Thursday, May 29, 2014

Sejarah Perkembangan Penduduk di Kalimantan


Sejarah Perkembangan Penduduk di Kalimantan

masih draft

A.2.1. Jaman Pra Sejarah
Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Menurut mitos, nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Namun catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sangat nihil.
Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. (Avé 1996 : 6).01
Suku Dayak diperkirakan mulai datang ke pulau Kalimantan pada tahun 3000-1500 sebelum Masehi. Mereka adalah kelompok-kelompok yang bermigrasi dari daerah Yunnan, Cina Selatan. Kelompok ini disebut Proto-Melayu. Dari daratan Asia kelompok-kelompok kecil tersebut mengembara melalui Indocina ke Semenanjung Malaya, berlanjut ke pulau-pulau di Indonesia, termasuk Kalimantan. Beberapa kelompok lain diperkirakan ada yang melalui Hainan, Taiwan dan Filipina.
Beberapa kelompok, terutama yang kemudian menetap di bagian selatan Kalimantan, kemungkinan besar untuk beberapa waktu singgah di Sumatera dan Jawa. Perpindahan ini terjadi pada zaman glasial (zaman es), dimana permukaan laut sangat surut sehingga dengan perahu-perahu kecil mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu. Teknologi perundagian yang telah dikenal di daratan Asia sekitar tahun 1500 sebelum Masehi memungkinkan perpindahan mereka menggunakan perahu bercadik. Masa bercocok tanam diperkirakan dimulai sekitar tahun 1000 sebelum Masehi. Beliung persegi dan kapak persegi yang dibuat dengan teknologi perundagian ditemukan di Nanga Balang, Kapuas Hulu. Kehidupan religi pada zaman ini adalah memuja roh nenek moyang, sesuai dengan kehidupan masyarakat zaman Megalithikum
Bukti awal yang diketahui tentang keberadaan manusia di Kalimantan adalah sebuah tengkorak Homo sapien yang ditemukan di Ambang Barat Gua Besar di Niah, Sarawak. Tengkorak tersebut memiliki pertanggalan mutlak [hasil pertanggalan radiocarbon C-14 terhadap matriks tanah tempat tengkorak tersebut ditemukan] lebih dari 35.000 tahun. Meskipun masih terdapat perdebatan tentang usia tengkorak tersebut, Niah tetap merupakan situs yang penting, karena mengandung rekaman data tingkatan okupasi manusia terlama di Asia Tenggara, Gua Niah merupakan sebuah situs dari Plestosen Atas yang banyak mengungkapkan gaya hidup manusia Paleolitik pendukung budaya manusia yang sudah menggunakan alat dalam menunjang kehidupan sehari-harinya.3a
Gua-gua di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat dari batu yang lebih canggih dari 20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin digunakan untuk membunuh dan memotong-motong makanan, dan kemudian jadi model pembuatan alat-alat lain dari bambu dan kalu dan tulang.0b
Manusia purba di Borneo berburu binatang, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan dalam kurun waktu 40.000-20.000 tahun yang lalu. Diantara tulang-tulang yang patah dan terbakar di Niah terdapat tulang-tulang binatang yang sekarang sudah punah, termasuk tapir Tapirus indicus, trenggiling purba, manis palaeojavanica dan celurut bergigi putih Crocidura fuliginosa. Manusia purba juga berburu kancil Traqulus spp, orang utan Pongo pygmaeus dan rusa Cervus unicolor, badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis serta beruang madu Helarctos malayanus. Tikus babi Hylomys suillus dan biul Melogale orientalis tercata dari ekskavasi di Niah. Binatang-binatang tersebut sekarang hanya dapat ditemukan di tempat-tempat yang lebih sejuk dan di lereng-lereng yang lebih tinggi di G. Kinabalu. Hal ini mendukung teori yang mengatakan bahwa iklim pada akhir Pleistosen lebih dingin. Manusia purba juga membawa ikan, burung, biawak dan buaya ke dalam gua. Gua-gua di Niah menunjukkan budaya penggunaan alat-alat dari batu yang lebih canggih dari 20.000 tahun yang lalu; alat-alat dari batu ini mungkin digunakan untuk membunuh dan memotong-motong makanan, dan kemudian jadi model pembuatan alat-alat lain dari bambu dan kalu dan tulang.0b
Hasil ekskavasi terbaru di Madai, Sabah, memperlihatkan bukti lebih jauh tentang migrasi awal dan penghunian manusia di seluruh Kepulauan Indonesia dengan penanggalan mutlak 30.000 tahun. Tejadinya perhubungan darat pada masa Plestosen, gelombang kedatangan manusia masa lampau menyapu daerah-daerah kepulauan di Paparan Sunda dari Asia. Orang-orang Negrito, nenek moyang bangsa aborigin Australia dan Melanesia, mungkin telah menghuni Gua Niah pada 50.000 tahun yang lalu, lalu digantikan oleh gelombang kedatangan Mongoloid Selatan. Saat gelombang migrasi menyapu daerah kepulauan, mereka bercampur dan melakukan persilangan dengan penduduk asli. Beberapa suku di Asia Tenggara seperti Negrito Malaysia memiliki budaya berburu dan mengumpulkan makanan yang masih primitif. Hal tersebut mengarahkan dugaan bahwa orang-orang Penan (Punan) juga berasal dari penduduk Negrito asli Kalimantan.
Beberapa kelompok suku bangsa di Asia Tenggara seperti bangsa Negrito dan bangsa Malay adalah pemburu primitif dan pengumpul. Suku Penan mungkin merupakan keturunan bangsa Negrito yang merupakan penduduk asli Borneo. Namun ada juga spekulasi yang mengatakan bahwa suku Penan mungkin sudah beralih dari cara hidup sebagai pemburu-pengumpul menjadi masyarakat petani (Bellwood 1985; Hoffman 1981). Suku Penan mendiami sebagian besar daerah berhutan di Serawak dan Kalimantan. Mereka tinggal di kemah-kemah sementara dengan beberapa keluarga, berburu dengan sumpit, memanen sagu liar , mengumpulkan buah-buahan liar seperti rambutan, durian dan manggis serta menukarkan hasil-hasil hutan dengan masyarakat petani di sekitarnya, seperti suku Kayan (Hose dan McDougall 1912; Kedit 1978). Apakah benar suku Penan berasal dari bangsa Negrito atau bangsa Mongolia yang bermigrasi lebih akhir seperti suku Dayak, gaya hidup mereka sangat mencerminkan gaya hidup manusia purba. 2
Di Kalimantan Selatan Pegunungan Meratus yang terbentuk dari karst batu gamping yaitu jenis butuan yang sangat baik untuk mengkonservasi tulang secara alamiah. Jika harus dicari jejak-jejak masa lalu manusia prasejarah di daerah Kalimantan Selatan, maka pegunungan kapur seperti ini adalah salah satu tempat yang paling memberikan harapan untuk padang perbuman jejak manusia prasejarah antara lain harus diarahkan pada celah-celah batu gamping di Pegunungan Meratus yang banyak menyimpan gua-gua alamiah, baik berupa ceruk (rock shelter) maupun gua (cave).
Penelitian intensif ekskavasi di Gua Babi di Bukit Batu Buli (Tabalong, Kalimantan Selatan) selama 1995 - 1999 berhasil menemukan komponen manusia yang bersifat fragmentaris dengan kuantitas yang cukup tinggi. Berdasarkan karakter morfologisnya diketahui adanya tidak kurang dari 11 individu yang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Penemuan rangka manusia di Gua Tengkorak pada 1999 memberikan indikasi yang sangat penting dan signifikan tentang ras manusia pendukung budaya kawasan Bukit Batu Buli, yaitu Austromelanesoid.[1]
Di Kalimantan Selatan, aktivitas masyarakat prasejarah pada masa berburu dan meramu tingkat sederhana ditunjukkan dengan adanya bukti beberapa tinggalan budaya paleolit yang ditemukan di Awangbangkal Aranio (Kabupatcn Banjar) berupa kapak perimbas oleh seorang geolog bernama Toer Soetardjo pada tahun 1958. Sebelumnya, H. Kupper pada tahun 1939 juga menemukan alat-alat batu di daerah tepi selatan sungai Riam Kanan di Awangbangkal. Alat-alat yang ditemukan digolongkan sebagai unsur budaya kapak perimbas dibuat dari batu kuarsa terdiri dari 5 buah kapak perimbas dan 2 (dua) buah alat serpih.3a
