Temuan Arkeolog dan Lokasi Sejarah Alkitab
THIS PAGE A SCROLL DOWN ARTICLES (ini halaman gulungan artikel-artikel-yang dibaca dengan menggulir terus kebawah)
Siria—Gema dari Masa Lampau yang Menarik
IA
TERLETAK di salah satu persimpangan jalan di dunia kuno—tempat
bertemunya jalur kafilah dari kawasan Laut Tengah menuju ke Cina dan
dari Mesir menuju ke Anatolia. Bala tentara Akad, Babilon, Mesir,
Persia, Yunani, dan Roma pernah melintasinya. Berabad-abad kemudian,
orang Turki dan para ksatria Perang Salib melintasinya. Pada zaman
modern, bala tentara Prancis dan Inggris berperang untuk menguasainya.
Sekarang,
sebagian kawasan itu dikenal dengan sebutan yang digunakan ribuan tahun
yang lalu—Siria (di Indonesia dikenal dengan sebutan Suriah). Meskipun
daerah itu telah banyak berubah, gema sejarah masih bergaung di sana.
Kawasan ini khususnya menarik bagi para pelajar Alkitab, mengingat Siria
memegang peranan dalam sejarah Alkitab.
Damaskus—Sebuah Kota Kuno
Sebagai contoh, perhatikanlah Damaskus,
ibu kota Siria. Konon, kota itu adalah salah satu kota tertua di dunia
yang senantiasa berpenghuni sejak didirikan. Damaskus, yang terletak di
kaki Pegunungan Anti-Lebanon dan dilalui aliran Sungai Barada, telah
berabad-abad lamanya menjadi oasis yang dinanti-nantikan di tepi Gurun
Siria yang luas. Kemungkinan besar, patriark Abraham melintasi kota ini
dalam perjalanannya ke selatan menuju Kanaan. Dan, ia mengambil Eliezer,
”orang Damaskus”, menjadi anggota rumah tangganya sebagai
pelayan.—Kejadian 15:2.
Hampir
seribu tahun kemudian, raja-raja Zoba dari Siria berperang melawan raja
pertama Israel, Saul. (1 Samuel 14:47) Raja kedua Israel, Daud, juga
berperang melawan raja-raja Aram (nama Ibrani untuk Siria), mengalahkan
mereka, dan ”menempatkan garnisun-garnisun di Siria, di Damaskus”.
(2 Samuel 8:3-8) Dengan demikian, Israel dan Siria menjadi musuh
bebuyutan.—1 Raja 11:23-25.
Pada
abad pertama M, permusuhan antara orang Siria dan orang Yahudi
tampaknya telah mereda. Bahkan, terdapat sejumlah sinagoga Yahudi di
Damaskus pada saat itu. Anda mungkin ingat bahwa Saul (belakangan
Paulus) dari Tarsus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem ke Damaskus
ketika ditobatkan kepada Kekristenan.—Kisah 9:1-8.
Di
kota Damaskus sekarang, tidak ada bukti bahwa Abraham pernah
melintasinya atau bahwa Daud pernah menaklukkannya. Tetapi, ada
reruntuhan kota Romawi kuno serta sebuah jalan raya utama yang melintasi
kota tua tersebut yang mengikuti jalan Romawi kuno Via Recta (Jalan
Lurus). Di sebuah rumah di jalan itulah Ananias menjumpai Saul setelah
Saul ditobatkan secara mukjizat kepada Kekristenan tepat di luar kota
Damaskus. (Kisah 9:10-19) Meskipun jalan itu kini sudah jauh berbeda
dibanding keadaannya pada zaman Romawi, di sinilah rasul Paulus memulai
kariernya yang menonjol. Jalan Lurus berakhir di gerbang Romawi
Bab-Sharqi. Tembok kota itu, dengan rumah-rumah di atasnya, membantu
kita memahami bagaimana Paulus dapat melarikan diri dengan diturunkan
dalam sebuah keranjang melalui sebuah lubang di tembok.—Kisah 9:23-25;
2 Korintus 11:32, 33.
Palmira—Oasis yang Bersejarah
Kira-kira sejauh tiga jam perjalanan ke sebelah timur laut Damaskus terdapat lokasi arkeologis yang terkenal: Palmira,
yang di dalam Alkitab disebut Tadmor. (2 Tawarikh 8:4) Oasis yang
terletak di pertengahan antara Laut Tengah dan Sungai Efrat ini
mendapatkan airnya dari mata air bawah tanah yang memancar di sini dari
pegunungan di sebelah utara. Jalur perdagangan zaman dahulu antara
Mesopotamia dan negeri-negeri di sebelah barat mengikuti Daerah Bulan
Sabit Subur dan karenanya membentang jauh di sebelah utara Palmira.
