Tuesday, June 17, 2014

"Indonesia Terdiri dari 32 Klaster Genetika"

"Indonesia Terdiri dari 32 Klaster Genetika"
 
Lembaga Eijkman sedang mengumpulkan peta genetika manusia Indonesia.
   
Deputi Direktur Lembaga Eijkman Jakarta, Herawati Sudoyo Siti Sarifah Alia, Erick Tanjung, Amal Nur Ngazis | Jum'at, 13 Juni 2014, 23:38 WIB
 VIVAnews – Membicarakan genetika di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Lembaga Eijkman. Dan membicarakan lembaga yang sekompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini tak lepas dari figur Sangkot Marzuki, sang Direktur, dan Herawati Sudoyo, sang deputi direktur.

Setelah menyelesaikan kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, Herawati melanjutkan studi ke Monash University di Australia, mengambil PhD soal penyakit mitokondria.


Saat Sangkot diminta melakukan riset mendalam soal genetika oleh Presiden BJ Habibie, orang pertama yang dimintanya bergabung adalah Herawati. Dan pilihan itu terbukti benar, Herawati merupakan ilmuwan di balik identifikasi pelaku pemboman Kedutaan Australia di tahun 2004 melalui penelitian DNA mitokondria.

Dan kini, Lembaga Eijkman sedang mengumpulkan peta genetika manusia Indonesia. Eijkman bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional memetakan DNA kerangka-kerangka manusia kuno yang ditemukan di sejumlah situs ekskavasi.

Terbaru, Eijkman sudah mengambil spesimen kerangka yang didapatkan Arkenas dari Gua Harimau di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Peneliti menemukan ada dua lapisan kuburan kerangka yang diduga berasal dari dua ras manusia kuno yang berbeda.


Bagaimana pendapat Eijkman soal temuan itu? Herawati yang pernah mendapatkan Kartini Award tahun 2009 itu menjelaskan panjang lebar kepada tiga jurnalis VIVAnews yang menemuinya pada 11 Juni 2014 ini.

Pusat Arkeologi Nasional dan Lembaga Eijkman sudah meneliti kerangka manusia di Gua Harimau, hasilnya bagaimana?
Kami sudah bekerja dengan genetika populasi. Ini untuk lihat migrasi, asal-usul, sudah berapa lama di Nusantara, siapa saja yang huni. Itu studi yang kami lakukan pada manusia modern. Kami studi soal genetik berbagai suku bangsa.

Kami lihat DNA mereka, apakah ada motif di infomasi genetika. Ini untuk mendalami teori Out of Africa (dan) Out of Sundaland.

[Sundaland adalah daratan besar saat Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih bersatu dengan Benua Asia--red].

Di sisi lain, studi ini kami kerja sama dengan Arkenas. Pertanyaan untuk Arkenas berbeda.

Contoh terakhir adalah studi kerangka di Gua Harimau. Di Gua Harimau, misalnya ada lapisan tanah di mana tulang belulang itu ditemukan, yang indikasikan tulang itu dikuburkan 10 ribu tahun lalu.
Kami ambil asumsi jika tanah umur sekian, kemungkinan kerangka itu adalah first migration. Kemudian di tempat lain ditemukan 5.000 tahun atau yang lain, berarti itu second migration.

Dari sudut genetika tidak banyak dari tulang belulang prasejarah. Kami pernah kerjasama untuk situs di Gilimanuk (Bali) dan situs di Plawangan, serta Sulawesi Tengah dan Liangbua (Sulawesi Selatan). Dari situ, hasil yang kami peroleh dengan menggunakan pendekatan DNA mitokondria, DNA yang diturunkan dari ibu.

Tulang di Bali, ternyata masuk dalam pengelompokan Bali moderen. Demikian juga di Plawangan masuk dalam kluster itu. Sulawesi juga demikian. Hasil kami itu sama dengan kluster dengan manusia sekarang.

Di Gua Harimau, ada yang menarik, ditemukan kerangka beda usia. Jadi kalau beda usia, apakah itu Out of Africa atau kemudian ada second migration sekitar dua sampai tiga ribu tahun yang lalu.

Dengan carbon dating (penanggalan berdasarkan karbon--red), bisa dilakukan. Tapi kalau latar belakang genetik harus pakai DNA.

Peta genetika manusia Indonesia saat ini bagaimana?
Populasi modern sudah hampir seluruhnya, dari Timur ke Barat. Sumatera sudah, Gayo sudah, Batak ada beberapa seperti Toba dan Karo, sementara di sana juga ada Mandailing dan Simalungun.

Dalam pelajari genetik, kami harus jadi antropolog untuk mengetahui bahasa sejarah. Perlu dukungan arkeologi. Awalnya kami ambil populasi gede, (selanjutnya) tergantung perkembangan kami.

