Sketsa: Menjawab Kebesaran Peradaban Gunung Padang
JELANG tengah hari, Selasa, awal pekan lalu. Dedaunan enam kelompok rimbunan bambu bergerak-gerak. Desau hijau. Hangat mentari. Semilir angin sejuk mencubit kulit. Hamparan bukit. Petak sawah, tampak jauh di bawah, meliuk di sela bukit sempit. Siluet Gunung Gede, Pangrango, tersaput kabut. Di balik bukit menghadang-pandang nun jauh di baliknya, Pantai Selatan, ada Pelabuhan Ratu. Saya berdiri di titik nan elok di puncak kelima petilasan peradaban besar, Gunung Padang di ketinggian lebih 800 meter.
Situs Gunung Padang empat tahun terakhir menjadi buah bibir. Di sana berdiri situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Lokasinya dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota Kecamatan Warung Kondang, antara Kota Cianjur dan Sukabumi. Kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara, agaknya sebuah kawasan sejenis terbesar, diduga hamparan peradaban Lemurian, punah sebelum Atlantis yang akbar dan kini lenyap.
“Wah ada Pak Iwan Piliang, “ sapa Sekretaris Timnas Penelitian dan Pengelolaan Gunung Padang, Erick Ridzky. Kehadiran kami serombongan bersama Dicky Zainal Arifin, penulis trilogi buku Arkhytirema, memang mendadak. Acap sekali hendak ke lokasi, sering pula tertunda. Apa lacur, terkadang banyak hal terlaksana justeru faktor aksi dadakan.
Di bukunya, Dicky menjelaskan misteri Gunung Padang. Di Glosarium, Bab Dua, Krisis Brodela, halaman 70, Dicky menulis ihwal Padrang, Bahasa Zhunnda, berarti jelas, tidak ada hal tersembunyi.
Saya nukilkan bagian Gunung Padrang:
Situs Gunung Padrang dulunya pusat informasi perhitungan Origom dan prediksi bencana alam. Usianya lebih tua dari kalender suku Maya. Satu Origom sama dengan 5.125 tahun dan 236 hari. Semua galaksi, termasuk galaksi Lagraven (Bima Sakti) berputar dari kanan ke kiri. Kini galaksi kita sudah berumur 434 Origom.
Di sekitar Gunung Padrang ada lima piramida berbentuk segi empat dan yang paling tengah Gunung Padrang. Keempat piramida sekitarnya berfungsi sebagai penguat sinyal. (Kini di lokasi segenap mobile phone Anda, apapun merk dan operatornya sinyal full, walupun di sekitar tak ada antena selular)
Di bagian bawah Gunung Padrang terdapat pasir Origom, dapat menyerap air guna merasakan getaran-getaran di dalam bumi, sensitif mendeteksi kehadiran bencana, gempa. (Hasil penelitian dilakukan di sana, ketika Gunung Padrang digali sampai lebih 10 meter, lantas alat penggali tersedot, di sana ditemukan rongga, terdapat pasir Origom tersembunyi). Maka pada zamannya, tempat ini menjadi sumber informasi bagi seluruh raja-raja. Bila diibaratkan sebuah komputer, Gunung Padang adalah CPU-nya.
Di Gunung Padrang ada dua pola susunan batu. Pertama, batu berbentuk parabola berfungsi sebagai pemancar. Dahulu jumlahnya ada 5, dengan posisi segi empat. Keempat parabola itu mengirim sinyal ke parabola di tengah membentuk piramida, dan sinyalnya ditembakkan ke atas ke arah bintang Origom. Kini batuan ini dirusak menjadi berantakan. Batuan ini dikenal dengan Sada.
Sada, batuan banyak mengandung aluminium. Fungsinya berhubungan dengan atmosfir bumi. Sada dapat menangkap seluruh gelombang di atmosfir bumi. Jadi Gunung Padrang ini dipastikan bukanlah tempat persembahan para Hyang, tetapi situs pelacak, keberadaan bintang Origom. Melalui batuan Sada, secara kilat dapat mengetahui perubahan alam.
