Saturday, May 31, 2014

Arkeolog Ungkap Sejarah Peradaban di Sumatera 16.000 Tahun Silam

Arkeolog Ungkap Sejarah Peradaban di Sumatera 16.000 Tahun Silam

Senin, 19 Mei 2014 02:47 WIB
TRIBUNNEWS.COM, BATURAJA - Tim peneliti Arkeologi Nasional (Arkenas) berhasil menemukan artefak yang diperkirakan periode preniolitik yang hidup sekitar 14.000 sampai 16.000 tahun silam.

Penemuan artefak tersebut sangat memotivasi tim arkeolog untuk terus melakukan penggalian, karena dengan ditemukannya peningalan budaya priode preniolitik ini, obsesi para arkeolog untuk mengungkap masa kekosongan sejarah di Sumatera pada periode tersebut sudah di depan mata.
Sebab pada periode 14.000-16.000 tahun yang lalu Sumatera mengalami kekosongan sejarah (terputus).

“Ini penemuan yang sepktakuler sekali di kalagan arkeolog, sebab kita bisa buktikan bahwa pada priode tersebut Sumatera sudah ada penghuni,” terang Ketua Tim Penelitian Gua Harimau OKU, Adhi Agus.

Ia menambahkan, tim menemukan artefak yang diperkirakan periode preniolitik yang hidup sekitar 14.000 sampai 16.000 tahun silam.
Walaupun belum menemukan kerangka manusia yang hidup pada priode itu namun tim tekad tim untuk membuktikan bahwa Sumatera tidak mengalami kekosongan sejarah di periode itu hampir mendekati kebenaran.
Untuk itu tim arkeolog akan terus melakukan ekskavasi vertikal di sisi Barat gua. Sebab, diprediksi, Gua Harimau terdapat kerangka manusia yang usianya sekitar 60.000 tahun silam bahkan lebih.

Ketua Tim Arkenas di Gua Harimau yang akrab disapa AA ini mengatakan, dalam penelitian lanjutan ini, tim menemukan obsidian, serpih rijal dan serpih-serpih lainnya. Selain itu juga menemukan tulang hewan mamalia besar seperti beruang dan binatang mamalia kecil.

Adhi menambahkan artefak dan penemuan lainnya didapat dari titik penggalian vertikal sebelah Barat gua dengan kedalaman sekitar 2,5 meter dari titik bantu.

Sementara itu, tim dari Arkeolog Nasional yang meneliti Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) tahun 2014 ini datang dengan jumlah yang lebih lengkap.
Bersama Prof Truman Simanjuntak dengan melibatkan 17 peneliti dari Arkeologi Nasional (Arkenas) dipimpin Prof Truman Simanjuntak dan Adhi Agus Oktaviana SHum itu dan anggota tim sudah turun ke lapangan sejak 13 Mei lalu.
Editor: Sugiyarto
 
 
Sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2014/05/19/arkeolog-ungkap-sejarah-peradaban-di-sumatera-16000-tahun-silam 




SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR
ilustrasi 
 
TRIBUNNEWS.COM, BATURAJA - Tim peneliti Arkeologi Nasional (Arkenas) berhasil menemukan artefak yang diperkirakan periode preniolitik yang hidup sekitar 14.000 sampai 16.000 tahun silam.

Penemuan artefak tersebut sangat memotivasi tim arkeolog untuk terus melakukan penggalian, karena dengan ditemukannya peningalan budaya priode preniolitik ini, obsesi para arkeolog untuk mengungkap masa kekosongan sejarah di Sumatera pada periode tersebut sudah di depan mata.
Sebab pada periode 14.000-16.000 tahun yang lalu Sumatera mengalami kekosongan sejarah (terputus).

“Ini penemuan yang sepktakuler sekali di kalagan arkeolog, sebab kita bisa buktikan bahwa pada priode tersebut Sumatera sudah ada penghuni,” terang Ketua Tim Penelitian Gua Harimau OKU, Adhi Agus.

Ia menambahkan, tim menemukan artefak yang diperkirakan periode preniolitik yang hidup sekitar 14.000 sampai 16.000 tahun silam.
Walaupun belum menemukan kerangka manusia yang hidup pada priode itu namun tim tekad tim untuk membuktikan bahwa Sumatera tidak mengalami kekosongan sejarah di periode itu hampir mendekati kebenaran.
Untuk itu tim arkeolog akan terus melakukan ekskavasi vertikal di sisi Barat gua. Sebab, diprediksi, Gua Harimau terdapat kerangka manusia yang usianya sekitar 60.000 tahun silam bahkan lebih.

Ketua Tim Arkenas di Gua Harimau yang akrab disapa AA ini mengatakan, dalam penelitian lanjutan ini, tim menemukan obsidian, serpih rijal dan serpih-serpih lainnya. Selain itu juga menemukan tulang hewan mamalia besar seperti beruang dan binatang mamalia kecil.

Adhi menambahkan artefak dan penemuan lainnya didapat dari titik penggalian vertikal sebelah Barat gua dengan kedalaman sekitar 2,5 meter dari titik bantu.

Sementara itu, tim dari Arkeolog Nasional yang meneliti Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) tahun 2014 ini datang dengan jumlah yang lebih lengkap.
Bersama Prof Truman Simanjuntak dengan melibatkan 17 peneliti dari Arkeologi Nasional (Arkenas) dipimpin Prof Truman Simanjuntak dan Adhi Agus Oktaviana SHum itu dan anggota tim sudah turun ke lapangan sejak 13 Mei lalu.