Namun, pada abad pertama M, ketidakstabilan politik di utara menyebabkan
orang-orang memilih jalur perdagangan yang lebih pendek dan letaknya
lebih ke selatan. Dengan cara itu Palmira memasuki masa kejayaannya.
Karena
berguna bagi Roma sebagai basis pertahanan di sebelah timur
imperiumnya, Palmira diintegrasikan ke dalam Provinsi Siria di wilayah
Romawi, tetapi akhirnya dinyatakan sebagai kota yang merdeka. Kuil-kuil
besar, gapura-gapura peringatan, tempat-tempat pemandian, dan sebuah
teater berderet di sebuah jalan yang dihiasi oleh barisan tiang yang
megah. Trotoar beratap di kiri-kanan jalan diberi lapisan keras untuk
para pejalan kaki, tetapi jalan utama di tengah tidak dilapisi demi
kenyamanan kereta-kereta unta yang melintas. Kafilah-kafilah yang
menempuh rute perdagangan antara Cina dan India di Timur dan dunia
Yunani-Romawi di Barat selalu singgah di Palmira. Di sana, mereka
dipaksa membayar pajak atas sutra, rempah-rempah, dan
komoditas-komoditas lain yang mereka bawa.
Pada
puncak kejayaannya, pada abad ketiga SM, Palmira berpopulasi sekitar
200.000 jiwa. Pada saat itulah, ratunya yang ambisius, Zenobia, angkat
senjata melawan Roma dan akhirnya dikalahkan pada tahun 272 M. Dengan
cara itu, Zenobia tanpa sadar menggenapi bagian dari nubuat yang dicatat
nabi Daniel sekitar 800 tahun sebelumnya. (Daniel, pasal 11) Setelah
kekalahan Zenobia, Palmira tetap ada selama beberapa waktu sebagai pos
terdepan strategis untuk Imperium Romawi, tetapi tidak pernah
mendapatkan kembali kekuasaan dan kesemarakan yang pernah ia miliki.
Berlanjut ke Sungai Efrat
Setelah tiga jam perjalanan ke sebelah timur laut melintasi padang gurun terdapat kota Deir ez Zor,
tempat Sungai Efrat yang perkasa dapat terlihat. Sungai yang bersejarah
ini bersumber dari pegunungan di Anatolia bagian timur (Turki Asia),
memasuki Siria persis di sebelah utara di Karkhemis, dan mengalir ke tenggara melewati Siria menuju Irak. Tidak jauh dari perbatasan Irak, terdapat reruntuhan dua kota kuno Siria.
Seratus kilometer ke sebelah tenggara, di lengkungan Sungai Efrat, terdapat reruntuhan kota kuno berbenteng, Dura-Europos. Dua puluh lima kilometer lagi ke sebelah tenggara, terdapat lokasi kota Mari.
Kota perdagangan yang pernah sangat makmur ini dihancurkan pada abad
ke-18 M oleh Raja Babilonia Hammurabi. Dalam arsip istana kerajaannya
ditemukan sedikitnya 15.000 lempeng tanah liat
berinskripsi—dokumen-dokumen yang telah menyingkapkan banyak hal tentang
sejarah masa lampau.
Sewaktu
pasukan Hammurabi menghancurkan kota itu, mereka meruntuhkan tembok
atas kota, sehingga memenuhi ruang-ruang yang lebih rendah dengan batu
bata dan tanah. Alhasil, lukisan-lukisan dinding, keramik-keramik, dan
artifak lain yang tak terhitung banyaknya tetap terlindung dengan aman
sampai sebuah tim arkeolog Prancis menemukan lokasi ini pada tahun 1933.
Barang-barang ini dapat dilihat di museum di Damaskus dan Aleppo serta
di Louvre, Paris.
Kota-Kota Kuno di Siria Barat Laut
Dengan menyusuri Sungai Efrat ke sebelah barat laut, kita sampai di kota Aleppo (Haleb). Aleppo, seperti Damaskus, mengaku sebagai salah satu kota tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni. Souk, atau pasar tertutup, di Aleppo termasuk yang terindah di Timur Tengah.
