Wednesday, September 17, 2014

Batu Jaya : Satu Lagi Bukti Peradaban di Muara Citarum

Batu Jaya : Satu Lagi Bukti Peradaban di Muara Citarum

Candi Batu Jaya memang belum terkenal sebagaimana candi bersejarah lainnya seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Namun, Candi Batu Jaya menyimpan warisan budaya yang tak kalah luhurnya. Candi ini berjarak sekitar 70 km dari Jakarta, tepatnya berada di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Pakis Jaya dan Kecamatan Batu Jaya, Kabupaten Karawang. Lokasi yang dapat ditempuh dengan dua jam berkendaraan dari Jakarta ini, menyimpan potensi pariwisata budaya yang cukup besar.

Kompleks Candi Batu Jaya tidak terlihat begitu mencolok, karena letaknya ada di tengah-tengah hamparan sawah yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Untuk mencapainya, dari jalan utama, harus memasuki jalan desa sepanjang kurang lebih 100 m dan berujung di tepian sawah. Di sekelilingnya terdapat beberapa bangunan tempat penyimpanan temuan benda purbakala.
Beruntung, sewaktu mengunjungi kompleks percandian ini, cuaca sedang cerah, sehingga warna kontras susunan batu bata yang kemerahan, birunya langit dan hamparan hijau padi yang sebentar lagi siap untuk dipanen terlihat begitu sempurna. Jalan plester semen selebar satu meter yang membelah hamparan sawah mempermudah perjalanan menuju kompleks candi. Pak Kaisin, satu dari sepuluh juru pelihara Candi Batu Jaya yang ditemui, dengan senang hati mengantarkan melihat lebih dekat kompleks candi sembari mengisahkan cerita sejarah tentang Batu Jaya.

Unur-Unur
Berawal dari unur-unur lah kisah Candi Batu Jaya dimulai. Unur-unur, atau dalam bahasa sunda berarti tanah berbentuk gundukan bukit, banyak ditemukan pada area persawahan di daerah ini. Sebelum diketahui bahwa di dalamnya terdapat situs candi kuno, unur-unur  yang banyak ditumbuhi tanaman perdu, pohon kelapa, pisang dan semak-semak sering digunakan sebagai tempat menggembala hewan ternak terutama kambing. Bahkan unur-unur ini juga digunakan sebagai tempat mengungsi saat terjadinya banjir, karena letaknya yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal persawahan dan permukiman di sekitarnya. Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut sebelumnya tidak menyadari, bahwa sesungguhnya mereka tinggal cukup dekat dengan situs yang menyimpan kebudayaan peradaban tinggi masa lalu.

Hingga saat ini belum diketahui, mengapa Situs Candi Batu Jaya ini dapat terkubur lapisan tanah sedalam 60-100 cm dan membentuk unur-unur. Apakah dari faktor alam, seperti misalnya letusan gunung api yang besar, kiriman lumpur banjir Sungai Citarum, akibat perang ataukah karena sebab yang lainnya.

Penemuan benda bersejarah ini didahului dengan penemuan Situs Cibuaya, sebuah situs peninggalan megalitikum di Desa Cibuaya Kecamatan Pedes, yang letaknya tidak jauh dari Kecamatan Pakis Jaya dan Kecamatan Batu Jaya. Masyarakat yang menemukan batu bata berbentuk aneh beserta kumpulan kulit kerang disekitar unur-unur ini, kemudian melaporkan hasil temuannya kepada para peneliti yang sedang melakukan penggalian Arca Wisnu di kawasan Cibuaya. Pada tahun 1984, maka dimulailah penelitian dan penggalian di kawasan Batu Jaya ini.

