Ekspedisi Citarum
Batujaya, Sisa Peradaban Sungai Purba
Cornelius Helmy Herlambang |
nurulloh
| Sabtu, 30 April 2011 | 12:57 WIB
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Beberapa pengunjung berekreasi di Candi Blandongan di kompleks
Situs Batujaya, Karawang utara, Jawa Barat, Minggu (27/3). Kompleks
percandian ini diperkirakan menjadi salah satu kompleks peradaban tertua
di Nusantara.
Situs percandian Batujaya berjarak kurang dari 1 kilometer di sebelah timur aliran Sungai Citarum. Luas kompleksnya mencapai 5 kilometer persegi atau 500 hektar yang mencakup wilayah Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya Kecamatan Pakisjaya, sekitar 47 kilometer arah barat laut dari pusat kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Kompleks Candi yang pertama kali diteliti tim jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1985 itu memiliki 30 situs candi dan tempat pemujaan. Beberapa candi besar yang sudah diekskavasi adalah Candi Jiwa yang berbentuk bujur sangkar ukuran 19 meter x 19 meter serta Candi Blandongan yang berukuran 25,33 meter x 25,33 meter.
Geograf dari Masyarakat Geografi Indonesia T Bachtiar mengatakan meski saat ini berada di pinggir sungai, Candi Batujaya sesungguhnya lahir dari muara Citarum. Ia mengibaratkan dilahirkan di muara Citarum dan dibesarkan aliran Sungai Citarum.
Bila melihat kondisi saat ini, pernyataan itu sulit dibayangkan. Alasannya, kini candi Batujaya berada sekitar 5-6 kilometer dari garis pantai Laut Jawa. Batujaya pun letaknya lebih tinggi 2 meter di atas permukaan laut ketimbang Muara Citarum.
Akan tetapi, menurut Bachtiar, bila menilik kurva perubahan muka laut kala jaman Holosen di Indonesia, akan terlihat jelas kebenaran teori itu. Kurva itu diambil dari tulisan Yahdi Zaim yang memuat gambar peta buatan De Klerk tahun 1983.
Pelabuhan antarnegara?
Dijelaskan bahwa telah terjadi transgresi (penambahan muka air laut) dan regresi (penurunan muka air laut) dihitung dari 7.000 tahun yang lalu hingga tahun 1983. Kurva itu menyebutkan antara tahun 485 masehi hingga 983 masehi, atau saat pembangunan Batujaya, muara air laut berada pada ketinggian 0 mdpl - 0,5 mdpl. Artinya, candi memang dibangun di wilayah pantai. Namun, seiring waktu, terjadi regresi air laut sehingga ketinggian air laut berkurang. Sejak tahun 1983 hingga kini, Batujaya dihitung para ahli berada pada ketinggian 2 mdpl.
Bukti lain di dekat Batujaya pernah ada pelabuhan laut antar negara bisa dilihat dari penemuan benda kuno beragam bentuk di tepi Sungai Citarum dekat Batujaya. Daerah itu diduga kuat sebagai muara Citarum. Benda itu seperti cermin, peralatan perunggu, gelang loklak, dan keramik dari Guandong yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10. Benda itu diduga adalah bahan pertukaran atau jual beli di muara Citarum.
Arkeolog dari Universitas Indonesia Hasan Jafar mengatakan budaya muara dan sungai sangat memengaruhi perkembangan kebudayaan Candi Batujaya. Masyarakat di sekitarnya lebih mudah menerima budaya baru dan kreatif mengembangkan beragam hal. Hasilnya, meski dianggap yang tertua, Candi Batujaya menonjol dalam pengembangan teknologi ”Ada pengaruh tradisi dari Nalanda di India Utara. Kebudayaan India itu datang seiring banyaknya pendatang dari berbagai negara di pantai utara Jawa Barat,” ujarnya.
Pengolahan tanah liat menjadi batu bata, misalnya. Proses pembuatan batu bata sangat maju karena menerapkan inovasi campuran sekam atau kulit padi. Campuran itu diyakini mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celcius.
Teknologi lain adalah stuko atau plester berwarna putih berbahan dasar kapur. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang Selatan. Perbukitan itu masuk dalam Formasi Parigi yang terdiri dari batu gamping klastik dan batu gamping terumbu yang melintang dari arah barat ke timut dengan panjang 20 kilometer.
Bahan pembuatan dan kegunaannya pun disesuaikan dengan tujuan penggunaan. Untuk melapisi tembok, arsitek mencampur kapur dan kulit kerang. Hal ini terkait keberadaan candi yang berada di tepi pantai. Kerang dianggap sebagai bahan kuat penahan abrasi air laut. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Untuk ini, biasanya pekerja membakar kapur dengan suhu 900-1.000 derajat celsius. Sedangkan untuk memperoleh fondasi yang kuat, kapur dicampur dengan pasir, dan kerikil.
Mitigasi bencana
Penerapan mitigasi bencana juga sudah terlihat dari usaha meninggikan halaman candi dan mengeraskan lantai dengan lapisan beton stupa guna menghindari banjir Buktinya, bisa dilihat dari reruntuhan Candi Segaran V (Candi Blandongan). Hasan mengatakan arsiteknya sudah mengetahui resiko banjir bila hidup di sepanjang sungai dan muara Citarum.
Moda transportasi mengandalkan Citarum juga sudah terlihat. Dengan menggunakan perahu dayung dalam melakukan aktivitas pengambilan kapur dari Karst Pangkalan melewati Sungai Citarum. Buktinya, penemuan dayung di sekitar situs.
Akan tetapi, Arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung Lutfi Youndri belum semua keunggulan Batujaya bisa diungkapkan ke permukaan. Dari 30 yang telah dieskavasi sebanyak 8 situs belum dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan, dari 22 situs yan telah tergali informasi pun belum selengkapnya diketahui.
Oleh karena ia mengharapkan agar ke depannya, minat untuk menggali lebih dalam tentang pesona Batujaya bisa datang lebih banyak dari berbagai pihak. Bukan sekedar bernostalgia tapi memetik semangat yang ada di dalamnya.
“Salah satu yang menarik digali adalah kemungkinan adanya kanal yang mengelilingi layaknya bangunan suci kuno. Bila benar, maka akan semakin nyata bukti bahwa air, sungai dan laut adalah identitas utama masyarakat Batujaya,” katanya. (M Kurniawan dan Cornelius Helmy)
Sumber:
http://lipsus.kompas.com/ekspedisicitarum/read/2011/04/30/12574475/Batujaya.Sisa.Peradaban.Sungai.Purba
No comments:
Post a Comment