Tuesday, May 27, 2014

Raksasa Gajah & quot; Siko-sikonyo & quot; di Besemah

Raksasa Gajah & quot; Siko-sikonyo & quot; di Besemah

Batu gelondongan itu luar biasa uniknya. Bukan soal ukuran dan bobotnya yang beribu-ribu kilogram, melainkan bekas tatahan, goresan, dan guratan di sekujur batu andesit berupa adanya sosok besar raksasa manusia tambun dengan bibir tebal, mata belok, telinga besar, dan hidung pesek.

Sosoknya pun gempal dan tangannya gemuk serta kaki bergelang, berikut hiasan tubuh dengan atribut yang berlainan dengan seni arca kuna peninggalan masa Buddha dan Hindu yang ada di Indonesia.

Siapo, apo, bilamana, di mano, dan bagaimana kisah temuan batu besar berhiaskan tatahan dan torehan ”gambar”, juga siapa yang memboyong arca kuna asal dataran tinggi Pasemah yang disebut warga dan pemerintah daerah setempat dengan Besemah, hingga kini bercokol di ruang pamer Museum Balaputeradewa di Kota Palembang. Pertanyaan itu yang merangsang tim survei Jelajah Musi 2010 mendatangi kampung Kota Raya Lembak di Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, tetangga dengan Kota Pagar Alam, di dataran tinggi Gunung Dempo, Sumatera Selatan.

Di sela dusun yang dikepung perkebunan kopi dan sahang, Asmani (56), warga, mengantar tim ke situs bekas ditemukannya batu gajah atau batu bulatan tunggal berguratkan tatahan unik sosok manusia, hewan gajah dan babi hutan dengan hiasan misterius juga. Di lokasi in-situ itu, Asmani menuturkan sisa ingatannya perihal kisah kakeknya yang ikut membantu ”tuan belanda” zaman sebelum perang memindahkan batu berat itu ke Palembang.

”Kalau tidak salah masih di zaman perang, mungkin sekitar tahun 1949,” tutur pensiunan juru pelihara situs Koto Raya.

Untungnya, Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti meluruskan info itu. ”Seingat saya, FM Schnitger yang memindahkan ke Palembang, bukan Van der Hoop,” ujarnya. Informasi Rangkuti ini disahkan Djohan Hanafiah, budayawan Sumatera Selatan, sambil membuka buku Schnitger, The Forgotten Kingdoms in Sumatra (1939). Batu besar itu kini ada di depan halaman Museum Rumah Bari di Palembang.

Beberapa penemu dan peneliti jauh di bawah zamannya Van der Hoop sebelumnya menduga, segala temuan benda bentukan manusia berbahan batu besar itu berasal dari peninggalan masa Hindu, jamaknya temuan arca di tempat lain. Pemerintah Belanda akhirnya mengirim Van Eerde mendatangi lokasi dataran tinggi Pasemah di lembah antara Pegunungan Gumai dan Bukit Barisan, di lereng Gunung Dempo (3.150 meter) yang berhawa sejuk pada 1929, serta memastikan pendapatnya yang berbeda dengan ”teori” yang berkaitan dengan kebudayaan peninggalan masa Hindu.

Akhirnya Van Eerde menugaskan ANJ Th van der Hoop agar melakukan penelitian mendalam selama tujuh bulanan pada 1930-1931. Van der Hoop mendatangi hampir semua lokasi yang dilaporkan banyak temuan megalit berupa arca manusia dan hewan dari batu besar, menhir, dolmen, bilik batu, lesung, palung, kubur batu berundak, dan lainnya.

Publikasi peninggalan tradisi megalitik Van der Hoop di Sumatera Selatan ternyata masih menjadi bahan kajian ilmiah studi tradisi megalitikum di Sumatera dan Indonesia.