Unur atau gundukan tanah yang pertama kali diteliti adalah Unur Jiwa. Setelah sedikit demi sedikit lapisan tanahnya tergali, ditemukan tumpukan batu bata yang menyerupai bentuk bangunan candi. Bentuk candi tersebut sudah tidak beraturan, sebagian bangunannya telah hancur. Karena para ahli tidak menemukan jejak catatan mengenai bentuk candi-candi yang ada di kawasan ini, maka pemugaran hanya dilakukan sebatas mengembalikan lagi posisi batu bata sesuai dengan tempatnya.
Berdasar penelitian para arkeolog dari berbagai lembaga, unur yang di dalamnya diduga juga terdapat bangunan candi pada kawasan ini, berjumlah lebih dari 30 buah. Unur ini tersebar di berbagai lokasi dengan luas total area mencapai kurang lebih 25 km2. Sampai dengan saat ini baru 11 candi yang sudah di teliti (ekskavasi).

Batu Jaya dan Tarumanegara 
Posisi Candi Batu Jaya terletak sekitar 500 m dari aliran utama Sungai Citarum Hilir yang memecah menjadi 3 sungai yaitu Sungai Bungin, Sungai Balukluk, dan Kali Muara Gembong sebelum bermuara di Laut Jawa. Wilayah ini mempunyai posisi strategis sebagai wilayah perlintasan bagi pelayaran nasional dan internasional India – Cina. Menurut arkeolog Clodeus Potinus, diperkirakan pada abad 2-3 Masehi, kawasan pesisir Pulau Jawa sudah tumbuh menjadi kawasan permukiman dan berkembang kegiatan perekonomian terutama perdagangan. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi bandar-bandar pelabuhan dan memegang peranan penting bagi perkembangan sosial ekonomi masyarakat Sunda kuno.

Namun, tidak hanya di pesisir, Sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang memegang peranan penting dalam pengembangan kegiatan perekonomian di daerah pedalaman. Sungai dengan lebar 40-60 m ini menjadi jalur perdagangan utama di Jawa Barat. Artefak dan keramik-keramik Cina kuno banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai ini. Bahkan diantaranya berasal dari Thailand, Vietnam, India dan bahkan dari Eropa.

Keberadaan Candi Batu Jaya ini diperkirakan muncul akibat adanya aktivitas perdagangan internasional dan didorong oleh perkembangan Kerajaan Tarumanegara pada masa itu. Dugaan bahwa Candi Batu Jaya terkait erat dengan masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan Hindu terbesar saat itu, dikaitkan dengan berbagai catatan-catatan sejarah yang dikumpulkan. Sumber-sumber tertulis berupa prasasti, antara lain prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, serta prasasti Tugu mengatakan bahwa Daerah Batu Jaya dan Cibuaya dahulu termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanagara.

Dugaan tersebut diperkuat lagi oleh kitab carita Parahyangan, naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara karangan pangeran Wangsakerta yang disusun pada tahun 1678-1683 (data Himpala Unas, 2010). Candi yang berfungsi sebagai candi pemujaan ini juga menjadi bukti pemahaman proses diterimanya agama Hindu–Budha oleh masyarakat Sunda Kuno di Jawa Barat.

Dibangun Dengan Teknologi Tinggi 
Candi Batu Jaya merupakan bagian dari situs kompleks Candi Budha Mahayana yang didirikan sekitar  abad 3 atau 4 Masehi, jauh lebih tua dan lebih luas dari Kompleks Candi Budha Borobudur di Jawa Tengah yang didirikan pada sekitar abad ke 8 Masehi. Bahkan mungkin merupakan bangunan candi tertua di Pulau Jawa. Dari hasil penelitian dengan menggunakan media radiometri carbon, diperkirakan benda-benda bersejarah ini berasal dari abad ke 2. Terdapat pula temuan tembikar Arikamedu yang sebenarnya berasal dari pelabuhan kuno di India Selatan pada abad ke 1.  Sehingga seperti disimpulkan Hasan Djafar, Arkeolog UI yang menjadi ketua tim penelitian Batujaya, dapat dikatakan Situs Batujaya berada di ambang batas masa prasejarah dan sejarah karena batas masa prasejarah adalah sebelum tahun 400 Masehi.
Peralihan  transisi masa prasejarah ini juga dikuatkan dengan ditemukannya fosil-fosil kerangka manusia, yang tata cara pemakamannya mirip dengan penemuan  Buni Pottery Complex atau Kompleks Tembikar Buni yang ditemukan di dekat Kali Bekasi. Buni merupakan bekas permukiman prasejarah yang mempunya tradisi menguburkan mayat dengan dibekali benda-benda berharga seperti gelang kaca, manik-manik (yang terbuat dari kaca, batu, atau emas), dan lain-lain.

