Tuesday, May 27, 2014

Masa Prasejarah di Sumatera Selatan

Gambar di atas diambil dari Gedung Pameran Tetap I Museum Negeri Sumatera Selatan

Pengertian Pra Sejarah adalah masa lampau kehidupan manusia sebelum ada peninggalan berupa tulisan. Untuk mempelajari kehidupan masa pra Sejarah di witayah Sumatera Selatan diperlukan kajian arkeologi untuk meneliti situs-situs yang ada.
Kehidupan pra sejarah Sumatera Setatan dimulai pada masa plestosen, yaltu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan tingkat lanjut (poleolitik), sekitar 20 ribu tahun yang lalu. Pada masa ini, di daerah pedalaman Sumatera Setatan terutama di hulu sungai-sungai yang bermuara di Palembang tetah ada komunitas masyarakat yang tinggat didataran tinggi, ditereng dan dikaki pegunungan, di goa-goa dan ceruk-ceruk alam atau tepi sungai.
Kehidupan manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana atau masa paleolitik masih dipengaruhi oleh faktor-faktor alam, seperti iklim, kesuburan tanah serta keadaan binatang. Kehidupan mereka masih bergantung sepenuhnya pada alam lingkungannya. Tempat-tempat yang menarik untuk didiami adalah tempat yang cukup mengandung bahan makanan serta persedian air. Tempat-tempat semacam itu berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan yang terletak berdekatan dengan sungai. Mereka cukup hidup dengan berburu binatang yang berkeliaran di tempat-tempat tersebut, menangkap ikan, mencari kerang, siput, serta mengumpulkan makanan dart alam sekitarnya, misatnya umbi-umbian (keladi, buah-buahan, biji-bijian dan daun-daunan).
Ketergantungannya pada alam dan lingkungan yang begitu besar, menyebabkan manusia pada masa paleolitik hidup dengan cara berketompok dan membekali dirinya dengan kemampuan untuk menghadapi alam sekitarnya. Mereka hidup dengan cara berpindah-pindah tempat sesuai dengan sumber daya fauna dan flora yang tersedia. Sisa hunian tertua manusia pada masa paleolitik dapat kita temukan kembali jejak-jejak kehidupannya pada beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan. Situs-situs tersebut antara lain terletak di Desa Bungamas, sekitar 20 kilo meter sebelah barat taut Lahat dan di aliran sungai Kikim. Sedangkan di wilayah OKU, situs-situs yang ditemukan berada di sekitar Sungai Ogan dan anak Sungai Ogan.
Pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tigkat tanjut (pasca plestosen), keadaan lingkungan hidup tidak banyak berbeda dengan keadaan sekarang. Mereka sudah mengenal tempat tinggal yaitu di dalam goa-goa alam dan ceruk-ceruk payung. Kesadaran ini timbul karena pemikiran bahwa cara hidup berpindah-pindah tempat banyak mendatangkan kesulitan, kurang nyaman dan tidak efisien. Akhirnya mereka memitih goa-goa untuk melangsungkan kehidupannya selama di sekitarnya terdapat sumber-sumber hidup yang dapat mencukupi kebutuan hidup mereka dan akan ditinggalkan atau berpindah tempat apabila bahan-bahan makanan sudah berkurang. Beberapa goa di Sumatera Setatan yang pernah dijadikan tempat hunian manusia pra sejarah antara lain Goa Putri, Goa Penjagaan dan Gua Pondok Selabe di wilayah OKU.
Gedung Pameran Tetap I
Pada masa pasca plestosen, manusia hidup dengan berburu binatang di dalam hutan, mencari kerang dan mengumpulkan umbi-umbian. Teknologi alat-alat untuk keperluan hidupnya masih melanjutkan teknologi yang lama, khususnya dalam pembuatan atat-alat dan batu dan tulang. Di situs Goa Putri ditemukan sejumlah alat-alat batu dan beberapa fragmen gerabah yang merupakan bukti bahwa di tempat ini pernah dijadikan hunian yang berlangsung untuk beberapa periode waktu, yaitu dan tingkat budaya paleolitik (masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana) yang masih hidup di sekitar pinggiran sungai dan masih belum menetap sampai tahap neolitik awal (sudah tinggal menetap dan mengenal tekhnologi pembuatan gerabah).