Terkuak Lelaki Belanda yang kemudian terkenal dengan bukunya, Megalithic Remains in South Sumatra (1932), itu memanfaatkan waktunya untuk mencatat temuan megalit di tanah subur perkebunan sayur-mayur, teh, dan kopi. Wawasan studi megalitikum di Sumatera boleh dikata mulai terkuak. Pendapat dan ”teori gaek” dari Letnan Infanteri Ullman (1850), perwira kesehatan EP Tombrink (1870), Engelhard (1891), dan Residen Bengkulu Westernenk (1922), yang menegaskan temuan itu berhubungan dengan ”pengaruh Hindu pada budaya batu besar”, akhirnya menguap seusai dan memancing studi kelanjutan arkeologi prehistori di Pasemah.

Siapa pendukung dan pelaku budaya batu besar itu, diuraikan Van der Hoop dengan catatan di buku berikut foto-foto bagusnya. Lalu, muncul kembali pembahasan dalam karya pendek HW Vonk, De Batoe Tatahan bij Air Poear (Pasemah Landen)–1934, mengulas hasil temuannya di bilik batu. Dari gabungan dua peneliti Belanda itu, sebetulnya sudah ada kesepakatan ilmiah bahwa segala peninggalan batu besar sebetulnya ”bukti” hasil warga bertradisi megalit sekitaran Pasemah. Khususnya arca batu yang in-situ, boleh dikata tidak ada ciri-ciri seperti cakra, sangka, dan pertanda lazimnya suatu arca berbudaya Hindu.

Arca batu besar Pasemah yang disebut-sebut bersifat dinamis dan berukuran besar serta sosoknya unik tidak mungkin digunakan dalam tata upacara Hindu. Bahkan, arca antropomorf yang berbibir tebal dengan pipi gembil, badan tambun, dan mata belok merupakan arca untuk upacara atau ancestor worship. Arca macam itu tidak mungkin digunakan dalam upacara Hindu, tetapi kemungkinan penggambaran, atau personifikasi dari arwah yang meninggal atau para pemimpin yang disegani masyarakat” (Ayu Kusumawati dan Haris Sukendar, 2003).

Lebih jauh CW Schuler pada tahun 1936 menemukan juga lukisan dan pahatan di dinding bilik batu, hasil dan terbitan penelitian Schuler dilanjutkan Frederic Martin Schnitger yang membahas dalam laporan Prehistoric Monuments in Sumatra (1938). Malah, Schnitger dengan khusus menulis soal arca gajah raksasa sehubungan dengan adat mengayau kepala manusia dalam karangan Een Olifantsbeeld uit Zuid-Sumatra (1938).

”Minat studi Schnitger terhadap arca batu gajah, saya anggap yang merangsang Schnitger yang kontrolir Palembang, memboyong batu lebih dari lima ton yang sekarang ada di Museum Negeri Sumsel Balaputradewa,” kata Rangkuti yang ikut ke lapangan, Februari lalu.

”Kaum arkeolog berterima kasih atas upaya keras Schnitger mengamankan arca itu meskipun dilematis karena dari sudut pandang arkeologi batu gajah itu seharusnya tetap berada di situsnya, seperti arca batu raksasa lain yang berserakan di sekitar 20 situs di kawasan budaya megalit Pasemah,” ucap Rangkuti.

Dari segala laporan, mulai dari Westenenk, Van der Hoop, hingga Schnitger, Rangkuti menganggap peneliti megalit Indonesia masih mengacu ke pustaka klasik itu.

Pasemah semakin istimewa lagi karena teknik pengarcaannya menggabungkan sosok manusia dengan wujud hewan seperti gajah, kerbau, harimau, ular, babi hutan, dan lainnya. ”Gaya pengarcaan yang menurut Von Heine Gelderen yang strongly dynamic agitated, suatu budaya monumental yang dinamik ala Pasemah, sungguh suatu local genius tiada tara. Tidak sama dan tidak ada kesamaannya dengan peninggalan megalit di Nias, Sumba, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan,” ujar Rangkuti.

Andaikan potensi budaya megalit ini dimanfaatkan dan dimekarkan, nama Pasemah atau Besemah dengan Gunung Dempo pasti akan masyhur nian di dunia karena batu besak Pasemah itu satu-satunya, siko-sikonyo. Ya apa tidak, yo apo idak?


RUDY BADIL, wartawan senior, dan BUDIAWAN SA, Litbang Kompas

 
Sumber: http://cetak.kompas.com/

No comments:

Post a Comment