Tuesday, June 24, 2014

Seruling 40 ribu tahun, gimana ngitungnya?

Seruling 40 ribu tahun, gimana ngitungnya?

Kaum Evolusionis berpendapat, pada sekitar 10.000 tahun yang lalu, umat manusia masih sangat primitif. Benarkah demikian ?

Pendapat Evolusionis diatas, sepertinya hanya sebuah rekaan sejarah. Hal ini dikarenakan, telah ditemukannya benda-benda arkeologis, yang menunjukkan sebelum masa 10.000 tahun yang lalu, umat manusia sudah memiliki peradaban yang maju.
Beberapa contoh, benda arkeologis itu adalah :

Salah satu bukti bahwa manusia telah memiliki kebudayaan selama ribuan tahun, adalah ditemukannya seruling berumur 40.000 tahun ini. Riset ilmiah menunjukkan bahwa seruling seperti ini, berbasis skala 7-not Barat modern, digunakan puluhan ribu tahun silam (Sumber : Zaman Batu (Kebohongan Sejarah)).

Jarum berumur 26 ribu tahun: temuan menarik ini menunjukkan bahwa manusia Neanderthal berpengetahuan menjahit baju sejak puluhan ribu tahun yang lalu (D. Johanson, B. Edgar, From Lucy to Language, h. 99) (Sumber : harunyahya.com)

Bagaimana arkeolog, menghitung usia benda-benda itu?

Para ilmuwan saat ini, telah mengembangkan metode baru untuk menentukan usia benda-benda purbakala tanpa menyebabkan kerusakan.
Menurut Dr. Marvin Rowe, kepala tim peneliti, teknik ini dapat dipakai untuk menentukan umur benda purbakala yang selama ini tersimpan di museum dan terlarang diteliti karena khawatir rusak.
Dr. Rowe menjelaskan metode baru tersebut berupa bentuk lebih lanjut dari radiocarbon dating (penanggalan radiokarbon) yang selama ini digunakan arkeolog untuk memperkirakan umur sebuah benda dengan mengukur kadar radioaktif karbon yang terjadi secara alamiah karbon.
Pada metode yang lama, sedikit sampel objek diambil, misalnya kain atau bagian tulang yang kemudian dibakar untuk mengetahui jejak karbon. Metode baru yang disebut non-destructive carbon dating, sama sekali tidak melibatkan sampel.
Pada metode baru, ilmuwan menempatkan artefak di ruang khusus berplasma di mana sebuah gas bermuatan listrik digunakan dan layar besar menampilkan di layar televisi. Secara perlahan gas mengoksidasi permukaan objek untuk menghasilkan karbon dioksida dengan analisis C-14 tanpa merusak permukaan objek (Sumber : tempointeraktif.com).
Rowe dan rekan-rekannya menggunakan teknik ini untuk menganalisis usia sekitar 20 zat-zat organik yang berbeda. Hasilnya ternyata cocok dengan metode konvensional. Seperti Metode yang lama, metode baru ini mampu menghitung umur objek sampai 50.000 tahun.
Penemuan benda purbakala yang berumur ribuan tahun ini, semakin memberi keyakinan pada kita, bahwa umat manusia, pernah mengalami masa kemajuan kebudayaan puluhan ribu tahun yang silam (Kunjungi : Kapal Nabi Nuh, Misteri Sejarah Peradaban Manusia dan Patung Sphinx, Bukti Arkeologis Bencana Nuh 13.000 tahun yang silam).

Untuk kemudian Kebudayaan itu hancur, dilanda bencana yang maha dahsyat, yang berakibat Peradaban Umat Manusia, harus kembali ke “titik nol”.


Sumber:
http://kanzunqalam.com/2011/02/04/seruling-40-ribu-tahun-gimana-ngitungnya/





Gua Pawon, Pesona Eksotis Gua Purba

Sabtu, 12 April 2014 | 08:24 WIB

Gua Pawon, Pesona Eksotis Gua Purba

Oleh: Ricky Reynald Yulman
Gua Pawon, Pesona Eksotis Gua Purba
Gua Pawon - istimewa 
 
GUA purba ini tak hanya indah di mata para penjelajah, tapi jadi tantangan ketika kita mencari kaitannya dengan peradaban manusia.

Awal Maret 2014, para peneliti Balai Arkeologi (Balar) Bandung menemukan jejak manusia prasejarah di Gua Pawon, di Kabupaten Bandung Barat.

Penggalian salah satu bagian gua ini dilakukan Sabtu dan Minggu, 1-2 Maret 2014 mendapatkan tulang telapak jari kaki. Diperkirakan sudah ada sejak 9.500 tahun lalu. Sebelumnya Balar Bandung telah menemukan kerangka manusia purba pada 2003 dan digali pada 2009.

Selain kerangka para peneliti juga menemukan sejumlah artefak lain seperti alat-alat rumah tangga dari batu menyerupai pisau, wadah penyimpan makanan, dan sisa makanan. Boleh jadi ini alasan gua ini disebut Gua Pawon. Pawon sendiri merupakan kata dalam bahasa Sunda yang berarti dapur.

Sekurangnya lewat berbagai temuan di gua yang total luasnya mencapai 300 meter persegi tersebut, masyarakat bisa tahu bahwa di gua ini memang pernah menjadi tempat tinggal manusia purba, nenek moyang masyarakat Sunda.

Lima tahun terakhir, selain untuk keperluan penelitian arkeologi, geografi, dan geologi, Gua Pawon cukup sering dikunjungi masyarakat sebagai tempat wisata minat khusus. Terutama untuk para penggemar ilmu tentang kebumian maupun sejarah.

Sebagai tempat wisata, kawasan Gua Pawon memang menawarkan keindahan. Pemandangan dari pintu maupun jendela gua ke luar gua, rasanya sulit ditemui di tempat lain. Sementara struktur gua di dalam dengan stalagmit dan stalagtit juga tak kalah indah.

Wisatawan biasanya datang berkelompok ke tempat ini. Sebagian mereka dipandu orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang Gua Pawon. Baik dari sisi sejarah, geologi, geografi, arkeologi, serta sejarah budaya.

Selain mendengarkan penjelasan para pemandu, mereka yang datang juga bisa mengambil foto-foto eksotis, serta makan siang bersama sambil menikmati keindahan kawasan karst (batu kapur) Citatah yang ada di Desa Gunung Masigit, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Perjalanan berkelompok seperti ini tentu lebih banyak menambah wawasan dibanding pergi seorang diri.

Gua Pawon sendiri terletak sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Bandung. Dari Kota Bandung perjalanan yang harus ditempuh wisatawan yaitu ke arah Padalarang. Kemudian melanjutkan ke arah Cipatat. Tempat penghentian ada di sisi jalan, tak jauh dari Situ Ciburuy.

Tandanya berupa sebuah papan bertulis Situs Sejarah Gua Pawon. Mereka yang baru pertama datang sebaiknya bertanya ke warga setempat. Dari sini ke Gua Pawon bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik ojek. [rni]



Sumber:
http://m.inilah.com/read/detail/2091222/gua-pawon-pesona-eksotis-gua-purba

Tersingkap Lagi Manusia Prasejarah di Gua Pawon

Tersingkap Lagi Manusia Prasejarah di Gua Pawon  

Tersingkap Lagi Manusia Prasejarah di Gua Pawon  
Gua Pawon di Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (TEMPO/Prima Mulia)



TEMPO.CO, Bandung: Para peneliti Balai Arkeologi (Balar) Bandung menemukan lagi jejak manusia prasejarah di Gua Pawon, Kabupaten Bandung Barat. Penggalian pada Sabtu dan Ahad, 1-2 Maret 2014 mendapatkan tulang telapak jari kaki. "Diperkirakan berusia lebih tua dari 9.500 tahun lalu," ujar peneliti Balar Bandung kepada Tempo, Ahad, 2 Maret 2014.

Lokasi penemuan terbaru berada di tempat yang sama dari kuburan manusia prasejarah temuan kedua. Jarak kedalamannya selisih 20 sentimeter atau 180 sentimeter dari permukaan tanah gua. "Diduga tulang kaki itu manusia prasejarah berumur dewasa," kata Lutfi.

Tim masih melakukan penggalian untuk menyingkap sosok utuh kerangka manusia prasejarah tersebut, juga menghitung umurnya. Selain itu, peneliti juga menemukan sisa tempat makan, tulang belulang sisa makanan, dan temuan artefak batu gamping. "Makin ke dalam, artefaknya makin beragam," ujar dia.

Menurut Lutfi, manusia prasejarah diketahui hidup pada 1,8 juta tahun lalu. Mereka diketahui menghuni gua dengan usia paling tua sejak 30-35 ribu tahun silam. Di Indonesia, kata dia, sejauh ini ada manusia prasejarah di Jawa Timur yang lebih tua menghuni gua dibandingkan dengan di Gua Pawon. "Kami sedang mencari yang lebih tua di Jawa Barat, sekitar lebih dari 25 ribu tahun lalu berdasarkan jalur migrasi manusia dulu," katanya.

Dari tumpukan kuburan manusia prasejarah di Gua Pawon tersebut, kata Lutfi, pertanda Gua Pawon sejak lama telah menjadi hunian. Bisa jadi penghuninya turun temurun tinggal, sehingga perlu dilakukan tes DNA pada kerangka temuannya.

