Tuesday, June 17, 2014

Mencari Jejak Kehidupan di Situs Gunung Padang

Mencari Jejak Kehidupan di Situs Gunung Padang

Minggu, 15 Juni 2014 | 09:20 WIB
KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, sejumlah batu menhir yang ukurannya sama dengan batu-batu berbentuk limas lainnya menjadi penanda. Pengunjung bebas berjalan di antara bebatuan yang beberapa di antaranya dibatasi hanya memakai tali rafia.


RASA penasaran akhirnya membawa kaki menapaki tangga situs arkeologi Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Hujan yang turun-berhenti berulang mengiringi langkah menuju puncak yang cukup terjal. Napas tak pelak menjadi tersengal-sengal.

Kami memilih menaiki undak-undakan bikinan baru yang anak tangganya tak terlalu tinggi. Undakan asli berada di sebelah kiri, diawali sumur dangkal berair sangat jernih. Masyarakat sekitar Gunung Padang meyakini sumur itu dulunya tempat membersihkan diri sebelum naik ke puncak situs.

Situs Gunung Padang menjadi berita setelah Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang diketuai arkeolog dari Universitas Indonesia, Ali Akbar, menduga ada kebudayaan tinggi membentuk situs tersebut.

Dugaan tersebut tidak terlalu salah. Kelima teras di situs itu memperlihatkan susunan ribuan batuan berbentuk limas sangat teratur, tidak mungkin terbentuk alam. Apalagi, situs memiliki pelataran bertingkat-tingkat.

Uji karbon di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional menunjukkan, situs berusia 5.500 sebelum Masehi (SM). Sedangkan pengujian di Laboratorium Beta Miami di Amerika Serikat memperlihatkan material hingga kedalaman 10 meter berusia 7.600-7.800 SM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan mendatangi Situs Gunung Padang bulan Februari lalu.

Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras. Penelitian pada situs ini belum tuntas mengungkap masyarakat apa yang membentuk situs yang oleh para ahli disebut peninggalan kebudayaan megalitik atau batu besar.

Mendekati puncak bukit, mata langsung bersirobok dengan tumpukan bebatuan berbentuk limas yang panjangnya kira-kira 1,5 meter dan bergaris tengah 25-30 cm. Yang juga segera mencuri perhatian adalah teras-teras tempat batuan itu berada. Dalam lembar informasi tentang Situs Gunung Padang tertulis ada lima teras, dimulai dari teras 1 di bagian paling bawah dan berundak hingga yang tertinggi teras 5.

Pada teras 5 terdapat menhir, yaitu batu-batu berdiri tegak, ukurannya sama dengan potongan batu lain. Di teras 2 ada tumpukan batu yang dinamai ”pusat dunia”. Pemandu kami, Cecep, dari Forum Peduli Situs Gunung Padang, mengatakan, ”pusat dunia” di bawah pohon besar itu memancarkan energi lebih tinggi.

Saya pribadi tidak mengalami apa-apa, kecuali rasa nyaman karena bisa memandang ke luasan bentang alam di sekitar yang hijau serta Gunung Gede dan Gunung Pangrango di bawah pohon rindang.

Mitos

Rerumputan hijau adalah alas bagi tumpukan batuan yang tertata maupun yang terserak di teras-teras Gunung Padang. Sedangkan Gunung Gede dan Pangrango adalah pemandangan mencolok.

”Gunung Gede artinya gunung yang agung. Duduk di Gunung Padang akan langsung menghadap ke Gunung Gede,” kata Dadi, juru pelihara Gunung Padang.

Warga sekitar melekatkan berbagai cerita pada Gunung Padang. Cecep memperlihatkan batu yang di satu ujungnya membentuk jejak seperti cengkeraman kuku hewan buas. Menurut Cecep, itu jejak cengkeraman harimau. Di teras 1 ada batu gamelan karena jika dipukul dengan batu juga akan mengeluarkan suara denting.

Dadi menyebut Gunung Padang sebagai keraton dan disebut Negara Surya Padang. ”Pandangan sangat luas karena cahaya yang terang membangun hubungan dengan Gunung Gede-Pangrango,” tutur Dadi.