Sedangkan ciri-ciri dari Candi Budha dilihat dari penemuan benda-benda purbakala berupa artefak, diantaranya, arca kepala manusia, prasasti lempengan emas yang berisi ayat suci agama Budha, fragmen prasasti terakota, fragmen keramik, stempel kerajaan maupun tablet /materai bergambar relief Budha dan lain sebagainya. Temuan-temuan ini selain disimpan di Museum Batu Jaya yang terletak tidak jauh dari kompleks Candi, sebagian lainnya terutama temuan-temuan yang berbahan dasar emas di simpan di Museum Nasional.

Selain itu bentuk candi-candi yang sudah diteliti juga mencirikan hal yang serupa. Candi Jiwa misalnya, meskipun bentuknya hanya tinggal dasarnya saja, candi yang berukuran 19x19 m dengan tinggi 4,2 m ini tidak mempunyai pintu dan anak tangga. Bentuk semacam ini jelas tidak ditemukan pada candi manapun di Indonesia. Pada bagian atas candi tersusun bata melingkar dengan ukuran diameter 6 meter berbentuk kelopak bunga teratai/padma/ Nymphaeaceae, bunga yang sering digunakan dalam upacara-upacara keagamaan agama Budha. Kemungkinan Candi Jiwa ini digunakan untuk meletakkan arca atau patung.

Candi kedua yang dikunjungi adalah Candi Blandongan, letak candi ini tidak jauh dari Candi Jiwa. Ukurannya lebih besar dan berbentuk bujur sangkar 24,2 x 24,2 m. Pada masing-masing sisinya terdapat empat tangga masuk dengan orientasi menghadap empat arah mata angin. Di salah satu sisi bangunan ini terdapat susunan bata yang melengkung di atas tanah, dan dipercaya sebagai robohan gapura pintu masuk ke Candi Blandongan ini. Adanya sisa batu andesit berdiameter sekitar 30 cm dan lubang sisa tiang di sekililing teras dipercaya bahwa dahulu berfungsi sebagai tempat didirikan tiang-tiang kayu yang mengelilingi stupa. Diduga Candi Blandongan ini merupakan candi utama di kompleks Candi Batu Jaya.
Candi-candi di kompleks Candi Batu Jaya ini terbentuk dari susunan batu bata. Apabila dilihat secara lebih detail, masih terdapat bekas kulit padi yang menempel di bagian dalam batu bata. Kulit padi atau sekam ini digunakan sebagai bahan campuran tanah liat untuk membuat batu bata. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada jaman tersebut telah memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai bagaimana membuat batu bata yang baik. Karena seperti diketahui kulit padi kering yang digunakan sebagai bahan pembakar apabila dicampurkan dapat menghantarkan panas ke dalam batu bata, sehingga tingkat kematangan batu bata ini merata sampai ke bagian dalam. Keberadaan sekam ini juga menandakan bahwa pada masa ini sudah terjadi perubahan pola kehidupan masyarakat tatar sunda yang biasanya ngahuma (berpindah ladang) mulai menetap dan bercocok tanam padi.

Di salah satu bagian sisi bangunan Candi Blandongan juga dilapisi dengan lapisan putih semacam kapur (vajra-lepa). Hal ini menjadi bahan pertanyaan dari mana asal bahan lapisan ini, karena letak candi berada di kawasan pesisir yang jauh dari pegunungan kapur. Namun setelah diteliti ternyata bahan pembentuknya terdiri dari tumbukan kulit kerang yang dicampur dengan pasir dan saat ini dikenal dengan nama stuko/stucco. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi candi dari sifat korosif air laut yang dapat merusak bangunan candi. Selain itu bahan stuko ini juga digunakan sebagai bahan perekat batu-batu kecil yang dibentuk menjadi arca.