Terdapat Percampuran Dua Ras di Goa Harimau

Terdapat Percampuran Dua Ras di Goa Harimau

Ciri-ciri struktur tengkorak serta tulang menunjukkan terdapat percampuran dua ras Australomelanesid dan Mongoloid di Goa Harimau.

kerangka manusia di gua harimauTenaga lokal Penelitian Arkeologi Situs Goa Harimau melabel setiap kerangka individu manusia di Goa Harimau, Rabu (28/5). Dari 78 kerangka yang diekskavasi, sebanyak 38 kerangka telah diangkat ke Museum Si Pahit Lidah yang berjarak sekitar dua kilometer dari Goa Harimau. | Aloysius Budi Kurniawan/KOMPAS

Peneliti menemukan dua jenis ras manusia Homo sapiens jenis berbeda di Goa Harimau. Dalam ekskavasi Situs Goa Harimau di Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan selama 2009 - 2014 tersebut, ditemukan ras manusia Australomelanesid dan ras Mongoloid.

Kedua ras diduga pernah bertemu dan berinteraksi di goa tersebut. Dari 78 kerangka Homo sapiens yang diekskavasi, Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau mendeteksi empat kerangka ras Australomelanesid. Sementara 74 kerangka individu lainnya merupakan ras Mongoloid.

Pengarah Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau dari Pusat Arkeologi Nasional Harry Truman Simanjuntak mengatakan manusia Australomelanesid terlebih dulu datang ke Goa Harimau dan disusul manusia Mongoloid. "Setelah bertemu, ada adaptasi budaya di antara keduanya," kata Truman, Kamis (29/5), di Ogan Komering Ulu, Sumsel.

Homo sapiens ras Mongoloid ditemukan di lapisan tanah paling atas Goa Harimau. Sementara ras Australomelanesid berada di lapisan tanah ketiga, berupa tanah lempung coklat tua yang mengandung gamping.

Dari hasil penanggalan radiokarbon oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional pada lapisan tanah teratas, umur kerangka Homo sapiens Mongoloid 3.464 tahun. Sementara itu, penanggalan radiokarbon oleh Waikato Radiocarbon Dating Laboratory, Selandia Baru, untuk lapisan tanah ketiga (tempat penemuan kerangka Australomelanesid) menunjukkan usia 4.840 tahun.
gua harimauSisa-sisa manusia prasejarah di Goa Harimau dimakamkan bersamaan dan berkelompok dalam satu liang kubur. | Aloysius Budi Kurniawan/KOMPAS

Meski memiliki rentang waktu usia hingga 1.376 tahun, kedua ras manusia ini diduga pernah berinteraksi, bahkan ada perkawinan.

"Waktu kedatangan dua ras ini memang berbeda. Namun, ada masanya Homo sapiens Australomelanesid dan Mongoloid di Goa Harimau berhubungan," kata anggota Tim Penelitian Arkeologi Goa Harimau dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sofwan Noerwidi.

Percampuran ras
Indikasi bahwa kedua ras itu berinteraksi dikuatkan dengan penemuan kerangka individu nomor 48 yang dari ciri-ciri struktur tengkorak serta tulang menunjukkan percampuran ras berbeda: Australomelanesid dan Mongoloid.

Ciri-ciri percampuran ras individu 48 terlihat pada struktur tengkoraknya yang memanjang dengan tulang wajah sempit, khas ras Australomelanesid. Namun, pada bagian gigi seri atas individu itu berbentuk tembilang yang merupakan ciri fisik ras Mongoloid.

Keberadaan dua ras di Goa Harimau juga tampak dari posisi penguburan kerangka-kerangka. Empat kerangka ras Australomelanesid dikubur dengan posisi terlipat, sedangkan 74 kerangka ras Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.

"Empat kerangka Australomelanesid dikubur dalam posisi terlipat dengan paha hampir menyentuh bahu, sedangkan kerangka Mongoloid lainnya dikubur membujur," kata osteo-arkeolog dari Center of Prehistory and Austronesian Studies, Dyah Prastiningtyas.

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto mengatakan, penemuan itu sangat menarik. Selama ini, sebagai ahli paleoantropologi, Harry meyakini tidak ada ras Austromelanesid. "Menurut saya, semuanya pasti Mongoloid. Jika ada temuan baru ras lain, ini luar biasa," katanya.

(Sumber: Kompas/ABK/IVV)
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/05/percampuran-dua-ras-di-goa-harimau


Diduga Warisi Gen Purba: Peneliti Ambil Darah Warga Padang Bindu

Diduga Warisi Gen Purba: Peneliti Ambil Darah Warga Padang Bindu

Jumat, 30 Mei 2014 15:48 WIB

Diduga Warisi Gen Purba: Peneliti Ambil Darah Warga Padang Bindu
Aloysius Budi Kurniawan
Tim penelitian arkeologi Goa Harimau sedang melakukan penggantian rangka cetakan tiruan Homo sapiens di Situs Goa Harimau, Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Senin (26/5). Pemasangan kerangka tiruan dilakukan sama seperti kondisi aslinya, sedangkan kerangka asli sebagian telah diangkat dan dipindahkan ke Museum Si Pahit Lidah di Desa Padang Bindu. 

TRIBUNSUMSEL.COM, BATURAJA - Setelah mengambil sampel tulang dan gigi kerangka manusia purba di Gua Harimau Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten OKU, Tim Biologi Molekuler Eijkman Jakarta melanjutkan penelitian dengan mengambil sampel darah warga desa setempat.

Hasil penelitian itu akan mencocokan apakah ada kesamaan tes Deoxyribonucleat Acid (DNA) manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dengan masyarakat yang saat ini menetap di Padang Bindu.

"Siapa tahu ada garis keturunan di sini," kata Prof Dr Truman Simanjuntak didampingi Dr Wuryantari dari Tim Lembaga Biomolekul Eijkman, Kamis (29/5).

Wuryantari mengatakan, pengambilan sampel darah penduduk asli setempat sangat diperlukan untuk meneliti apakah ada keterkaitan kekerabatan dengan manusia penghuni gua. Untuk tahap pertama akan diambil sampel DNA satu atau dua warga setempat.

Pihaknya sudah mengambil sampel empat kandidat kerangka manusia prasejarah di Situs Padang Bindu Gua Harimau untuk dilakukan tes DNA. Sampel yang diambil untuk dilakukan tes DNA ini meliputi remolar bawah (gigi), tulang femor kiri, premolar bawah kiri, dan diafisis femor kiri (tulang paha). DNA yang sudah diisolasi ini akan dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan tes.

