Monday, May 26, 2014

Moyang Purba dari Padang Bindu

Moyang Purba dari Padang Bindu

08 Mei 2011 21:01
Liputan6.com, Palembang: Ada banyak cerita tentang leluhur negeri ini. Ada banyak kisah dari masa lampau yang tak tercatat karena budaya tulis belum dikenal ketika zaman berada di titik prasejarah. Dan di wilayah selatan Sumatra, tepatnya di Desa Padangbindu, Ogan Komering Ulu, jejak pendahulu bangsa ini pun tersingkap. Jejak purba itu berupa rangka manusia berusia sekitar tiga ribu tahun.
Lokasi penemuannya berada di gua. Gua Harimau namanya. Perlu waktu lebih dari enam jam perjalanan darat dari Palembang, Sumatra Selatan, untuk mencapai gua yang terletak di jajaran karst sebelah timur kaki Bukit Barisan.

Penelitian ini sudah berjalan sejak tiga tahun silam. Penelitian panjang yang digagas Profesor Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasilnya memang tak sia-sia. Ada 33 rangka yang ditemukan. Ini jelas temuan besar, sebab sebelumnya gua dan ceruk payung di wilayah Sumatra Selatan tak pernah terendus jejak kehidupan manusia purba.

Tak sekadar terkait nenek moyang, penggalian ini juga menguak kisah perjalanan ras manusia yang sebagian besar menetap di Asia Tenggara. Dunia antropologi menyebutnya sebagai ras Mongoloid. Teori migrasi menyebut manusia Nusantara berasal dari Taiwan yang melakukan perjalanan jauh sekitar empat ribu tahun lampau.

Teori ini menguraikan ras Mongoloid menyebar dari Taiwan melalui Filipina, Sulawesi menuju Kalimantan. Tapi dengan ditemukannya rangka di tanah Sumatra lahir asumsi bahwa jalur migrasi tak hanya lewat Filipina, tapi juga melalui Sumatra.

Dari segi morfologi, batok tengkorak yang meninggi dan membundar juga dari gigi seri dan bentuk rongga mata, peneliti meyakini rangka Gua Harimau berciri ras Mongoloid. Ras yang menghuni sebagian besar wilayah Indonesia.

Gua memang tempat terbaik untuk berlindung bagi manusia purba. Kehidupan tumbuh di dalamnya, meski ketika itu budaya mengenal huruf belumlah tumbuh. Untuk mengekspresikan sesuatu mereka menggambar atau mencoreti dinding gua. Dan Gua Harimau menjadi ladang harta karun istimewa bagi sejumlah arkeolog. Tak hanya temuan berupa kerangka manusia, mereka juga menemukan lukisan dinding gua.

Inilah fase ketika seni cadas mulai hidup menjadi penanda munculnya peradaban manusia yang tercermin dari goresan-goresan berwarna merah. Peneliti percaya, coretan itu terkait dengan imajinasi manusia gua yang mewakili pesan tertentu dan bersifat spontan.

Dan yang lebih penting, penemuan lukisan ini mematahkan paradigma yang nyaris abadi. Anggapan Sumatra tidak mengenal tradisi coretan di gua serta merta telah terpatahkan.

Pesan dan simbol komunikasi yang ada memang masih menjadi bahan penelitian. Tapi apa pun gambarnya, ada sebuah cerita yang sudah diguratkan para pendahulu Nusantara. Cerita bahwa ternyata khayalan manusia ketika itu telah tersalurkan meski dengan cara sederhana. Keberadaan lukisan tak tersebar seluas dinding gua. Manusia ketika itu hanya melakukannya pada titik-titik tertentu.

Menggali masa lampau bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Butuh waktu panjang untuk menarik sebuah kesimpulan yang matang. Setiap temuan harus dianalisis dengan teliti, baik sebelum ekskavasi maupun ketika penggalian dinyatakan cukup bukti.

Informasi bahwa Gua Harimau menjadi hunian manusa purba diawali laporan penduduk setempat yang tanpa sengaja menemukan fosil manusia tiga tahun silam. Kabar ini pun sampai ke telinga Truman. Dan tanpa membuang waktu, penelitian pun dimulai. 

Gua Harimau hanyalah satu di antara banyak gua yang diindikasikan sebagai wilayah hidup manusia prasejarah. Gua-gua itu di antaranya adalah Selabe, Putri, dan Pandan. Sedemikian lama gua ini tak pernah terjamah. Warga setempat enggan mendatangi karena meyakini masih banyak harimau berkeliaran di areal gua. Itu sebabnya pula gua ini dinamakan Gua Harimau.

Kini penelitian sudah dihentikan. Kotak-kotak penggalian harus kembali ditutup. Penutupan menjadi penting untuk mencegah perusakan dan pencurian. Kedatangan sejumlah peneliti ke Gua Harimau sedikit banyak mengubah pandangan warga. Mereka tak lagi menganggap gua ini sesuatu yang  menyeramkan.

Penutupan ini tak berarti penelitian sudah tuntas. Masih banyak hal yang perlu diteliti dan masih banyak hal yang perlu diurai. Untuk sementara waktu peneliti harus meninggalkan lahan ekskavasi di tengah cuaca yang tak bersahabat. Semua demi merekonstruksi jati diri masa silam. Jati diri nenek moyang bangsa ini.(ADO)
 


Sumber:
http://news.liputan6.com/read/333354/moyang-purba-dari-padang-bindu

;

No comments:

Post a Comment