Bentuk pertama pertanian menetap mungkin berkaitan dengan introduksi sagu dari Indonesia bagian timur, sagu lebih banyak tumbuh di rawa-rawa pesisir yang lembab. Masyarakat purba mungkin mengambil pati dari sagu ini, lalu memelihara tumbuhan sagu, seperti yang dilakukan oleh suku Melanau di delta Rejang, Serawak. Masyarakat pesisir dan pinggiran sungai mulai menangkap ikan dan mengumpulkan moluska air tawar; dengan kemampuan untuk memanen sagu secara teratur, kemudian terbentuk pemukiman menetap (Ave dan King 1986).0b
Perubahan gaya hidup yang cukup penting terjadi bersamaan dengan penemuan biji besi dan cara-cara untuk mengekstraksi dan mengolahnya. Di Borneo ada beberapa tempat dengan endapan biji besi dan penduduk asli sudah menggunakan di delta-delta sungai di Kuching. Serawak pada tahun 1.000 (Ave dan King 1986). Keterampilan dalam membuat alat-alat dari besi mungkin sudah ada sebelumnya,bersamaan dengan dikenalkan dengan pengenalan artefak dari besi dan perunggu tembaga dan tekhnologi penggunaannya dari orang-orang Vietnam, Cina dan India antara abad ke 6 ke 10 (Bellwood 1985). Gua Agop Atas pada batu kapur Madai sudah dihuni dari tahun 200-500 dan di dalamnya terdapat pecahan-pecahan tembikar, perunggu dan besi. Guci-guci yang berkaitan dengan kurun waktu itu juga ditemukan di gua Madai dan Tapadong di Sungai Segama; guci-guci ini juga dipakai di Niah pada akhir masa Neolitik. Guci yang tertua berasal dari tahun 200 SM. Tradisi ini mungkin berasal dari India dan Asia Tenggara dari permulaan milenium pertama sebelum Masehi.0b
Penggunaan besi membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat setempat. Dengan alat-alat yang terbuat dari besi, hutan lebih mudah dibuka dan pembukaan hutan ini memungkinkan penanaman padi dan taro. Masyarakat Dayak berubah dari pengumpul sagu alam menjadi masyarakat yang aktif menanam padi. Peladangan dengan padi dilahan-lahan kering masih tetap dilakukan sampai sekarang. 0b
Bangsa-bangsa Austronesia yang kemudian menyebar di Kepulauan Indomalaya dari daratan Asia membawa bentuk ekonomi pertanian, yang semula hanya memfokuskan pada padi-padian dan memperkenal tembikar serta alat-alat baru serupa beliung dari batu. Dalam permulaan Kal Holosen, kira-kira 7.000 tahun yang lalu, padi liar dan padi-padian lain dibudidayakan di punggung daerah aliran sungai Yangtze, yaitu lahan-lahan basah musiman di sebelah selatan. Padi mungkin diperkenalkan di Indonesia oleh imigran bangsa Mongolia, tetapi mungkin tidak langsung berhasil di tanam di Borneo, karena tidak ada bukti-bukti baik di Niah atau Madai (Bellwood 1985)
Besi digunakan untuk membuat pisau dan alat-alat pertanian serta alat untuk membuat lubang pada sumpit dari kayu besi yang keras. Sumpit ini merupakan ciri khusus Borneo. Pemburu purba di Borneo sudah mengenal panah dan anak panah, tetapi sumpit yang terbuat dari kayu ini adalah senjata yang jauh lebih hebat, lebih akurat dan mampu membunuh mangsa dari jarak jauh. Ujung anak sumpit dimasukkan kedalam racun alami yang diambil dari getah tumbuhan.0b
Daerah Apo kayan kaya akan biji besi, demikian pula Mantalat (Barito Hulu), Mantikai (anak sungai Sambas) dan Tayah di Kalimantan Barat. Parang dan Mandau merupakan senjata untuk berkelahi yang dicari oleh orang Dayak )Ave dan King 1986).0b
Batu megalitik yang ditemukan di sumber air s.Baram disekitar g. Murud dan tempat-tempat lain di pegunungan Kelabit dan di Kalimantan Tengah mungkin berasal dari kurun waktu ini (Harrisson 1962;Chin 1980). Masyarakat Kelabit terus membuat megalit sampai tahun 1950, ketika mereka berubah menjadi penganut agama Kristen. Megalit ini berkaitan dengan upacara-upacara penguburan tokoh-tokoh masyarakat, seperti kepala suku. Daerah dataran tinggi Bahau di Kalimantan Timur barangkali merupakan pusat arkeologi yang paling banyak memiliki benda-benda purba di Kalimantan. Disini terdapat kira-kira 50 pusat pemukiman dan kuburan yang disebut ”ngorek” yang memiliki monumen batu.0b
Bukti-bukti arkeologi dari lokasi kuburan menunjukkan bahwa Borneo memiliki sejarah perdagangan yang panjang dengan dunia luar. Para pedagang India mulai mengunjungi Indonesia pada abad pertama. Kerajaan hindu Kutai didirikan dalam kurun waktu ini dan tempat-tempat penyembahan Brahma di Muara Kaman dan patung-patung Hindu di dalam G. Komeng di Kalimantan Timur kira-kira berasal dari abad ke 5 (Boyce, 1986).0b
Hubungan diplomasi antara bangsa Cina dan masyarakat di daerah pesisir Borneo tercatat dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. 0b
Relief yang menggambarkan seorang pemburu dengan sumpit di galeri candi Borubodur di Jawa Tengag yang dibuat pada abad ke sembilan menyatakan bahwa hubungan antara orang Dayak dan orang Jawa sudah terjadi dalam kurun waktu ini (Ave dan King 1986). Selama abad ke-14 dan abad ke-15, di bagian selatan, barat dan timur Borneo merupakan daerah-daerah di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Bahkan sebelum ini Borneo sudah memiliki hubungan dnegan negara-negara Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan oleh adanya candi hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan.0b
Pemukiman masyarakat dayak terpusat di dalam desa-desa inti, mereka tinggal bersama di dalam rumah panjang untuk alasan sosial dan keamanan. Sebagian besar masyarakat Dayak memiliki akses atau sudah pernah terlibat dalam pertukatan tembikar dan besi dengan kulit kayu sebgai bahan pakaian mereka. Praktek-praktek lain yang dilakukan oleh suku Dayak adalah pembuatan tato, yang juga ditemukan diseluruh kalangan bangsa Astronesia. 0b
A.2.2. Masa Kerajaan
Pada umumnya sejarah Indonesia dalam mengungkapkan dan menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu kepada historiografi tradisional seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu: (1) etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme[2]. Diakui historiografi tradisional penulisannya tidak berlandaskan kepada metode sejarah, tetapi sumber-sumber historiografi tradisional sebagai sumber dapat dipergunakan selama sumber terbaik belum ditemukan.
Keadaan geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan jumlahnya mencapai ribuan pulau besar kecil menyebabkan daerah pesisir telah memegang peranan yang cukup penting di bidang perdagangan maupun kekuasaan politik dan ekonomi. Melihat kenyataan bahwa sejak permulaan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia baik yang terletak di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, maka daerah pesisirlah yang menjadi pusat kerajaan, hal ini tidak mengenyampingkan peranan kerajaan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman. Dengan keadaan geografis semacam ini akan sulit kiranya membayangkan adanya suatu kekuasaan tunggal untuk menguasai seluruh Indonesia pada saat itu. Dalam perkembangan masyarakat Indonesia-Hindu yang berpindah secara perlahan dan lambat ke masyarakat Indonesia Islam dan lenyapnya kekuasan raja Indonesia-Hindu yang digantikan oleh munculnya kekuasaan kerajaan Indonesia Islam telah membawa akibat pula dalam transformasi politik dan sosial untuk menuju ke sistem masyarakat baru.
Perkembangan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan di daerah Kalimantan Selatan sampai dengan permulaan abad 17 masih sangat kabur karena kurangnya data sejarah. Adanya Hikayat Raja-Raja Banjar dan Hikayat Kotawaringin tidak cukup memberikan gambaran yang pasti mengenai keberadaan Kerajaan-kerajaan tersebut[3].
Sekilas Kerajaan di Kalimantan
Pada abad 17 salah satu tokoh yaitu Pangeran Samudera (cucu Maharaja Sukarama) dengan dibantu para Patih bangkit menentang kekuasaan pedalaman Nagara Daha, kemudiian menjadikan Banjarmasin di pinggir Sungai Kwin sebagai pusat pemerintahannya (daerah ini disebut Kampung Kraton).