Persis di sebelah selatan Aleppo terdapat Tell Mardikh, lokasi negara-kota kuno Ebla.
Ebla adalah kota perdagangan yang berpengaruh yang mendominasi Siria
bagian utara pada paruh kedua milenium ketiga SM. Penggalian-penggalian
yang dilakukan di sana menemukan reruntuhan sebuah kuil yang dibaktikan
kepada dewi Babilonia Istar. Di situ juga ditemukan sebuah istana
kerajaan yang ruangan arsipnya menampung sekitar 17.000 lempeng tanah
liat. Artifak-artifak dari Ebla dapat dilihat di museum di Idlib, kota
kecil berjarak 25 kilometer dari lokasi itu.
Bergerak ke selatan di jalan menuju Damaskus, tibalah kita di Hama,
yang dalam Alkitab disebut Hamat. (Bilangan 13:21) Sungai Orontes
berkelok-kelok melewati Hama, menjadikannya salah satu kota yang paling
menyenangkan di Siria. Lalu, ada pula Ras Syamra, lokasi kota kuno Ugarit.
Pada milenium ketiga dan kedua SM, Ugarit adalah pelabuhan dagang yang
makmur yang sangat dipengaruhi oleh ibadat kepada Baal dan Dagon. Sejak
tahun 1929, para arkeolog Prancis telah menemukan banyak lempeng tanah
liat dan perunggu berinskripsi yang banyak menyingkapkan kebejatan
ibadat kepada Baal. Hal ini membantu kita lebih mengerti mengapa Allah
membasmi orang-orang Kanaan penyembah Baal.—Ulangan 7:1-4.
Ya, di Siria modern masih terdengar gema dari masa lampau yang menarik.
Publication of Watchtower as of 8/2/03. Copyright © 2010 iblogronnp.com from Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania.
Publication of Watchtower as of 8/2/03. Copyright © 2010 iblogronnp.com from Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania.
Tel Arad Menjadi Saksi Bisu
Kota
yang hilang. Kuil yang misterius. Kumpulan inskripsi kuno.
Kedengarannya seperti pengantar sebuah film petualangan yang menarik.
Sebenarnya, semua hal ini dan banyak lagi yang lain terkubur selama
berabad-abad di bawah lapisan pasir gurun di Tel Arad, Israel, hingga
para arkeolog mulai menggali di sana.
DEWASA
ini, Arad modern dianggap oleh banyak pengunjung sebagai kota khas
Israel. Kota ini yang berpenduduk 27.000 orang, terletak di padang
belantara Yudea di sebelah barat Laut Mati. Namun, kota Arad orang
Israel kuno terletak sekitar delapan kilometer ke sebelah baratnya. Di
sanalah para arkeolog dengan hati-hati menggali lapisan-lapisan pasir,
menemukan banyak bangunan dan inskripsi kuno.
Inskripsi-inskripsi
tersebut tertera pada ostraka, pecahan tembikar yang digunakan sebagai
lempeng tulis. Cara menulis seperti itu sudah umum pada zaman Alkitab.
Hasil penggalian di situs Tel Arad digambarkan sebagai koleksi terbesar
dari ostraka semacam itu yang pernah ditemukan di Israel. Sebenarnya,
apa manfaat dari penggalian arkeologis ini?
Temuan
di Tel Arad meliputi sejarah Alkitab yang panjang, mulai dari zaman
para Hakim Israel hingga penyerbuan Babilonia ke Yehuda pada tahun
607 SM. Jadi, temuan ini turut meneguhkan kesaksamaan Alkitab. Temuan
tersebut juga menyediakan contoh-contoh yang informatif tentang cara
orang-orang Israel zaman dahulu memandang nama pribadi Allah.
Arad dan Alkitab
Memang,
tidak banyak yang diceritakan Alkitab tentang Arad. Tetapi, kota yang
letaknya strategis ini pernah mengendalikan rute perdagangan yang
penting. Maka, tidaklah mengherankan, catatan sejarah dan temuan
arkeologis menunjukkan pasang surut yang dialami kota kuno ini, sering
kali ditaklukkan, dihancurkan, dan dibangun kembali. Karena sering
dibangun kembali, reruntuhannya telah menjadi gundukan puing atau tell yang sangat besar.