"Waktu yang dibutuhkan untuk  mengetahui hasil tes DNA tergantung dari tingkat kesulitannya. Apalagi sampel yang diambil sudah berusia ribuan, bahkan belasan ribu tahun. Pengaruh udara dan dan mikrorganisme tentu akan berpengaruh pada saat dilakukan tes DNA. Tidak tertutup kemungkinan dilakukan ulang. Tim menggunakan teknik dianalisis dengan menggunakan methode PCR Sequyencing," katanya.

Kepala Disporabudpar Pemkab OKU, Aufa S Sarkomi mengatakan, sudah ditemukan 78 individu kerangka diperkirakan berusia 3.000 tahun-60.000 tahun di Gua Harimau. Bentuk dan ras berbeda, mulai dari ras mongoloid dan ras astronimelanisia.

DNA kerangka dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah antara kerangka yang penanggalannya berbeda ada hubungan kekerabatan atau tidak.

"Bahkan untuk mengetahui apakah ada kekerabatan dengan penduduk setempat. Kami juga ambil sempel darah penduduk," katanya.

Aktivitas sempel untuk memudahkan membedakan usia. Sempel diambil, mulai dari gigi dan bekal kubur dan zat karbon dalam tanah dan bekal kubur. Ini salah satu objek memudahkan pembagian usia, bagai mana antarindividu ditemukan di Gua Harimau.

Diharapkan adanya test DNA ini bisa diketahui, hidup lengkap manusia purba dengan manusia modern saat ini.

"Mungkin ada penduduk luar negeri, Cina (Tiongkok, Red), vietnam. Apalagi ini ras mongoloid dari ras yang berasal dari Cina dan ada ras astroni melanisia yang merupakan ras Aborizin Aoustrali. Ini bisa mengungkap ras sejarah yang ada di Indonesia dan bisa mengetahui asal penduduk setempat," katanya.


Temuan Tertua
Pertengahan Mei lalu, Tim peneliti Arkeologi Nasional (Arkenas) mendapat temuan baru pada penelitian lanjutan di Gua Harimau. Mereka menemukan artefak yang diperkirakan periode preniolitik, yang hidup sekitar 14.000 sampai 16.000 tahun silam.

Ketua Tim Arkenas di Gua Harimau, Adhi Agus mengatakan, mereka menemukan obsidian, serpih rijal dan serpih-serpih lainnya. Selain itu juga menemukan tulang hewan mamalia besar seperti beruang dan binatang mamalia kecil seperti tikus, kelelawar dan beberapa benda sejenis bebatuan lainnya.

Adhi menambahkan Artefak dan penemuan lainnya didapat dari titik penggalian vertikal sebelah barat gua dengan kedalaman sekitar 2,5 meter dari titik bantu. "Ini baru ditemukan artefak, belum menemukan kerangka manusia. Untuk itu, kami terus melakukan penggalian. Mudah-mudahan ada penemuan baru," ungkapnya.

Tim ahli Arkenas sendiri terus berupaya melakukan ekskavasi vertikal di sisi Barat Gua. Sebab, diprediksi, Gua Harimau terdapat kerangka manusia yang usianya sekitar 60.000 tahun silam bahkan lebih.

"Penggalian vertikal yang pertama kami tutup. Sebab, kami kesulitan karena terdapat batu. Mudah-mudahan, penggalian ini bisa membuahkan hasil sesuai harapan yang kami inginkan. Namun, kami tidak bisa mengandai-ngandai. Terpenting kami berusaha," jelasnya.

Jika tim Arkenas sukses menemukan kerangka manusia usia 60.000 tahun silam, maka ini pertemuan spektakuler dan pertama di Sumatera. Sebab, di Sumatera periode tersebut masih kosong. "Sementara ini ada peneliti asal Belanda mendapat temuan gigi yang usianya diperkirakan sekitar 60.000 tahun di Lidah Air, Sumatera Barat. Tapi bukan ekskavasi. Jika penggalian di Gua Harimau ini berhasil, maka pertama kali di Sumatera," kata Adhi.

Keberadaan manusia purba di Goa Harimau menarik perhatian dua peneltiai asal Jepang, Hirofumi Matsumura (PhD) dan Dr Yamagata Mariko. Keduanya melihat ada keunikan dan perbedaan dibandingkan penemuan kerangka di tempat lain. Keduanya juga meneliti apakah ada hubungan kehidupan purba dengan kehidupan modern.

Sementara tim Arkenas telah mengangkat delapan individu kerangka manusia purba di Gua Harimau. Kerangka-kerangka asli ini akan dipajang ke Museum si Pahit Lidah, Baturaja. Sementara replika yang sudah dibuat akan diletakan di Gua Harimau dengan posisi yang sama. Sejumlah 76 kerangka diperoleh dari ekskavasi tim arkeologi Pusat Arkeologi Nasional sejak tahun 2009 sampai 2014 ini di Goa Harimau. (rws)


Sumber:
http://sumsel.tribunnews.com/2014/05/30/diduga-warisi-gen-purba-peneliti-ambil-darah-warga-padang-bindu

Thursday, May 29, 2014

Nusantara pada periode prasejarah

Nusantara pada periode prasejarah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
Nusantara pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang sangat panjang, kira-kira sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan temuan-temuan yang ada. Pengetahuan orang terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan dan manusia (hominid), sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perunggu), serta gerabah.


Geologi

Wilayah Nusantara merupakan kajian yang menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur hingga selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yang besar: Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Di bagian ini, lempeng Eurasia bergerak menuju selatan dan menghunjam ke bawah Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara. Akibat hal ini terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.

Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Filipina. g

Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar

Wilayah barat Nusantara moderen muncul kira-kira sekitar kala Pleistosen terhubung dengan Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupakan bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda ("Sundaland") oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Garis Wallace. anjing berguguk di tengah tengah hutan yang rimba sam Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, ilgeografis terhubung dengan Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia, yang pada gilirannya adalah bagian dari Benua Gondwana.