Bisa diduga jika banyak mitos menyelimuti Gunung Padang. Ribuan batu berbentuk limas hasil proses alam itu tersusun rapi seperti memagari tiap teras dan tertata di setiap pelataran, mengindikasikan susunan itu hasil cipta manusia. Warga setempat percaya puncak tertinggi Gunung Padang adalah tempat semadi Prabu Siliwangi (1482-1521).

Tak sedikit orang menyepi di sana pada malam hari. Sayangnya, beberapa berusaha membawa pulang batu dari sana. ”Itu yang kami awasi, jangan ada yang pulang bawa batu,” kata Cecep.

Karena mitos pula terpaksa batu ukuran sepelukan orang dewasa setinggi kira-kira 50 sentimeter dipindahkan ke satu-satunya warung di tepi situs. Batu itu sudah beberapa kali mengambil korban kaki pengunjung. ”Ada yang sampai patah kaki. Mereka percaya kesaktian akan meningkat kalau bisa ngangkat batu yang beratnya ratusan kilo itu,” papar Cecep.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Batuan yang tersusun rapi seperti membentuk pagar menandakan ada campur tangan manusia menata batu-batu bentukan alam itu. Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, lebih mirip sebagai tempat melakukan ritual pemujaan daripada permukiman.
Secara ilmiah, Gunung Padang masih dalam penelitian Tim Terpadu Riset Mandiri. Ali Akbar dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, penelitian harus terus dilakukan untuk mengungkap kebudayaan apa yang membentuk Gunung Padang. Tidak terdapat peninggalan lain di sekitar lokasi yang dapat menjadi petunjuk, misalnya, bekas tempat tinggal atau makam. Gunung Padang sendiri lebih terlihat sebagai tempat melakukan ritual daripada tempat tinggal.

Mengubah kehidupan

Menurut situs internet Pemkab Cianjur, Gunung Padang pertama kali muncul dalam laporan Rapporten van de Oudheid-kundigen Dienst (ROD) tahun 1914. Peneliti Belanda, NJ Krom, yang kabarnya ingin mencari emas, melaporkan temuan itu pada tahun 1949.

Tahun 1979 beberapa penduduk melaporkan kembali keberadaan Gunung Padang kepada pemerintah. Pada tahun 1998, pemerintah menetapkan situs ini sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Meski setelah itu situs ini menjadi lokasi wisata, perhatian masyarakat baru muncul setelah ada penelitian Tim Katastropik Purba tahun 2011 dan disusul TTRM sejak 2012.

Gunung Padang sedikit banyak mengubah kehidupan warga sekitar yang sebagian besar bertani. Warung makan bermunculan menjelang masuk kawasan situs. Penyewaan ojek tumbuh, begitu juga jasa memandu wisata. Dadi bahkan membuka tempat menginap sederhana dengan sewa Rp 20.000-Rp 60.000 per malam per orang. Apabila ingin disiapkan makan, tambah Rp 15.000 lagi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Sejumlah warga bermain di sekitar mulut terowongan jalur kereta api di Lampegan, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, jalur penghubung kereta api Cianjur Sukabumi, Senin (7/4/2014). Terowongan tertua di Indonesia dengan panjang 686 meter ini dibangun tahun 1879-1882 oleh Staats Spoorwegen, perusahaan kereta api masa Hindia Belanda.
Untuk mencapai Gunung Padang, sebaiknya membawa kendaraan sendiri. Situs ini berada di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka. Dari Kota Cianjur, berjalan 50 kilometer ke arah Kota Sukabumi dan di sisi kiri akan terlihat papan petunjuk menuju situs.

Masih 20 kilometer dari jalan raya sebelum tiba di Gunung Padang. Jalanan terus menanjak dan di kiri-kanan kebun teh memberi pemandangan berganti-ganti dengan kampung penduduk.

Sekitar 8 kilometer menjelang situs, ada stasiun kereta api Lampegan. Jalur itu menghubungkan Cianjur-Sukabumi. Sempatkan mampir di stasiun kecil, tetapi apik itu untuk menikmati pemandangan terowongan tua buatan tahun 1882 sejarak 500 meter dari stasiun. Kehidupan terasa berhenti di sana. (Ninuk Mardiana Pambudy)
Editor : I Made Asdhiana
Sumber: KOMPAS CETAK

http://travel.kompas.com/read/2014/06/15/0920280/Mencari.Jejak.Kehidupan.di.Situs.Gunung.Padang         

No comments:

Post a Comment