Temuan manusia prasejarah di Gua Pawon awalnya dari anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung. Pada 1999, anggota kelompok yang berlatar keilmuan geologi dan geografi tersebut menemukan batu gamping seperti pisau. "Jangan-jangan di daerah sini ada manusia prasejarah," kata Budi Brahmantyo, salah seorang anggota kelompok tersebut. Pada 2000 mereka menemukan artefak seperti batu obsidian, padahal gua itu berada di kawasan karst atau batuan kapur.

Penggalian kemudian dilanjutkan Balar Bandung. Sejak 2000-2012, peneliti mendapatkan 5 kerangka manusia prasejarah, berusia 5.600-9.500 tahun lalu, di kedalaman 80, 140, dan 160 sentimeter. Lokasi temuan di sebelah utara gua itu kini sudah dipagari untuk kepentingan penelitian. (Baca: Arkeolog Temukan Kerangka Manusia Prasejarah)



Gua Pawon berada di kawasan karst atau batu kapur Citatah, di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Bandung. Gua seluas 300 meter persegi lebih itu terdiri dari beberapa rongga seperti kamar, juga beberapa jendela alami yang besar.

ANWAR SISWADI



Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/03/173558832/Tersingkap-Lagi-Manusia-Prasejarah-di-Gua-Pawon

Tuesday, June 17, 2014

Peneliti Lacak DNA Penghuni Asli Gunung Padang

Peneliti Lacak DNA Penghuni Asli Gunung Padang

Peneliti Lacak DNA Penghuni Asli Gunung Padang
Kawasan situs Megalit Gunung Padang saat dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Bambang Yudhoyono di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. (25/2). TEMPO/Aditya Herlambang Putra


TEMPO.CO, Jakarta - Teka-teki siapa penghuni asli Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menjadi masalah besar bagi tim peneliti yang ingin merestorasi kawasan itu. Belum ada bukti otentik yang bisa menggambarkan pengguna kawasan yang diperkirakan berusia lebih dari 7.000 tahun itu. Tim peneliti berencana melakukan penelitian molekul asam deoksiribonukleat (DNA) untuk mencari hubungan antara masyarakat modern dan penghuni asli Gunung Padang.

Ketua Tim Terpatu Riset Mandiri Ali Akbar mengatakan sulit menunjuk siapa keturunan penghuni asli Gunung Padang jika melihat komunitas yang tinggal di sekitar area itu saat ini. Penduduk sekitar Gunung Padang, menurut Ali, mengaku sudah lama tinggal di daerah itu. "Tapi tidak ada makam-makam tua yang membuktikan bahwa dulu pernah ada penduduk di sana yang sesuai dengan usia Gunung Padang," kata Ali seusai diskusi tentang Situs Gunung Padang di Jakarta, Rabu, 30 April 2014.

Ali, yang juga ahli arkeologi dari Universitas Indonesia, menyebut penelitian DNA akan menyingkap tabir tentang siapa penghuni dan pembangun situs purba terbesar di Asia itu. Penelitian DNA juga bisa memberikan gambaran ke mana saja penghuni Gunung Padang dan keturunannya menyebar. "Selama kami meneliti dalam tiga tahun terakhir, belum pernah menemukan adanya kerangka manusia yang menjadi bukti ada kehidupan purba di situs itu," kata Ali. "Jika ada bentuk peradaban, pasti selalu ada jejaknya."

Ali mengatakan Situs Gunung Padang ditinggalkan karena adanya ancaman bencana alam besar. "Kemungkinan ada gempa yang membuat mereka pergi meninggalkan area tersebut, apalagi di sana merupakan daerah rawan gempa," katanya. Adapun bencana erupsi gunung berapi, menurut Ali, sangat kecil kemungkinannya bisa membuat Situs Gunung Padang ditinggalkan penghuninya begitu saja. "Jika ada bencana gunung api, pasti ada jejak yang tertinggal seperti kerangka yang terkubur. Semuanya harus diteliti lebih dalam lagi," katanya.

Struktur Situs Gunung Padang terletak di atas bukit dengan luas area sekitar 3.000 meter persegi. Total area situs mencapai 17.196 meter persegi. Keberadaan situs ini diketahui pertama kali oleh peneliti dari Belanda, N.J. Krom, pada 1914. Sejak saat itu, berbagai penelitian dilakukan untuk mengungkap rahasia struktur yang disebut sebagai bukti peradaban awal di Indonesia. "Lapisan dalam struktur tersusun rapi, bentuknya seperti tembok batu bata dan menunjukkan pembuatnya sangat disiplin dalam menjalankan konstruksi," kata Danny Hilman Natawidjaja, pakar geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Pengujian usia struktur berdasarkan kondisi karbon yang dilakukan Laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional menunjukkan situs tersebut berusia 5.500 sebelum Masehi. Sedangkan pengujian di Laboratorium Beta Miami di Amerika Serikat menunjukkan material hingga kedalaman 10 meter berusia 7.600-7.800 SM. "Lapisan-lapisan di Gunung Padang itu tidak terbentuk secara alamiah. Bentuknya menunjukkan situs itu dibuat oleh manusia," kata Danny.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA



Sumber
 

http://www.tempo.co/read/news/2014/05/01/061574591/Peneliti-Lacak-DNA-Penghuni-Asli-Gunung-Padang

Mencari Jejak Kehidupan di Situs Gunung Padang

Mencari Jejak Kehidupan di Situs Gunung Padang

Minggu, 15 Juni 2014 | 09:20 WIB
KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, sejumlah batu menhir yang ukurannya sama dengan batu-batu berbentuk limas lainnya menjadi penanda. Pengunjung bebas berjalan di antara bebatuan yang beberapa di antaranya dibatasi hanya memakai tali rafia.


RASA penasaran akhirnya membawa kaki menapaki tangga situs arkeologi Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Hujan yang turun-berhenti berulang mengiringi langkah menuju puncak yang cukup terjal. Napas tak pelak menjadi tersengal-sengal.

Kami memilih menaiki undak-undakan bikinan baru yang anak tangganya tak terlalu tinggi. Undakan asli berada di sebelah kiri, diawali sumur dangkal berair sangat jernih. Masyarakat sekitar Gunung Padang meyakini sumur itu dulunya tempat membersihkan diri sebelum naik ke puncak situs.

Situs Gunung Padang menjadi berita setelah Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang diketuai arkeolog dari Universitas Indonesia, Ali Akbar, menduga ada kebudayaan tinggi membentuk situs tersebut.

Dugaan tersebut tidak terlalu salah. Kelima teras di situs itu memperlihatkan susunan ribuan batuan berbentuk limas sangat teratur, tidak mungkin terbentuk alam. Apalagi, situs memiliki pelataran bertingkat-tingkat.

Uji karbon di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional menunjukkan, situs berusia 5.500 sebelum Masehi (SM). Sedangkan pengujian di Laboratorium Beta Miami di Amerika Serikat memperlihatkan material hingga kedalaman 10 meter berusia 7.600-7.800 SM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan mendatangi Situs Gunung Padang bulan Februari lalu.

Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras. Penelitian pada situs ini belum tuntas mengungkap masyarakat apa yang membentuk situs yang oleh para ahli disebut peninggalan kebudayaan megalitik atau batu besar.

Mendekati puncak bukit, mata langsung bersirobok dengan tumpukan bebatuan berbentuk limas yang panjangnya kira-kira 1,5 meter dan bergaris tengah 25-30 cm. Yang juga segera mencuri perhatian adalah teras-teras tempat batuan itu berada. Dalam lembar informasi tentang Situs Gunung Padang tertulis ada lima teras, dimulai dari teras 1 di bagian paling bawah dan berundak hingga yang tertinggi teras 5.

Pada teras 5 terdapat menhir, yaitu batu-batu berdiri tegak, ukurannya sama dengan potongan batu lain. Di teras 2 ada tumpukan batu yang dinamai ”pusat dunia”. Pemandu kami, Cecep, dari Forum Peduli Situs Gunung Padang, mengatakan, ”pusat dunia” di bawah pohon besar itu memancarkan energi lebih tinggi.

Saya pribadi tidak mengalami apa-apa, kecuali rasa nyaman karena bisa memandang ke luasan bentang alam di sekitar yang hijau serta Gunung Gede dan Gunung Pangrango di bawah pohon rindang.

Mitos

Rerumputan hijau adalah alas bagi tumpukan batuan yang tertata maupun yang terserak di teras-teras Gunung Padang. Sedangkan Gunung Gede dan Pangrango adalah pemandangan mencolok.

”Gunung Gede artinya gunung yang agung. Duduk di Gunung Padang akan langsung menghadap ke Gunung Gede,” kata Dadi, juru pelihara Gunung Padang.

Warga sekitar melekatkan berbagai cerita pada Gunung Padang. Cecep memperlihatkan batu yang di satu ujungnya membentuk jejak seperti cengkeraman kuku hewan buas. Menurut Cecep, itu jejak cengkeraman harimau. Di teras 1 ada batu gamelan karena jika dipukul dengan batu juga akan mengeluarkan suara denting.

Dadi menyebut Gunung Padang sebagai keraton dan disebut Negara Surya Padang. ”Pandangan sangat luas karena cahaya yang terang membangun hubungan dengan Gunung Gede-Pangrango,” tutur Dadi.

Bisa diduga jika banyak mitos menyelimuti Gunung Padang. Ribuan batu berbentuk limas hasil proses alam itu tersusun rapi seperti memagari tiap teras dan tertata di setiap pelataran, mengindikasikan susunan itu hasil cipta manusia. Warga setempat percaya puncak tertinggi Gunung Padang adalah tempat semadi Prabu Siliwangi (1482-1521).