Di akhir Zaman Es terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat dan permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian dan Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah dan mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.


Tumbuhan, hewan dan hominid

Sejarah geologi Nusantara memengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yang terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba.
Endapan batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Paleozoikum.

Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta Laut Arafura dan Selat Torres adalah perairan muda yang baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era moderen). Inilah yang menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.

Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah, tapir, kerbau, babi, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.

Makhluk mirip manusia (hominin) yang menghuni Nusantara yang diketahui adalah manusia Jawa. Fosil dari satu bagian tengkorak Pithecanthropus erectus ditemukan pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois di Trinil, Kabupaten Ngawi. Sejak 1934, G.H.R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah sepanjang Bengawan Solo, yaitu di Sangiran dan Ngandong serta di tepi Sungai Brantas di dekat Mojokerto. Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa adalah Homo erectus dan merupakan bentuk yang primitif. Semula diduga berumur 1.000.000 sampai 500.000 tahun (pengukuran karbon tidak memungkinkan), kini berdasarkan pengukuran radiometri terhadap mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.[1][2]

Homo sapiens moderen pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100.000 tahun lalu, melalui India dan Indocina. Fosil Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten (1889), anggota tim Dubois, di Wajak, dekat Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas.[3] Ia ditemukan bersamaan dengan tulang tapir, hewan yang pada masa kini tidak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil Gua Niah di Sarawak dan Gua Tabon di Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40.000-25.000 tahun (periode Pleistosen) dan menunjukkan fenotipe "Australomelanesoid".[4] Mereka adalah pendukung budaya kapak perimbas (chopper) dan termasuk dalam kultur paleolitikum (Zaman Batu Tua).

Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan Homo floresiensis yang dianggap sebagai spesies Homo primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai kemungkinan adanya spesies mirip manusia yang hidup dalam periode yang bersamaan dengan H. sapiens, karena hanya berusia 20.000-10.000 tahun sejak era moderen dan tidak terfosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya H. sapiens yang bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap H. floresiensis adalah H. sapiens yang menderita penyakit sehingga berukuran katai.

Migrasi manusia

Bukti-bukti Homo sapiens pertama diketahui dari tengkorak dan sisa-sisa tulang hominin di Wajak, Gua Niah (Serawak), serta temuan-temuan baru di Pegunungan Sewu sejak awal paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang, membentang dari Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, hingga kawasan Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan. Temuan di Wajak, yang pertama kali ditemukan sulit ditentukan penanggalannya, namun fosil di Gua Niah menunjukkan usia sekitar 40.000 tahun yang lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo (Gunungkidul, ditemukan tahun 2002) dan Song (Gua) Keplek dan Terus (Pacitan) berusia lebih muda (sekitar 10.000 tahun sebelum era moderen atau tahun 0 Masehi). Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yang ditemukan menyertainya.

Walaupun berasal dari masa budaya yang berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanesoid, suatu subras dari ras Negroid yang sekarang dikenal sebagai penduduk asli Pulau Papua, Melanesia, dan Benua Australia. Teori mengenai asal usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh Fritz dan Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara (sepupu satu sama lain) asal Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang Vedda yang menghuni Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di Asia Tenggara kepulauan dan Australia.


Kronologi

Paleolitik

Homo erectus diketahui menggunakan alat batu kasar khas paleolitik dan juga alat yang terbuat dari cangkang kerang, hal ini berdasarkan temuan di Sangiran dan Ngandong. Analisis bekas irisan pada fosil tulang mamalia yang berasal dari era Pleistosen mencatat 18 luka bekas irisan akibat alat serpihan cangkang kerang saat menyembelih lembu purba, ditemukan pada formasi Pucangan di Sangiran yang berasal dari kurun 1,6 sampai 1,5 juta tahun lalu. Tanda bekas irisan pada tulang ini menunjukkan penggunaan alat batu pertama yang menunjukkan bukti tertua penggunaan alat serpihan cangkang kerang yang ditajamkan di dunia.[5]


Neolitik

Batu yang diasah adalah bukti peradaban neolitik, misalnya mata kapak batu dan mata cangkul batu yang diasah. Batu yang diasah dan dihaluskan ini dikembangkan oleh orang-orang Austronesia yang menghuni kepulauan Indonesia. Pada periode ini pula berkembang struktur batu besar atau megalitik di Nusantara.


Megalitik


Masyarakat di pulau Nias di Indonesia tengah memindahkan sebuah megalit ke kawasan pembangunan, sekitar tahun 1915.


Monolitik Toraja sekitar tahun 1935.

Nusantara adalah rumah bagi banyak situs megalitik bangsa Austronesia pada masa lalu hingga masa kini. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu, patung nenek moyang, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Struktur megalitik ini ditemukan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.

Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Pagguyangan, Cisolok dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.[6] Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Candi Borobudur dari abad ke-8 dan candi Sukuh dari abad ke-15 tak ubahnya adalah struktur punden berundak.

Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ditemukan beberapa relik megalitik yang menampilkan patung nenek moyang. Kebanyakan terletak di lembah Bada, Besoa, dan Napu.[7]
Tradisi megalitik yang hidup tetap bertahan di Nias, pulau yang terisolasi di lepas pantai barat Sumatera, Kebudayaan Batak di pedalaman Sumatera Utara, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta kebudayaan Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Tradisi megalitik ini tetap bertahan, terisolasi, dan tak terusik hingga akhir abad ke-19.