Pemberontakan Pangeran Samudera tersebut merupakan pembuka jaman baru dalam sejarah Kalimantan Selatan sekaligus menjadi titik balik dimulainya periode Islam dan berakhirnya jaman Hindu. Sebab dialah yang menjadi cikal bakal Islam Banjar dan pendiri Kerajaan Banjar.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang Bangsawan Banjar yaitu Pangeran Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonialisme Belanda meskipun akhirnya pada Tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil ditumpas oleh Belanda.
Kelancaran hubungan dengan Pulau Jawa turut mempengaruhi perkembangan di Kalimantan Selatan. Bertumbuhnya pergerakan-pergerakan kebangsaan di Pulau Jawa dengan cepat menyebar kedaerah Kalimantan Selatan, hal ini tercermin dengan dibentuknya wadah-wadah perjuangan pada Tahun 1912 di Banjarmasin seperti berdirinya Cabang-cabang Sarikat Islam di seluruh Kalimantan Selatan. Seiring dengan itu para pemuda Kalimantan terdorong membentuk Organisasi Kepemudaan yaitu Pemuda Marabahan, Barabai dan lain-lain, yang kemudian pada Tahun 1929 terbentuk Persatuan Pemuda Borneo.
Organisasi-organisasi perjuangan tersebut merupakan wadah untuk menyebarluaskan kesadaran kebangsaan melawan penjajahan Kolonial Belanda.
Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang paling heroik dalam sejarah Kalimantan Selatan, dimana pada tanggal 16 Oktober 1945 dibentuk Badan Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang dipimpin oleh Hadhariyah M. dan A. Ruslan, namun dalam perjalanan selanjutnya gerakan perjuangan ini mengalami hambatan, terutama dengan disepakatinya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 Nopember 1945. Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini
Dibawah ini beberapa catatan singkat tentang kerajaan di Kalimantan :
- Kutai Karta Negara di Kaltim :
[4]Kalimantan Timur mempunyai sejarah yang berbeda dengan propinsi – propinsi lainnya di Negara Republik Indonesia. Sejarah tersebut antara lain adanya kerajaan yang tertua pada abad ke - VI yaitu kerajaan Mulawarman Nala Dewa. Turunan Raja Mulawarman dapat berlanjut sampai dengan Raja ke – 25 yang bernama Maharaja Derma Setia pada abad ke - XII dengan nama Kerajaan Kutai Ing Martapura.
Menjelang kepudaran kerajaan tersebut, telah berdiri beberapa kerajaan di Kalimantan Timur, yang dimulai dengan kerajaan Kutai Kartanegara, kerajaan Berau, kerajaan Bulungan dan kerajaan Pasir. Semua kerajaan tersebut memerintah di wilayahnya masing – masing tanpa ada peperangan antara mereka, hingga masuk Belanda dan mulai menjajah Kalimantan Timur ini pada tahun 1844, demikian pula ketika Jepang menjajah wilayah ini pada tahun 1941 – 1945. Pada masa perjuangan fisik, tahun 1945 – 1949 rakyat juga turut bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan yang puncaknya pada peristiwa sanga- sanga sekitar January 1947 )
Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Setelah mengalami masa-masa perubahan system pemerintahan dari bentuk kerajaan menjadi daerah istimewa tahun 1956, dan akhirnya menjadi Kabupaten tahun 1960, yaitu Kabupaten Kutai, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Pasir ditambah dengan KotaPraja Samarinda dan Balikpapan. Semua daerah kabupaten / KotaPraja tersebut dibawah naungan Propinsi Kalimantan Timur tepat pada bulan January 1957.
- Kerajaan Nan Sarunai – Dipa – Daha – Banjar Di Kalsel :
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu teriadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812)[R1]
Melacak latar belakang keberadaan Negara Nan Sarunai, Dipa dan Daha masih sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk nyanyian Orang Maanyan dan Hikayat Banjar[5]. Menurut Ras, Hikayat Banjar terbagi dalam dua versi[6]. Versi pertama merupakan versi yang telah dirubah dan disusun pada masa Kerajaan Banjarmasin yang secara definitif telah memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua dianggap sebagai versi yang berasal dari Negara Dipa secara definitif beragama Hindu.
Dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar, di area Kalimantan Selatan ini dulunya terdapat sebuah negara bernama Nan Sarunai lalu sirna[7], kemudian muncul Negara Dipa, lalu digantikan oleh kerajaan Daha. Disadari informasi dari Hikayat Banjar tentang Negara Dipa dan Daha ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya.
Tidak jelas kapan kerajaan ini berdiri, namun ada sebuah catatan yaitu Pada Abad XIV, Negara Nan Sarunai diserang oleh Majapahit dan mengalami kekalahan. Dampak dari serangan ini, membuat Orang Maanyan eksodus meninggalkan Sarunai. Peristiwa tragis yang dialami oleh Orang Maanyan kemudian dituangkan kedalam nyanyian atau wadian yang kemudian ditranformasikan kepada generasi berikutnya.
Dalam eksodus itu, Orang Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku kecil yang masing-masing bernama: (1) Maanyan Siung bermukim di Telang, Paju Epat dan Buntok, (2) Maanyan Patai bermukim di aliran Sungai Patai, (3) Maanyan Paku berdomisili di wilayah Tampa, (4) Maanyan Paju X bermukim di sepanjang aliran Sungai Karau dan Barito, (5) Maanyan Paju Epat bermukim di wilayah aliran sungai yang sama dengan pemukiman Paju X, (6) Maanyan Dayu menghuni aliran Sungai Dayu, dan (7) Maanyan, mereka menghuni di wilayah Bintang Karang, Tumpang Murung, Dusun Timur, Tamiang Layang, Belawa, Tupangan Daka dan Barito[8]
Negara Dipa dan Daha Sebagai Negara Awal
Menurut Hikayat Banjar Kerajaan Dipa diawali dari cerita tentang saudagar bernama Mpu Jatmika yang berasal dari Keling[9], bersama dengan dua orang anaknya bernama Lambung Mangkurat dan Mpu Mandastana telah tiba di Hujung Tanah. Tanah di Hujung Tanah ketika dicium oleh Mpu Jatmika berbau harum, sehingga ia yakin bahwa daerah itu cocok untuk membangun negeri yang bernama Dipa dengan ibukotanya bernama Kuripan dan mengangkat dirinya untuk menjadi raja sementara di kerajaan itu di Hujung Tanah.
Lebih lanjut Hikayat Banjar meriwayatkan, bahwa Negara Dipa digantikan oleh negara baru yang bernama Negara Daha. Beralihnya Negara Dipa ke Negara Daha merupakan suatu peristiwa kekeluargaan antara seorang keturunan Pangeran Suryanata bernama Sekarsungsang yang secara tidak sadar telah mengawini ibunya bernama Putri Kalungsu. Perkawinan antara Sekarsungsang dan Putri Kalungsu oleh Hikayat Banjar dijadikan titik pangkal munculnya Negara Daha dengan rajanya yang bernama Sekarsungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Pusat Negara terletak di Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pelabuhannya. Dengan Daerah-daerah kekuasaan itu meliputi Batang Tabalung, Batang Baritu, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Balangan, Batang Petak beserta komunitas-komunitas yang mendiami bukit-bukit di sekitarnya, Biaju Kecil, Biaju Besar, Sabangau, Mandawai, Katingan, Sampit, dan Pambuang.
Runtuhnya Negara Daha
Dimulai dari Raden Sukarama memerintah Negara Daha yang mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya bernama Raden Samudera, tetapi wasiat itu ditentang oleh ketiga anaknya, yaitu Mangkubumi, Tumenggung, dan Bagalung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merampas kekuasaan.
Raden Samudera memilih untuk menjadi pelarian politik dan bersembunyi di hilir Sungai Barito yaitu Kampung Banjarmasih, dan ia dilindungi oleh kelompok-kelompok (melayu) yang dipimpin Pati Masih[10]
