Tuesday, June 16, 2015

Modal Google Earth, pemburu alien temukan bangkai UFO di Antartika

Modal Google Earth, pemburu alien temukan bangkai UFO di Antartika

Reporter : Bramy Biantoro | Selasa, 16 Juni 2015 13:05
Modal Google Earth, pemburu alien temukan bangkai UFO di Antartika









Merdeka.com - Ternyata, Google Earth tidak hanya bisa dipakai untuk mengamati Bumi. Seorang pria asal Rusia, Valentin Degterev, berhasil memakainya untuk menemukan UFO. Bagaimana bisa?

Valentin yang ternyata juga seorang pemburu alien mengaku menemukan bangkai UFO yang jatuh di Antartika atau kawasan Kutub Selatan hanya dengan berbekal Google Earth. Bahkan, foto penampakan bangkai UFO itu kini menjadi viral di dunia maya, terutama Rusia.
"Aku menemukan objek unik itu lewat Google Earth di Antartika. Objek itu terlihat terkubur di sebuah gurun es dan bentuknya berupa piringan hitam," ujar Valentin, Daily Mail (15/06).
Foto bangkai UFO yang nampak di Google Earth itu sejatinya pertama kali diambil oleh satelit tanggal 15 February 2012. Namun, baru Valentin yang menemukan dan mempublikasikannya beberapa hari lalu.
Jika Anda tertarik untuk melihatnya, Anda bisa membuka Google Earth dan memasukkan koordinat 8034'08.4"S 3005'19.3"W. Bangkai UFO itu diperkirakan memiliki panjang 70 meter dan lebar 20 meter.
Akan tetapi, ilmuwan justru membantah klaim penemuan bangkai UFO itu, salah satunya Andrew Fleming dari pusat penelitian British Antarctic Survey (BAS). Dia mengatakan bila objek gelap berbentuk lonjong dengan ujung pipih itu hanya sebuah celah atau lubang di antara es.
"Celah gletser sering terbentuk akibat pergeseran lapisan es. Celah-celah itu bisa mencapai kedalaman ratusan meter. Tetapi, tidak ada yang spektakuler dari hal itu," ujar Andrew Fleming.
[bbo]

Sumber:
http://www.merdeka.com/teknologi/modal-google-earth-pemburu-alien-temukan-bangkai-ufo-di-antartika.html

Monday, June 15, 2015

ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito

ORANG TOBA
Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito
Oleh: Edward Simanungkalit *

Peta Y-DNA Haplogroup O
          Melalui DNA-nya nyata bahwa Orang Toba merupakan campuran dari:  Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Demikian menurut  Mark Lipson (2014:87) dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge pada Juni 2014 lalu. DNA Orang Toba ini Haplogroup O. Penelitian arkeologi  di pesisir timur Sumatera bagian Utara dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh telah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Penelitian paleoekologi juga telah dilakukan Bernard K. Maloney di Humbang, yaitu: Pea Simsim di sebelah barat Nagasaribu,  Tao Sipinggan di dekat Silaban Rura, Pea Sijajap di Simamora Nabolak, dan Pea Bullock di dekat Silangit. Penelitian tersebut menemukan adanya aktivitas manusia di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Ini jelas aktivitas  Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh, dari ras Australomelanesoid. Penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir menemukan bahwa para pendukung budaya Dongson masuk ke Sianjur Mula-mula sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun). Budaya Toba didominasi oleh kebudayaan Dongson. Pendukung budaya Dongson merupakan ras Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia. Khusus yang datang ke Sianjurmulamula sudah merupakan campuran Austronesia dengan Austroasiatik sejak dari Asia daratan (Lihat: ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya, dalamhttp://edwardsimanungkalit.blogspot.com).

         Mark Lipson, PhD. dari MASSACHUSETTS INSTITUTE OF TECHNOLOGY melakukan penelitian atas DNA Toba dan hasilnya dilaporkan dengan judul: “New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations” pada Juni 2014. Mark Lipson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP) berdasarkan data penelitian dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia.