Tak sedikit orang menyepi di sana pada malam hari. Sayangnya, beberapa berusaha membawa pulang batu dari sana. ”Itu yang kami awasi, jangan ada yang pulang bawa batu,” kata Cecep.

Karena mitos pula terpaksa batu ukuran sepelukan orang dewasa setinggi kira-kira 50 sentimeter dipindahkan ke satu-satunya warung di tepi situs. Batu itu sudah beberapa kali mengambil korban kaki pengunjung. ”Ada yang sampai patah kaki. Mereka percaya kesaktian akan meningkat kalau bisa ngangkat batu yang beratnya ratusan kilo itu,” papar Cecep.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Batuan yang tersusun rapi seperti membentuk pagar menandakan ada campur tangan manusia menata batu-batu bentukan alam itu. Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, lebih mirip sebagai tempat melakukan ritual pemujaan daripada permukiman.
Secara ilmiah, Gunung Padang masih dalam penelitian Tim Terpadu Riset Mandiri. Ali Akbar dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, penelitian harus terus dilakukan untuk mengungkap kebudayaan apa yang membentuk Gunung Padang. Tidak terdapat peninggalan lain di sekitar lokasi yang dapat menjadi petunjuk, misalnya, bekas tempat tinggal atau makam. Gunung Padang sendiri lebih terlihat sebagai tempat melakukan ritual daripada tempat tinggal.

Mengubah kehidupan

Menurut situs internet Pemkab Cianjur, Gunung Padang pertama kali muncul dalam laporan Rapporten van de Oudheid-kundigen Dienst (ROD) tahun 1914. Peneliti Belanda, NJ Krom, yang kabarnya ingin mencari emas, melaporkan temuan itu pada tahun 1949.

Tahun 1979 beberapa penduduk melaporkan kembali keberadaan Gunung Padang kepada pemerintah. Pada tahun 1998, pemerintah menetapkan situs ini sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Meski setelah itu situs ini menjadi lokasi wisata, perhatian masyarakat baru muncul setelah ada penelitian Tim Katastropik Purba tahun 2011 dan disusul TTRM sejak 2012.

Gunung Padang sedikit banyak mengubah kehidupan warga sekitar yang sebagian besar bertani. Warung makan bermunculan menjelang masuk kawasan situs. Penyewaan ojek tumbuh, begitu juga jasa memandu wisata. Dadi bahkan membuka tempat menginap sederhana dengan sewa Rp 20.000-Rp 60.000 per malam per orang. Apabila ingin disiapkan makan, tambah Rp 15.000 lagi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Sejumlah warga bermain di sekitar mulut terowongan jalur kereta api di Lampegan, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, jalur penghubung kereta api Cianjur Sukabumi, Senin (7/4/2014). Terowongan tertua di Indonesia dengan panjang 686 meter ini dibangun tahun 1879-1882 oleh Staats Spoorwegen, perusahaan kereta api masa Hindia Belanda.
Untuk mencapai Gunung Padang, sebaiknya membawa kendaraan sendiri. Situs ini berada di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka. Dari Kota Cianjur, berjalan 50 kilometer ke arah Kota Sukabumi dan di sisi kiri akan terlihat papan petunjuk menuju situs.

Masih 20 kilometer dari jalan raya sebelum tiba di Gunung Padang. Jalanan terus menanjak dan di kiri-kanan kebun teh memberi pemandangan berganti-ganti dengan kampung penduduk.

Sekitar 8 kilometer menjelang situs, ada stasiun kereta api Lampegan. Jalur itu menghubungkan Cianjur-Sukabumi. Sempatkan mampir di stasiun kecil, tetapi apik itu untuk menikmati pemandangan terowongan tua buatan tahun 1882 sejarak 500 meter dari stasiun. Kehidupan terasa berhenti di sana. (Ninuk Mardiana Pambudy)
Editor : I Made Asdhiana
Sumber: KOMPAS CETAK

http://travel.kompas.com/read/2014/06/15/0920280/Mencari.Jejak.Kehidupan.di.Situs.Gunung.Padang         

Peta Benua Atlantis yang Hilang Telah Ditemukan

Peta Benua Atlantis yang Hilang Telah Ditemukan

Peta Benua Atlantis yang Hilang Telah Ditemukan
Peta Heracleion ibukota Atlantis yang tenggelam 45 meter di bawah laut, peta ini dibuat oleh peneliti situs sejarah Atlantis.


 Sebuah patung yang ditemukan di dalam lumpur di bawah laut Mediterania. Diperkirakan peninggalan dari kebudayaan Atlantis yang hilang.

 Tiga penyelam memeriksa patung kuno Hapi, dewa sungai Nil, di situs kota Heracleion yang tenggelam di dasar laut Mediterania.

 Patung sphinx yang ditemukan di dasar laut teluk Aboukir berhasil diangkat ke permukaan. Situs ini ditemukan tahun 2001 dan sejak saat itu arkeologi berdatangan untuk menelitinya.

 Ahli arkeologi kelautan Frank Goddio menunjukan prasasti batu yang berhasil diangkat dari situs Heracleion.

Ahli arkeologi kelautan Frank Goddio menunjukan prasasti batu yang berhasil diangkat dari situs Heracleion.


Tempo


Sumber:
http://giant41.blogspot.com/2013/04/peta-benua-atlantis-yang-hilang-telah.html

"Indonesia Terdiri dari 32 Klaster Genetika"

"Indonesia Terdiri dari 32 Klaster Genetika"
 
Lembaga Eijkman sedang mengumpulkan peta genetika manusia Indonesia.
   
Deputi Direktur Lembaga Eijkman Jakarta, Herawati Sudoyo Siti Sarifah Alia, Erick Tanjung, Amal Nur Ngazis | Jum'at, 13 Juni 2014, 23:38 WIB
 VIVAnews – Membicarakan genetika di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Lembaga Eijkman. Dan membicarakan lembaga yang sekompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini tak lepas dari figur Sangkot Marzuki, sang Direktur, dan Herawati Sudoyo, sang deputi direktur.

Setelah menyelesaikan kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, Herawati melanjutkan studi ke Monash University di Australia, mengambil PhD soal penyakit mitokondria.


Saat Sangkot diminta melakukan riset mendalam soal genetika oleh Presiden BJ Habibie, orang pertama yang dimintanya bergabung adalah Herawati. Dan pilihan itu terbukti benar, Herawati merupakan ilmuwan di balik identifikasi pelaku pemboman Kedutaan Australia di tahun 2004 melalui penelitian DNA mitokondria.

Dan kini, Lembaga Eijkman sedang mengumpulkan peta genetika manusia Indonesia. Eijkman bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional memetakan DNA kerangka-kerangka manusia kuno yang ditemukan di sejumlah situs ekskavasi.

Terbaru, Eijkman sudah mengambil spesimen kerangka yang didapatkan Arkenas dari Gua Harimau di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Peneliti menemukan ada dua lapisan kuburan kerangka yang diduga berasal dari dua ras manusia kuno yang berbeda.


Bagaimana pendapat Eijkman soal temuan itu? Herawati yang pernah mendapatkan Kartini Award tahun 2009 itu menjelaskan panjang lebar kepada tiga jurnalis VIVAnews yang menemuinya pada 11 Juni 2014 ini.

Pusat Arkeologi Nasional dan Lembaga Eijkman sudah meneliti kerangka manusia di Gua Harimau, hasilnya bagaimana?
Kami sudah bekerja dengan genetika populasi. Ini untuk lihat migrasi, asal-usul, sudah berapa lama di Nusantara, siapa saja yang huni. Itu studi yang kami lakukan pada manusia modern. Kami studi soal genetik berbagai suku bangsa.

Kami lihat DNA mereka, apakah ada motif di infomasi genetika. Ini untuk mendalami teori Out of Africa (dan) Out of Sundaland.

[Sundaland adalah daratan besar saat Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih bersatu dengan Benua Asia--red].

Di sisi lain, studi ini kami kerja sama dengan Arkenas. Pertanyaan untuk Arkenas berbeda.

Contoh terakhir adalah studi kerangka di Gua Harimau. Di Gua Harimau, misalnya ada lapisan tanah di mana tulang belulang itu ditemukan, yang indikasikan tulang itu dikuburkan 10 ribu tahun lalu.
Kami ambil asumsi jika tanah umur sekian, kemungkinan kerangka itu adalah first migration. Kemudian di tempat lain ditemukan 5.000 tahun atau yang lain, berarti itu second migration.

Dari sudut genetika tidak banyak dari tulang belulang prasejarah. Kami pernah kerjasama untuk situs di Gilimanuk (Bali) dan situs di Plawangan, serta Sulawesi Tengah dan Liangbua (Sulawesi Selatan). Dari situ, hasil yang kami peroleh dengan menggunakan pendekatan DNA mitokondria, DNA yang diturunkan dari ibu.

Tulang di Bali, ternyata masuk dalam pengelompokan Bali moderen. Demikian juga di Plawangan masuk dalam kluster itu. Sulawesi juga demikian. Hasil kami itu sama dengan kluster dengan manusia sekarang.

Di Gua Harimau, ada yang menarik, ditemukan kerangka beda usia. Jadi kalau beda usia, apakah itu Out of Africa atau kemudian ada second migration sekitar dua sampai tiga ribu tahun yang lalu.