Zaman Perunggu

Kebudayaan Dong Son menyebar ke Indonesia membawa teknik peleburan dan pembuatan alat logam perunggu, pertanian padi lahan basah, ritual pengorbanan kerbau, praktik megalitik, dan tenun ikat. Praktik tradisi ini ditemukan di masyarakat Batak dan Toraja serta beberapa pulau di Nusa Tenggara. Artifak peradaban ini adalah gendang perunggu Nekara yang ditemukan di seantore Nusantara serta kapak perunggu upacara.kufvg


Sistem kepercayaan

Warga Indonesia purba adalah penganut animisme dan dinamisme yang memuliakan roh alam dan roh nenek moyang. Arwah Leluhur yang telah meninggal dunia dipercaya masih memiliki kekuatan spiritual dan mempengaruhi kehidupan keturunannya. Pemuliaan terhadap arwah nenek moyang menyebar luas di masyarakat kepulauan Nusantara, mulai dari masyarakat Nias, Batak, Dayak, Toraja, dan Papua. Pemuliaan ini misalnya diwujudkan dalam upacara sukuran panen yang memanggil roh dewata pertanian, hingga upacara kematian dan pemakaman yang rumit untuk mempersiapkan dan mengantar arwah orang yang baru meninggal menuju alam nenek moyang. Kuasa spiritual tak kasat mata ini dikenali sebagai hyang di Jawa dan Bali dan hingga kini masih dimuliakan dalam agama Hindu Dharma Bali.


Penghidupan

Mata pencaharian dan penghidupan masyarakat prasejarah di Indonesia berkisar antara kehidupan berburu dan meramu masyarakat hutan, hingga kehidupan pertanian yang rumit, dengan kemampuan bercocok tanam padi-padian, memelihara hewan ternak, hingga mampu membuat kerajinan tenun dan tembikar.

Kondisi pertanian yang ideal memungkinkan upaya bercocok tanam padi lahan basah (sawah) mulai berkembang sekitar abad ke-8 SM.[8] memungkinkan desa dan kota kecil mulai berkembang pada abad pertama Masehi. Kerajaan ini yang lebih mirip kumpulan kampung yang tunduk kepada seorang kepala suku, berkembang dengan kesatuan suku bangsa dan sistem kepercayaan mereka. Iklim tropis Jawa dengan curah hujan yang cukup banyak dan tanah vulkanik memungkinkan pertanian padi sawah berkembang subur. Sistem sawah membutuhkan masyarakat yang terorganisasi dengan baik dibandingkan dengan sistem padi lahan kering (ladang) yang lebih sederhana sehingga tidak memerlukan sistem sosial yang rumit untuk mendukungnya.

Kebudayaan Buni berupa budaya tembikar berkembang di pantai utara Jawa Barat dan Banten sekitar 400 SM hingga 100 M.[9] Kebudayaan Buni mungkin merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang menghasilkan banyak prasasti yang menandai awal berlangsungnya periode sejarah di pulau Jawa.


Peninggalan masa prasejarah

Peninggalan masa prasejarah Nusantara diketahui dari berbagai temuan-temuan coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing serta dari penggalian-penggalian pada situs-situs purbakala.
Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:

Catatan kaki

  1. ^ The First Humans: Java Man
  2. ^ Java Man di Encyclopaedia Brittanica.
  3. ^ Foto H. sapiens wadjakensis
  4. ^ M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 1: Jaman Prasejarah di Indonesia. Balai Pustaka. p.92.
  5. ^ Shell tool use by early members of Homo erectus in Sangiran, central Java, Indonesia: cut mark evidence
  6. ^ [1]|Cipari archaeological park discloses prehistoric life in West Java.
  7. ^ [2]|Lore Lindu National Park, Central Sulawesi.
  8. ^ Taylor, Jean Gelman. Indonesia. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5.
  9. ^ Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory. Yayasan cipta Loka Caraka.
  10. ^ Ada Lagi Situs Megalitikum, Kali Ini di Cibedug Banten
  11. ^ Ada Lagi Mirip “Gunung Padang” di Cilacap
  12. ^ Ratusan Fosil Purba Berusia 40.000 SM Ditemukan di Tulungagung
  13. ^ Ditemukan Benda Purbakala Sarkofagus & Rangka Manusia Megalitikum di Bali
  14. ^ Papua Kaya Situs Arkeologi Kuno. Kompas daring. Edisi 17-04-2009.
  15. ^ Papua Kaya Situs Arkeologi Kuno. Kompas daring. Edisi 17-04-2009.
Pranala luar

Jembatan Tertua Ditemukan Di India

Jembatan Tertua Ditemukan Di India

(jelajahunik.us)
Pesawat ulang-alik NASA telah berhasil menemukan sebuah jembatan purba yang menghubungkan India dan Sri Lanka. Jembatan itu diperkirakan telah berumur 1.750.000 tahun dan sekaligus meneguhkan catatan yang terdapat dalam kitab kuno Ramayana.

Untuk saat ini, jembatan itu diberi nama Jembatan Adam. Jembatan misterius itu terbuat dari sekumpulan beting laut sepanjang 30 km di selat Palk antara India dan Sri Lanka. Dari bentuk dan komposisinya, para ahli menyimpulkan bahwa jembatan itu dibuat oleh manusia dan bukan terjadi karena sebab alam. Legenda dan juga arkeologi menunjukkan bahwa manusia sudah mendiami Sri Lanka sejak 1.750.000 tahun yang lalu, sama dengan perkiraan umur jembatan itu.

Penemuan jembatan ini juga merupakan aspek krusial bagi peneguhan legenda misterius yang disebut Ramayana yang diperkirakan terjadi pada zaman Tredha Yuga, lebih dari 1.700.000 tahun yang lalu. Di dalam epik Ramayana, disebutkan bahwa sebuah jembatan dibangun antara Rameshwaram (India) dan pantai Srilanka dibawah pengawasan Rama yang merupakan inkarnasi ke-18 dari Krisna.

Informasi ini mungkin tidak begitu penting bagi para arkeolog, namun paling tidak dapat membuka gerbang spiritual bagi masyarakat dunia yang ingin mengetahui sejarah yang terkait dengan mitologi India.
 
