Wednesday, April 23, 2014

SITUS GUNUNG PADANG : Mahakarya Peradaban Kuno

SITUS GUNUNG PADANG 1: Mahakarya Peradaban Kuno

Created on Sunday, 29 December 2013 10:04


Situs Gunung Padang (Gatra/Wisnu Prabowo)
Cianjur, GATRAnews - Bangunan itu didirikan sekitar 500 tahun sebelum masehi. Usianya 1.000 tahun lebih tua daripada Candi Borobudur dan 2.000 tahun lebih tua dibandingkan dengan situs Machu Picchu di Peru. Itulah Situs Gunung Padang yang berada di atas bukit di Desa Karya Mukti, Kecamatan Kancana, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Akhir November lalu, Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo dari GATRA bertandang ke situs yang berjarak tempuh lima jam perjalanan darat dari Jakarta itu. Berikut laporannya. 
Untuk pertama kalinya, bangunan berundak yang terdiri dari susunan potongan batu-batu kolom itu dilaporkan oleh N.J. Krom pada 1915. Laporannya dimuat di buletin Rapporten van de Oudheidkundige Dients, yang diterbitkan oleh Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda. Di era republik, baru pada 1979 --setelah menerima laporan dari masyarakat-- Balai Arkeologi dan Arkenas mulai mengadakan penelitian.

Penelitian-penelitian berlanjut sampai pada akhirnya Tim Terpadu Penelitian Mandiri (Mei 2012 - Mei 2013) yang dipimpin oleh arkeolog Ali Akbar dari Universitas Indonesia merilis temuannya yang mengundang decak kagum banyak pihak, sekaligus mengundang pro dan kontra.

Situs Gunung Padang adalah bukit yang terisolasi, di ketinggian 885 mdpl, di tengah-tengah lembah utara perbukitan Gunung Karuhun dan bentuknya melengkung. Dibatasi oleh Sungai Cimanggu di selatan kaki bukit yang mengalir ke Sungai Cimandiri yang berada di sebelah barat. Ada Sungai Cipanggulaan dan Cikuta, yang membatasi lereng barat, selatan dan timur bukit, dan mengalir ke Sungai Cimanggu.

Jika Situs Gunung Padang dilihat dari Gunung Batu, tampak depan terlihat berbentuk limas dan ada mahkota di puncaknya. Adanya hamparan bebatuan itu berjenis sama: columntnar joint. Bedanya hanya susunan batu yang tak seirama. Ada yang menjulang tak tertata, tiduran, bahkan terpecah-pecah beberapa bagian.

Batuan itu bukan batu biasa. Orang menyebutnya batuan purba atau kuno. Batuan tersebut memang hasil dari alam. Yang berbeda adalah penumpukan batuan itu yang tersusun seperti pola kreasi manusia. Beberapa tahun belakangan terungkap, ada kerja manusia di susunan batu yang dianggap biasa itu.

Penemuan kebudayaan kuno Indonesia itu menyisakan karya misteri kelas tinggi. Situs megalitikum, yang konon berusia 500 tahun sebelum masehi, tersaji di Bumi Pertiwi. Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitikum terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 meter persegi dan areal situs mencapai 25 hektare.

Situs ini memiliki balok-balok yang berbentuk prismatik dengan ukuran beragam. Susunan balok batu berlapis tanah lempung. Punden berundak situs terdiri dari lima teras yang dibangun berbeda-beda dengan ruangan tertentu di setiap teras. Setiap teras juga memiliki makna berbeda. Menghadap ke Gunung Gede, Jawa Barat.

Dinamakan padang, karena memiliki nuansa menerangkan atau sebuah bukit yang bercahaya. Di bagian timur, pengunjung dapat melihat fenomena sunrise yang indah. Situs juga dikelilingi beberapa bukit atau gunung, seperti Gunung Pasir Batu, Gunung Pasir Pogoh, Gunung Kencana, dan Gunung Pangrango.
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Akses ke arah situs cukup mudah. Bila dari Jakarta, pengunjung bisa lewat jalur Puncak, Bogor, Jawa Barat, kemudian mengarah ke jalan Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat, sebagai pintu masuk awal situs. Lewat Sukabumi tak kalah seru, arahnya menuju perbatasan Cianjur, lalu ke arah Cianjur Kota, kemudian Warung Kondang.