 

Austronesia
Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua.
China juga ikut mempengaruhi Kebudayaan Dongson sehubungan dengan adanya ekspansi China sampai ke perbatasan Tonkin. Pengaruhnya dapat dilihat pada motif-motif hiasan Dongson yang mengambil model benda-benda perunggu China. Kesenian Dongson berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian, kebudayaan Dongson kemudian mempengaruhi kebudayaan Indochina selatan. Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam yang nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual. Perunggu adalah bahan pilihan dalam benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang untuk bertenun, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain yang diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya mereka yang terkenal adalah nekara besar serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson (wikipedia).
Kebudayaan Dongson, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, merupakan hasil  karya  dariorang-orang Austronesia. Kebudayaan masa prasejarah tersebut tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, pulau-pulau Pasifik hingga kepulauan Fiji. Ke barat, bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga pulau Madagaskar, Afrika. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia terjadi dimulai dengan berlayar dari China Selatan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Migrasi Austronesia berlangsung terus hingga mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya, serta  mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga awal Masehi. Mereka juga bermigrasi ke Sianjur Mula-mula, di Negeri Toba. 
Hasil gambar untuk austronesia


Austroasiatik
            Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengemukakan pendapatnya, bahwa rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa Austrik ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua menjadi Austroasiatik dan Austronesia. Bahasa Austroasiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya Indo-China, Thailand, dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.

           Hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur Austroasiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di selatan China hingga Taiwan.

            Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan Sumatera. Arus migrasi itu ditandai dengan penemuan tembikar berslip merah di Indonesia Timur, juga di Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia tembikar itu relatif lebih muda dibandingkan dengan tembikar berhias tali. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar China Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil  mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa Austronesia. Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Adapun yang termasuk ke dalam rumpun Austroasitik, yaitu: Munda-ri, Khasi-Khmuic, dan Mon-Khmer.  
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Austroasiatik


Negrito
          Negrito ini terdiri dari beberapa kelompok etnis    yang mendiami tempat-tempat terasing di Asia Tenggara. Populasinya sampai saat ini meliputi orang Andaman di Kepulauan Andaman, Semang di Malaysia, Mani di Thailand, serta Aeta, Ati, dan 30 suku lain di Filipina. Genetik Negrito berasal dari Afrika dengan hubungan genetik langsung. Orang Negrito merupakan penduduk yang paling awal di Semenanjung Malaka dan merupakan Orang Asli di Malaysia. Orang Negrito ini lebih dahulu memasuki Sumatera yang merupakan pendukung budaya Hoabinh termasuk ke Humbang di Negeri Toba.

         Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Negritos dari Asia Tenggara ke New Guinea memiliki hubungan kelanjutan yang dekat dengan tengkorak Australo-Melanesia. Studi genetik Negrito Filipina menunjukkan bahwa mereka sama dengan populasi di sekitar Asia dan semuanya memiliki mtDNA Haplogroup M, kecuali dua kelompok dari Andaman. MtDNA Haplogroup M ini ditemukan di Afrika Timur, Asia Timur, dan Asia Selatan, yang menunjukkan migrasi asalnya dari Afrika Timur mengikuti rute pesisir melalui India dan Asia Tenggara. Negrito ini pernah juga menghuni Taiwan, tetapi populasinya menyusut hingga sekarang dan hanya tinggal satu kelompok kecil.
                                                                                                                                                                                                      Negrito
                                                                                                                                               

Penutup
          Orang Toba adalah percampuran 2 (dua) ras, yaitu ras Mongoloid dengan ras Australomelanesoid, sedang DNA-nya terdiri dari: Austronesia (55%), Austroasitik (25%), dan Negrito (20%). Orang Austronesia dan orang Austroasiatik sama-sama berasal dari ras Mongoloid, sehingga ras Mongoloid mencapai 80% di dalam diri Orang Toba dan ras Australomelanesoid (Negrito) mencapai sekitar 20%. Biasanya ras Mongoloid ini memiki DNA dengan Haplogroup O, sedang ras Australomelanesoid memiliki DNA dengan Haplogroup M.
    
          Berdasarkan hasil analisa yang dilakukannya, maka Mark Lipson (2014:85-86) kemukakan secara spesifik hubungan genetik Orang Toba sekaligus asal-usulnya sebagai berikut:
We selected a scaffold tree consisting of 18 populations that are approximately unadmixed relative to each other: Ami and Atayal (aboriginal Taiwanese); Miao, She, Jiamao, Lahu, Wa, Yi, and Naxi (Chinese); Hmong, Plang, H'tin, and Palaung (from Thailand); Karitiana and Suru(South Americans); Papuan (from New Guinea); and Mandenka and Yoruba (Africans). This set was designed to include a diverse geographical and linguistic sampling of Southeast Asia (in particular Thailand and southern China) along with outgroups from several other continents (Lipson et al., 2013) (see Methods). We have previously shown that MixMapper results are robust to the choice of scaffold populations (Lipson et al., 2013), and indeed our findings here were essentially unchanged when we repeated our analyses with an alternative, 15-population scaffold  and with 17 perturbed versions of the original scaffold.

