Teori tentang Asal-usul Bangsa Indonesia
Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern
(1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di
Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa
pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang
dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian
mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar
(Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru
yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan
Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah
yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri
migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).
Teori
von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran
tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan
hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila
leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat
lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan
secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan
megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah
ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi
bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of
Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih
mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.
Perdebatan
Mengenai
asal-usul rumpun bangsa berbahasa Austronesia yang menjadi cikal-bakal
bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Pasifik masih menjadi
perdebatan, apakah berasal dari Formosa (Taiwan), dataran Sunda, Hainan
(Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina atau bahkan Jepang. Menurut
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak,
rumpun Austronesia sendiri merupakan bagian dari bahasa Austrik yang
berawal di daratan Asia dan terbagi dua. Dua rumpun itu Austro Asiatik
yang menyebar di daratan Asia, misalnya, bahasa yang dituturkan
Mon-Khmer di Indochina, Thai, dan Munda di India Selatan serta bahasa
Austronesia yang menyebar ke selatan tenggara seperti Indonesia,
Filipina, Malaysia, hingga kepulauan Pasifik. Teori yang dominan yakni
Model Out of Taiwan menyebutkan, bahasa Austronesia mulai mengkristal di
Formosa (Taiwan) setelah penuturnya bermigrasi ke pulau itu pada 6.000
tahun lalu dari daratan china Selatan, mungkin sekitar Fujian atau
Guangdong. Proses ini melahirkan bahasa Austronesia awal dan budayanya
diwakili budaya Da-pen-keng. Budaya dan bahasa ini segera terpecah
menjadi beragam budaya dan dialek lokal pada sekitar 4.700 tahun lalu.
Pada masa itu penutur Austronesia awal ini kemudian mengenal domestikasi
babi dan anjing serta menanam padi, ubi, dan tebu, membuat kain kulit
kayu dan gerabah, serta menggunakan peralatan dari batu dan tulang juga
membuat kano. Beberapa kelompok dari para penutur Austronesia itu
kemudian mulai menjelajahi kepulauan Asia Tenggara pada 4.500 tahun
lalu, khususnya ke Filipina Utara dan kalimantan Utara. Kelompok pemukim
awal ini akhirnya menciptakan bahasa Proto Malayo Polynesia yang
merupakan cabang dari induknya Proto Austronesia. Di kawasan baru itu
perbendaharaan tanaman yang dibudidayakan bertambah dari pertanian
biji-bijian ditambah dengan kelapa, sagu, sukun dan pisang. Pada masa
itu teknologi pelayaran mereka makin canggih. Ada yang bermigrasi ke
arah timur menuju Mikronesia, ada yang menuju ke arah selatan melalui
Filipina Selatan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Selanjutnya
dari Kalimantan dan Sulawesi gerak migrasi mengarah ke Jawa dan Sumatera
serta Semenanjung Malaka.
Sedangkan yang dari Maluku Utara ke selatan
menuju Nusa Tenggara dan ke timur ke pantai utara Papua Barat dan terus
ke timur hingga ke Kepulauan Bismarck. Ketika bermigrasi ke arah timur
pertanian biji-bijian ditinggalkan karena lingkungan tak mendukung dan
menggantinya dengan menanam berbagai umbi-umbian. Menurut Pakar
Arkeologi lainnya, Daud Aris Tanudirjo, persebaran tersebut berlangsung
sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun lalu dengan ditandai luasnya distribusi
gerabah berpoles merah.
Kemampuan mengarungi lautan jarak jauh
mendorong mereka bermigrasi lompat katak dengan mengarungi daerah-daerah
yang jauh dan melewati daerah-daerah yang dekat. Selain bahasa Proto
Malayo Polynesia yang berkembang di Barat, juga berkembang bahasa-bahasa
Proto Central Malayo Polynesia yang berpusat di Halmahera, Proto
Eastern Malayo Polynesia di kawasan Kepala Burung, dan Proto Oceanic di
Kepulauan Bismarck dan kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya. Bentuk
rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk
pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo
Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi,
yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Bahkan menurut Pakar
Austronesia Peter Bellwood, berbagai proto bahasa yang pernah tersebar
dari Filipina hingga kepulauan Bismarck ketika itu pada dasarnya masih
bisa dikatakan satu bahasa dengan sedikit variasi dialek, ujar Daud.