Keberadaan batuan kerikil ini juga menarik, karena ditemukan juga batuan lain dalam bentuk yang cukup besar dan digunakan sebagai batu fondasi bangunan candi. Batuan jenis ini sangat jarang ditemui di daerah pesisir yang kecenderungan berkarakteristik landai dan berpasir. Sehingga dipercaya batu-batu besar dan kerikil ini diambil dari hulu Sungai Citarum yang dibawa menggunakan rakit atau sampan sampai ke daerah Batu Jaya. Dapat dibayangkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan di masa itu sebenarnya sudah cukup tinggi.

Tidak jauh dari Candi Blandongan juga terdapat sumur tua yang dipercaya sudah ada pada saat kompleks Candi Batu Jaya ini dibangun. Fungsi dari sumur ini dipercaya untuk mengambil air suci yang digunakan dalam upacara-upacara keagamaan.

Batu Jaya Kini 
Hingga saat ini penelitian di kompleks Candi Batu Jaya masih terus dilakukan sedikit demi sedikit. Beberapa bangunan candi lain yang saat ini sedang diteliti adalah bentuk yang diduga hunian dan permukiman di Unur Lempeng. Apabila penelitian ini dapat dilakukan secara menyeluruh ke semua kawasan yang diduga masih terdapat peninggalan bangunan candi yang lainnya, dipercaya kompleks ini merupakan situs percandian terluas dan tertua di Asia.

Pada hari-hari tertentu, tempat ini mulai digunakan sebagai tempat upacara besar bagi penganut agama Budha. Beberapa fasilitas seperti Museum Batu Jaya, maupun pendopo juga sudah dibangun untuk melengkapi fasilitas kepariwisataan budaya di daerah ini. Perhatian dan kepedulian pemerintah tentunya masih sangat diperlukan untuk memugar dan mengembangkan penelitan di kawasan ini. Karena selain menyimpan aset pariwisata sejarah dan budaya yang luar biasa besar, pelestarian benda-benda sejarah merupakan cerminan perhatian dan bentuk penghargaan terhadap nilai budaya leluhur.

Profil Juru Pelihara 
Bapak Kaisin adalah salah satu dari 10 juru pelihara Situs Candi Batu Jaya. Pria kelahiran Bekasi tahun 1937 ini mulai tinggal di Karawang sejak tahun 1956, dan menjabat sebagai kepala dusun. Beliau tinggal sangat dekat dengan kompleks Batu Jaya ini. Bahkan di halaman rumahnya saat ini dibangun kantor administrasi dan bangunan tempat menyimpan hasil temuan-temuan pada proses penggalian di sekitar candi. Semenjak dilakukan penelitian, pada tahun 1985 beliau kemudian menjadi salah satu juru pelihara Candi Batu Jaya. Beliau mengikuti sejak proses awal penelitian, sehingga pengetahuannya terhadap keberadaan situs ini sangat mendalam. Kaisin berharap agar pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius terhadap situs bersejarah ini, karena hingga saat ini penelitian yang dilakukan masih terhitung kecil, dibandingkan dengan luasan kompleks candi yang belum dipugar.

Text : Nancy Rosma, R Wahyuningrat
Foto : R Wahyuningrat
Sumber Tulisan : 
1. Hasan Djafar, arkelog UI yang menjadi Ketua Tim Penelitian Batujaya dalam buku Kompleks Percandian Batu Jaya.
2. Keterangan cerita Candi Batu Jaya yang dikisahkan oleh Bapak Kaisin, salah satu Juru Pelihara Situs Candi Batu Jaya.
3. Agustijanto I.S.S, dalam Laporan penelitian dan pengembangan arkeologi nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006.


Sumber:
http://www.citarum.org/node/720

No comments:

Post a Comment