Selepas Warung Kondang masuk jalur kecil, jalan ke situs tak begitu mulus. Kerikil jamak dijumpai. Kerusakan jalan menjadi bagian yang tidak bisa dihindari dari jalur itu. Jalanan panjang dengan kerusakan itu berjarak 20 kilometer. Situs terselip di balik bukit kawasan beberapa kecamatan.

Sesampainya di pintu gerbang besar, tak tampak ada fasilitas menjanjikan, selain kamar kecil buatan warga sekitar. Begitu naik, terlihat bangunan pusat informasi situs yang terkesan masih anyar, leaflet mengenai cerita situs pun tidak ada. Hanya ada beberapa warung milik warga tanpa area penginapan layaknya kawasan wisata.

Saat ini, pada umumnya para wisatawan dan para peneliti, menginap di rumah warga. Harga sewanya cukup murah meriah, sesuai dengan kesepakatan bersama.

Sebelum menaiki anak tangga menuju situs, tepat di sisi anak tangga pertama, terdapat Sumur Cikahuripan arah utara. Cikahuripan berarti "air kehidupan". Sumur Cikahuripan masih terjaga kualitas airnya. Sumur disangga dengan bebatuan alami.

Menurut warga setempat, meski kemarau, air masih jernih dan debitnya cukup untuk menghidupi warga sekitar. "Ini bisa langsung diminum, dijamin tak ada penyakit. Pernah diteliti juga," ujar Nanang, juru pelihara situs yang menemani GATRA ketika berkunjung ke Situs Gunung Padang.

Anak tangga asli yang menghubungkan loket masuk dengan teras pertama berjumlah 378 dengan panjang 185 meter. Kemiringannya mencapai 40-60 derajat. Pada 2004, sebagian bebatuan tangga itu pernah disusun ulang. "Kurang-lebih 25 meter yang ke atas masih asli," tutur Nanang. Cara melihatnya, susunan asli dengan batuan tidak asli dapat dibedakan dengan melihat kelurusan tiap sisinya.

Berdasarkan kepercayaan warga sekitar, fungsi utama Gunung Padang sebagai tempat beribadah pemeluk animisme. "Biasanya untuk acara keagamaan," katanya.

Selain itu, situs juga dijadikan tempat untuk pertemuan dan rapat masyarakat zaman dahulu. "Karena di sana ditemukan batu kursi dan ruangan, yang bisa ditafsirkan ada pertemuan dan rapat di sana," Nanang menjelaskan.

[Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 12 Desember 2013]


SITUS GUNUNG PADANG 2: Singgasana Raja di Teras Lima



Pamuka lawang (Gatra/Wisnu Prabowo)
Cianjur, GATRAnews - Memasuki teras pertama, pengunjung disambut pintu "Pamuka Lawang", yang bermakna pembuka pintu atau gerbang awal. Gerbang awal ini dahulu ada dua batu, namun roboh, tersisa satu, karena faktor alam. Untuk masuk ke lokasi lebih dalam, ada dua jalan, dari kiri dan kanan, yang masing-masing memiliki jarak yang sama, yakni 22 meter.
Ketika masuk lebih dalam, di teras satu, terdapat sebuah gundukan yang bernama "Bukit Masigit", yang berarti sebuah langgar atau musala. Ruangan itu melambangkan unsur peribadatan masyarakat dahulu. Di teras pertama juga terdapat sebuah pohon cempaka. "Pohon ini tanda awal masuk situs. Dalam budaya Sunda ada istilah 'kuncung putih', yakni pohon cempaka yang wangi," ujarnya.

Masih menelusuri teras pertama, dalam setiap ruangan, pintu masuk dan keluar berbeda. Ini menandakan bahwa sudah terbentuk pola pikir maju pada masyarakat dahulu untuk membuat tanda. Teras pertama jauh lebih rapi. Yang parah teras kelima. Pada teras pertama, ada lantai yang berbahan susunan batuan alami, terlihat seperti ubin porselen.

Di teras ini juga terdapat sebuah meja purba, yang bernama "dolmen". "Hanya batu inilah yang lebar dan warnanya beda. Makanya disebut sebagai batu meja," kata Nanang sembari menunjuk ke arah dolmen. Dolmen digunakan untuk sebuah kegiatan dan ritual serta persembahan suatu acara. "Ada sesajian dan tempat untuk ngobrol, musyawarah."

Ada tiga ruangan di teras pertama. Masyarakat Sunda biasa menyebut ruangan itu dengan nama: Rama, Ratu, dan Resi. Rama, ruang untuk pertunjukan dan biasa ditempati para tokoh. Ratu untuk ruang pimpinan. Dan Resi untuk masyarakat biasa.