Dengan carbon dating (penanggalan berdasarkan karbon--red), bisa dilakukan. Tapi kalau latar belakang genetik harus pakai DNA.

Peta genetika manusia Indonesia saat ini bagaimana?
Populasi modern sudah hampir seluruhnya, dari Timur ke Barat. Sumatera sudah, Gayo sudah, Batak ada beberapa seperti Toba dan Karo, sementara di sana juga ada Mandailing dan Simalungun.

Dalam pelajari genetik, kami harus jadi antropolog untuk mengetahui bahasa sejarah. Perlu dukungan arkeologi. Awalnya kami ambil populasi gede, (selanjutnya) tergantung perkembangan kami.

Kami mau lihat Enggano, Andaman, Mentawai, dan Nias. Jadi pulau sebelah barat Sumatera itu sudah terpisah. Awalnya itu kan relatif terisolasi.  Kami ingin melihat hubungan Nias sampai Mentawai.

Klaster peta gen itu bagaimana penjelasannya?
Struktur kita ada 32 populasi. Yang dari Formosa (Taiwan), ada suku yang diperiksa. Jadi tahunnya mana, struktur populasi ada, misal Nias dan Mentawai, jadi satu kluster, berbeda dengan kelompok yang lainnya.

Dengan studi genetika itu, asal usul manusia Indonesia itu condong ke teori mana?
Kompleks. Semua bisa. Dominan yang Ouf of Africa dan Out of Taiwan, dua-duanya itu ada sebab genetika  sangat kompleks. Dengan makin banyak data, kami makin (bisa) bercerita. Masalahnya data itu kosong. Baru terkumpulkan.

Jadi interpretasi itu macam-macam. Oke, misalkan menganut teori Out of Sundaland, itu kan maksudnya asalnya dari sini (Indonesia). Itu tetap yang moderen. Jadi ada juga yang dari Sundaland naik ke atas. Dulu kan masih menyatu dengan semua pulau. Sementara Out of Africa kan baru 10 ribu tahun.

Ada literatur baru yang temukan hal baru, prinsipnya itu sintesis. Jadi kami punya data secara marga, sekarang statistik makin canggih. Ini baru keluar beberapa publikasi yang gunakan pendekatan algoritma baru, pendekatan baru yang makin kompleks.

Betul bahwa motif yang ada di Indonesia Out of Africa. Itu kelihatan jelas sekali jalannya dari sepanjang pantai, terus ke India terus ke bawah, menyusuri pantai.

Tapi kami kan kerjakan itu dari genetika perempuan dan laki-laki. Kan ada lagi yaitu otosom (ayah dan ibu). Pendekatan terakhir ini banyak dilakukan. Dengan pendekatan otonom, cara itu memberikan informasi jauh lebih banyak walaupun secara statistik lebih kompleks. Bioinfomatika gen kalau pakai yang awal bisa kami tangani.

Hasilnya macam-macam. Ada kelihatan ada tadinya berdasarkan kromosom Y dan mitokondria, kelihatan struktur populasi. Beberapa populasi menyatu dan dibatasi garis Wallace, sedangkan di Timur juga demikian.

[Garis Wallace adalah garis hipotetis yang dikemukakan Alfred Russel Wallace yang memisahkan hewan Asiatik dan Australasiatik. Garis ini membujur dari Selat Sulawesi menembus ke selat yang memisahkan Pulau Bali dan Lombok—red].

Tapi mitokondria dan kromosom Y, karena satu gen saja, amat sulit lihat percampuran.  Dengan otosom, kita lihat campuran genetik berasal dari first dan second migration.

Ini out of Taiwan, itu berdasarkan apa?
Peta DNA-nya. Ini sekarang masing-masing apa. Misalnya jadi yang ini hijau tua itu Papua, hijau muda Austronesia. Genetika suku itu kelihatan. Orang Papua atau Alor, semuanya hijau. Sedangkan dari Sumatera Barat, kami masih melihat hijau tua dan muda, menunjukkan mereka membawa dua kelompok dua gen yang berbeda.

Tujuan studi membawa genetika dan sains jadi satu, untuk menjawab pertanyaan besar bagaimana budaya membentuk gen manusia.

Yang terdekat yang akan kami lakukan yaitu bagaimana kemampuan organisme dengan perubahan makan. Kalau kita berubah makan dan lingkungan, maka organisme dalam usus kita akan berubah. Itu akan mempengaruhi fisiologi.  Bahwa gen, terpengaruh oleh budaya dan arkeologi.

Nenek moyang kita kan hidupnya hunter gatherer. Berburu, makan, berburu lagi. Gaya hidup berubah, suku dalam mereka akan memiliki gen yang bisa bertahan dengan cara itu. Kita duduk manis, akhirnya gen itu akan merusak.

Apa bukti awalnya nenek moyang datang dari Afrika?
Dari Afrika memang lebih tua. Memang (migrasi) yang dari Taiwan baru 200 tahun. Kalau Afrika 10 ribu tahun, bahkan lebih. Kuncinya ada di arkeologi.

Sekarang bukti kita pernah dihuni oleh Afrika yang ratusan tahun. Kebetulan di Borneo ditemukan (berusia) 40 ribu tahun, di Australia ada (berusia) 40-50 ribu. Itu ketahuan daerah di situ, Indonesia pernah dihuni pada 50 ribu tahun lalu.

Austronesia dari Taiwan itu awalnya dari data linguistik dan artefak atau budaya karena ditemukan yang sama yaitu budaya tembikar, bertani, jadi berdasarkan studi budaya.

Kalau dari mitokondria, kelihatan ada DNA, ada G A T C. Atau bahasa, itu kelihatan kalau kita migrasi kan ada mutasi. Dari mutasi itu perjalanan ribuan tahun, nanti ada tambahan gen.

Awalnya sampai perjalanan ribuan tahun itu ada tambahan mutasi, ada tambahan motif yang mengikuti migrasi. Misalnya awalnya dari sini, kemudian jalan migrasi jauh.

Masuk ke hutan, itu (gen) berbeda dengan orang yang tinggal di padang pasir. Sama juga manusia yang tempatnya awalnya ada di tempat kadar garam tinggi pindah kadar garam rendah. Semua itu berpengaruh.
Jadi ada haplotipe, dari Asia daratan masuk Formosa terus turun. Yang itu dukung teori linguistik dari Taiwan atau Austronesian.

Out of Taiwan itu lebih condong ke bahasa?
Jelas, waktu itu turun ke Taiwan terus turun ke Filipina dan belok ke kiri dan ke Papua tapi cuma hanya di pantai saja. Mereka berbahasa sama dengan kita.
Tapi saat itu kan Indonesia masih kosong, belum ada kegiatan penelitian asal usul moyang. Sekarang ini sudah banyak. Semua data gen masuk di GenBank, agar tiap temuan DNA masukkan datanya.

Maksudnya, jika itu dipublikasikan, itu bisa dibagi, data tersedia. Jadi kita tinggal memanfaatkan apa yang ada. Semua ada. Jadi secara garis besar, sudah semua peta DNA ada.

Kalau pertanyaan jadi kecil, misalnya di populasi yang lebih kecil, di Sumba misalnya kan ada 7 bahasa berarti ada 7 suku. Nanti kalau di desa yang berbatasan bagaimana genetikanya? Jadi gen, penyakit dan bahasa jadi satu. Kita punya 700 bahasa, di mana-mana ada. Di Kalimantan itu ada banyak.

Jika mereka tak ada perkawinan, kan latar belakang genetik mereka sama. Jika tidak pindah, terisolasi, maka bagaimana (pengaruh) penyakitnya. Sekarang apa di sini penyakit yang paling banyak di sini?
Talasemia ini sebabkan anemia. Kalau Talasemia mayor, anaknya akan perlukan transfusi darah. Ini kan masalah kesehatan masyarakat. Teman-teman peneliti di Talasemia temukan mutasi-mutasi anemia tapi lihat DNA-nya beda-beda.

Ternyata di masing-masing suku ada spesifik. Biasanya kalau kita punya anak punya Talasemia mayor, waktu punya anak lagi, kedua orang tua sangat khawatir.

Karena ada lebih dari 100 mutasi penanda dengan sekali tes butuh Rp1 juta. Jadi dengan cara demikian, belajar struktur populasi dan keunikan masing-masing, kita bisa aplikasikan untuk kesehatan masyarakat.

Sebenarnya kecenderungan terhadap penyakit, (dengan peta gen) langsung bisa diketahui. Masalahnya adalah kebanyakan penyakit genetik tidak single factor. Talasemia pun ada gejala tinggi, berat, ringan, menengah, jadi itu faktor lain.

Bagaimana dengan temuan gen Homo denisovan yang ditemukan di Siberia terdapat di gen orang Papua?
Ada ditemukan, belum ada catatan, karena belum dipublikasikan. Memang kami akan melihat itu untuk melihat apakah di Indonesia ada kaitannya.

Apa mungkin temuan gen manusia Denosiva itu akibat kawin-mawin?
Perkawinan manusia Neandertal dan manusia memang ada. Kebetulan kami bekerjasama dengan peneliti yang kerjakan Neandertal.

Soal riset Gua Harimau, kelanjutannya bagaimana?
Mereka bekerja tiap tahun. Kerja tiap tahun. Bertahap. Kalau buat kami, tinggal terima apa yang mereka temukan. Kami beking saja.

