarakat mengenal tulisan yaitu masa kerajaan) sesuai dengan tuntutan zaman.

Jadi, situs Gunung Padang yang dipergunakan sebagai tempat ritual (punden berundak-undak) pada masa prasejarah, ketika memasuki masa klasik Hindu-Budha, pada masa Kerajaan Tarumanegara (awal abad ke-5 hingga abad ke-7) dan masa Kerajaan Sunda (abad ke-8 hingga abad ke-16) difungsikan pula sebagai mandala/kabuyutan.

Menhir yang dipakai pada masa prasejarah (masa kepercayaan animisme-dinamisme) kemudian ditegakkan sehingga menjadi lingga.

Ketika Islam datang, situs-situs tempat ritual ini, bisa pula di-''Islam''-kan dengan menambahan makam di teras-teras yang ada dan lingga pun dijadikan sebagai batu nisan.

Jadi, sejarawan mengkaji ketika situs difungsikan pada masa sejarah, yaitu masa setelah masyarakat Sunda mengenal tulisan, yaitu masa Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, juga pada masa pascakerajaan, yaitu akhir abad ke-16.

Masyarakat Sunda lama itu cenderung pragmatis. Jadi, urang Sunda tidak merasa perlu membangun suatu bangunan monumental untuk ritual, cukup menggunakan fenomena alam yang sudah ada.

Jadi, ketika akan membangun punden berundak-undak untuk keperluan ritual di Gunung Padang, cukup dengan menata batu-batuan di sekitar lokasi. Menurut pendapat TTRM, situs Gunung Padang dibangun 10.000 tahun sebelum Masehi (bahkan 23.000 tahun sebelum Masehi?), secara utuh oleh manusia Sunda (bukan ditumpangkan di atas gunung/bukit), dan diperlukan waktu selama lima tahun untuk membangunnya dengan tenaga 2.000 orang per harinya.

Ini suatu hal yang tidak mungkin. Menurut data statisktik tertua di Nusantara, yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris, dalam buku History of Java (1816), disebutkan bahwa pada 1815, Kabupaten Cianjur terdiri atas 552 desa dengan jumlah penduduk 35.234 orang. Jadi, jumlah rata-rata penduduk satu desa 50-75 orang. Bagaimana mungkin lebih dari 10.000 tahun ke belakang, ada cukup jumlah orang (2.000) untuk membangun piramid raksasa di lokasi tersebut?

Dengan mengacu pada pendapat para ahli geologi (Prof. Sutikno Bronto dan Dr. Budi Brahmantyo), para arkeolog (Prof. Mundarjito, Prof. Harry Truman Simanjuntak, dan Lutfi Yondri, MHum), situs Gunung Padang adalah bangunan prasejarah yang dibangun di atas gunung berapi yang sudah mati, berbentuk punden berundak-undak dengan menata batu-batu dari gunung berapi yang sudah mati itu.

Punden ini difungsikan secara berkelanjutan. Terbukti bahwa dalam naskah Bujangga Manik, yang merupakan catatan perjalanan seorang pangeran Kerajaan Sunda/Pajajaran, pada abad ke-16, disebutkan bahwa punden berundak-undak itu adalah sebuah kabuyutan.

Tempat yang disebut kabuyutan itu biasanya tempat yang disakralkan, dipergunakan oleh para wiku, semacam tempat pendidikan para bangsawan/raja-raja, dan kabuyutan ini bisa pula menjadi scriptorium, tempat yang menghasilkan naskah-naskah kuno.

[Nina Herlina Lubis, Guru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran/Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.]
[Rubrik: KOLOM, Majalah GATRA Edisi no 09 tahun ke 26, Beredar 2 Januari 2014]

No comments:

Post a Comment