Alkitab
pertamakali menyebut Arad sewaktu menceritakan akhir perjalanan orang
Israel selama 40 tahun melalui padang belantara. Tidak lama setelah
kematian Harun, kakak Musa, umat Allah melintas di dekat perbatasan
selatan Tanah Perjanjian. Raja kota Arad, orang Kanaan, menganggap para
pengembara padang belantara ini sebagai sasaran empuk. Ia melancarkan
serangan. Dengan dukungan Allah Yehuwa, orang Israel yang gagah berani
menyerang balik, mendapatkan kemenangan telak dan menghancurkan Arad
hingga rata ke tanah, walaupun tampaknya ada orang yang luput.—Bilangan
21:1-3.
Orang
Kanaan dengan cepat membangun kembali kota mereka yang strategis itu;
sewaktu Yosua sampai di daerah itu beberapa tahun kemudian, menyerang
dari utara dan secara sistematis melenyapkan orang Kanaan ”di wilayah
pegunungan, [dan] Negeb”, salah seorang yang mengadangnya adalah ”raja
Arad”. (Yosua 10:40; 12:14) Belakangan, keturunan Hobab orang Keni, yang
telah memberikan dukungan dan bergabung dengan rombongan Israel selama
perjalanan di padang belantara, menetap di wilayah Negeb ini.—Hakim
1:16.
Temuan Arkeologis
Reruntuhan
di Tel Arad memberikan keterangan tambahan yang menarik tentang
peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan dalam catatan Alkitab.
Misalnya, para arkeolog telah menemukan berbagai tembok pertahanan.
Beberapa di antaranya mungkin berasal dari masa pemerintahan
Raja Salomo, yang terkenal dengan proyek pembangunan kota secara
ekstensif. (1 Raja 9:15-19) Dari satu lapisan penggalian terlihat bahwa
kota itu pernah dibumihanguskan dan hal itu diperkirakan terjadi pada
awal abad kesepuluh SM. Temuan tersebut cocok dengan masa penyerbuan
Raja Syisyak dari Mesir, hanya lima tahun setelah kematian Salomo. Di
Karnak, daerah selatan Mesir, ada relief pada tembok yang memperingati
penyerbuan tersebut dan Arad termasuk dalam daftar banyak kota yang
dikalahkan.—2 Tawarikh 12:1-4.
Bagian dari relief pada tembok di Karnak, Mesir |
Yang
paling menarik adalah banyak dari sekitar 200 ostraka yang ditemukan
memuat nama-nama Ibrani yang juga terdapat dalam Alkitab, seperti
Pasyur, Meremot, dan putra-putra Korah. Beberapa dari dokumen sekuler
ini bahkan lebih menarik lagi karena memuat nama pribadi Allah. Nama
pribadi yang terdiri dari empat huruf Ibrani יהוה (YHWH)—sering
disebut Tetragramaton—hanya digunakan untuk Allah Yang Mahakuasa.
Belakangan, takhayul membuat banyak orang percaya bahwa mengucapkan atau
menulis nama Allah adalah hujah, atau melanggar kesucian. Namun, temuan
di Tel Arad, seperti banyak temuan lainnya, meneguhkan bahwa pada zaman
Alkitab nama Allah sering dan umum digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, sewaktu memberi salam, dan sewaktu mengucapkan berkat.
Misalnya, sebuah inskripsi berbunyi, ”Kepada tuanku Elyasyib. Semoga
Yahweh [Yehuwa] mengupayakan kedamaianmu. . . . Ia tinggal di rumah
Yahweh.”
Namun,
bagaimana tentang kuil misterius yang disebutkan pada awal artikel ini?
Sebuah bangunan di Tel Arad yang telah menimbulkan banyak dugaan ialah
kompleks kuil, lengkap dengan mezbah, dari masa orang Yehuda. Meskipun
ukurannya jauh lebih kecil daripada bait Salomo di Yerusalem, kuil ini
memiliki banyak kemiripan dengan bangunan suci itu. Mengapa dan kapan
kuil Arad itu dibangun? Digunakan untuk apa saja? Para arkeolog dan
sejarawan hanya bisa berspekulasi.
Yehuwa
dengan jelas menetapkan bahwa bait di Yerusalem adalah satu-satunya
pusat ibadat yang diperkenan-Nya untuk perayaan tahunan dan persembahan
korban. (Ulangan 12:5; 2 Tawarikh 7:12) Jadi, pembangunan dan penggunaan
kuil Arad bertentangan dengan Hukum Allah, mungkin dilakukan pada masa
ketika banyak orang Israel tersimpang dari ibadat sejati dengan
menggunakan mezbah-mezbah dan berbagai upacara lain. (Yehezkiel 6:13)
Jika demikian halnya, pusat ibadat tiruan ini boleh jadi dimusnahkan
selama masa reformasi besar-besaran yang dilakukan oleh Hizkia atau
Yosia pada abad kedelapan dan ketujuh SM.—2 Tawarikh 31:1; 34:3-5, 33.