 
Sumber:
http://www.jelajahunik.us/2012/11/jembatan-tertua-ditemukan-di-india.html

Asal Usul Bangsa Nusantara (Asli keturunan Nabi Nuh AS)

Asal Usul Bangsa Nusantara (Asli keturunan Nabi Nuh AS)




Pada kesempatan ini, kembali saya mengajak para pembaca sekalian untuk mengulik sejarah Nusantara. Dan untuk kali ini saya pun mengajak Anda sekalian untuk menelusuri asal usul bangsa kita. Karena yakinlah bahwa Anda akan semakin bangga menjadi orang Indonesia, sehingga tidak perlulah terlalu mengagungkan bangsa-bangsa lain. Karena sejatinya kita ini adalah bangsa yang paling unggul di dunia.


Untuk lebih jelasnya, mari ikuti penelurusan berikut:

Jika mencermati Evolutionary tree of Human Y-chromosome DNA (Y-DNA) haplogroups, diperkirakan keluarga Nabi Nuh AS berasal dari Haplogroup IJK, yang merupakan pangkal percabangan keturunan Sem bin Nuh (Haplogroup IJ) dan Yafet bin Nuh (Haplogroup K). Dengan demikian keturunan Nabi Adam AS yang selamat dari banjir Nuh, berasal dari 8 komunitas, yakni Haplogroup A, B, C, D, E, G, H dan IJK.

Setelah terjadinya bencana Nuh, pada sekitar 13.000 tahun yang silam , setidaknya muncul 3 kelompok pengikut Nabi Nuh AS, yaitu:

  1. Kelompok Timur, dipimpin Yafet bin Nuh, diperkirakan mendiami Sundaland (Paparan Sunda). Mereka kebanyakan berasal dari Haplogroup IJK, dan dari kelompok ini muncul ras baru, yang di-identifikasikan sebagai Haplogroup K, kemudian berkembang menjadi Haplogroup L, M, NO, P, S dan T.

  2. Kelompok Tengah, dipimpin Sem bin Nuh, diperkirakan mendiami Asia Tengah. Mereka berasal dari Haplogroup IJK, G dan H, dari kelompok ini muncul ras baru, yang di-identifikasikan sebagai Haplogroup IJ, kemudian berkembang menjadi Haplogroup I dan Haplogroup J.

  3. Kelompok Barat, dipimpin Ham bin Nuh, diperkirakan mendiami daratan Afrika. Mereka berasal dari Haplogroup IJK, A, B, C, D, dan E.


A. Yafet dan Leluhur Nusantara

Untuk dipahami, selepas banjir Nabi Nuh AS, di Nusantara atau lebih tepatnya di Sundaland, muncul satu komunitas Bani Adam (Kelompok Timur), yang di-identifikasikan sebagai Haplogroup K atau dalam istilah Plato dikenal dengan “Peradaban Atlantis”. Komunitas ini, pernah mencapai peradaban yang tinggi selama ratusan tahun, akan tetapi kemudian hancur diterjang banjir, gempa bumi dan gunung meletus pada sekitar tahun 9.600 SM. Komunitas ini akhirnya berpencar ke segala penjuru bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti ras Mongoloid dan Altai. Bahkan turut menyumbangkan teknologi peradaban di dunia secara luas.


Setelah situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, sekelompok kecil dari bangsa Sundaland mulai “pulang kampung”. Dan pada puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500 SM – 1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto MelayuPada sekitar tahun 300 SM, datang dalam jumlah yang besar kelompok bangsa dari Asia Selatan (India) dan Asia Tengah, yang dikenali sebagai Deutero Melayu dan membawa pengaruh budaya Hindustan di Nusantara.

Bangsa-Bangsa di Nusantara, sebagian besar merupakan hasil pembauran dari 2 komunitas ini, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Mereka merupakan zuriat (keturunan) dari Yafet bin Nuh (Haplogroup IJK), yang berkembang menjadi Haplogroup K, kemudian memunculkan ras baru Haplogroup NO. Dari Haplogroup NO inilah, kemudian muncul bangsa Nusantara (bangsa Austronesia), yang di dalam Human Y-chromosome DNA (Y-DNA) haplogroups, dikenali sebagai Haplogroup O1a-M119

B. Bukti pendukung di kemudian hari

1. Proto Melayu dan Sundaland

Sebagaimana kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh AS, semua peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya keluarga Nabi Nuh AS beserta pengikutnya. Sekelompok pengikut Nabi Nuh AS yang selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari, di sekitar Sundaland akhirnya menjadi sebuah Pusat Peradaban dunia, yang dikenal sebagai Peradaban Atlantis.


Pada sekitar tahun 9.600 SM, menurut catatan Plato, Peradaban Atlantis ini hancur dilanda banjir. Penduduk Atlantis berpencar ke seluruh penjuru bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti ras Mongoloid dan Altai.

Setelah situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, ada sekelompok kecil dari bangsa Atlantis yang mulai “pulang kampung”. Dan pada puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500 SM – 1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu.

2. Teori Out of Sundaland

Keberadaan peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor Arysio Santos dari Brasil, melalui bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Di dalam bukunya itu, Profesor Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis, yang disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias.


Sebelumnya pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku berjudul,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana (out of Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi.

Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan permukaan laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000 – 7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan permukaan laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi.

Dukungan bagi hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya, melalui jurnal berjudul “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008, yakni pada makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).

Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland, yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.

Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya permukaan laut di wilayah ini, dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur (New Guinea dan Pasifik), dan ke barat (daratan utama Asia Tenggara), terjadi dalam masa sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E (Note: mungkin yang dimaksud haplogroup O), yang merupakan komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.

Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania, pada sekitar 8.000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 14.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini (Sumber: mail-archive).