Di dalam ruang pertunjukan terdapat dua buah batu purba, yang diduga sebagai alat musik masyarakat di era purba. Ada batu "bonang" dan "kecapi". Intinya, semua bebatuan situs berbunyi.

Namun, yang dikenal memiliki suara nyaring hanya kedua batu tersebut. Di batu bonang ada relief yang seakan-akan memiliki jejak jari, juga terdapat ukiran huruf Arab yang berbunyi alif lam lam ha.

Masuk teras kedua, terdapat sebuah gerbang atau pintu masuk dengan dua batu berbeda. Jadi, setiap gerbang memakai batu dengan ciri-ciri yang berbeda. Di teras ini, ada lima gerbang berbeda. Terasnya juga terbuat dari bebatuan.

Juga ada batu lumbung, yang diibaratkan sebagai mahkota dunia. "Batunya besar. Dulu ada bangunan bentuk segi empat ukuran 5x5 meter di sini," Nanang memaparkan.

Hanya di teras dua, pintu masuknya yang dari selatan. "Ini beda karena tidak sembarangan orang bisa masuk. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk," katanya. Selain batu lumbung, terdapat batu kursi yang dipersepsikan untuk melapor dari rakyat ke pemimpin.

Dari teras dua ke teras selanjutnya, dari sini sudah terdapat jalur lurus sampai ke teras lima. Naik setengah meter menuju teras tiga. Dari teras tiga naik setengah meter lagi, menuju teras empat. Untuk naik ke teras lima dari teras empat, jaraknya 1,5 meter. Lewat dari teras dua, pintu masuk ke teras selanjutnya sudah tidak bercabang.

Masuk ke teras tiga, terdapat ukiran bentuk "kujang" di sebuah batu. Fungsinya sebagai pembatas akhir teras dua dan awal teras tiga. Di dalam teras tiga, sebelah timur, terdapat jejak maung, yang berarti jejak jari manusia zaman dahulu. Pengertian maung ini identik dengan manusia yang baik.

Menurut masyarakat sekitar, batu itu disebut Sang Hyang Tapak. Di teras itu juga terdapat lokasi pemujaan dan area musyawarah, khusus orang-orang tertentu saja.

Di teras empat, terdapat batu yang bernama Kanuragan, yang sekarang disimpan petugas karena banyak disalahgunakan. Batu itu dianggap pemberi rezeki oleh orang-orang dan kemudian menjadi mistis, juga takhayul yang menjurus kepada syirik. Batu itu berbentuk segi lima dengan ukuran besar.

Memasuki teras kelima, terdapat tempat singgasana raja. Di sana ada batu yang disebut "pandaringan". Batu itu fungsinya untuk berhadapan dengan hormat kepada sang raja. "Di situ, diperkirakan sebagai tempat pemimpinnya atau raja," Cecep, salah seorang relawan di Situs Gunung Padang, menyimpulkan.

[Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 12 Desember 2013]


SITUS GUNUNG PADANG 3: Kontroversi Bentukan Alam atau Karya Manusia

Created on Sunday, 29 December 2013 09:58
Jakarta, GATRAnews - Tampilannya sederhana, bertubuh kurus, tapi bila bertutur sangat lugas. Dialah Dr. Ali Akbar, salah satu dosen arkeologi di Universitas Indonesia, Depok. Malang melintang menjadi peneliti, ia tampil "heboh" ketika mengkaji Situs Gunung Padang, Cianjur.

Bersama Tim Terpadu Riset Mandiri, bentukan Andi Arif, staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana, ia menuai kontroversi. Hasil penelitiannya, yang mengatakan bahwa Situs Gunung Padang bentukan manusia pada 500 sebelum Masehi membuat banyak orang terperangah dibuatnya.

Penelitian mengenai Situs Gunung Padang pada awalnya di mulai oleh tim katastropik purba. "Mereka dibentuk pada 2010 atau 2011. Risetnya diinisiasi oleh staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana, yakni oleh pak Andi Arif," ujarnya.

Awal penelitian situs tadinya hanya ingin melhat perkembangan daerah-daerah yang pernah terkena bencana. "Waktu itu fokusnya bencana, seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus. Mereka meneliti daerah Aceh dan Poso, serta beberapa tempat lainnya," katanya.