Jelaslah,
sekelumit masa lalu Arad yang bisa kita ketahui sekarang mengandung
pelajaran penting bagi kita. Setelah berabad-abad berlalu, berbagai
artefak yang ditemukan meneguhkan kesaksamaan Alkitab, membuktikan
timbul tenggelamnya penyelewengan dari ibadat sejati, dan menyediakan
berbagai contoh penggunaan nama Yehuwa yang penuh respek dalam kehidupan
sehari-hari. Salinan publikasi MP 1/7/08
TEMUAN-TEMUAN LAIN
Tulisan Kuno Ditemukan di Israel
Pernak-pernik Babilon
Para
arkeolog yang menyelidiki gua-gua dekat Laut Mati telah menemukan
perhiasan dan benda-benda lain yang konon berumur kira-kira 2.500 tahun,
yaitu dari masa ketika orang Yahudi kembali ke tanah air mereka dari
pembuangan di Babilon. Para arkeolog itu, dari Universitas Ibrani di
Yerusalem dan Universitas Bar Ilan di Ramat Gan, menemukan benda-benda
tersebut dengan bantuan detektor logam. Di antara harta karun itu
terdapat sebuah cermin perunggu kecil, liontin perak, kalung emas dan
manik-manik batu semiberharga, medali akik Babilonia, dan segel dengan
gambar seorang imam Babilonia sujud kepada bulan, lapor Associated
Press. ”Temuan ini sangat langka. Kita hampir tidak pernah mendengar ada
temuan yang begitu banyak dan yang berasal dari periode itu,” kata
Tsvika Tsuk, kepala arkeolog untuk Pengelola Perlindungan Alam dan Taman
Nasional Israel g 22/5
Lumbung Mesir Kuno Ditemukan
Para
arkeolog dari University of Chicago yang melakukan penggalian di Mesir
bagian selatan telah menemukan tujuh wadah kuno tempat menyimpan
biji-bijian, yang terbesar yang pernah ditemukan di negeri itu.
Berdasarkan artefak yang ditemukan di dekatnya, para arkeolog menentukan
bahwa wadah, atau lumbung, itu dibuat antara tahun 1630 dan 1520 SM.
Jika penentuan tahun itu akurat, lumbung itu berasal dari zaman Musa.
Bentuknya bundar, terbuat dari bata lumpur, dengan diameter 5,5 meter
sampai 6,5 meter dan mungkin tingginya tidak kurang dari 7,5 meter.
Dulu, ini digunakan oleh pemerintah sebagai bagian dari pusat distribusi
makanan setempat. Mengenai temuan tersebut, universitas itu melaporkan
bahwa pusat-pusat demikian ”berfungsi sebagai tempat dikumpulkannya
panenan yang limpah dari Lembah Nil untuk dimanfaatkan demi kepentingan
negara. Kekuasaan para firaun semakin mantap dengan digunakannya
biji-bijian itu sebagai mata uang”. Laporan itu menambahkan, ”karena
biji-bijian memiliki nilai tukar, lumbung itu berfungsi sebagai bank dan
sumber makanan”. g 3/09
Bertruk-truk Sejarah
Menurut
laporan, para arkeolog yang mengayak bertruk-truk tanah dari situs bait
di Yerusalem telah mengumpulkan ribuan artefak yang berasal dari masa
pra-Israel hingga zaman modern ini. Di antaranya terdapat sebuah kepala
anak panah dari jenis yang digunakan oleh pasukan Nebukhadnezar, yang
menghancurkan bait pertama orang Yahudi di situs itu. Temuan yang paling
mengejutkan ialah sebuah meterai tanah liat, yang berasal dari abad
ketujuh atau abad keenam SM, yang katanya memuat nama Ibrani Gedalyahu
Ben Immer Ha-Cohen. Menurut arkeolog Gabriel Barkai, pemilik meterai itu
”kemungkinan adalah saudara lelaki Pasyur Ben Imer, yang disebutkan
dalam Alkitab [Yeremia 20:1] sebagai imam dan pejabat di bait”. g 11/07
Perbantahan Ratu Syeba
Di
Etiopia ia dinamakan Makeda. Di Yaman, namanya adalah Bilqis. Ia lebih
dikenal sebagai ratu Syeba, disebut dalam Alkitab maupun Quran. Setiap