Alasan kenapa kami ikut lihat temuan itu supaya kita bisa mengikuti memahami budaya itu, bagaimana cara bekerja dan lainnya.

Gambaran umum studi gen tahap apa? Tahap awal atau sudah tahap lanjut?
Karena kami tidak mengucilkan diri sendiri. Dana penelitian untuk beli yang tercanggih. Zaman sekarang tidak harus punya alat bisa service. Kita bisa kolaborasi atau bagaimana supaya bisa akses.

Waktu kami kerjakan otosom untuk studi Asia, staf kami ada yang di Singapura. Memang masih perlu alat khusus untuk dalami lagi.

Dana risetnya bagaimana?
Dana riset kita kan memang sangat sedikit. Malu. Tapi sekali lagi, terus kalau sedikit, perlu duduk pangku tangan? Tidak bisa ya, kita cari dana dari luar.  [aba]


© VIVA.co.id


Sumber:
http://m.news.viva.co.id/news/read/512491--indonesia-terdiri-dari-32-klaster-genetika-

Leluhur Manusia Indonesia

Leluhur Manusia Indonesia
Ada kerangka manusia berusia ribuan tahun di sejumlah gua nusantara.
 
Penelitian menemukan 87 fosil kerangka manusia prasejarah jenis Ras Neo Mongoloid dan Australoid terkubur didalam Gua Harimau Arfi Bambani Amri, Amal Nur Ngazis, Erick Tanjung,  Ochi April (Yogyakarta), Aji YK Putra (Palembang) | Jum'at, 13 Juni 2014, 23:31 WIB
 
VIVAnews – Perlu berjalan kaki tiga jam mencapai Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Dari dusun terdekat, menanjak ke bukit, melintasi anak sungai sebelum bertemu ratusan anak tangga.
Di akhir anak tangga, persis di depan sebuah gua yang menganga selebar 50 meter, terpancang sebuah plang bertuliskan, “Situs Gua Harimau. Situs ini sedang dalam penelitian Pusat Arkeologi Nasional”.

Hanya tiga meter di belakang plang ini, terdapat dua lubang galian yang dipagari kawat. Lubang galian yang terbesar berbentuk huruf L, dengan panjang lebih dari 5 meter.
Saat dilihat lebih dekat, terdapat beberapa kerangka manusia yang terbujur berjejer. Juga ada beberapa lokasi yang ditutupi dengan kotak-kotak berbungkus terpal plastik. Mereka adalah hasil ekskavasi Tim Peneliti Pusat Arkeologi Nasional sejak 2008 lalu.

Dulu, masyarakat takut mendekati gua ini. Seperti namanya, konon tempat persembunyian harimau. Roli Chandra, juru kunci Gua Harimau, menceritakan, gua ini juga pernah jadi tempat persembunyian warga saat penjajahan Belanda.

"Gua ini bisa menembus ke Gua Putri, dengan melintasi mulut gua sekitar 45 menit sampai ke atas," ujar ayah tiga anak ini. Namun Tim Peneliti Arkenas belum melakukan ekskavasi di Gua Putri.

Sejak tim peneliti berulang kali ke gua ini, masyarakat pun mulai berani mendekat. Warga pun mulai menjadikan lahan sekitar gua untuk bercocok tanam karet dan kopi.

"Dulunya ini hanya hutan lebat. Mau membuka lahan sebagai perkebunan pun warga takut. Baru sekarang warga berani," kata pria berusia 29 tahun itu.

Gua yang terletak 300 kilometer barat daya Ibu Kota Sumatera Selatan, Palembang, ini menjadi sasaran riset arkeologi setelah pada 2008 silam ditemukan lukisan gua. Ini lukisan gua pertama ditemukan di Pulau Sumatera.

Situs Gua Harimau
Lukisan di dinding Gua Harimau. (Foto: VIVAnews/Aji YK Putra)
Motifnya pun unik, seperti songket, kain khas Sumatera Selatan. “Beberapa bulan kemudian, dilakukan penggalian dan ditemukan beberapa fosil,” kata Roli yang ikut mendampingi peneliti sejak saat itu.

Dua Lapis
Dalam 5 tahun penelitian, Arkenas menemukan 76 kerangka manusia kuno terkubur di Gua Harimau itu. Ada dua lapis tanah tempat kerangka ditemukan.

Di lapis pertama, kurang lebih 1 meter, ditemukan 72 kerangka yang terbujur. Ketika digali lebih dalam, sampai ke 1,8 meter, ditemukan empat kerangka dalam keadaan meringkuk, bukan terbujur lurus.

"Rentang usia keduanya itu antara 5.000 sampai 3.000 tahun. Kerangka bagian atas lebih muda dari kerangka yang di bawah," ujar Dyah Pratiningtyas, salah satu peneliti Arkenas, menjelaskan soal penemuan itu.

Arkenas, lanjut Dyah, masih berupaya mengetahui apakah kerangka yang lebih muda dan lebih tua ini berasal dari peradaban atau ras yang sama.

Spekulasi sementara, kerangka yang lebih tua adalah ras Austromelanesoid, sementara yang lebih muda adalah Mongoloid. Arkenas sudah mengirimkan spesimen gen mereka ke Lembaga Eijkman di Jakarta yang bisa mengekstraksi DNA.

Hasil tes DNA atas sampel kerangka itu bisa mengungkap lebih jelas tabir asal-usul kerangka individu itu.  “Saya berpikir hasil DNA itu bisa kita pakai untuk mencari relasi tersebut. Kalau yang dari Eijkman itu berhasil membaca sinyal segala macam, kira-kira mereka dari mana, apakah mereka orang lokal, apakah mereka pendatang baru kita bisa menjawab,” tambah dia.

Arkenas juga menyatakan masih ada kerangka manusia kuno yang lebih tua dari usia kerangka manusia di Gua Harimau ini. Kerangka manusia di gua dekat Gunung Sewu di selatan Yogyakarta berusia kisaran 10 ribu tahun. 

Namun temuan kerangka manusia di Gua Harimau ini memiliki keunikan dibanding temuan komunitas manusia di gua-gua Pulau Jawa, yang biasanya hanya beberapa kerangka saja.

“Kita ada yang lebih banyak lagi, seperti di Gilimanuk, Bali sampai 200 individu, tapi dia di pesisir dan terbuka (open site), tidak di dalam gua. Ini (Gua Harimau), saya pikir mungkin lebih dari 100 kalau dibuka semua,” katanya.

Gua Harimau bukan satu-satunya gua di Sumatera tempat ditemukannya kerangka manusia kuno. Di ujung utara Sumatera, tepatnya di Loyang Mendale dan Ujung Karang, Kabayakan, Aceh Tengah, pada 2011 lalu, tim arkeolog Sumatera Utara juga menemukan kerangka manusia kuno.

Usia kerangka mencapai  5.000 tahun, lebih tua dari bukti migrasi manusia kuno di Sulawesi yang dianggap sebagai awal manusia Indonesia. Temuan kerangka di situs Sulawesi berusia lebih muda, diperkirakan 3.580 tahun lalu.

Kerangka di Loyang Mendale ini ditemukan terkubur dengan posisi kaki terlipat. Di dekat kerangka, tim peneliti menemukan sejumlah artefak yang sama dengan yang ditemukan di Thailand.

Ketua Tim Arkeologi Sumatera Utara, I Ketut Wiradiyana, menyatakan, berdasarkan pemeriksaan DNA, kerangka itu diketahui berasal dari ras Mongoloid dengan budaya Austronesia. Ketut menduga adanya perpaduan budaya antara ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang datang dari utara dengan ras Australomelanesoid yang berbudaya Hoabin saat mendatangi kawasan tersebut.

Salah satu bukti kuat perpaduan budaya itu ada pada budaya menguburkan orang mati dengan posisi melipat atau terlihat meringkuk. Kebiasaan melipat itu, kata Ketut merupakan ciri budaya Hoabin yang kerap mendiami daerah dataran rendah, pesisir. Tradisi jenazah dilipat ini masih tampak pada sejumlah suku di Papua.

“Ini semakin menguatkan kemungkinan adanya jalur migrasi lain yang lebih tua dari pada jalur migrasi dari Sulawesi seperti yang kita kenal selama ini,” katanya. Dugaan itu makin kuat dengan temuan sejumlah kapak lonjong dan gerabah poles merah. Kedua benda itu selama ini identik dengan kawasan Indonesia bagian timur, di antaranya Sulawesi, Maluku dan Papua.

Perjalanan Panjang
Temuan itu kembali menghangatkan debat asal muasal manusia Indonesia. Teori yang tak terbantahkan adalah semua manusia (Homo sapiens) di muka bumi bernenek moyang dari Afrika atau dikenal sebagai Teori Out of Africa.

Situs Gua Harimau
Goa Harimau menjadi perhatian serius arkelog dunia. Foto: VIVAnews/Aji YK Putra

Sebelum Gunung Toba meletus sekitar 74 ribu tahun yang lalu, Homo sapiens telah tiba di Nusantara yang mana saat itu Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih merupakan bagian dari anak benua Asia atau dikenal sebagai Sundaland.
Setelah Toba meletus, sebagian besar populasi Homo sapiens punah.

Stephen Oppenheimer, genetikawan dari Inggris, menyebutkan terjadi bottle neck populasi manusia saat itu, tersisa sedikit di Nusantara dan Afrika sendiri. Jumlahnya sekitar 10.000 orang.