Gambar 1. Peta sebaran Gen di Asia Tenggara, diambil dari L. Jin et. al

3. Migrasi Deutero Melayu menurut Naskah Wangsakerta

Setelah selama ribuan tahun Bangsa Proto Melayu mendiami Nusantara. Pada sekitar tahun 300 SM, datang bangsa pendatang, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Deutero Melayu. Teori Migrasi Deutero Melayu, ternyata bukan berasal dari Sejarawan Barat (Belanda), seperti NJ. Krom, Eugene Dubois, JG. de Casparis dan sebagainya, melainkan berasal dari seorang sejarawan Nusantara, yang bernama Pangeran Wangsakerta, beliau diperkirakan hidup pada pertengahan abad ke-17M.


Melalui Naskah Wangsakerta, beliau menuturkan Silsilah Aki Tirem (Sesepuh masyarakat Salakanagara, pada abad 1 Masehi), sebagai berikut:

“Aki Tirem putera Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang putera Datuk Waling putera Datuk Banda putera Nesan”

Selanjutnya ia menulis, leluhur Aki Tirem bernama Aki Bajulpakel berdiam di Swarnabumi (Sumatera) bagian Selatan, kemudian Datuk Pawang Marga berdiam di Swarnabumi bagian Utara dan Datuk Banda berdiam di Langkasungka India.

Dari penelusuran Genealogy di atas, nampak jelas bahwa jalur migrasi bangsa Deutero Melayu, adalah bermula dari tanah India, lalu memasuki Nusantara melalui Swarnabumi (Sumatera) dan kemudian menuju ke pulau Jawa

Keragaman leluhur penduduk Nusantara, semakin diperkaya dengan kehadiran keturunan Nabi Ibrahim AS, dari Dinasti Pallawa yang dikenal sebagai Dewawarman I . Di kemudian hari Dewawarman I menjadi penguasa di Salakanagara, dan menikah dengan anak Aki Tirem yang bernama Pohaci Larasati.

Berikut silsilah dari Raden Wijaya (Pendiri Majapahit):

01. Raden Wijaya bin

02. Rakeyan Jayadarma bin

03. Prabu Guru Darmasiksa bin

04. Darma Kusuma bin

05. Rakeyan Jayagiri bin

06. Lalang Bumi bin

07. Darmaraja bin

08. (puteri Kahuripan) binti

09. Dharmawangsa Teguh bin

10. Sri Makuta Wangsa Wardhana bin

11. Sri Isyana Tunggawijaya bin

12. Mpu Sindok bin

13. (putera Mpu Daksa) bin

14. Mpu Daksa bin

15. Rakai Watuhumalang bin

16. Pramodawardani binti

17. Samaratungga bin

18. Samaragwira bin

19. Rakai Panangkaran bin

20. Sanjaya bin

21. Brata Senawa bin

22. (Prabu Galuh II) bin

23. Wretikandayun bin

24. (cicit Suryawarman) bin

25. (cucu Suryawarman) bin

26. (puteri Suryawarman) binti

27. Suryawarman bin

28. Candrawarman bin

29. Indrawarman bin

30. Wisnuwarman bin

31. Purnawarman bin

32. Dharmayawarman bin

33. Dewi Minawati (suaminya Dewi Minawati, bernama Jayasingawarman, pendiri kerajaan Tarumanagara) binti

34. Sphatikarnawa Warmandewi binti

35. Dewawarman VII bin


36. Dewawarman VI bin

37. Mahisasura Mardini Warmandewi binti

38. Dewi Tirta Lengkara binti

39. Dewawarman III bin

40. Dewawarman II bin

41. Dewawarman I (menikah dengan puteri Pohaci Larasati binti Aki Tirem bin Ki Srengga bin Nyai Sariti Warawiri binti Sang Aki Bajulpakel bin Aki Dungkul bin Ki Pawang Sawer bin Datuk Pawang Marga bin Ki Bagang bin Datuk Waling bin Datuk Banda bin Nesan).


Berdasarkan penelitian sejarah, pendiri kerajaan Salakanagara (Dewawarman I) yang merupakan leluhur raja Majapahit berasal dari Dinasti Pallawa (Pallava) di India. Beliau datang ke Jawa Dwipa (pulau Jawa) pada sekitar abad pertama Masehi dan memerintah kerajaan Salakanagara bersama isterinya yaitu Pohaci Larasati pada tahun 130M-168M

4. Queen Amuhia (Istri Nabuchadnezzar II) adalah putri Nusantara

Kita sering menemukan hasil penelitian dari ahli sejarah, yang bercerita tentang leluhur nusantara. Ada yang memperkirakan mereka berasal dari India, Cina, Asia Tengah dan sebagainya. Tahukah anda, jika bangsa-bangsa di dunia ini ternyata berkemungkinan mengalir darah Jawa (Melayu)? Melalui Penelusuran Genealogy, fakta sejarah ini bisa dibuktikan.


Kisah ini bermula pada peristiwa sekitar tahun 600 SM, ketika Nebuchadnezzar II (King of Babylon), mengirimkan beberapa ekspedisi ke wilayah Timur, yang tujuannya untuk mengambil pohon-pohon besar serta benih-benih bunga pilihan, untuk kemudian di tanam di Taman Tergantung Babylon.


Gambar 2. Ilustrasi taman gantung Babylonia

Inisiatif pembuatan Taman Bergantung ini, dilakukan dalam upaya untuk mengobati kerinduan Permaisuri Amuhia, kepada suasana kampung halamannya

Para pakar sejarah mencatat, Queen Amuhia (630-565 SM) merupakan keluarga King Cyaxares of The Medes (690-585 SM). Memperhatikan jarak usia keduanya, sekitar 60 tahun, kuat dugaan Queen Amunia, adalah cucu dari King Cyaxares. Ayah dari Queen Amunia, adalah seorang Pangeran dari bangsa Medes, yang juga merupakan saudara King Astyages of The Medes (660-550 SM).

Untuk dipahami, wilayah Medes berada di daerah sekitar Persia (Iran), yang keadaan alamnya, kurang lebih mirip dengan Babylon (Irak). Jadi sangat mengherankan pendapat yang menyatakan, Queen Amuhia merindukan suasana di Medes, terlebih lagi lokasinya tidak seberapa jauh dari Babylon.