negara menyatakan memilikinya dan berharap agar makamnya segera
ditemukan di negara mereka, mengimbau para arkeolog untuk terus menggali
mencari bukti. Jika bukti mengenai ratu Syeba dapat ditemukan, lokasi
tersebut akan menjadi objek wisata yang sangat besar bagi wisatawan dan
mengesahkan pernyataan mengenai mata ranatai purba negara itu dengan
peradaban. ”Para arkeolog telah menemukan banyak inskripsi dari kerajaan
Syeba pada batu-batu kuno di Etiopia dan Yaman,” demikian komentar The
Wall Street Journal. ”Anehnya, tidak ada yang menyebut Makeda atau
Bilqis.” Ditambahkan, ”Alkitab tidak banyak membantu. Memang disebutkan
secara terperinci semua emas dan rempah-rempah yang dibawa Syeba kepada
Salomo, tetapi tidak disebutkan dari mana ia datang.” g98 8/5
Penggalian Sodom dan Gomora
Para
arkeolog Swedia menyatakan telah menemukan Sodom dan Gomora Purba.
Bekerja sama dengan Badan Kepurbakalaan Amman, para ilmuwan melakukan
penyelidikan di El Lisan, sebelah timur Laut Mati, di Yordania. Surat
kabar Swedia Östgöta-Correspondenten menjelaskan bahwa penemuan
reruntuhan bangunan yang dihancurkan kira-kira 1.900 tahun Sebelum
Masehi sangat menakjubkan. Para arkeolog yakin bahwa mereka telah
menemukan Sodom dan Gomora. Setelah menganalisis tembikar, dinding,
makam, dan batu api, kesimpulan mereka adalah bahwa kota itu dihancurkan
oleh bencana alam. Akan tetapi, Alkitab memperlihatkan bahwa Allah
sendiri yang menghancurkan karena perbuatan amoral yang bejat dari kota
itu. g96 8/8
Perahu Galilea—Harta Karun dari Zaman Alkitab
OLEH PENULIS SEDARLAH! DI ISRAEL
LAUT
Galilea adalah saksi mata berbagai peristiwa yang paling mengesankan
selama pelayanan Yesus. Di danau inilah atau di dekat pantainya, Putra
Allah sendiri berjalan di atas air, menenangkan gelombang yang mengamuk,
memberi makan ribuan orang secara mukjizat, dan menyembuhkan orang
sakit.
Pada
tahun 1986, sesuatu yang tak terduga ditemukan di dasar laut dekat kota
Kapernaum kuno. Ini adalah sebuah perahu yang pernah mengarungi laut
ini pada masa pelayanan Yesus. Bagaimana perahu itu ditemukan? Dan,
informasi apa yang dapat kita peroleh darinya?
Terungkap karena Kemarau
Curah
hujan di bawah rata-rata selama bertahun-tahun, diikuti oleh musim
panas yang terik pada tahun 1985, berdampak buruk atas Laut Galilea.
Selain itu, air danau ini juga disedot untuk irigasi pertanian.
Permukaan air turun drastis sehingga banyak bagian dari dasar danau pun
kelihatan. Dua pria kakak beradik dari sebuah kibbutz
(permukiman Israel) di dekat lokasi itu melihat peluang emas untuk
mencari harta terpendam. Ketika mereka berjalan di dasar danau itu,
mereka menemukan paku-paku kuno dan beberapa uang logam dari perunggu.
Tiba-tiba, mereka melihat sesuatu—sebuah rangka lonjong, yang ternyata
adalah bagian atas sebuah perahu kuno yang terkubur dalam lumpur. Mereka
benar-benar telah menemukan harta karun!
Para
arkeolog tidak pernah menduga akan menemukan perahu berusia 2.000 tahun
di Laut Galilea. Menurut mereka, kayu apa pun pasti sudah lama hancur
dimakan mikroorganisme. Namun, berdasarkan metode penentuan umur
spesimen purba dan uang logam yang ditemukan di situs tersebut, para
pakar menyimpulkan bahwa temuan itu berasal dari abad pertama SM atau
abad pertama M. Yang luar biasa, kondisi badan perahu itu masih lumayan
baik. Bagaimana mungkin?
