PAPARAN SUNDA
GEOLOGI PAPARAN SUNDA
STRUKTUR GEOLOGI PAPARAN SUNDA
(SUNDA LAND)
Disusun oleh : Siti Nurwatin (074274005)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
2009
A. PENDAHULUAN
Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di Sunda land. Pada saat itu suhu bumi amat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.
Diantara kawasan ini adalah wilayah Sunda Land dan Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang.
Pengertian Paparan Sunda (Sunda land)
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949). Wilayah Indonesia bagian barat dikenal sebagai paparan Sunda yang dahulu diperkirakan menjadi satu dengan benua Asia.
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunungapi (magmatic arc).
Fenomena tektonik lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif, titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.
Diantara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk aapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang.
Wilayah Sunda Land yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.
Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini.
Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.
Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton.
Di kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat. Di kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria yang dapat dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan konglomerat dengan batuan vulkanik . paparan Sunda. Batuan ini diintrusi oleh batolit granit pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.
B. PEMBAHASAN
Pulau-Pulau Di Paparan Sunda:
Kepulauan Riau-Lingga
Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias. Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara sampai Bangka dan Biliton.
Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.
Kalimantan
Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolit-batolit tersingkap, terjadi proses transgresi Trias Atas. Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam. Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya).
Di bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939). Pada zaman Kwarter, batuan basal muncul di seputar andetis horblena Niut, sehingga dapat dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik “Schwaner Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat. Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian endapan batugamping.
Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap, pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner. Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik. Pengangkatan berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama Tersier .Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang. Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas. Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan Tersier Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya.Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara – selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif lebih muda dibanding dengan Kalimantan Barat.
Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai. Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino. Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit, peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali. Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik peridotit dan granit. Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus pembentukan pegunungan.
Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.
Filipina
Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi. Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak beberapa argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan.
Maluku Utara.
Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam. Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.
Sulawesi
Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini. Bagian utara dan barat Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.
Maluku Utara dan Busur Banda.
Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda ini secara umum sesuai dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia. Saat ini Sistem Busur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.
Kepulauan Sunda Kecil.
Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit – split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik.
Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier. Di Flores terdapat bantuan berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.
Jawa
Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara. Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik. Akhir Tersier merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier. Selanjutnya pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang sangat basa.
Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).
Sumatra
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau Singkarak dan Jambi. Umur granit di bagian utara jalur (pada granit pembawa timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca Trias.
Kemungkinan granit di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba).
Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut - Karimun Jawa.
Pulau Barat Sumatra.
Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan. Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.
Kepulauan Andaman dan Nikobar
Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan batuan vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.
New Guinea.
Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa. Rangkaian pegunungan bagian tengah merupakan dari Sistem Circum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari Sistem Melanisia. Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan busur non-vulkanik di bagian luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat aktifitas diatrofisma Pra Tersier yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di pegunungan Cyclope utara tersingkat batuan-batuan ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit).
Di Vogelkop intrusi granit mengalami metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang teralterasi. Bagian tengah New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak memunculkan batuan vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama Miosen, berikut intrusi batuan plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma sela Suma Kwarter.
Pulau Christmas.
Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hindia. Yang membedakan dengan kepulauan Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri Pasifik yang dominan.
Peta Wilayah Paparan Sunda
Berdasarkan pulau-pulau di Paparan Sunda, maka dapat dilihat peta wilayah Paparan Sunda, yaitu sebagai berikut,
PETA WILAYAH PAPARAN SUNDA
C. PENUTUP
Wilayah Sunda land yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.
Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini.
Kawasan Sunda land pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam geologi.
Sumber:
http://sitinurwatin.blogspot.com/2009/06/paparan-sunda.html
No comments:
Post a Comment