Orang-orang yang tersisa di Nusantara ini yang kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, kawin-mawin dengan Homo denisova, hominid yang baru 2011 ini diketahui keberadaannya. Gen Denisova ini menetap antara 4-6 persen di gen orang Melanesia yang kini menetap di Papua, Australia dan kepulauan di Pasifik.

Fakta soal Melanesia sebagai penghuni pertama Nusantara ini tidak ada perdebatan. Perdebatannya adalah, gelombang manusia berikutnya, yang berbahasa rumpun Austronesia di mana Bahasa Melayu merupakan cabang utamanya.

Teori Out of Yunan menyatakan, Austronesia ini berasal dari Yunan di China Selatan. Arkeolog I Ketut Wiradiyana, salah satu pendukung teori ini.

Dia menyatakan besar kemungkinan migrasi manusia berasal dari China bagian Selatan yang turun menuju kawasan Thailand, sebelum akhirnya menetap di sebelah barat Indonesia atau di kawasan Aceh Tengah. “Seperti yang diketahui, ras Mongoloid memang berasal dari daerah Cina bagian Selatan,” katanya.

Sementara teori Out of Taiwan menyebutkan nenek moyang penutur Austronesia ini berasal dari Formosa, nama lain dari Taiwan. Teori ini berlandaskan pada temuan kesamaan bahasa dan budaya.

Di Taiwan terdapat tiga etnik asli yang berbahasa rumpun Austronesia serta memiliki budaya tembikar dan cocok tanam yang sama. Teori ini disokong oleh arkeolog senior dari Australian National University, Peter Bellwood.

Namun peneliti lain mengungkapkan justru manusia Indonesia merupakan moyang manusia kawasan atau regional Asia Tenggara, saat paparan Sunda masih satu anak benua besar. Teori Out of Sundaland ini dipelopori genetikawan asal Inggris, Stephen Oppenheimer [Baca Wawancara dengan VIVAnews].

Oppenheimer menemukan, terjadi penyebaran drastis genetika sekitar 8.000 tahun yang lalu ke sekitar pulau-pulau di Nusantara. Kurun 8.000 tahun yang lalu ini, menurut Oppenheimer, seiring dengan akhir zaman es yang ditandai dengan tenggelamnya Sundaland.

“Bellwood berteori bahwa orang-orang datang dari Taiwan, menyebar di Indonesia dan Filipina dan membunuh semua orang di daerah itu. Saya membantah teori itu.  Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Orang-orang Taiwan berasal dari sini,” kata Oppenheimer.

Namun kubu arkeologi belum bisa menerima argumentasi genetika ini. Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Daud Aris Tanudirjo, mengatakan mengatakan dalam konteks persebaran moyang manusia Indonesia, lebih condong dengan skema Out of Taiwan. Leluhur muncul dari Taiwan kemudian menyebar ke Kalimantan, Sulawesi dan kemudian ke Sumatera dan Jawa.

"Tapi kalau dibilang (Sundaland) sebagai lokasi persebaran saya kira kurang begitu tepat,” tuturnya. Sejumlah penemuan kerangka ras Mongoloid pun, kata Daud, belum ada yang setua yang ditemukan di Taiwan.

“Sementara ini yang saya ikuti adalah penemuan terbaru bahwa asal-usul orang Indonesia berasal dari Taiwan. Dan saya kira dengan adanya penemuan terbaru di Liang Domeh, Pulau Matsu Taiwan, semakin menguatkan jika fosil di Taiwan adalah yang tertua,” jelas dia.?

Dyah, peneliti dari Arkenas, menyatakan, untuk membangun sebuah teori arkeologi, tidak hanya butuh satu bukti artefak saja. “Perlu banyak data untuk bentuk suatu hipotesa. Kalau baru satu titik, itu baru asumsi. Belum bisa dikatakan hipotesa, dibutuhkan bukti lain untuk mendukung temuan ini,” jelasnya.
 
Peta Genetika Indonesia

Namun arkeolog membuka diri pada genetika sebagai jalan menelusuri asal-usul. Deputi Direktur Lembaga Eijkman Jakarta Herawati Sudoyo menyatakan lembaganya bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional meneliti gen kerangka manusia kuno yang ditemukan arkeolog di sejumlah tempat di Indonesia.

Peneliti mengambil sampel DNA mitokondria yang merupakan warisan dari ibu kepada anak dan kromosom Y yang diwariskan dari ayah. Menurut Herawati, penelitian menggunakan mitokondria dan kromosom Y ini memiliki kelemahan yakni sulit melihat adanya percampuran gen. Percampuran gen bisa diteliti dengan riset otosom atau riset menyeluruh atas genetika seseorang.

Meski demikian, Herawati mengatakan studi gen dari sisi mitokondria akan membuka informasi mutasi gen saat manusia bermigrasi. Hera menjelaskan perjalanan migrasi, yang berbeda lingkungan dan kehidupan, akan menambah motif gen pada manusia itu.

Jadi tak heran, kata dia, jika ditemukan adanya percampuran atau haplotipe, dari Asia daratan masuk ke Formosa dan dilanjutkan turun ke wilayah Indonesia.

Situs Gua Harimau
Arkeolog meneliti genetika untuk mengetahui asal-usul Fosil. Foto: VIVAnews/Aji YK Putra

Eijkman, kata Herawati, mengumpulkan hampir seluruh sampel genetika etnis yang ada di Indonesia. Ia mengatakan studi gen tidak akan berhenti sampai proses pemetaan. Tetap akan dilakukan untuk meneliti lebih detail dan lebih khusus tiap suku bangsa.    

Dalam peta gen orang Indonesia yang sudah terpetakan, secara ringkas tampak adanya pola migrasi manusia dari Barat ke Timur bagian Indonesia. Pola ini ditandai dengan warna tertentu. "Dari peta DNA-nya terlihat, misalnya wilayah Papua itu hijau muda, genetika sukunya kelihatan. Totally semua hijau," ujar Hera.

Sementara di belahan barat Indonesia, umumnya hijau tua. Pengecualian di wilayah Sumatera Barat, terdapat pola dua gen berbeda yaitu hijau tua dan hijau muda sekaligus.

Total, Eijkman menemukan 32 klaster genetika manusia Indonesia yang secara umum terbagi atas tiga kelompok besar. Pertama, kelompok genetika Melayu, Minang, Jawa, Kalimantan; kedua, kelompok Makassar, Sumba, Minahasa; dan ketiga, kelompok Papua dan Alor. Kemudian terdapat juga kelompok kecil yang terpisah jauh dan diperkirakan lebih tua dari dua kelompok pertama yakni Nias-Mentawai.

Pembuktian gen manusia Indonesia juga makin menantang setelah ditemukannya gen Homo denisovan, yang kerangkanya ditemukan di Siberia, Rusia, pada gen orang Melanesia yang kini menghuni Papua dan Australia.

Herawati mengakui adanya temuan gen Denosivan itu namun peneliti Eijkman sejauh ini belum menemukan hasil yang signifikan. Sejauh ini, Eijkman sudah mengonfirmasi, ada kawin-mawin Homo sapiens dengan Homo neandertal.
"Perkawinan Homo Neandertal dengan manusia biasa memang ada. Kebetulan kami tengah bekerjasama dengan peneliti yang mengerjakan Neandertal," ujar Herawati.

Pada masa depan, lanjut dia, pemetaan gen bukan saja bermanfaat untuk melacak asal-usul, namun juga untuk mendukung kesehatan masyarakat. Hera mengatakan nantinya gen dapat digunakan untuk alat prediksi kecenderungan penyakit yang berkembang pada berbagai populasi masyarakat di Indonesia.

Dia mencontohkan, penyakit turunan yang umum melanda orang Indonesia yaitu talasemia. Meski tidak menjadi pencegah sepenuhnya bagi penderita Talasemia, namun setidaknya peta gen itu bisa menjadi panduan untuk pencegahan. (ren)

Kontributor VIVA.co.id Budi Satria turut melaporkan dari Medan

© VIVA.co.id


Sumber:
http://m.news.viva.co.id/news/read/512481-leluhur-manusia-indonesia

Goa Harimau Dihuni 14.000 Tahun

Goa Harimau Dihuni 14.000 Tahun

Rabu, 28 Mei 2014 | 19:32 WIB
Aloysius Budi Kurniawan Tim penelitian arkeologi Goa Harimau sedang melakukan penggantian rangka cetakan tiruan Homo sapiens di Situs Goa Harimau, Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Senin (26/5). Pemasangan kerangka tiruan dilakukan sama seperti kondisi aslinya, sedangkan kerangka asli sebagian telah diangkat dan dipindahkan ke Museum Si Pahit Lidah di Desa Padang Bindu.

KOMPAS.com - Peneliti masih menemukan artefak-artefak prasejarah di kedalaman hingga 4,8 meter pada ekskavasi ketujuh di Situs Goa Harimau, Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Penemuan itu menunjukkan, Goa Harimau pernah dihuni Homo sapiens selama lebih dari 14.825 tahun lalu.

Pada ekskavasi keenam Situs Goa Harimau pada 2013, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional berhasil mengidentifikasi lapisan tanah berusia 14.825 tahun pada kedalaman 2 meter. Begitu digali lagi hingga 4,8 meter pada Mei 2014, masih didapati serpihan batu obsidian, alat pipisan, dan alat tumbuk.