Tampaknya,
perahu itu berada di daerah yang tidak terusik sehingga seluruh bagian
bawahnya terkubur dalam endapan lumpur halus. Seraya waktu berlalu,
lumpur itu mengeras. Dengan demikian, sepenggal sejarah terlestarikan
selama kira-kira 20 abad!
Sewaktu
berita tentang temuan ini menyebar, perahu itu dijuluki Perahu Yesus.
Tentu saja, tidak seorang pun benar-benar menganggap bahwa perahu inilah
yang digunakan oleh Yesus atau murid-muridnya. Tetapi, yang membuat
para sejarawan maupun pakar Alkitab tertarik pada perahu ini adalah umur
dan kesamaannya dengan perahu-perahu yang digambarkan dalam kisah-kisah
Injil.
Perahu
itu panjangnya 8,2 meter dan lebarnya 2,3 meter. Pembuatannya tidak
dimulai dengan sebuah rangka, tetapi papan-papan langsung dipasang pada
lunas sehingga badan perahu terbentuk. Baru setelah itu, kayu-kayu yang
melengkung dipasang melintang sebagai penguat badan perahu. Metode ini
umum dalam pembuatan kapal yang dirancang untuk mengarungi Laut Tengah.
Tetapi, perahu Galilea ini mungkin disesuaikan untuk pelayaran di danau.
Tampaknya,
perahu itu semula dilengkapi sebuah layar segi empat. Ada empat dayung,
yang menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya lima awak—empat pendayung
dan seorang juru mudi. Namun, perahu itu bisa mengangkut orang sebanyak
dua kali jumlah itu atau lebih. Tidak sulit untuk membayangkan perahu
yang mirip ukurannya sewaktu kita membaca tentang ketujuh murid yang
melihat Yesus yang telah dibangkitkan ketika mereka sedang menangkap
ikan.—Yohanes 21:2-8.
Perahu
Galilea itu tidak diragukan mempunyai dek di buritan untuk menyimpan
jala yang besar. Di bawah papan-papan dek seperti itu terdapat ruangan
yang agak terlindung untuk tempat istirahat para nelayan yang lelah.
Bisa jadi, Yesus menggunakan tempat seperti itu ketika selama suatu
badai angin ”ia berada di buritan, sedang tidur di atas bantal”. (Markus
4:38) Ada yang berpendapat bahwa ”bantal” itu bisa jadi adalah sebuah
kantong pasir yang dibawa di perahu untuk pengimbang (balas).
Para Nelayan di Sekitar Laut Galilea
Coba
bayangkan diri Anda sebagai penumpang perahu seperti ini pada abad
pertama. Seraya Anda berlayar di Laut Galilea, apa yang mungkin Anda
lihat? Ada nelayan-nelayan yang menebarkan jala, beberapa dari
perahu-perahu kecil dan yang lain sambil berjalan di air yang dangkal.
Dengan terampil, mereka menggunakan satu tangan untuk melemparkan
jala-jala bundar itu, yang berdiameter antara enam dan delapan meter dan
ujung-ujungnya diberi pemberat. Setelah terentang rata di permukaan
air, jala itu terbenam, lalu ikan-ikan pun terjerat. Seorang nelayan
akan mengambil tangkapan dengan menyeret jala tersebut ke darat atau
mungkin dengan menyelam untuk mengangkat jala beserta isinya ke perahu.
Dalam Alkitab, Simon dan Andreas digambarkan sedang ”menebarkan” jala
mereka, mungkin dengan cara yang serupa.—Markus 1:16.
Anda
mungkin juga melihat sekelompok nelayan yang asyik bercakap-cakap
seraya menyiapkan pukat tarik. Jaring ini panjangnya barangkali
300 meter, ujung-ujungnya dipasangi tali pengeret dan bagian tengahnya
kalau ditarik lurus lebarnya 8 meter. Setelah para nelayan memilih
lokasi, setengah dari mereka akan menuju ke pantai sambil membawa salah
satu tali pengeret. Perahu berlayar menjauhi pantai sehingga jaring
terbentang, lalu perahu pun berbalik sambil perlahan-lahan menarik
jaring itu hingga membentuk setengah lingkaran menghadap pantai.
Kemudian, para nelayan lain turun dari perahu dengan tali pengeret yang
kedua. Seraya kedua kelompok nelayan itu saling mendekat, mereka menarik
tangkapan mereka.—Matius 13:47, 48.