Lokasi kampung halaman Queen Amuhia masih penuh misteri. Beberapa sejarawan menduga, kampung halaman yang dimaksud tidak lain adalah Tanah Jawa (Nusantara), yang berada nun jauh disana serta penuh dengan pepohonan dan beraneka ragam bunga. Sehingga mengapa ada seorang Princess dari Medes, bisa bertempat tinggal di Jawa (Nusantara)? Mungkinkah ibunda Queen Amuhia, adalah puteri dari negeri Melayu? Jawabannya yaitu; karena Queen Amuhia (Amytis of Media), sedari kecil telah akrab dengan suasana tropis di negeri yang subur, di kampung halaman ibunya.

* Porselen Kuno dan Pelaut Nusantara

Prof. Giorgio Buccellati, seorang arkeolog senior dari University of California-Los Angeles (UCLA), yang saat itu terkagum-kagum dengan sebuah temuannya. Ia menemukan sebuah porselen cekung, yang di atasnya terdapat fosil sisa-sisa tumbuhan cengkeh. Buccellati saat itu tengah melakukan penggalian di atas tanah bekas rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 SM di Terqa, Eufrat Tengah. Sebagai pakar, Buccelatti mengetahui jika cengkeh hanya bisa hidup di satu tempat di muka bumi, yakni di Nusantara (Kepulauan Maluku). Temuan inilah yang kemudian muncul termin Clove Route atau jalur perniagaan rempah-rempah cengkeh bangsa Nusantara hingga sampai ke Fir’aun Mesir.


Temuan tersebut membuktikan kepada kita jika di masa sebelum masehi, di zaman para nabi-nabi, pelaut-pelaut Nusantara telah melanglang buana menyeberangi samudera dan menjalin hubungan dengan warga dunia lainnya. Bahkan Dick-Read meyakini jika sistem pelayaran, termasuk perahu-perahu, dari para pelaut Nusantaralah yang menjadi acuan bagi sistem dan bentuk perahu banyak negeri-negeri lain di dunia. Keyakinan ini diamini oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan senior seperti Dr. Roland Oliver

Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman AS (sekitar tahun 950 SM), diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir berada di Pulau Sumatera, yang dikenal sebagai “Pulau Emas” atau dalam bahasa sanskrit bernama “Swarna Dwipa” (Suvarnadvipa). Bahkan menurut informasi Pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir.

Berdasarkan data arkeologis di atas, kepulauan Nusantara pada sekitar 600 SM, telah terdapat pusat-pusat perdagangan, baik itu di pulau Sumatera sampai ke Maluku. Diduga Queen Amuhia, bertempat tinggal di salah satu Pusat Perdagangan ini, untuk menemani kedua orang tuanya, yang menjadi konsul perdagangan bangsa Medes di Nusantara.

* Amuhia, Leluhur Seribu Raja

Perkawinan antara King Nebuchadnezzar II dan Queen Amuhia, melahirkan seorang putera dan tiga orang puteri. Berdasarkan penyelusuran Genealogy, melalui zuriat salah seorang cucunya, yang bernama Nidintu-Bel (Prince) of Babylon (Nebuchadnezzar III of Babyon), kelak akan lahir para penguasa baik di negeri timur maupun barat. Berikut keturunannya (anak laki-laki) yang menjadi raja-raja di Nusantara:

Maharaja Nusirwan ‘Adil, Leluhur Raja-Raja Melayu (Anushirvan/King Khosrow I “The Just” of Persia) bin Maharaja Kibad Syahriar (Kavadh I of Persia) bin Firuz II of Persia bin Yazdagird II of Persia bin Bahram V of Persia bin Yazdagird I of Persia bin Shapur III of Persia bin Shapur II “The Great” of Persia bin Ifra Hormuz binti Vasudeva of Kabul bin Vasudeva IV of Kandahar bin Vasudeva III of Kushans bin Vasudeva II of Kushans bin Kaniska III of Kushans bin Vasudeva I of Kushans bin Huvishka I of Kushans bin Kaniska of Kushanastan bin Wema Kadphises II of Kunhanas bin Princess of Bactria binti Calliope of Bactria binti Hippostratus of Bactria bin Strato I of Bactria bin Agathokleia of Bactriai binti Agathokles I of Bactriai bin Pantaleon of Bactria bin Sundari Maurya of Magadha binti Princess of Avanti binti Abhisara IV of Avanti bin Abhisara III of Pancanada bin Abhisara II of Taxila bin Abhisara I of Taxila bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Andia (Andria) of Babylon (menikah dengan Artaxerxes I of Persia) binti Nebuchadnezzar IV of Babylon bin Nidintu-Bel (Prince) of Babylon (Nebuchadnezzar III of Babyon) bin Princess of Babylon binti Queen Amuhia.

***
Demikianlah uraian singkat mengenai asal usul bangsa Nusantara. Masih perlu dikaji lebih mendalam agar semakin jelas dan mengukuhkan kebenaran bahwa kita – bangsa Indonesia – sebagai keturunan yang unggul. Sehingga, mulai dari sekarang dan seterusnya akan selalu percaya diri dan terus berinovasi untuk mewujudkan peradaban yang gemilang. Kembali kepada jati diri kita sendiri yang sesungguhnya, dan tidak lagi terlalu mengagungkan bangsa lain. Karena kita sendiri sejatinya adalah bangsa yang paling unggul di dunia.

Semoga tidak lama lagi ruh kejayaan manusia yang keempat – yang akan muncul dari Nusantara (meski harus diawali dulu dengan bencana besar) – akan bangkit. Sehingga akan mengakibatkan kehidupan peradaban dunia akan kembali gemilang dengan nilai yang lebih mulia. Dan semoga kita bisa menyaksikan dan merasakan semua keindahan itu. Amiin.

Yogyakarta, 08 Oktober 2011

Mashudi Antoro 



Sumber:
http://membukamisteri.blogspot.com/2006/09/asal-usul-bangsa-nusantara-asli.html