            Lipson menyimpulkan bahwa Orang Toba merupakan keturunan suku Ami dan suku Atayal dari  suku asli Taiwan (Austronesia), keturunan suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik), dan Negrito yang berkerabat dengan Papua. Percampuran antara Austroasiatik dengan Austronesia tersebut tidak terjadi di Negeri Toba, melainkan terjadi di Asia daratan di mana Ami & Atayal merupakan keturunan H’Tin (Lipson, 2015:85-90). Dengan demikian, yang bercampur di Negeri Toba hanyalah ras Mongoloid (campuran Austronesia & Austroasiatik) yang datang ke Sianjur Mula-mula dengan ras Australomelanesoid (Negrito) yang sudah lebih dulu datang ke Humbang dari Teluk Tonkin, Vietnam. 

 Melalui penelitian DNA, maka jelas bahwa Orang Toba berasal dari ras Mongoloid yang merupakan  penutur  bahasa Austronesia  bercampur dengan  orang Negrito  dari ras  Australomelanesoid. DNAnya termasuk dalam Haplogroup O yang terdiri dari: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito. Orang Toba bukan dari Hindia Belakang seperti diajarkan selama ini, karena DNA-nya berbeda. Orang Toba itu juga bukan Israel yang hilang, karena DNA Orang Toba tidak sama dengan DNA Orang Israel. Akhirnya, asal-usul Orang Toba tadi berbeda sekali dengan turiturian (folklore) yang diuraikan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris-manis: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”. *** (01062015).

*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban




TAROMBO ASAL-USUL ORANG TOBA

           Keterangan: Orang Toba berasal dari Mongoloid (Haplogroup O) dengan Negrito (Haplogroup M).


Catatan:
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul:
ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
Klik di sini





Wednesday, June 3, 2015

UFO Ubur-ubur Hijau Terang Muncul di Belanda

UFO Ubur-ubur Hijau Terang 

Muncul di Belanda

Foto misterius diambil tak sengaja di tengah badai.
Rabu, 3 Juni 2015 | 06:18 WIB
Oleh : Amal Nur Ngazis
UFO Ubur-ubur Hijau Terang Muncul di Belanda
UFO ubur-ubur di langit Groningen, Belanda (www.dailymail.co.uk/Mercury Press/Harry Perton)
 
VIVA.co.id - Sebuah penampakan objek terbang misterius (UFO) muncul di atas langit Groningen, Belanda. Jika biasanya penampakan UFO tampak dengan warna samar, penampakan di langit wilayah Belanda pekan lalu itu berwarna terang, hijau menyala.

Dikutip dari Daily Mail, Rabu 3 Juni 2015, seorang blogger Harry Perton, memotret penampakan UFO itu saat ia mengabadikan bagai di Groningen. Awalnya Perton bermaksud memotret fenomena alam itu untuk diposting dalam blognya.

Namun saat ia memeriksa kameranya untuk meninjau beberapa jepretannya, ia melihat ada yang menarik dari hasil karyanya. Terdapat penampakan UFO berbentuk mirip ubur-ubur melayang di langit malam. UFO itu memancarkan cahaya hijau terang, kontras dengan warna langit saat itu.

"Saya melihat langit yang indah dari jendela saya, dan saya menunggu hujan mereda sebelum pergi memotret," kata Perton.

Kemudian ia mengatakan ia mengambil beberapa foto dan tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas, yaitu cahaya terang. Perton mengaku awalnya tak menyadari itu adalah penampakan yang misterius. Ia beranggapan itu adalah akibat fitur pada kameranya.

"Saya pikir awalnya itu adalah pasti karena kamera saya, tapi flash kamera tak aktif pada lensa saya," ujarnya.

Perton mengatakan kemudian ia menduga penampakan terang itu adalah kilatan petir, tapi saat ia kembali ke rumah dan mengecek hasil jepretannya, ia menyadari ada penampakan cahaya terang misterius, yang tampak seperti UFO.

Hasil jepretan Perton pun menimbulkan berbagai spekulasi, sebab gambarnya itu sudah telanjur ia posting secara online.