Kedua, pola susunan batu dilingkupi pasir Origom, berfungsi menyusun piramida itu sendiri dan sebagai generator alam. Mekanisme untuk mendeteksi bencana adalah air yang mengalir dalam generator berada di dalam piramida tersebut di tarik ke atas oleh pasir Origom lalu diolah datanya. Sifat air mengalir tidak terputus dan akan terkoneksi dengan seluruh aliran air di planet bumi. Fungsi air sebagai medium merambatnya informasi dari seluruh bagian dunia, melalui jaringan aliran sungai bawah tanah. Informasi yang terdapat di air itu kemudian di transfer ke piramida Padrang dengan mekanisme pasir Origom dan batuan di sekeliling.
Sehingga secara sederhana bebatuan di kompleks Gunung Padrang, menyambungkan sinyal badan bumi ke sinyal angkasa Origom. Gelombangnya seperti tulisan Lemurian – - Dicky sosok penemu aksara Lemurian – - perpaduan transversal dan longitudinal, merupakan pola umum sejagad raya, laksana untaian DNA, selaras dengan tubuh manusia.
Batuan di Gunung Padrang dibuat dengan dua teknologi. Pertama Tralltha, teknologi pemotongan dengan menggunakan tenaga lima unsur alam; air, angin, api, kayu, logam. Di Gunung Padrang kebanyakan menggunakan angin dan api. Kedua teknologi Elemanphatera, melemahkan segala unsur terkeras, untuk disatukan dengan yang lain.
Teknis mendeteksi Origom seperti ini, ketika sinyal dari mekanisme di dalam perut Gunung Padrang, mulai melesat menembus atmosfir, memantul menuju bintang Origom, operatornya disebut Khulnaka dan tiap periode diganti, biasanya setiap abad sekali. Seorang Khulnaka akan bisa menterjemahkan secara holographic gambaran perbintangan, bisa menentukan apa saja yang harus diperbuat untuk masa tanam setiap tahun, dan untuk menjaga keseimbangan alam.
DICKY, salah seorang dilibatkan dalam Tim Riset Terpadu Gunung Padang. Trilogi buku ditulisnya ihwal Arkhytirema, peradaban dahsyat Lemurian lebih 80.000 silam Sebelum Masehi, ditulis dengan tajuk novel. Dan novel itu dibuat jauh sebelum riset Gunung Padang dimulai 2011. Prakarsa secara masif riset Gunung Padang, dimotori staf khusus presiden, Andi Arief.
“Saya bukan arkeolog, juga bukan sejarawan. Saya hanya mencari dan mencari segala belum terungkap,” ujarnya.
Atas berbagai upayanya dalam pencarian, Dicky kini telah memiliki 24 penemuan selain Aksara Lemurian. Sebagai contoh pembangkit listrik tanpa bahan bakar. Simak link: http://www.youtube.com/watch?v=1jiEYMBHDiI
“Peradaban Lemurian silam itu sudah mampu membalik grafitasi, sehingga mereka bisa membuat mobil terbang,” ujarnya.
Cerita Dicky memang membuat lamunan melayang bahkan mengantar cakrawala menyimak pesawat Mellenium Falcon (MF) dalam Trilogi Star Wars. Apalagi bila benar sebuah footage NASA, pernah memotret di Bulan, ada sebuah pesawat ruang angkasa terdampar di sana. Tinggi pesawat ruang angkasa itu mengalahkan MF, melebihi tinggi menara Eiffel. Panjang sang pesawat enam kali lebih kapal pesiar terbesar, tercepat dan saat ini bernama Azzam, panjangnya 180 meter. Konon pula motif, ukiran yang dipotret NASA dari atas pesawat angkasa luar itu, sama dengan corak salah satu ukiran di bebatuan Gunung Padang. Dan itu semua tentu membutuhkan pembuktian nyata ke depan.