Perjalanan selanjutnya Raden Samudera diangkat menjadi kepala negara oleh kelompok Melayu di daerah itu dan merupakan embrio bagi kelahiran Orang Banjar. Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan ke Demak guna persiapan untuk mengambil kembali tahtanya atas Negara Daha. Permintaan bantuan dari Raden Samudera oleh Sultan Demak diterima, tetapi dengan suatu syarat, bahwa Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Raden Samudera menyanggupi persyaratan itu, tidak lama kemudian, Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Gelar atau nama Khatib Dayan lebih mencerminkan nama seorang penyampai khotbah atau penyiar agama ketimbang nama atau gelar seorang panglima perang[11].
Peperangan dimenangkan oleh Raden Samudera yang kemudian memindahkan rakyat Negara Daha ke Banjarmasih. Perpindahan rakyat Negara Daha ke Banjarmasih merupakan manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut jumlah tenaga manusia, dan pengukuhan Raden Samudera sebagai kepala negara yang mempunyai kharisma. Pembauran penduduk di Banjarmasih, yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak, dan Orang Jawa (kontingen dari Demak), pada dasarnya menggambarkan bersatunya masyarakat sebagai kesaktian utama.
Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Tumenggungg pada abad XVI merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya berbasiskan agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim, dan Islam dijadikan sebagai agama negara. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kemudian menjadi Kerajaan Banjar
Dalam Hikayat Banjar ditemui istilah-istilah seperti: Negeri Banjar, Orang Banjar, Raja Banjar dan Tanah Banjar. Istilah-itilah itu mengacu kepada pengertian wilayah Kerajaan ini, yaitu wilayah kerajaan dimana penduduknya disebut orang Banjar dan rajanya disebut Raja Banjar.
Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar. Pengaruh Kesultanan Banjar melebar meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Propinsi Kalimantan Barat.
Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar. Pada akhir abad ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang herhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.
- Kerajaan Sambas di Kalbar :
Sejarah tentang asal usul kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada jaman dahulu, di Negeri Brunei Darussalam, bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang kesembilan yaitu Sultan Abdu lDjalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena prilaku dan tata kramanya sesuai dengan keadaan sekitarnya, beliau disegani bahkan Raja Tanjungpura rela mengawinkan dengan anaknya bernama ratu Surya. Dari perkawinan ini terlahirlah Raden Sulaiman. Saat itu di Sambas memerintah seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama kecamatan Telok keramat skt 36 Km dari Kota Sambas. Baginda Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri. Yang sulung dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama raden Prabu Kencana dan ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah, tibalah raja Tengah beserta rombongannya di Sambas. Kemudian banyak rakyat menjadi pengikutnya dan memeluk agama Islam. Tak berapa lama, Ratu Sepudak wafat. Menantunya Raden Prabu Kencana naik tahtadan memerintah dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada peristiwa bersamaan putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah. Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama Raden Boma. Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda, diangkatlah pembantu-pembantu Administrasi kerajaan. Adik kandungnya bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga mewakili raja. Raden Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam dan luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat lebih menghargai Raden Sulaiman daripada Pangeran Mangkurat, hingga menimbulkan rasa iri dihati Pangeran Mangkurat. suatu ketika tangan kanan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti dibunuh pengikut Pangeran Mangkurat. setelah dilaporkan kepada raja, ternyata tak ada tindakan positif, suasana makin keruh. Raden Sulaiaman mengambil kebijaksanaan meninggalkan pusat kerajaan, menuju daerah baru dan mendirikan sebuah kota dengan nama Kota bangun. Jumlah pengikutnyapun makin banyak. Hal ini telah mengajak Petinggi Nagur, Bantilan dan Segerunding mengusulkan untuk berunding dengan Ratu Anom Kesuma Yuda. Hasil mufakat keduanya meninggalkan kota lama. Raden Sulaiman menuju kota Bandir dan Ratu Anom Kesuma Yuda berangkat menuju sungai Selakau. Kemudian agak ke hulu dan mendirikan kota dengan ibukota pemerintahannya diberi nama Kota Balai Pinang.
Meninggalnya Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Mangkurat, putera Ratu Anom yang bernama Raden Bekut diangkat menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota Balai. Beliau beristrikan Mas Ayu Krontiko, puteri Pangeran Mangkurat. Raden Mas Dungun putera raden Bekut adalah Panembahan terakhir Kota Balai. Kerajaan ini berakhir karena utusan Raden Sulaiman menjemput mereka kembali ke Sambas. Kurang lebih 3 tahun kemudian berdiam di Kota Bandir, atas hasil mufakat, berpindahlah mereka dan mendirikan pusat pemerintahannya di Lubuk Madung, pada persimpangan tiga sungai : sungai Sambas Kecil, Sungai Subah dan Sungai Teberau. Kota ini juga disebut orang " Muara Ulakan". Kemudian keraton kerajaan dibangun dan hingga kini masih berdiri megah.
Di tempat inilah raden sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di kerajaan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I. Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin digelar pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma. Raden Bima (anak Raden Sulaiman) ke Sukadana dan kawin dengan puteri raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera diberinama Raden Meliau, nama yang terambil dari nama sungai di Sukadana. Setahun kemudian merka pamit ke hadapan Sultan Zaiuddin untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk menemui kaum keluarga. Sekembalinya dari Brunai, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Bersamaan dengan itu, Raden Akhmad putera Raden Abdu Wahab dilantik menjadi Pangeran Bendahara Sri Maharaja. Wafatnya Sultan Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan Puteranya Raden Meliau dengan gelar Sultan Umar Akamuddin I.
Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).
Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma)baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilikan kepada Sultan Usman Kamaluddin.
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun 1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko' (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk study.
Tahun 1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Cina dan kaca kristal dari negeri Belanda
Dengan pertambahan pedagangan Islam yang menetap di daerah pesisir, suku Dayak semakin masuk kepedalaman damal beberapa gelombang migrasi[t3] . Suatu kelompok imigran yang paling akhir yaitu suku Iban, yang terkenal dengan penyebaran yang sangat luas di daerah aliran S. Kapuas di Kalimantan barat sampai ke sebagian besar negara bagian Serawak dalam kurun 400 tahun terakhir. Menjelang tahun 1850 mereka sudah mendiami sebagian besar daerah Rajang (St. John 1974) dan selama abad ke-19 mereka terus berpindah kearah utara yaitu ke Brunei. Mereka membuka hutan tropis yang sangat luas di sepanjang lembah-lembah sungai untuk melakukan perladangan berpindah. Penyebaran ini barangkali tidak seluruhnya didorong oleh tekanan kepadatan penduduk dan kebutuhan untuk menanam tanaman pangan yang lebih banyak, tetapi juga oleh kebutuhan budaya dan ritus mereka untuk mengumpulkan kepala orang.0b
Sejarah Tionghoa Masuk ke Kalimantan Barat
Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.

Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat. Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan). Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbulah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.

Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Abad 18
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang . Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
A.2.3. Masa Penjajahan
Sistem Pemerintahan Hindia Belanda mulai diberlakukan di Kalimantan Selatan ketika F.N. Nieuwenhuyzen mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Dalam proklamasi tersebut antara lain dinyatakan Kerajaan Banjar dihapuskan dan tidak lagi diperintah oleh raja (sultan) dan seluruh pemerintahan di lingkungan bekas Kerajaan Banjar langsung di bawah kekuasaan Gubernemen Hindia Belanda di bagian Selatan dan Timur pulau Borneo[12].
Kemudian dibentukan Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo, maka pada tahun 1865 Belanda, afdeling di wilayah-wilayah bekas kesultanan Banjar yang telah dikuasai,sebagai berikut :
1. Afdeling Banjarmasin termasuk Onderafdeling Kween (Kuin)
2. Afdeling Martapura yang terbagi atas lima district. (Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan, Banua Ampat, Margasari
3. Afdeling Tanah Laut, terbagi atas empat district (Pleihari, Tabanio, Maluka dan Satui
4. Afdeling Amuntai yang terbagi atas tujuh district (Amuntai, Nagara, Balangan, Alai, Amandit, Tabalong, Kalua[13]
Keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda selalu mengalami perubahan, begitupula dengan jumlah afdeling dan distriknya. Berdasarkan Staatsblad tahun 1898 nomor 178, di daerah Borneo bagian Selatan dibagi ke dalam beberapa wilayah administratif, yakni Afdeling Banjarmasin dan daerah sekitarnya (ommelanden) Afdeling Martapura; Afdeling Kandangan; Afdeling Amuntai; Afdeling Tanah-tanah Dusun/Teweh (Doesoenlanden); Afdeling Tanah-tanah Dayak/Kapuas (Dajaklanden); Afdeling Sampit; Afdeling Pasir dan Tanah Bumbu[14].
Tercatat dalam buku sejarah propinsi Kalimantan Selatan[15] bahwa Sultan Tahmidullah II pada tahun 1787 menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan kepada VOC (Veregnide Oost Indische Company) yang ditandai dengan Akte penyerahan (Acte van afstand) tertanggal Kayutangi 17-8-1787. Akte penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan Tahmidullah II di depan Residen Walbeck. Hal ini terjadi setelah Sultan Tahmidullah berhasil menguasai tahta kerajaan dengan bantuan VOC dan selanjutnya Kerajaan Banjar menjadi taklukan VOC.
Berdasarkan akte peenyerahan tersebut, Sultan Tahmidullah juga menyerahkan status wilayah kekuasaannya termasuk daerah-daerah dayak ((dajaksche provintien) ke bawah kekuasaan VOC. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan bubar, selanjutnya penguasaan daerah bekas taklukan VOC diambil alih oleh kerajaan Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Dengan demikian daerah dayak juga berada di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pada tanggal 1 Januari 1817, ditanda tangani kontrak persetujuan Karang Intan I oleh sultan Sulaiman di depan Residen Arnout van boekholzt dari pemerintah hindia Belanda. Enam tahun kemudian, yakni tanggal 13 september 1923, dilakukan alterasi dan ampliasi (perubahan, peralihan, penambahan, perluasan dan penyepurnaan) yang dikenal dengan nama Kontrak Persetujuan Karang Intan II. Kontrak tersebut juga ditanda tangani oleh Sultan Sulaiman di depan Residen Mr.Tobias.
Berdasarkan kontrak persetujuan ke II ini, Sultan melepaskan secara penuh hak-haknya atas seluruh kawasan di Kalimantan yang dianggap sebagai wilayah kerajaan Banjar itu, termasuk yang disebut Belanda sebagai Daerah Dayak (Dajaksche provintien). Pihak Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pemetaan di kawasan dajaksche provintien. Sungai kahayan dalam pemerintaha Belanda di sebut Groote dajak Rivier sedang sungai kapuas di sebut Kleinee dajak rivier
Sebelum adanya akte penyerahan Kayutangi tersebut, wilayah Dajaksche provintien yang kini dikenal sebagai wilayah Propinsi Kalimantan Tengah tidak langsung dikuasai VOC. Ketika Perang Banjar (1859-1865) usai dengan Belanda sebagai pemenangnya, suku dayak masih melanjutkan pertempurannya melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Barito (1865-1905). Tetapi akibat akte penyerahan serta Kontrak Perjanjian Karang Intan I dan II, tertancaplah kekuasaan penjajah Belanda di Kaimantan.
Namun penguasaan yang sangat luas itu tidak berlangsung mulus. Belanda mengalami kekurangan tenaga dalam mengelola pemerintahan meskipun telah dilakukan pembagian wilayah. Belanda kemudian membatasi kekuasaan langsungnya pada tingkat onderafdeling saja, sedang untuk pemerintahan distrik dan onderdistrik Belanda menggunakan para petinggi Suku Dayak. Beberapa Temanggong dan Damang diangkat menududuki jabatan Kepala distrik dan kepala onderdistrik.
Sejak tahun 1823, kawasan yang disebut wilayah dayak (Dajaksche provintien) dimasukan dalam wilayah yang disebut kapoeas-Moeroeng Gabied yang merupakan bagian dari afdeling Marabahan yang berkedudukan di Marabahan membawahi beberapa Onderafdeling, salah satunya adalah Onderafdeling Koeala Kapoeas yang dipimpin seorang Controleur. Salah satu distrik dilingkup Onderafdeling koeala Kapoeas adalah distrik Pangkoh yang berkedudukan di Pangkoh. Wilayah distrik Pangkoh meliputi seluruh aliran sungai Kahayan dan pada tahun 1872 dipimpin oleh Temanggong Rambang sebagai kepala distrik.
Memasuki abad ke-20 (tahun 1913), kawasan kapoeas-Moeroeng gebied dibentuk menjadi 2 afdeling yaitu (1) afdeling dajaklanden (tanah dayak) berkedudukan di Banjarmasin,dan (2)Afdeling dusunlanden (tanah dusun)berkedudukan di Muara teweh. Distrik pangkoh yang sebelumnya membawahi seluruh aliran Sungai kahayan dihapuskan dan dibentuk 2 onderafdeling yaitu (1)onderafdeling boven dajak berkedudukan di Kuala Kurun,dan (2) onderafdeling Beneden dajak berkedudukan di Kuala Kapuas. Desa/kampung Pahandut terletak dalam onderafdeling Beneden dajak. Kedua onderafdeling termasuk dalam lingkup afdeling dajaklanden.
Pada tahun 1946, afdeling kapuas Barito beserta seluruh onderafdeling-nya dihapus. Bekas wilayah onderafdeling Beneden dajak di pecah menjadi 2 distrik,yaitu (1) distrik Kapuas dan (2)distrik Kahayan. Distrik kahayan itu sendiri terbagi menjadi 2 onderdistrik,yaitu (1) Onderdistrik kahayan Hilir dengan Ibukota Pulang Pisau dan (2) Onderdistrik Kahayan Tengah dengan ibukota Pahandut.
Kaltim ; Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Kalbar : SEJARAH KAPUAS HULU PADA ZAMAN BELANDA