Penelitian awal itu untuk melihat pengulangan kebencanaan atau titik daerah yang terkena bencana. Kemudian, riset itu juga meneliti daerah Situs Gunung Padang, karena di sana terdapat sesar Cimandiri, yakni sesar aktif yang sering menimbulkan gempa.

Ketika meneliti di sana dengan berbagai peralatan geofisika lewat penginderaan citra-citra, hasilnya cukup mengejutkan. "Ada kemungkinan, situs itu bukan bentukan alam. Tapi waktu itu belum ada riset ahli arkeologinya. Meskipun dari tahun 1914-2011 sudah banyak penelitian. Tapi, ketika tim katastropik purba ini meriset, belum ada arkeolognya," ia menandaskan.

Menurut Ali Akbar, meskipun situs sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, situs bisa diteliti sesuai dengan ketentuan. Karena itu, beberapa ilmuwan arkeologi sudah melakukan penelitian. "Dan situs ini juga bukan baru ditemukan, tangga-tangga dari batu juga sudah lama ada," katanya.

Selain penemuan tim awal itu, situs ini juga sudah menarik berbagai kalangan. Contohnya, salah satu arsitek dengan kerja sendiri mampu membuat sebuah gambar imajiner. Imajiner itu berbentuk sebuah rekayasa gambar mirip dengan sebuah tempat pemujaan yang berbentuk punden berundak.

Gambaran imajiner yang dibuat oleh Pon Purajatnika, seorang insinyur, menyatakan bahwa ada sebuah bangunan yang pasti memiliki penyangga tepat di dalam situs itu. "Gambarnya tanpa data, tapi memakai ilmu arsitek dengan asumsi ada bangunan di atas yang disangga dengan batu-batu agar tidak runtuh," ujarnya.

Ali Akbar sendiri mengaku, awal pertemuan dengan situs itu terjadi pada 1994. Karena itu, ketika diberitahukan oleh Tim Katastropik Purba bahwa situs ini buatan manusia, ia tidak percaya.

"Saya awalnya juga tidak percaya. Tapi ketika dikasih info, akhirnya saya tahu bahwa ada perkembangan hasil penelitian karena menggunakan alat-alat baru," katanya mengenang.

Setelah melewati rangkaian ilmiah tim katastropik purba, riset selanjutnya dipegang oleh tim baru. "Sampai akhirnya, saya dihubungi oleh tim itu (tim katastropik purba). 'Begini Pak, di bawah ini ada kemungkinan begini-begini' kata mereka. Secara arkeologi, kemudian saya pelajari dan saya terima," ujarnya.

Tim baru bernama Tim Terpadu Riset Mandiri. Tim ini lebih menitikberatkan pada pengkajian situs secara fisik, sehingga meneliti dari dalam, luar, dan udara dengan berbagai macam alat dan rangkaian penelitian, yang tidak lepas dari pendekatan arkeologi. Tim juga menggandeng ahli-ahli dari beberapa lembaga, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Batan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung untuk bersama-sama meneliti situs ini.

"Dari penelitian awal tim baru ini, tim melihat ada bentuk-bentuk yang secara alamiah terbentuk sepertinya tidak mungkin terjadi. Misalnya, dari pemindaian, bisa kelihatan sumber batunya di kedalaman 20 meter. Sebab, kita meneliti menggunakan tiga hal: geo-listrik, geo-radar, dan geo-magnet,'' ujarnya. Penelitian tim di sana juga ditambah dengan metode coring atau pengeboran.

Hasilnya, dengan berbagai metode yang digunakan, mengungkapkan dengan konsistensi sama dengan pengamatan sebelumnya. "Bahwa ada kejanggalan-kejanggalan, anomali geologis, yang kemungkinan besar adalah buatan manusia dalam situs Gunung Padang," katanya.

Salah satu mekanisme kerja tim baru lewat berbagai pemindaian elektronik. Di kedalaman 2 meter, tim menemukan batu-batu yang tersusun rapi. Di kedalaman 4 meter juga ketemu lagi.

Ali Akbar menambahkan, ketika meneliti di permukaan situs saja, data yang didapatkan sudah menunjukkan bahwa prediksi awal tepat. "Kita mengupas samping-samping situs, ternyata banyak ditemukan struktur bebatuan olahan manusia dari situs tersebut," katanya.

Selain itu, ketika dilihat dari utara, situs berbentuk segitiga. Namun, bila di lihat dari barat atau timur, terlihat seperti bentuk trapesium. "Makanya, saya tidak mengatakan ini piramida. Tapi lebih ke bentuk trapesium. Dan ini usianya lebih tua daripada piramida Mesir," tuturnya.