Maka perkenalan saya dengan Dicky, sebagai sebuah perjalanan panjang dalam mencari bahan menulis novel bertema Kembali ke Kebesaran Peradaban Silam – - saat ini belum jua saya tunaikan jadi buku, padahal sudah saya tabalkan menjadi terbitan khusus di usia saya tepat 50 tahun, 16 Juli 2014.
Ketika pengelola situs Gunung Padang menjelaskan ihwal batu panjang dua rentangan tangan persegi lima, diketuk berbunyi bak memiliki nada, saya menjadi teringat buku Dicky, bahwa, batu bisa dipadu-padankan dengan aluminium. Bagaimana mencampurkan batu dengan aluminium? Teknologi itu sudah dimiliki peradaban silam. Bisa jadi dengan pencampuran demikian sang batu tak terkikis dimakan jaman, selain unggul memantulkan sinyal, menggaungkan frekuensi.
Belum lama ini kenalan saya dari Rusia, mencari kandungan bauksit besar di Indonesia. Mereka berkeyakinan mineral aluminium sangat dibutuhkan ke depan. Dan di Gunung Padang sudah menjadi teknologi afkir lebih dari 25.000 tahun sebelum masehi.
Angka 25.000 tahun, sesuai dengan carbon dating, hasil uji batuan yang dilakukan tim riset mandiri Gunung Padang, baik di laboratorioum ITB, maupun di Amerika Serikat. “Dan survey yang kami lakukan ini mengacu ke teknik geofisika,” ujar Erick. Ia kemudian mengantarkan kami berkeliling ke titik-titik penggalian.
Belum lama berselang peneliti Gunung Padang didapat struktur dinding bangunan di bawah permukaan teras kelima. Melalui struktur dinding menemukan lubang galian ekskavasi di kedalaman 3,30 meter.
“Struktur dinding disusun dari batuan andesit yang direkatkan dengan sejenis perekat khusus, semen purba. Dan dinding ini menerus sampai kedalaman 3,30 meter,” ujar, Erick Ridzky. Dinding itu menandakan adanya sebuah ruangan di bawah pemukaan teras kelima Gunung Padang ditimbun tanah urugan. Agaknya ruang sebagaimana sudah dijelaskan di buku Dicky.
Di samping itu, lanjut Erick, Timnas Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang, juga menemukan artefak, jumlahnya cukup banyak selama melakukan ekskavasi di lubang sama. Artefak itu ditemukan pada lapisan tanah di kedalaman 1-2 meter. “Ditemukan juga banyak artefak terbuat dari batuan andesit mengindikasikan hasil sentuhan budaya manusia,” ujarnya Erick.
Ekskavasi sudah belangsung sejak dua minggu lalu. Tim arkeologi masih akan meneruskan penggalian ruangan berdinding andesit tersebut hingga mencapai lapisan dasar dinding yang disusun.
“Untuk artefak sendiri masih didata tim arkeologi. Namun fungsinya belum bisa dipastikan. Dan untuk usianya masih menunggu hasil laboratorium. Dari kedalamannya artefak itu terpendam, usianya 2700-5200 sebelum masehi” kata Erick.
Di saat azan Zuhur berkumandang dari desa di bawah Gunung Padang, suaranya terasa panjang. “Hingga kini hampir semua umat beragama, Hindu, Budha, bahkan Yahudi pernah datang ke sini, “ ujar Eric pula, “Dan anehnya semua selalu menghadap berdoa ke arah sama.” Ia menunjuk ke titik ke balik bukit di mana terhampar laut selatan. Hingga kini tawaran bantuan untuk riset Gunung Padang pun sudah mengalir dari berbagai negara, tak terkecuali dari Israel. Agaknya mereka berkeyakinan piramida Gunung Padang lebih tua dari piramida Giza di Mesir, lebih uzur dari peradaban Maya.