Di
kejauhan, Anda melihat seorang nelayan dengan tali pancingnya. Yesus
pernah menyuruh Petrus melemparkan pancingnya di laut ini. Bayangkan
betapa tercengangnya Petrus ketika menemukan uang logam dari perak dalam
mulut ikan yang ditangkapnya—tepat senilai yang dibutuhkan untuk
membayar pajak bait.—Matius 17:27.
Para pekerja menyingkirkan lumpur di bagian dalam perahu |
Pada
waktu senja, danau ini hening. Tiba-tiba, keheningan dipecahkan oleh
bunyi entakan kaki para nelayan di dek seraya mereka memukul-mukulkan
dayung ke air untuk menimbulkan bunyi segaduh mungkin. Ada apa gerangan?
Mereka sudah menaruh dalam air semacam jaring insang sedemikian rupa
sehingga ikan, yang ketakutan karena kegaduhan itu, langsung berenang
masuk perangkap.
Dibungkus dengan busa poliuretan |
Pemugaran
Perahu itu terapung lagi setelah hampir 2.000 tahun berlalu |
Mari
kita kembali ke zaman modern. Apa yang dilakukan selanjutnya dengan
perahu yang telah ditemukan itu? Walaupun utuh, strukturnya tidak lebih
kokoh daripada kardus basah. Pasti tidak bijaksana kalau perahu itu
ditarik begitu saja dari lumpur. Betapa menyedihkan jika perahu tersebut
hancur sewaktu diangkat dari lumpur padahal sudah sekian lama tetap
utuh! Mengingat air danau kemungkinan besar akan pasang lagi, sebuah
tanggul dibuat di sekeliling situs itu. Beberapa terowongan dibuat untuk
menyisipkan penopang dari fiberglass
di bawah badan perahu. Lalu, seraya lumpur disingkirkan dengan
hati-hati, bagian luar dan dalam perahu disemprot dengan lapisan
pelindung dari busa poliuretan.
Kesulitan
berikutnya adalah mengangkut perahu yang rapuh ini ke tempat yang
jauhnya 300 meter untuk dilestarikan. Lapisan poliuretan yang
melapisinya memang kuat, tetapi kayu yang telah rapuh itu bisa rontok
akibat guncangan mendadak. Tim memilih jalan keluar yang kreatif. Mereka
membuka tanggul dan membiarkan air masuk. Untuk pertama kali setelah
berabad-abad, perahu kuno itu, yang kini terbungkus dalam lapisan
modern, terapung lagi di Laut Galilea.
Sebuah
tangki beton dibangun sebagai rumah untuk perahu itu selama proses
pelestarian, yang berlangsung hingga 14 tahun. Problem timbul sewaktu
larva nyamuk menghuni tangki tersebut, sehingga mengganggu para pekerja
yang harus masuk ke tangki yang penuh air. Tetapi, tim konservasi
menemukan solusi yang unik dan kuno. Mereka memanfaatkan sejumlah ikan
Santo Petrus, yang memakan larva dan membersihkan air.
Setelah
itu, perahu harus segera dikeringkan. Kondisinya masih terlalu rapuh
untuk dibiarkan mengering secara alami. Air yang diserap oleh kayu harus
diganti dengan bahan lain. Tim menggunakan teknik yang menggantikan air
dengan lilin sintetis yang larut dalam air, sehingga kayu dapat
mengering tanpa berubah bentuk.
Setelah
pelestarian rampung, terlihatlah sebuah perahu yang sederhana. Perahu
itu terbuat dari 12 jenis kayu. Mengapa begitu? Satu kemungkinan ialah
kayu sulit diperoleh pada zaman itu. Kemungkinan yang lebih besar ialah
pemiliknya bukan orang kaya. Perahu tersebut telah sering kali
diperbaiki sampai akhirnya dibiarkan tenggelam.
Perahu
Galilea itu mungkin sama sekali tidak ada kaitannya dengan Yesus.
Tetapi, bagi banyak orang ini adalah harta karun. Terbukalah kesempatan
untuk menengok ke masa silam dan membayangkan kehidupan berabad-abad
yang lalu di Laut Galilea pada masa yang bersejarah selama pelayanan
Yesus di bumi. g06/8 © 2010 for this blog
Sumber:
http://iblogronnp-aptobible.blogspot.com/p/temuan-arkeolog.html
No comments:
Post a Comment