Perdebatan yang terjadi terkait situs, berangkat dari dua persepsi berbeda: situs bentukan alami atau rekayasa manusia. Guna membahas Situs Gunung Padang ini, pada 29 Mei 2013, Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Kacung Marijan mengundang berbagai ahli untuk memaparkan hasil kajian dan penelitiannya. Di antaranya yang hadir adalah Prof. Mundarjito dari Pusat Arkeologi Nasional (PAN).

Menurut Mundarjito, berdasarkan penelitian PAN, bentukan yang terjadi dalam situs ini akibat dari bantuan alam, yang biasa disebut dengan tafonomik, yakni proses transformasi dari suatu tempat.

Proses itu juga bisa disebut dengan berpindahnya benda-benda ke tempat lain oleh alam, seperti dari kegiatan alam, yaitu hujan yang kemudian membawa benda-benda, terutama bebatuan ke bawah dari lereng/atas.

Hal ini, menurut Mundarjito, selaras karena bentuk Gunung Padang adalah lereng, sehingga banyak benda-benda yang turun dari atas. "Karena itu, bisa juga ditafsirkan situs ini diperoleh dari alam," ujarnya menyimpulkan.

Tapi, Ali Akbar dan timnya bersikukuh bahwa Situs Gunung Padang bentukan manusia, memakai bahan alami seperti penemuan batuan kekar tiang.

"Di sana ada batu columnar joint (kekar tiang). Tapi begitu batu itu disusun, ada yang berbentuk seperti pintu gerbang dengan dua batu berdiri, ada juga lantai dari batu, itu sudah termasuk budaya manusia. Artinya, ini semua bentukan manusia, bukan alam," ujarnya.

Perbedaan pendapat juga terjadi karena pemakaian teknologi di antara peneliti. "Selain memakai teknologi tercanggih. Tim ini juga ada jagoan-jagoan di bidang masing-masing. Misal dari arsitektur, geologi, dan biologi untuk meneliti situs," kata Ali Akbar. "Dari semua pendekatan itu, kita secara tim mengetahui bahwa di bawah permukaan ada bebatuan hasil rekayasa manusia."

[Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 12 Desember 2013]


SITUS GUNUNG PADANG 4: Lebih Tinggi dari Borobudur Lebih Tua dari Machu Picchu

Created on Sunday, 29 December 2013 09:55

Cianjur, GATRAnews - Pemerintah sendiri, melalui Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah menetapkan bahwa teras 1, 2, 3, 4 dan 5 sebagai Situs Gunung Padang.  Karena itu, tim selalu melakukan penelitian di luar ring utama karena takut merusak situs. Setiap penelitian yang dilakukan telah sesuai dengan kerangka standar penelitian.

"Riset kami banyak di luar dari situs itu. Namun tetap saja, hasil riset membuktikan, ketika tanaman di samping dibersihkan, itu semua menunjukkan batu susun," ujar Ali Akbar.

Situs Gunung Padang, menurut Ali, lebih besar daripada Candi Borobudur. "Borobudur tingginya 32 meter. Situs ini tingginya lebih 100 meter," katanya.

Kerangka situs ini mirip dengan kerangka situs di Machu Picchu di Peru. Di Machu Picchu, kerangkanya seperti tanah kemudian ada batu, tanah lagi, kemudian batu. Sama dengan situs ini. Machu Picchu usianya muda, yaitu 1.400.

Kalau situs ini minimal usinya 500 sebelum masehi. "Jadi hampir 2.000 tahun sebelum Machu Pichu," ujarnya. Karena itu, ia yakin setelah penemuan ini, peradaban nusantara sebenarnya sudah maju dari dahulu.

Untuk mengetahui usia situs ini, bisa dilakukan dengan uji karbon sampel arang dalam sebuah batu yang di susun pada sebuah pembakaran masa lalu oleh aktivitas manusia dahulu.

"Dari arang itu kita tahu usianya," kata Ali Akbar. Selain itu, ditemukan pula tembikar dan alat logam, jadi konteksnya memang ada manusia masa itu yang sedang beraktivitas.

Dalam pandangan Ali Akbar, bangunan Situs Gunung Padang adalah tempat pemujaan manusia zaman dahulu. "Karena ketika diekskavasi tidak ditemukan sisa makanan, tapi lebih ke alat upacara, seperti tembikar dan logam serta sisa pembakaran yang kemungkinan untuk upacara," ujarnya.