Jika mengacu ke kisah tradisional di lingkup sekitar, Jawa Barat umumnya, bertemali kepada singgasana Prabu Siliwangi. Termasuk adanya bebatuan mengandung mineral unik bisa diketuk berbunyi bak musik kolintang. Dikisahkan dari mulut ke mulut sebagai alat musik penghibur sang Prabu di kala menikmati panorama hijau di alam terbuka.
Cerita-cerita mistis pun marak berarak. Mulai dari perjumpaan dengan sosok berbadan besar hitam setinggi pohon hingga ke urusan pohon yang konon tak bisa ditebang di bagian paling atas Gunung Padang. Erick sebagai peneliti tak menafikan.
Cerita-cerita mistis pun marak berarak. Mulai dari perjumpaan dengan sosok berbadan besar hitam setinggi pohon hingga ke urusan pohon yang konon tak bisa ditebang di bagian paling atas Gunung Padang. Erick sebagai peneliti tak menafikan.
Di hari sama rombongan kami mampir ke Sukabumi, bertemu dengan jaringan kawan-kawan relawan pendukung Jokowi sebagai presiden. Di saat makan malam di sebuah sawung sambil menikmati goreng gurame dan karedok yang segar, mampir ssosok Ustad Beni Kusmiadi, akrab dikenal warga sebagai Ustad Cep Abdullah. Ia pada penghujungan 1990-an acap pergi ke puncak Gunung Padang di malam tertentu sekadar shalat di malam hari. “Alasan saya di sana lebih khusuk, terasa lebih sakral,” tuturnya.
Kepada kami, Ustad Cep Abdullah memperlihatkan koleksi foto di gadget-nya. Pada pertengahan 1999, ada rombongan mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, sempat berfoto. Namun ke dalam hasil foto yang mereka ambil terlihat sosok besar, sebagaimana dapat Anda simak. Foto ini sendiri pastilah akan menimbulkan kontroversi.
Namun secara gamblang, Dicky Zainal menjelaskan ke saya bahwa sosok itu, adalah hologram dari Khulnaka. “Badannya memang besar, tinggi, tetapi itu hanyalah hologram, yang dalam batas frekuensi tertentu, dapat ditangkap kamera,” tuturnya.
Namun sejauh mana kebenarannya, hanyalah riset ilmiah yang sedang berlangusng yang akan membuktikan. Namun, apa yang sudah ditulis Dicky, melalui proses pencarian yang panjang, tidak bisa dianggap khalayan. Saya percaya bahwa di alam semesta ini ada sesuatu yang transenden.
FAJAR menyingsing di 2028, empat belas tahun setelah saya menginjakkan kaki di Gunung Padang. Suara azan Subuh berkumandang. Lebih dari 1.000 rombongan mobil SUV menuju sebuah titik. Di hamparan lapangan rumput hijau, di balik pematang panjang sawah-sawah tampak bangunan bambu beratap ilalang tebal, bak hanggar besar. Di dalam bangunan unik laksana club house golf itu sudah disesaki berbagai turis manca negara.
Aroma kopi dari berbagai daerah Nusantara menyengat. Penyajiannya pun beragam, mulai dari bergelas bamboo, batok kelapa hingga yang terbilang unik, seperti menggunakan jala bagaikan di Aceh. Pilihan makanan sarapan pagi pun beragam, mulai dari ongol-ongol dengan parutan kelapa alami, hingga berbagai rebusan; kacang, pisang, talas, ubi dan singkong, ganyong. Tak ketinggalan wedang ronde dan bajigur.
Riuh-rendah cakap berbagai bahasa tutur membuat suasana hiruk-pikuk. Burung-burung berkicauan, ayam bekokok bersahutan. Sesaat, suara seruling bambu lamat-lamat. Di depan bangunan bambu setengah lapangan bola itu, menghampar datar lapangan hijau lima kali lapangan bola. Rumput gajah berdaun pendek terpangkas rapi. Di balik lapangan rumput, bambu-bambu menglilingi daunnya seakan menyapa digerakkan angin. Di saat itulah, ada 1.000 balon udara, sedang di panaskan oleh pengelola. Dari hanya lembaran tipis terpal, lama-lama membesar, membentuk lonjong, balon udara.