Kami mau lihat Enggano, Andaman, Mentawai, dan Nias. Jadi pulau sebelah barat Sumatera itu sudah terpisah. Awalnya itu kan relatif terisolasi.  Kami ingin melihat hubungan Nias sampai Mentawai.

Klaster peta gen itu bagaimana penjelasannya?
Struktur kita ada 32 populasi. Yang dari Formosa (Taiwan), ada suku yang diperiksa. Jadi tahunnya mana, struktur populasi ada, misal Nias dan Mentawai, jadi satu kluster, berbeda dengan kelompok yang lainnya.

Dengan studi genetika itu, asal usul manusia Indonesia itu condong ke teori mana?
Kompleks. Semua bisa. Dominan yang Ouf of Africa dan Out of Taiwan, dua-duanya itu ada sebab genetika  sangat kompleks. Dengan makin banyak data, kami makin (bisa) bercerita. Masalahnya data itu kosong. Baru terkumpulkan.

Jadi interpretasi itu macam-macam. Oke, misalkan menganut teori Out of Sundaland, itu kan maksudnya asalnya dari sini (Indonesia). Itu tetap yang moderen. Jadi ada juga yang dari Sundaland naik ke atas. Dulu kan masih menyatu dengan semua pulau. Sementara Out of Africa kan baru 10 ribu tahun.

Ada literatur baru yang temukan hal baru, prinsipnya itu sintesis. Jadi kami punya data secara marga, sekarang statistik makin canggih. Ini baru keluar beberapa publikasi yang gunakan pendekatan algoritma baru, pendekatan baru yang makin kompleks.

Betul bahwa motif yang ada di Indonesia Out of Africa. Itu kelihatan jelas sekali jalannya dari sepanjang pantai, terus ke India terus ke bawah, menyusuri pantai.

Tapi kami kan kerjakan itu dari genetika perempuan dan laki-laki. Kan ada lagi yaitu otosom (ayah dan ibu). Pendekatan terakhir ini banyak dilakukan. Dengan pendekatan otonom, cara itu memberikan informasi jauh lebih banyak walaupun secara statistik lebih kompleks. Bioinfomatika gen kalau pakai yang awal bisa kami tangani.

Hasilnya macam-macam. Ada kelihatan ada tadinya berdasarkan kromosom Y dan mitokondria, kelihatan struktur populasi. Beberapa populasi menyatu dan dibatasi garis Wallace, sedangkan di Timur juga demikian.

[Garis Wallace adalah garis hipotetis yang dikemukakan Alfred Russel Wallace yang memisahkan hewan Asiatik dan Australasiatik. Garis ini membujur dari Selat Sulawesi menembus ke selat yang memisahkan Pulau Bali dan Lombok—red].

Tapi mitokondria dan kromosom Y, karena satu gen saja, amat sulit lihat percampuran.  Dengan otosom, kita lihat campuran genetik berasal dari first dan second migration.

Ini out of Taiwan, itu berdasarkan apa?
Peta DNA-nya. Ini sekarang masing-masing apa. Misalnya jadi yang ini hijau tua itu Papua, hijau muda Austronesia. Genetika suku itu kelihatan. Orang Papua atau Alor, semuanya hijau. Sedangkan dari Sumatera Barat, kami masih melihat hijau tua dan muda, menunjukkan mereka membawa dua kelompok dua gen yang berbeda.

Tujuan studi membawa genetika dan sains jadi satu, untuk menjawab pertanyaan besar bagaimana budaya membentuk gen manusia.

Yang terdekat yang akan kami lakukan yaitu bagaimana kemampuan organisme dengan perubahan makan. Kalau kita berubah makan dan lingkungan, maka organisme dalam usus kita akan berubah. Itu akan mempengaruhi fisiologi.  Bahwa gen, terpengaruh oleh budaya dan arkeologi.

Nenek moyang kita kan hidupnya hunter gatherer. Berburu, makan, berburu lagi. Gaya hidup berubah, suku dalam mereka akan memiliki gen yang bisa bertahan dengan cara itu. Kita duduk manis, akhirnya gen itu akan merusak.

Apa bukti awalnya nenek moyang datang dari Afrika?
Dari Afrika memang lebih tua. Memang (migrasi) yang dari Taiwan baru 200 tahun. Kalau Afrika 10 ribu tahun, bahkan lebih. Kuncinya ada di arkeologi.

Sekarang bukti kita pernah dihuni oleh Afrika yang ratusan tahun. Kebetulan di Borneo ditemukan (berusia) 40 ribu tahun, di Australia ada (berusia) 40-50 ribu. Itu ketahuan daerah di situ, Indonesia pernah dihuni pada 50 ribu tahun lalu.

Austronesia dari Taiwan itu awalnya dari data linguistik dan artefak atau budaya karena ditemukan yang sama yaitu budaya tembikar, bertani, jadi berdasarkan studi budaya.