Selain itu, situs ini juga bukan tempat penguburan, karena tidak ditemukan jenazah. "Manusia dahulu masih menganut agama asli, animisme."

Adapun penelitian lanjutan tentang Situs Gunung Padang ini, menurut Ali Akbar, bisa dilakukan oleh peneliti dan tim lain. "Biar fair, penelitian dilanjutkan oleh orang lain saja. Karena saya merasa, bila dikerjakan satu tim, hasilnya akan lama," katanya.

Selain itu, timnya juga belum dapat meneliti isi dari situs itu. "Yang dalam yang belum kita temukan. Karena kalau kita temukan, di dalam itu pasti lebih canggih lagi. Akan ada struktur lagi di dalamnya."

Situs ini, menurut, ilmu arkeologi, dinamakan multi-component sites, yakni situs yang berkali-kali dihuni oleh manusia pada zamannya.

[Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 12 Desember 2013]


SITUS GUNUNG PADANG 5: Situs Wisata Serba Lima

 Created on Sunday, 29 December 2013 09:53

Cianjur, GATRAnews - Situs Gunung Padang sebenarnya menyimpan potensi wisata lain. Pada malam hari, ada aktivitas perjalanan spiritual ke situs. Biasanya fokus pada teras pertama, tapi bisa juga sampai ke teras lima. Lokasi favorit wisata religi berada di teras lima, yang duduk di batu "pandaringan". Teras satu di ruang pertama juga tempat favorit pengunjung untuk bersamadi.

"Menariknya, yang melakukan spiritual di sini tidak membedakan agama. Ada dari muslim, Kristen, Tionghoa, Bali," ujar

Nanang yang juga salah seorang pemandu wisata religi ini. Ia menceritakan bahwa hampir setiap malam terdapat kegiatan spiritual yang dipandu oleh petugas. "Untuk kunjungan malam dibatasi 10-15 orang. Kalau wisata pagi bebas sampai ratusan, katanya.

Kini, lokasi situs akan ditambah fasilitas penunjang. "Akan ada stasiun kereta yang akan diaktifkan untuk menunjang kegiatan pariwisata Situs Gunung Padang."

Jika malam bulan purnama, jumlah kelompok wisata religi bertambah, meskipun masing-masing kelompok tetap ada batasannya

Bagi Nanang, secara filosofis keistimewaan Gunung Padang tidak terlepas dari angka lima. Lima teras dan undakan.

Lima pintu gerbang. Hamparan bebatuan yang sebagian besar berbentuk segi lima, kurang lebih 90%. Pada teras lima, juga terdapat lima bangunan.

Situs Gunung Padang juga dikelilingi lima gunung. "Ada Bukit Pasir Malang, Gunung Melati, Gunung Emped. Di belakang terdapat Gunung Karuhun. Dan terakhir terdapat Gunung Batu," ujarnya.

Selain itu, di bawah bukit terdapat lima lembah air kecil yang biasa disebut sumur atau sumber mata air, misalnya Sumur Cikahuripan.

Kehidupan flora dan fauna di sana juga beragam. Dalam penelitian Juli 2013, yang dilakukan ITB, ketika meneliti kegiatan fauna malam hari, ditemukan 134 nama hewan.

Ada beberapa jenis kupu-kupu, kelelawar, bunglon, burung hantu, elang, dan ular. Flora di wilayah situs tak kalah beragam. Ada pohon Puspa, Saninten, cempaka putih, tiara, kemenyan, rasa mala (endemik asli), dan sukun.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, bersama Dirjen Kebudayaan Kacung Marijan, akhir Mei lalu berkunjung ke Situs Gunung Padang.

Pak Menteri memberikan apresiasi atas temuan terbaru tentang situs tersebut. "Temuan ini bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa," katanya. "Bahwa bangsa ini pernah punya peradaban yang canggih di zamannya."

Ya, sebuah mahakarya peradaban kuno yang bisa memberi inspirasi dan semangat anak bangsa untuk melakukan yang terbaik buat bangsa dan umat manusia yang mengglobal.

[Herry Mohammad, Andi Anggana, dan pewarta foto Wisnu Prabowo]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 12 Desember 2013]


http://www.gatra.com/budaya-1/apresiasi/44601-situs-gunung-padang-3-kontroversi-bentukan-alam-atau-karya-manusia.html

No comments:

Post a Comment