Sejumlah pegunungan yang membentang di Kabupaten Kapuas Hulu, serupa Schwaner dan Muller, ternyata diabadikan dari nama sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing pertengahan abad XIX di daerah itu. Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-Mahakam, suku Busang termasuk sub suku Uma Suling dan lain-lain serta suku Long Gelat sebuah sub suku dari Modang menempati daratan-daratan yang subur, sedangkan suku Aoheng mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua desa kecil Aoheng dan Semukng. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho atau Punan Keriu, serta suku semi nomad Hovongan atau Punan Bungan.

Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah Mayor Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I yang sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendati Sultan Kutai enggan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Berita kematian Muller menyulut kontroversi yang berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-waktu setiap kali informasi baru muncul. Sampai tahun 1950-an pengunjung-pengunjung daerah itu pun masih juga menanyakan nasib Muller.
Bahkan sampai hari ini hal-hal sekitar kematian Muller belum juga terpecahkan. Diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas. Sangat mungkin bahwa pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab. Bagaimanapun, ketika ekspedisi Niewenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller.

Menjelang pertengahan abad XIX, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan perdagangan di muara sungai besar. Penguasaan niaga saja ternyata tidaklah cukup, dan kekuatan-kekuatan kolonial membutuhkan penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang berdasarkan struktur-struktur administratif dan militer. Dalam rangka inilah ekspedisi-ekspedisi besar dilakukan pada perempat akhir abad XIX. Ekspedisi ke Kapuas Hulu dimulai pada 1893 oleh Nieuwenhuis. Eksplorasi lebih lanjut lalu menyusul pada tahun-tahun pertama abad yang baru oleh Enthoven di Kapuas Hulu Hingga di tahun 1930-an, seluruh pedalaman Borneo telah jatuh di bawah kekuasaan sebenarnya dari kekuatan-kekuatan kolonial, kecuali Kesultanan Brunei yang sudah sangat menciut.