Kalau dari mitokondria, kelihatan ada DNA, ada G A T C. Atau bahasa, itu kelihatan kalau kita migrasi kan ada mutasi. Dari mutasi itu perjalanan ribuan tahun, nanti ada tambahan gen.

Awalnya sampai perjalanan ribuan tahun itu ada tambahan mutasi, ada tambahan motif yang mengikuti migrasi. Misalnya awalnya dari sini, kemudian jalan migrasi jauh.

Masuk ke hutan, itu (gen) berbeda dengan orang yang tinggal di padang pasir. Sama juga manusia yang tempatnya awalnya ada di tempat kadar garam tinggi pindah kadar garam rendah. Semua itu berpengaruh.
Jadi ada haplotipe, dari Asia daratan masuk Formosa terus turun. Yang itu dukung teori linguistik dari Taiwan atau Austronesian.

Out of Taiwan itu lebih condong ke bahasa?
Jelas, waktu itu turun ke Taiwan terus turun ke Filipina dan belok ke kiri dan ke Papua tapi cuma hanya di pantai saja. Mereka berbahasa sama dengan kita.
Tapi saat itu kan Indonesia masih kosong, belum ada kegiatan penelitian asal usul moyang. Sekarang ini sudah banyak. Semua data gen masuk di GenBank, agar tiap temuan DNA masukkan datanya.

Maksudnya, jika itu dipublikasikan, itu bisa dibagi, data tersedia. Jadi kita tinggal memanfaatkan apa yang ada. Semua ada. Jadi secara garis besar, sudah semua peta DNA ada.

Kalau pertanyaan jadi kecil, misalnya di populasi yang lebih kecil, di Sumba misalnya kan ada 7 bahasa berarti ada 7 suku. Nanti kalau di desa yang berbatasan bagaimana genetikanya? Jadi gen, penyakit dan bahasa jadi satu. Kita punya 700 bahasa, di mana-mana ada. Di Kalimantan itu ada banyak.

Jika mereka tak ada perkawinan, kan latar belakang genetik mereka sama. Jika tidak pindah, terisolasi, maka bagaimana (pengaruh) penyakitnya. Sekarang apa di sini penyakit yang paling banyak di sini?
Talasemia ini sebabkan anemia. Kalau Talasemia mayor, anaknya akan perlukan transfusi darah. Ini kan masalah kesehatan masyarakat. Teman-teman peneliti di Talasemia temukan mutasi-mutasi anemia tapi lihat DNA-nya beda-beda.

Ternyata di masing-masing suku ada spesifik. Biasanya kalau kita punya anak punya Talasemia mayor, waktu punya anak lagi, kedua orang tua sangat khawatir.

Karena ada lebih dari 100 mutasi penanda dengan sekali tes butuh Rp1 juta. Jadi dengan cara demikian, belajar struktur populasi dan keunikan masing-masing, kita bisa aplikasikan untuk kesehatan masyarakat.

Sebenarnya kecenderungan terhadap penyakit, (dengan peta gen) langsung bisa diketahui. Masalahnya adalah kebanyakan penyakit genetik tidak single factor. Talasemia pun ada gejala tinggi, berat, ringan, menengah, jadi itu faktor lain.

Bagaimana dengan temuan gen Homo denisovan yang ditemukan di Siberia terdapat di gen orang Papua?
Ada ditemukan, belum ada catatan, karena belum dipublikasikan. Memang kami akan melihat itu untuk melihat apakah di Indonesia ada kaitannya.

Apa mungkin temuan gen manusia Denosiva itu akibat kawin-mawin?
Perkawinan manusia Neandertal dan manusia memang ada. Kebetulan kami bekerjasama dengan peneliti yang kerjakan Neandertal.

Soal riset Gua Harimau, kelanjutannya bagaimana?
Mereka bekerja tiap tahun. Kerja tiap tahun. Bertahap. Kalau buat kami, tinggal terima apa yang mereka temukan. Kami beking saja.

Alasan kenapa kami ikut lihat temuan itu supaya kita bisa mengikuti memahami budaya itu, bagaimana cara bekerja dan lainnya.

Gambaran umum studi gen tahap apa? Tahap awal atau sudah tahap lanjut?
Karena kami tidak mengucilkan diri sendiri. Dana penelitian untuk beli yang tercanggih. Zaman sekarang tidak harus punya alat bisa service. Kita bisa kolaborasi atau bagaimana supaya bisa akses.

Waktu kami kerjakan otosom untuk studi Asia, staf kami ada yang di Singapura. Memang masih perlu alat khusus untuk dalami lagi.

Dana risetnya bagaimana?
Dana riset kita kan memang sangat sedikit. Malu. Tapi sekali lagi, terus kalau sedikit, perlu duduk pangku tangan? Tidak bisa ya, kita cari dana dari luar.  [aba]


© VIVA.co.id


Sumber:
http://m.news.viva.co.id/news/read/512491--indonesia-terdiri-dari-32-klaster-genetika-

No comments:

Post a Comment