”Aktivitas penguburan Homo sapiens di goa ini sampai pada kedalaman 1,2 meter. Di bawahnya, kami menemukan tulang belulang hewan, seperti ikan, monyet, babi, rusa, landak, badak, kerang, gading gajah, hingga kerbau. Di bagian paling bawah, terdapat artefak berupa serpihan batu obsidian, alat pipisan, dan alat tumbuk,” kata Koordinator Lapangan Ekskavasi Goa Harimau M Ruly Fauzi dari Center of Prehistory and Austronesian Studies, Selasa (27/5/2014), di Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumsel.

Olah hewan buruan

Menurut Ruly, yang mengindikasikan artefak-artefak itu buatan Homo sapiens ialah sebagian serpihan memiliki sisi tajam yang berfungsi sebagai alat pemotong. Selain itu, terdapat pula tulang fauna yang diduga dikonsumsi menggunakan alat-alat tersebut.

”Kami juga menemukan kerang-kerangan yang pecah, dibakar, dan dipotong. Jejak-jejak pecahnya masih segar sehingga diduga kuat hewan-hewan itu dikonsumsi manusia,” kata dia.

Ahli arkeologi fauna dari Center for Prehistory and Austronesian Studies, Mirza Ansyori, menemukan jejak pengolahan hewan buruan oleh Homo sapiens di Goa Harimau. Berdasarkan bentuk tulang, beberapa fauna, seperti landak dan ikan air tawar, tampak diolah menggunakan alat pemotong batu.

”Dugaan kami, hewan-hewan besar, seperti monyet, babi, rusa, landak, dan kerbau, juga mereka konsumsi. Bahkan, kami menemukan gigi dan tulang kaki badak, beruang, dan kucing besar di Goa Harimau,” ujar Mirza.

Keberadaan jejak tulang ikan air tawar tak mengherankan karena Goa Harimau berada sekitar 30 meter di atas sungai Air Kaman Basa dan hanya berjarak 1,5 kilometer dari Sungai Ogan. Jenis kerang-kerangan laut ditemukan pula di sekitar kerangka yang dimanfaatkan sebagai bekal kubur.

Pengarah Ekskavasi Goa Harimau dari Pusat Arkeologi Nasional Prof Harry Truman Simanjuntak mengatakan, ekskavasi vertikal terus dilakukan hingga penggalian mencapai bagian dasar goa. ”Sebagian besar hasil ekskavasi kami angkat dan pindahkan ke Museum Si Pahit Lidah di Padang Bindu. Kami menyisakan lima kerangka yang tidak tersentuh bahan-bahan kimiawi untuk penelitian lanjutan,” kata Truman.

Untuk memastikan alur genetika Homo sapiens di Goa Harimau, Pusat Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Peneliti telah mengambil sampel gigi dan tulang Homo sapiens di Goa Harimau. (ABK/KOMPAS CETAK)



Sumber:
http://sains.kompas.com/read/2014/05/28/1932569/Goa.Harimau.Dihuni.14.000.Tahun

Wednesday, June 4, 2014

Bukti Nyata Bahwa Alien dan UFO Sudah Ada Sejak Zaman Dulu

Bukti Nyata Bahwa Alien dan UFO Sudah Ada Sejak Zaman Dulu



Berikut adalah bukti-bukti bahwa alien sudah menjamah manusia beribu-ribu tahun yang lalu, semoga, silahkan dibaca dan disimak ya Veroholic (nama fans untuk veromons.blogspot.com).

The Dropa stone
Cerita mengenai Batu Dropa dimulai tahun 1938. Batu dropa ditemukan di Gunung Baian-Kara-Ula, Perbatasan China dan Tibet. Sebuah ekspedisi arkeolog, yang dipimpin Chi Pu tei, menemukan sebuah gua yang tampaknya dihuni oleh makhluk primitif jaman dulu.

Di dinding gua, terukir pictogram tentang surga, yang berisi: Matahari, Bulan, Bintang, dan bumi dengan titik-titik menghubungkan semuanya. Kemudian mereka menemukan sebuah batu berbentuk disk yang terkubur setengah di tanah, yang jelasnya sangat bagus bentuknya untuk makhluk seprimitif mereka. Ukuran batu tersebut kira2 berdiameter 9 inchi.

Dan setelah diteliti, umur dari batu tersebut kira-kira antara 10.000-12.000 tahun yang lalu. Dan kemudian ditemukan 716 plate lainnya, dan setiap plate/lempengan berisi rahasia yang sangat besar. Isi lempengan tersebut berisi tulisan hieroglip (hieroglyphic).

Dr. Tsum Um Nui, pada tahun 1962 dengan susah payah berusaha menerjemahkan setiap karakter dari batu tersebut ke tulisan tangan. Tulisan di batu tersebut sangat lah kecil, sehingga dia memerlukan magnifying glass (kaca pembesar) untuk membacanya dengan jelas. Seiring dengan berjalannya waktu, timbul banyak pertanyaan.

Karena usia batu tersebut diperkirakan berusia 10.000 tahun, bagaimana mungkin makhluk primitif bisa membuat batu sedemikian sempurna bulat seperti disk? Bagaimana mereka menulis tulisan yg mikroskopik (kecil)? Siapa kah mereka dan apa tujuannya dibuat batu-batu tersebut? Satu per satu karakter telah diterjemahkan, dan mulai membentuk arti. Setiap kalimat mulai bisa dimengerti, dia menemukan tulisan di batu bahwa tulisan tersebut ditulis oleh seseorang (atau bisa kita bilang “sesuatu”) yg menyebut diri mereka The Dropa.

Setelah dia menyelesaikan semua terjemahan, dia membuat paper dan mempresentasikan penemuan dia di depan petinggi uneversitas untuk di publikasi ke umum. Reaksi mereka begitu empatic, keputusan mereka : paper tersebut tidak akan dipublikasi.

Bahkan, pihak universitas melarang dia untuk mempublikasikan, ataupun membicarakan penemuan dia sedikitpun. Universitas memutuskan bahwa dunia tidak boleh tahu mengetahui The Dropa dan nasib mereka berkunjung ke bumi. Batu Dropa bercerita tentang pesawat luar angkasa dari planet lain yang mengalami kecelakaan dan mendarat di gunung Baian-Kara-Ula, Himalaya. Awak pesawat luar angkasa, the dropa, kemudian menemukan makhluk primitf di dalam gua di gunung tersebut.

Cerita selanjutnya, The dropa tidak berhasil memperbaiki pesawatnya dan tidak bisa kembali ke planet mereka, dan mereka terdampar di Bumi.

The Dogons
Bangsa Dogon sudah banyak dikenal oleh banyak orang karena mitos dan legendanya. Bangsa tersebut mempunyai populasi sebanyak 300.000 yang tinggal di barat daya Nigeria dekat dengan Mali, dekat Douentza dan sebelah utara dari Burkina. Tempat tinggal bangsa Dogon telah dimasukkan sebagai harta dunia karena kebudayaan dan kealamiannya. Mereka terkenal akan kemampuan artistik and pengetahuan tentang Astrologi, terutama bintang Sirius, dimana bintang tersebut menjadi pusat ajaran agama mereka.

Catatan: Sirius (α CMa / α Canis Majoris / Alpha Canis Majoris) adalah bintang paling terang di langit malam, dengan magnitudo tampak −1.47. Bintang ini terletak di rasi Canis Major dan merupakan sistem bintang ganda dengan komponen primer bintang deret utama kelas A dan komponen sekunder sebuah katai putih.
Bangsa Dogon sejak dahulu sudah mengetahui bahwa Sirius-A, salah satu bintang paling terang, berada di sebelah sebuah planet kerdil putih bernama Sirius-B, yang tentu saja hal tersebut baru saja diidentifikasi oleh ilmuwan barat pada tahun 1978. Bangsa Dogon telah mengetahui hal tersebut kira2 sedikitnya 1000 tahun yang lalu.

Selain pengetahuan tentang Sirius star, mitologi mereka juga mencakup Cincin Saturnus dan 4 bulan utama Planet Jupiter. Mereka juga punya 4 calendar, untuk matahari, venus, sirius, dan bulan, serta telah mengetahui sejak lama bahwa planet berotasi mengelilingi matahari. Darimana semua pengetahuan bangsa Dogon Berasal?

Berdasarkan cerita dan tradisi mereka, ada sebuah ras dari sistem Sirius Star, yang dipanggil Nommos, mengunjungi Bumi ribuan tahun lalu. Bentuk Nommos sangat jelek, mirip amphibi, seperti ikan duyung. Aneh nya, mitos tersebut juga muncul di peradaban Babylonia, Accadian, dan Sumeria.

Dewa Isis dari mesir, yg kadang2 digambarkan sebagai duyung, juga dihubungkan dengan planet Sirius. Ras Nommos, menurut legenda DOgon, hidup di sebuah planet yg mempunyai orbit di bintang lain di Sirius system. Mereka mendarat ke bumi dengan angin kencang dan ribut yang bising. Dan ras Nommos tersebut yg memberikan pengetahuan tentang Sirius kepada mereka!!

Dan berikut penemuan lainnnya pada benda-benda kuno dari berbagai tempat
Petroglyphs UFO ini dibuat ribuan tahun lalu oleh bangsa ancient indian yang berada di barat daya Amerika. Berdasarkan cerita Bangsa Indian, ada 2 obyek melayang di udara dan salah satu obyek tersebut jatuh di Death Valley. Salah satu penumpang keluar dan memperbaiki pesawat.

Gambar di bawah ini ditemukan di dalam sebua gua yg berusia 17,000 – 15,000 BC, the cave of  “Pech Merle” near “Le Cabrerets, Perancis.