Di masing-masing balon udara sudah tertera logo Amazing Origom Gunung Padang, lengkap dengan berbagai corak perusahan pelaksana terbang balon udara. Tak beda dengan suasana di kala mentari menyambut pagi dari ketinggian Kapadokia, Turki saat ini – - sangat terkenal dengan kawasan terbang balon udara paling heboh di dunia; panorama alam unik, di balik batu-batuan tua masif, banyak gua dan hamparan bukit-bukit batu dan pasir berundak unik.
Bila di Kapadokia, dikelingi rona alam abu-abu, coklat muda, maka di Origom Gunung Padang hijau raya-raya. Plus dapat menyimak petilasan peradaban Lemurian, Bangunan Origom, yang telah direkonstruksi bagaikan Candi Borobudur, tegak megah terlihat dari udara.
Usai terbang berbalon udara selama 60 menit, para pelancong dapat menikmati kasawan lebih dari 500 hekter itu. Mereka dapat menaiki bangunan utama Origom Gunung Padang. Termasuk mengikuti riset yang terus berlangsung. Beberapa kaawasan penginapan di sekitar area di 2028 itu selalu penuh, fully book, sepanjang tahun. Minat orang untuk bisa berkomunikasi mengikuti pola kebesaran peradaban ke Bintang Origom, mengantarkan rasa bahwa manusia manusia di planet bumi dapat meraba keberadan mkhluk lain di planet lain.
Paling menarik kala itu, semua alat angkut yang ada di kawasan Origom Gunung Padang, sudah zero waste, zero karbon, laksana mobil Personal Rapid Transport (PRT) yang hari ini sudah dibuat di Masdar City, Abu Dhabi, Emirat Arab.
Pelancong sudah bisa menikmati mobil terbang yang bertenaga grafitasi yang dibalikkan. Udara segar. Alam yang unik. Bangunan petilsan masa silam berkecanggihan peradaban lampau. Bila hari ini, di 2014 ini, 35 juta orang turis setahun mara ke Turki, angka sama akan diraih Indonesia di tahun 2028. Salah satu faktornya karena sudah ada kompleks Origom Gunung Padang. Dan Origom-Origom lain di beberapa daerah sejatinya banyak di Nusantara, juga sudah mulai berwujud siap menyambut tetamu dunia.
Ah saya menjadi menghayal saja. Khayalan itu bukan karangan basi. Yang pasti pada tanggal 2 Oktober 2014 nanti, Presiden SBY konon akan ke lokasi Gunung Padang. Ini kunjungan keduanya setelah Februari 2014 lalu. Kini tak jauh dari lokasi sudah dibangun helipad. Dan menurut penuturan Erick, sekretaris TIM Riset Terpadu, Presiden SBY akan mengajak Presiden terpilih Jokowi Widdodo ke lokasi bersama-sama. SBY akan menyampaikan kepada presiden baru terpilih bahwa riset Gunung Padang itu harus dilanjutkan dengan kemampuan bangsa dan negara.
Tadinya Senin awal pekan depan saya akan menyampaikan cerita ini ke Jokowi, dan memotivasinya datang ke Gunung Padang. Entahlah setelah DPR memutuskan Pilkada kini kembali tak langsung, mengingkari marwah demokrasi dirampas lagi dari tangan rakyat.
Apakah masih afdol membicarakan kebesaran peradaban bersama SBY? Tapi tentu saya tetap mendorong Jokowi, sebagai presiden terpilih, mewujudkan mimpi 2028 tadi. Siapa tahu Tuhan masih memberi umur panjang, sehingga kita tidak hidup di alam mimpi sebaliknya merasakan kebesaran peradaban menginjak bumi.
Sumber:
http://www.tempokini.com/2014/09/sketsa-menjawab-kebesaran-peradaban-gunung-padang/
No comments:
Post a Comment