Nenek Moyang
Jadi
bangsa Indonesia merupakan keturunan ras Mongoloid, karena orang-orang
asal Formosa yang bermigrasi ke Kepulauan Indonesia bersamaan dengan
menyebarnya bahasa Austronesia merupakan ras Mongoloid Selatan?
Penelitian antropometrik dan tengkorak WW Howell terhadap populasi dari
Asia Tenggara dan Asia Pasifik menyimpulkan dua pengelompokan, yakni
penduduk Australia (Aborijin) dan Melanesia di Papua Nugini dalam satu
kelompok. Sedangkan penduduk Polinesia-Micronesia-Mongoloid Selatan pada
kelompok yang lain, di mana nenek moyang penduduk Polynesia dan
Micronesia secara fenotif memang lebih dekat kepada Mongoloid daripada
ras Austomelanesid. Dari studi genetik dengan penelitian mitochondrial
DNA juga membuktikan bahwa penduduk Polinesia, yakni penutur bahasa
Proto Malayo Polynesia, memiliki ciri genetika "9 base-pair deletion"
yang menjadi ciri khas penduduk Asia Timur. Namun, penemuan kerangka
manusia di pegunungan Sewu menunjukkan adanya kohabitasi antara dua ras
Australomelanesid dan Mongolid dalam waktu hampir bersamaan jauh sebelum
datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid. Dalam
situs itu kerangka berciri Austromelanesoid dikubur dengan posisi
terlipat berada di situs yang sama dengan manusia berciri ras Mongoloid
yang dikubur dengan posisi terbujur. Kerangka yang ditemukan di
situs-situs itu memiliki pertanggalan 4.500-7.000 tahun lalu (Song
Keplek, Pacitan) dan 9.800-13.000 tahun lalu (Gua Braholo, Gunung
Kidul). Ras Australomelanesid sendiri, kata Harry Widianto
dari Balai Arkeologi Yokyakarta, diduga bermula dari daratan Asia
Tenggara yang bermigrasi sekitar 10 ribu tahun lalu ke arah selatan dan
dataran bagian barat. Bukti-bukti digarisbawahi dengan peninggalan di
Vietnam, Thailand, dan Indonesia bagian barat, kemudian ras tersebut
menyebar ke daerah yang lebih timur di Nusa Tenggara. Menurut Daud Aris,
migrasi petani Austronesia di berbagai tempat di nusantara telah
menyebabkan tersingkirnya penduduk Austromelanesoid yang mengandalkan
kehidupannya dari berburu dan mengumpulkan makanan ke wilayah lebih
timur dan selatan seperti Papua dan Australia. Namun demikian penemuan
manusia Wajak dekat Tulungagung yang membawa ciri Mongoloid pada bagian
wajah sekaligus Austromelanesid dari bentuk umum tengkoraknya
menunjukkan adanya percampuran kedua ras. Percampuran dua ras itu sudah
ada sebelum penutur Austronesia yang berciri Mongloid datang ke
nusantara, karena perkiraan pertanggalannya 11 ribu tahun lalu. Dengan
demikian kenyataan itu melemahkan model Out of Taiwan dan memperkuat
teori S Oppenheimer yang menyatakan asal-usul penutur Austronesia
berasal dari dataran Sunda sebelum zaman es mencair. Jadi bangsa
Indonesia merupakan percampuran antara dua ras Austromelanesid dan
Mongolid yang mendiami bumi nusantara gelombang demi gelombang dan
bercampur dengan rumpun Aria dari India, bangsa Semit dan Eropa di
masa-masa modern sesudahnya.
Asal-usul nama Indonesia
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi
(beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk
tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada
lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad
lamanya.
Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada
tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang
diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman
Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara,
isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya
menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit
yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli > antara, maka Nusantara kini
memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua
samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang
modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi
populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika
mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah
yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
> Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Teori Linguistik
Teori
mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu
linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di
Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari
keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah
Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal
dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang
sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of
Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.
Pada
prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa
dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu
linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia.
Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa
penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa
Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun
yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia
menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah
Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum
mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.
Pendekatan Teori Genetika
Teori
dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah
disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang
dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika
dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena
dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina,
termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan
pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang
sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan
ilmu linguistik.
Dengan
menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka
asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan,
akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan
Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan
untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa
Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan
tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih
dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui
pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Sumber:
http://karimjogja.blogspot.com/2011/11/teori-tentang-asal-usul-bangsa.html
No comments:
Post a Comment