Gambar di bawah ditemukan di sebuah gua di kota Val monika, Italy, yang berusia 10.000 B.C, yang terlihat 2 makhluk seperti sedang memakai baju luar angkasa astronot.

Gambar di bawah ini ditemukan di Tassili, Gurun Sahara, Afrika Utara, yang berusia 6.000 B.C, apakah dia mirip manusia? Dan perhatikan benda berbentuk Disk di sebelah kanan atas, seperti UFO?

Sebuah figur (di bawah ini) yang aneh ditemukan di Kiev dan berusia 4.000 B.C.

Gambar di bawah berusia 7000 tahun, ditemukan di Querato, mexico, 1966.

Gambar di bawah ditemukan oleh Lt. Grey dalam ekspedisinya ke Australia. Dia menemukan lukisan di dinding yang dilukis oleh suku aborigin setempat, dan mereka menyebutnya Wandjina. Diperkirakan berusia 5000 tahun.



Foto di bawah diambil di irak, diperkirakan ukiran patung tersebut berusia 5000 tahun.

Ukiran di bawah ditemukan di ekuador, coba banding dengan pakaian astonot sekarang.



Gambar di bawah berasal dari manuscript “Annales Laurissenses” di abad ke-12 tentang penamapakan UFO di tahun 776, di saat pengepungan kastil Sigiburg, France. Bangsa Saxon mengepung bangsa perancis. Mereka sedang bertarung, dan tiba-tiba sebuah grup disk bercahaya terbang melewati atas gereja. Saxon mengira bangsa France dilindungi oleh obyek tersebut dan lari.

Gambar di bawah adalah terjemahan text sansekerta pada abad 10 yg bernama “Prajnaparamita Sutra”, yang berada dalam museum di jepang. Kamu lihat ada obyek yang berbentuk seperti topi, tetapi mengapa benda tersebut melayang di udara? Di dalam text disebutkan obyek tersebut disebut Vimanas. Ramayana mendeskripsikan Vimanas adalah sebuah pesawat yang mempunyai kubah di tengahnya. Vimanas bisa terbang dengan kecepatan angin dan tidak bersuara.


Gambar di bawah berasal dari kota Anger, Perancis pada tahun 842.

Gambar di bawah berada di dalam buku “Le Livre Des Bonnes Moeurs” oleh Jacques Legrand. Kamu masih bisa mencari buku ini di Chantilly Condé’s Museum ref 1338 ,297 part 15 B 8. Beberapa pengamat jaman sekarang menilai bahwa bola kuning besar itu adalah sebuah balon, tetapi tidak ada balon (atau belum ditemukan) di Perancis pada tahun 1338.

Di bawah ini adalah lukisan dari jaman Renaissance yang menceritakan tentang penampakan makhluk tak dikenal yang sangat detail di dalam buku “Prodigiorum liber” oleh Julio Obsequens, seorang historian Roma “Sesuatu seperti senjata api atau missile, muncul dari dalam bumi dan terbang ke angkasa dengan suara yang sangat bising.”

Di bawah adalah lukisan dari Carlo Crivelli (1430-1495) dan namanya “The Annunciation” (1486). Sekarang berada di the National Gallery, London. Sebuah object berbentuk piring terbang tampak sedang memancarkan sebuah sinar laser ke mahkota Mary.


Gambar di bawah ini menceritakan tentang penglihatan sebuah object yang terbang perlahan di angkasa oleh 2 kapal Belanda tahun 1660. Sumber dari ilustrasi tersebut berasal dari buku yang berjudul “Theatrum Orbis Terrarum” by Admiral Blaeu.

Lukisan di bawah ini bernama Summer’s triumph dan di buat di Bruges tahun 1538, dan sekarang berada di Bayerisches National Museum. Kamu bisa melihat dengan jelas beberapa object piring terbang di bagian atas. Beberapa orang berspekulasi kalau objek itu adalah pulau, jika demikian, berarti pulau-pulau tersebut melayang di udara!

Gambar di bawah ini diilustrasikan oleh Samuel Coccius tentang adanya objek yang tidak dikenal melayang di udara di Basel, Switzerland tahun 1566. “Bulatan-bulatan besar bewarna hitam” muncul di angkasa. Ilustrasi itu sekarang berada di the Wickiana Collection, Zurich Central Library.

Gambar di bawah ini berisi tentang penampakan objek seperti roda yang bercahaya di Hamburg, Jerman 4 November 1697.

Di bawah ini adalah copy dari vol. 42 of the Philosophical Transactions tahun 1742 yang berisi tentang penampakan objek (lihat gambar) yang muncul pada 16 desember 1742.

Versi berwarna

Ilustrasi dibawah berisi tentang penampakan yang terjadi pukul 9.45 pm di malam hari pada 18 Agustus 1783 dimana ada 4 saksi yang mengamati benda yang bercahaya di langit di teras Kastil Windsor. Menurut mereka, diantara awan muncul sebuah objek bercahaya, yang kemudian cahayanya meredup untuk sementara, kemudian bercahaya kembali dan terbang dengan kecepatan tinggi ke timur.

Kemudian objek tersebut merubah arah dengan drastis dan bergerak paralel secara horizontal sebelum menghilang di arah tenggara. Cahayanya sangat terang, menerangi semua dataran yang dilewati. Gambar ini di ilustrasi oleh Thomas Sandby (a founder of the Royal Academy) dan saudara laki-lakinya, Paul, yang keduanya merupakan saksi hidup dari peristiwa tersebut.

Ilustrasi di bawah ini diambil dari buku “Ume No Chiri (Dust of Apricot)” yang terbit di tahun 1803. Kapal asing dan kru-nya menyaksikan objek aneh tersebut di Haratonohama (Haratono Seashore) di Hitachi no Kuni (Ibaragi Prefecture). Menurut penjelasan mereka, lapisan luar terbuat dari besi dan bahan gelas (glass), dan tulisan aneh yang terlihat di gambar adalah tulisan yg dilihat di dalam kapal tersebut.

Lukisan di bawah ini dilukis di atas sebuah meja kayu di sebuah furniture yang disimpan di D’Oltremond, Belgium. Moses (Musa) sedang menerima tablet dan ada beberapa objek melayang di udara. Pelukis dan tahun diciptakannya tidak diketahui. Walaupun ini mendukung bukti bahwa kejadian di alkitab bisa dijelaskan saat Alien mengambil bagian dari kejadian tersebut. Mungkin teknologi kita yang mendatang (artinya teknologi kita sudah menyaingi alien ) bisa menjelaskan bagaimana menuliskan tulisan di atas tablet tersebut dengan api, membelah Laut merah, dsb. Mungkin teknologi kita mendatang bisa menjelaskan bagaimana hal ini bisa terjadi.

Gambar di bawah adalah gambar Yesus dan Maria yang terlihat melayang di udara. Lukisan tersebut berjudul “The Miracle of the Snow” oleh Masolino Da Panicale (1383-1440) dan sekarang berada di he church of Santa Maria Maggiore, Florence, Italy.

Lukisan di bawah berjudul “The Madonna with Saint Giovannino”. Dilukis pada abad 15, ada tampak objek seperti piring terbang di samping pundak Mary. Dan juga tampak ada seseroang dan pesuruhnya sedang mengamati objek tersebut.

Lukisan dibawah ini dari Kiev abad 15. Tampak Yesus seperti di dalam sebuah alat mirip roket.

Lukisan di bawah dibuat oleh Bonaventura Salimbeni yang berjudul “Glorification of the Eucharist” pada tahun 1600. Perhatikan objek seperti satelit Sputnik di tengah. Sekarang digantung di the church of San Lorenzo in San Pietro.

Lukisan dibawah ini berasal dari the Svetishoveli Cathedral in Mtskheta, Georgia pada abad 17. Perhatikan 2 objek terbang yang berada di 2 sisi Yesus. Dan di gambar besarnya, Kamu aka melihat objek itu berisi muka seseorang.



Gambar dibawah ini dibuat oleh flemish artist Aert De Gelder dan berjudul “The Baptism of Christ” (pembabtisan kristus), sekarang berada di the Fitzwilliam Musuem, Cambridge. Ada objek berbentuk piring yang memancarkan sinar ke arah John pembabtis dan Yesus.

Di bawah ini adalah gambar yang indah dari dua orang asing di zaman kuno membuktikan keberadaan ada aliens di antara umat manusia pada saat itu.

Jenis uang logam digunakan untuk Jeton fiqure sistem moneter rumit dan mungkin telah digunakan dalam substitusi sah dalam permainan. Khusus ini Jeton dari perancis 1680 menunjukkan apa yang tampak sebagai sebuah UFO terbang di udara dan bahkan lebih menarik prasasti dalam bahasa Latin diterjemahkan menjadi “Ini di sini pada waktu yang tepat”.

Dalam Seni Patung ini Kamu dapat melihat apa yang dilakukan Aliens untuk membuat generasi baru. Dalam pelukan makhluk berkepala besar ini adalah bayi kecil yang menyerupai campuran antara ras manusia dan ras alien.

Hanya berjudul “Penyaliban” oleh seniman yang tidak dikenal pada tahun 1350, lukisan di bawah ini menggambarkan dua UFO terbang dalam Penyaliban Kristus. Aliens aliens itu terbang di bagian kanan atas dan sudut kiri lukisan itu.




Sumber: http://rengkodriders.wordpress.com