Informasi tentang Borneo dari sebelum zaman penjajahan tidak banyak diketahui. Abad XIX terjadi migrasi suku Dayak Iban secara besar-besaran, memasuki lembah Rejang dari selatan, mungkin dari daerah aliran Sungai Kapuas. Sebelumnya di daerah aliran Sungai Rejang tidak terdapat suku Iban. Dengan bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, suku Iban menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai itu pada tahun 1863 dan terus maju ke utara dan ke timur. Pesta perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya. Menjelang awal tahun 1900-an suku Dayak pengayau telah memasuki daerah hulu Sungai Rajang, Kayan, Mahakam dan Kapuas yang terpencil.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas. Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Abad 18
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat. Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Waterafdeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
A.2.4. Masa Kemerdekaan
But the country was not aiming at subjecting to it's former ruler again. Strong resistance, mainly on Jawa, and several diplomatical manouvres lead to the call for independence in 1945. The Netherlands didn't recognise the government, and only have Indonesia sovereignty four years later. Kalimantan did not play an important role during the battle for independence, but it had important military role in the Indonesian confrontation with Malaysia. Because both camps realized Sukarno was not looking for more land, but only internal political power, no big fights were fought. Dayak at both sides of the borders used the opportunity to headhunt several people, the ultimate way to show courage. (Tetapi negeri adalah tidak mengarahkan tunduk kepada adalah penguasa/penggaris terdahulu lagi . Perlawanan yang kuat terutama di Jawa dan beberapa manuver diplomatik mendorong terjadinya kemerdekaan indonesia pada tahun 1945. Netherlands tidak mengenali pemerintah, dan hanya mempunyai Kedaulatan Indonesia empat tahun kemudian. Kalimantan tidak memainkan peranan penting dalam pertempuran untuk mencapai kemerdekaan, namun ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan malaysia justru dimainkan peranannya. , Sebab kedua-duanya kemah [merealisir/sadari] Sukarno adalah tidak mencari lebih [] daratan, tetapi hanya kuasa politis internal, tidak (ada) perkelahian besar dilancarkan. Dayak pada kedua sisi (menyangkut) perbatasan menggunakan kesempatan ke headhunt beberapa orang, jalan/cara yang terakhir untuk menunjukkan keberanian)
A.2.5. Sejarah Pembentukan Wilayah Administrasi
Pada masa kemerdekaan yakni sesudah pemulihan kedaulatan yang ditandai dengan konprensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 14 Agustus 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas 10 propinsi (propinsi administratif). Satu diantaranya adalah Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 keresidenan yakni Keresidenan kalimantan Barat, Keresidenan kalimantan Selatan dan Keresidenan kalimantan Timur.
1. Residentie Zuid-Borneo (Keresidenan kalimantan Selatan)
2. Residentie Oost-Borneo (keresidenan kalimantan Timur)
3. Residentie West-Borneo (keresidenan Kalimantan Barat)^
Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3 Kabupaten yaitu ; (1) Kabupaten Kapuas,(2) Kabupaten Barito dan (3) Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama daerah Otonom Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, di gabungkan kedalam Keresidenan Kalimantan Selatan.
Setelah satu tahun terbentuknya Propinsi Kalimantan dan setelah meninjau berbagai segi, rupanya pemerintah pusat berpendapat bahwa kini tibalah saatnya untuk meninjau kembali pembagian Kalimantan lebih lanjut dalam beberapa daerah otonom propinsi. Dan kabinet dalam rapatnya ke 33 tanggal 4 Oktober 1956 pada prinsipnya telah memutuskan untuk memekarkan Propinsi Kalimantan yang sekarang ini menjadi tiga propinsi otonom, sedangkan untuk memudahkan dibentuknya Propinsi Kalimantan Tengah kelak di kemudian hari, maka secara administratif Kalimantan Selatan segera sesudah berlakunya undang-undang tersebut akan dibagi menjadi dua keresidenan.
Propinsi Kalimantan Tengah yang akan meliputi Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kotawaringin pembentukannya ditangguhkan selambat-lambatnya tiga tahun. Penangguhan ini mengingat akan keadaan uang negara, besarnya penghasilan dapat dipungut oleh propinsi sendiri di daerahnya masing-masing serta keadaan peralatan pemerintah pada umumnya dan khususnya kekurangan akan tenaga-tenaga teknis yang kapabel[17].
Sesudah melalui sidang-sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah maka akhirnya disahkanlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1956) yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Tetapi di dalam Pasal 93 disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada hari yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 52/10/50 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan bahwa Undang-undang tersebut mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Pada tanggal 9 Januari 1957 dengan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah dilakukan serah terima kekuasaan pemerintahan antara Gubernur Kalimantan (Milono) dengan Acting Gubernur Kalimantan Selatan Syarkawi, Acting Gubernur Kalimantan Barat A.R Afloes, Acting Gubernur Kalimantan Timur Bambang Pranoto di Banjarmasin. Pada kesempatan ini telah diresmikan pula oleh Menteri Dalam Negeri Kantor Gubernur Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin[18].
Pasal 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tersebut di atas menyebutkan : “Daerah Otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara menjadi Daerah Tingkat I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan batas-batas sebagai berikut :
1. Propinsi Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak, yang wilayahnya meliputi Daerah-daerah Otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Kota Besar Pontianak, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1 Nomor 9 sampai dengan 15 Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);
2. Propinsi Kalimantan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin, yang wilayahnya meliputi Daerah-daerah Otonom Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito, Kapuas, Kotawaringin, Kotabaru dan Kota Besar Banjarmasin, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1 Nomor 1 sampai dengan 8 (delapan) Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);
3. Propinsi Kalimantan Timur yang berkedudukan di Samarinda yang wilayahnya meliputi Daerah-daerah Otonom Istimewa Kutai, Bulongan dan Berau, tersebut dalam Pasal 1 ad. II Nomor 1 sampai 3 Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953).[19]
Di dalam Pasal 3 Undang-undang tersebut ditetapkan jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD) masing-masing Propinsi sekurang-kurangnya lima orang, dengan ketentuan jumlah tersebut diluar Gubernur Kepala Daerah Propinsi yang menjabat Ketua Dewan Pemerinah Daerah Propinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Propinsi ini masing-masing terdiri dari tiga puluh orang. Kemudian dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantantra Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, maka terjadi pengurangan wilayah pemerintahan atas Propinsi Kalimantan Selatan. Propinsi Kalimantan Selatan yang semula terdiri dari delapan daerah kabupaten berkurang menjadi empat kabupaten dan satu kota besar, karena Kapuas, Barito dan Kotawaringin dimasukkan ke dalam wilayah Propinsi Kalimantan Tengah[20].
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1956, tentang Pembentukan DPRD dan DPD Peralihan, ditentukan antara lain bahwa DPRD Peralihan akan bubar, sesudah DPRD atas dasar pemilihan umum dilantik, tetapi selambat-lambatnya satu tahun. Pada tanggal 24 September 1956 dinyatakan mulai berlaku tentang undang-undang pemilihan anggota DPRD (dengan dasar pemilihan umum) berdasarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1956).[21]
Tetapi meskipun satu tahun berlaku ternyata DPRD atas dasar Undang-undang tersebut belum dapat dibentuk , maka oleh Pemerintah Pusat dengan Undang-undang Darurat Nomor 9 Tahun 1957 yang ditetapkan kemudian dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1958, ditentukanlah perpanjangan masa kerja DPRD Peralihan dengan ketentuan baru dapat bubar setelah DPRD atas dasar pemilihan umum dilantik sampai dengan 17 Juli 1957. Sementara DPRD Peralihan terus berjalan, keluarlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Peraturan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menjadi dasar pemerintahan daerah ke DPRD semula, karena undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 18 Januari 1957, sedangkan DPRD Peralihan di wilayah Kalimantan Selatan belum bubar maka dengan sendirinya DPRD Peralihan menjalankan wewenang berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Dan dengan dasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 inilah nama-nama daerah berubah yakni :
1. Propinsi menjadi Daerah Swatantra Tingkat I
2. Kabupaten menjadi Daerah Swatantra Tingkat II
3. Kota Besar menjadi Kotapraja[22].
Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1956 serta Petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri juga Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan tanggal 25 Februari 1957 Nomor 13 Tahun 1957 (yang diubah beberapa kali), terakhir dengan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan tanggal 20 Desember 1957 Nomor 23 Tahun 1957 diadakan serentak Pemilihan Umum DPRD Swatantra Tingkat I dan Tingkat II/ Kotapraja di seluruh Wilayah Kalimantan Selatan (tidak termasuk lagi Kalimantan Tengah), masing-masing daerah telah tersusun dan dilantik pada pertengahan 1958. Kemudian menyusullah penyempurnaan Pemerintahan Daerah yang karena belum dapat dipilih oleh rakyat, dipilih oleh masing-masing DPRD. Adapun dasar dari pemilihan Kepala Daerah tersebut di atas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1957 tentang Penerapan Umum Mengenai Syarat-syarat Kecakapan Pengetahuan dan Cara serta Pengesahan Kepala Daerah.[23]
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Tahun 1953 menjadi Undang-undang maka Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan akhirnya mempunyai wilayah sebanyak tujuh Daerah Tingkat II / Kotapraja yang terdiri dari :
1. Daerah Kotapraja Banjarmasin dengan ibukotanya Banjarmasin
2. Daerah Tingkat II Banjar dengan ibukotanya Martapura
3. Daerah Tingkat II Barito Kuala dengan ibukotanya Marabahan
4. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Selatan ibukotanya Kandangan
5. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Tengah ibukotanya Barabai
6. Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara ibukotanya Amuntai
7. Daerah Tingkat II Kotabaru dengan ibukotanya Kotabaru.[24]
Berdasarkan Undang Undang Darurat No.2 tahun 1953 [R6] (Lembaran Negara Tahun 1953 No.8) terbentuk Daerah Kalimantan dengan ibukotanya di Banjarmasin. Perkembangan ketatanegaraan, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan UU Nomor 25 tahun 1956 yang isinya membagi Kalimantan menjadi 3 (tiga) propinsi dan diberlakukan terhitung tanggal 1 januari 1957, maka Kalimantan menjadi Kalimantan timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Penjelasan UU nomor 25 tahun 1956 tersebut hanya menyatakan, bahwa Kalimantan Tengah Akan dibentuk menjadi propinsi otonom selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga (3) tahun, sebelumnya akan dibentuk terlebih dahulu daerah kerisedenan sebagai persiapan.
Akhirnya dengan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran Negara Nomor 53 tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 1284 tertanggal 23 mei 1957 dibentuklah Propinsi Kalimantan Tengah
A.2.6. Masa Eksploitasi
Sejarah Kota Pontianak
Pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat tersebut diberi nama Pontianak. Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan.
Tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.

Adapun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.
SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA
Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie (lahir 1742 H) yang membuka pertama Kota Pontianak, pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771 bertepatan dengan tanggal 14 Radjab 1185, untuk kemudian pada Hijriah sanah 1192 delapan hari bulan Sja'ban hari Isnen, SYARIF ABDURRAHMAN ALKADRIE dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak.
Selanjutnya 2 tahun kemudian setelah Sultan Kerajaan Pontianak dinobatkan, maka pada Hijrah sanah 1194 bersamaan tahun 1778, masuk dominasi kolonialis Belanda dari Batavia (Betawi) utusannya Petor (Asistent Resident) dari Rembang bernama WILLEM ARDINPOLA, dan mulai pada masa itu bangsa Belanda berada di Pontianak, oleh Sultan Pontianak. Bangsa Belanda itu ditempatkan di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama TANAH SERIBU (Verkendepaal).
Dan baru pada tanggal 5 Juli 1779, 0.1. Compagnie Belanda membuat perjanjian (Politiek Contract) dengan Sultan Pontianak tentang penduduk Tanah Seribu (Verkendepaal) untuk dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi tempat/kedudukan Pemerintah Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo lstana Kadariah Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) dan selanjutnya Controleur het Hoofd Onderaffleeling van Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur van Pontianak (bersamaan dengan Kepatihan) membawahi Demang het Hoofd der Distrik Van Pontianak (Wedana) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Siantan (Ass. Wedana/ Camat) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Sungai Kakap (Ass. Wedana/Camat).
Kronologis berdirinya Plaatselijk Fonds seterusnya Stadsgemeente, Pemerintah Kota Pontianak, Kotapraja, Kota Besar, Kotamadya Dati 11 Pontianak dapat diuraikan sebagai berikut :
PLATSELIJK FONDS
Berada dibawah kekuasaan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (semacam Bupati KDH Tk. II Pontianak). Plaatselijk Fonds merupakan badan, yang mengelola dan mengurus Eigendom (milik) Pemerintah, dan mengurus dana /keuangan yang diperoleh dari : Pajak, Opstalperceelen, Andjing Reclame, Minuman keras dan Retribusi Pasar, penerangan jalan, semuanya berdasarkan Verordening/Peraturan yang berlaku.
Daerah kerja Platselijk Fonds adalah daerah Verkendepaal (Tanah Seribu). Pimpinan Plaatselijk Fonds terdiri dari : Voorziter (Ketua) Beheerder Staadfonds (Pimpinan selain Voorzter), Sekretaris. Behercomisie dibantu beberapa Comisieleden (Pengawasan) Plaatselijk Fonds, setelah pendaratan Jepang, praktis terhenti, terkecuali soal kebersihan, dan bekerja kembali dengan pimpinan tentara Jepang, setelah masuk tenaga sipil Jepang dan adanya Kenkarikan (semacam Asisten Resident) Jepang, maka Platselijk Fonds dihidupkan kembali berganti nama SHINTJO yang dipimpin orang Indonesia yaitu Alin. Bp. MUHAMMAD ABDURRACHMAN sebagai SHINTJO dan untuk Pimpinan Pemerintah Sipil tetap ada Demang & Ass. Demang dengan nama Jepang adalah GUNTJO.
STADSGEMEENTE (LAMDSHAAP GEMEENTE)
Berdasarkan Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940 PK yang disahkan/Goedgskeurd de Resident der WesteraMeeling Van Borneo (Dr. J VAN DER SWAAL) menetapkan sementara sebagai berikut:

Yang menjadi Syahkota pertama adalah R. SOEPARDAN, dan Syahkota melakukan serah terima harta benda dan keuangan Platselijk Fonds pada tanggal 1 Oktober 1946 dari Staats Fonds MUHAMMAD ABDURRACHMAN.
Masa jabatan Syahkota R. SOEPARDAN 1 Oktober 1946 dan berakhir awal tahun 1948, untuk selanjutnya berdasarkan penetapan Pemerintah Kerajaan Pontianak diangkat ADS. HIDAYAT, dengan jabatan BURGERMESTER Pontianak sampai tahun 1950.
PEMERINTAHAN KOTA PONTIANAK
Pembentukan Stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak
tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/I946/KP dirobah dan diperhatikan kembali dengan Undang-Undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP, memutuskan mulai dari tanggal Peraturan ini berlaku maka Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak bertanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1946/KP dirubah dan diperhatikan kembali. Dalam undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah kota Pontianak. Sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota Pontianak. Walikota pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah NY. ROHANA MUTHALIB, sebagai wakil Walikota Pontianak, dan apa sebab kedudukannya sebagai Wakil Walikota Pontianak, mengingat pasal 25 dari U.U. Ketua Pontianak sebagai Walikota hanya dapat diangkat lelaki yang menurut keputusan Hakim.
Sebagai pengganti NY. ROHANA MUTHALIB, oleh Pemerintah diangkat SOEMARTOYO, sebagai Walikota Besar Pontianak, mengingat peralihan Kekuasaan Swapraja Pontianak kepada Bupati/Kabupaten Pontianak tidak termasuk, maka Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak berstatus Otonom. Sesuai dengan perkembangan Tata Pemerintahan, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan LANDSCHAP GEMEENTE, ditingkatkan menjadi KOTA PRAJA Pontianak. Pada masa ini Urusan Pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Daerah ( Otonomi Daerah ).
Selanjutnya perkembangan Pemerintah Kota Praja Pontianak berubah dan sebutannya yaitu dengan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang Undang No. 18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No. 021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti menjadi KOTAMADYA PONTIANAK. Kemudian dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1974, maka sebutan/nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PONTIANAK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia merubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat 11 Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota Pontianak.


[1] Harry Widianta dan Retno Handini. Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap III - IV Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin. 1998/1999.
[2] Sartono Kartodirdjo, ”Historiografi Tradisional, Modern , Fungsi dan Strukturnya”, dalam Makalah Simposium Internasional Ilmu Humaniora I, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993, hal. 7.
[4] http://0141117.tripod.com/sejarah.htm
[5] “Hikayat Banjar” adalah sebuah manuskrip tua yang telah lama dikenal di daerah Kalimantan Selatan sejak Zaman Kerajaan Banjar. Nama asli dari manuskrip tersebut beberapa macam, misalnya : Hikayat Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, Cerita Lambung Mangkurat dan Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin. Tidak diketahui mengenai penulis Hikayat Banjar, tetapi satu hal yang jelas adalah penulis atau penyalinnya bukanlah satu orang Raja, melainkan ditulis dan/atau disalin dari sumber lisan oleh orang banyak. Oleh karena itu dapat dimengerti jika terdapat banyak koleksi naskah Hikayat Banjar yang tidak sama bentuk dan isinya.
[6] Lihat J.J. Ras, Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography, The Martinus Nijhoff, 1968, hal. 238.
[7] Tentang Sarunai Fridolin Ukur menyebutnya sebagai sebuah kerajaan Orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa. Lihat .Fridolin Ukur, Tanya Jawab Tentang Suku Dayak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977, hal. 46.
[8] A.B. Hudson, ibid.
[9] Menurut Schrieke, Keling identik dengan Kediri Utara lihat B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies Part Two, N.V. Mijvarking van Hocke, Bandung, 1957, hal. l26.
[10] A. Van Der Ven, op.cit., hal.93
[11] M.Z. Arifin Anis,”Banjarmasih Sebagai Bandar Perdagangan Pada Abad XVII”.Dalam Jurnal Vidya Karya Nomor 2, Oktober 2000, Banjarmasin, hal. 91
[12] Lebih jauh tentang isi Proklamasi 11 Juni 1860, lihat Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 51-53 dan H.G. Gusti Mayur, Perang Banjar, CV. Rapi, Banjarmasin, 1979, hal. 60-61.
[13] Soenarto et al., ibid., hal. 32-33. Lihat pula Depdikbud, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1977/1978, hal. 64-65 yang terdiri dari 3 afdeling yaitu Afdeling Banjarmasin, Afdeling Martapura dan Afdeling Amuntai. Bandingkan dengan Amir Hasan Kiai Bondan, op.cit., hal. 192-194.
[14] M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1978/1979,
[15] bagian ini diambil dari anonim (1978),sejarah daerah Kalimantan Selatan. Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta;Gusti Mayur H (1979). Perang Banjar. CV Rapi. Banjarmasin dan Anonim (2002)Sejarah kaimantan Tengah.Draft-3.Naskah Belum diterbitkan
[16] Kodam X/LM, loc.cit.
[17] Alex A. Koroh, op.cit, hal. 58.
[18] Alex A. Koroh, ibid, hal. 59.
[19] Alex A. Koroh, ibid, hal. 60.
[20] Alex A. Koroh, loc.cit.
[21] Kodam X/LM, ibid, hal. 574
[22] Kodam X/LM, loc.cit.
[23] Kodam X/LM, loc.cit.
[24] Kodam X/LM, ibid, hal. 576.

[R1]Masukkan kedalam sejarah saja
[R2]Kerajaan islam
[t3]Lebih detail permasalajhan migrasi penduduk cari di Bab 8
[R4]Cek lagi. Sebelum 1865 kalseltim dikuasai secara tidak langsung oleh VOC, Kekalahan Pada perang Banjar menyebabkan kerajaan Banjar dan Bawahannya di kuasai penuh kecuali Kalteng karena mereka masih berperang sampai tahun 1905
[R5]Dari sejarah banjar.


Sumber:
http://soborneo.blogspot.com/2006/04/sejarah-perkembangan-penduduk-di.html

No comments:

Post a Comment