Perton pun memiliki pandangan pribadi atas penampakan UFO dalam jepretannya.

"Secara peribadi meskipun saya tidak percaya UFO, saya pikir itu mungkin sesuatu yang terkait dengan meteorologi. Mungkin sinar matahari mengintip melalui awan badai dan menciptakan efek tersebut," tutur dia.

When reviewing the snaps he took, Mr Perton spotted the the jellyfish-like UFO floating in the night sky emitting an eerie flash of green light


Sumber:
http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/633194-ufo-ubur-ubur-hijau-terang-muncul-di-belanda?ref=yfp




Fenomena Black Hole, Sang Penghisap Alam Semesta

Fenomena Black Hole, Sang Penghisap Alam Semesta


Bermisteri - Fenomena Black Hole, Sang Penghisap Alam Semesta. Menelusuri berbagai fenomena antaraksia tidak akan ada habisnya karena dari sekian banyak kejadian-kejadian unik yang ada, menyimpan misteri tersendiri. Terdapat fenomena baru yang terungkap pada abad 20 yaitu fenomena Lubang Hitam atau Black Hole. Black Hole adalah sebuah objek yang memiliki massa yang cukup besar tetapi bervolume kecil/nol yang mengakibatkan gaya gravitasinya menjadi sangat besar, sehingga massa dan cahaya apa pun akan terhisap dan tidak akan mampu lepas dari daya tarik gravitasinya. Lalu, apakah black hole tercipta dengan sendirinya? atau tercipta dari sesuatu hal? Black Hole terbentuk ketika sebuah bintang kehabisan bahan bakar dan hancur ke dalam dirinya sendiri. Dengan catatan, gaya gravitasinya lebih besar dari pada energi atom dan nuklir internalnya, sehingga suatu objek tidak akan cukup kuat untuk menahan gaya gravitasinya sendiri dan pada akhirnya membentuk titik lubang Hitam di luar angkasa.

Fenomena Black Hole, Sang Penghisap Alam Semesta

Keberadaan Black Hole secara terotis sebenarnya pada abad ke-18 M telah dijelaskan oleh seorang geolog bernama John Michell dna pakar matematika, Pierre Simon Laplace. Dan Selanjutnya pada 1916 dikembangkan oleh astronom jerman bernama Karl Schwarzshild dengan mengacu pada taori relativitas umum Albert Einstein, dan mulai populer oleh Stephen William Hawking. Untuk penamaan Black Hole itu sendiri dipopulerkan oleh fisikawan John archibald Wheeler pada tahun 1967.

Berbagai penelitian dilakukan untuk mengungkap misteri lubang hitang tersebut, dan pada abad ke-20an penelitian akan keberadaan Black Hole mulai berkembang. Di tahun 2008, Nasa mengirimkan Fermi Gamma-ray Telescope untuk mengamati fenomena astrofisika dan kosmologi, seperti galaksi aktif, sumber energi tinggi, materi gelap, pulsar, dan ledakan sinar gamma (Hawking radiation Coomponet). Black Hole tidak bisa diamati hanya dengan teleskop biasa, akan tetapi dengan teleskop yang mampu mendeteksi cahaya tidak tampak. Dikarenakan Lubang Hitam tidak memancarkan cahaya bahkan justru menyerap cahaya, para astronom dapat mengukur cahaya tampak, sinar x, dan gelombang radio yang dipancarkan objek disekitar Lubang Hitam.

Yang menjadi daya tarik tersendiri akan keberadaan Black Hole atau lubang hitam ini adalah jumlahnya yang tidak sedikit. Menurut prediksi para ilmuan, Black Hole yang terdapat di alam semesta ini berjumlah ratusan hingga jutaan. Semakin besar dimensi galaksi yang ditempatinya, maka semakin besar pula dimensi lubang hitam tersebut. Meskipun secara teoretis dan penelitian ilmuan telah membuktikan adanya Lubang hitam, akan tetapi masih banyak hal yang mengundang penasaran pada ilmuwan. Contohnya saja tentang apa yang ada di dalam lubang hitam? Apa yang terjadi apabila masuk ke dalam lubang hitam? apakah benar Lubang hitam adalah jembatan antardimensi atau waktu? semua pertanyaan tersebut masih dalam penelitian lebih lanjut.
 
 
Sumber:
http://log.viva.co.id/news/read/633127-misteri-black-hole--sang-penghisap-alam-semesta?ref=yfp