Temuan-temuan arkeologis di anak-anak Sungai Ogan sungguh menakjubkan, di daerah ini ditemukan alat-alat dan batu berupa: Kapak Perimbas (Chopper), Kapak Genggam (Hand Axe), Kapak Penetak (Chopping Tool), Proto Kapak Genggam (Proto Hand Axe), Atat Serpih dan lain-Lain. Setain itu, pada penggalian yang dilakukan dilantai Goa Putri bagian teras ditemukan alat-alat batu, seperti Kapak Perimbas, Kapak Genggam, Serpih, Batu PeLandas, Batu Pukul, Serpih dan bahan Rijang, Lancipan, Bor, Fragmen Gerabah Hias, Gerabah Polos, serta ditemukan sisa-sisa Moluska yang dipotong ujungnya bentuk tulang terbakar yang menunjukkan aktifitas pengolahan makanan. Di teras Goa Putri juga ditemukan sarana penguburan, seperti serpih, fragmen gerabah, sisa-sisa motuska dan fragmen tulang-tulang manusia serta fragmen tengkorak yang merupakan bukti bahwa goa ini juga difungsikan sebagai tempat penguburan bagi manusia pendukung goa.
Hasil penetitian dan penggalian di Goa Pondok SeLabe, terutama dibagian terasnya, ditemukan atat-alat batu, aktifitas perapian, perbengkelan serta penguburan, gerabah hias maupun polos yang menggunakan teknik pemakaian roda putar dan pelandas. Gerabah-gerabah hasil temuan di Goa Pondok Selabe teknik pembuatannya dilakukan dengan teknik cukil, gores dan penggabungan keduanya. Dekorasi yang dipahatkan benupa tera jata, tali, ujung kuku, hias kepang, hias titik-titik, hias kerang dan garis-garis.
Setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan telah terlampaui, maka dimulai masa tinggal menetap dan mulai berladang secara sederhana. Manusia pada masa ini juga telah mengenal domestikasi hewan, dilihat dan temuan beberapa situs di huluan Sungai Musi dan di lereng pegunungan Bukit Barisan yang biasa dikenal dengan kebudayaan Pasemnah atau Megalit. Tradisi MegaLitik di Pasemah tidak hanya berupa bangunan-bangunan megalitik, namun juga menghasilkan berbagai benda kebutuhan yang lain, seperti kerajinan menenun, membuat alat-alat kerja yang umumnya diasah atau diumpam seperti betiung persegi, belincung dan pembuatan gerabah. Gerabah diproduksi karena diperlukan untuk menunjang kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya untuk menyiapkan, menghidangkan dan menyimpan bahan makanan. Benda-benda tersebut selain berfungsi sebagai peralatan sehari-hari, juga digunakan untuk kepentingan keagamaan, baik sebagai bekal kubur maupan sebagai wadah kubur. Gerabah yang dipakai sebagai kelengkapan upacara dapat berupa cawan berkaki dan kendi, periuk sebagai bekal kubur dan tempayan biasa digunakan sebagai wadah kubur.
              Konsepsi pemujaan nenek moyang lebih berkembang pada masa itu, dan telah melahirkan tata cara untuk menjaga tingkah laku masyarakat didunia fana supaya sesuai dengan tuntunan hidup diakhirat dan juga untuk menjaga kesejahteraan dunia. Pada masa ini organisasi masyarakat sudah teratur, pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang.
Seluruh tinggalan budaya dan masa pra sejarah yang tersebar di dataran tinggi Pasemah di wilayah Lahat dan Pagar Alam memberika gambaran kepada kita bahwa pada masa lampau, di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian manusia. Kehidupan neotitik di daerah ini mencapai puncaknya hingga masa perundagian.
Pada masa perundagian manusia hidup pada tatanan yang lebih teratur, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ditujukan untuk mensejahterakan hidup dan akibat dan surplus bahan makanan maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara-upacara yang melambangkan permtntaan akan kesuburan tanah dan kesejahteraan hidup. Binatang-binatang seperti babi, kerbau, anjing dan jenis-jenis unggas mulai dipelihara untuk persediaan makanan serta keperluan lain seperti dalam pertanian dan upacara-upacara. Perdagangan dilakukan dengan cara tukar menukar barang yang diperlukan masing-masing pihak. Adanya arca-arca megalitik yang dipahatkan bersama nekara perunggu dibeberapa situs di wilayah Pasemah, telah menunjukkan perdagangan dengan Asia Tenggara Daratan.
Tersusunnya masyarakat yang teratur dengan terbentuknya golongan-golongan undagi telah mengenalkan kepada kita akan teknologi tuang logam, seperti temuan belati, gelang dan mata tombak. Pada masa ini kepercayaan kepada arwah leluhur yang telah meninggal sangat kuat, mereka percaya roh leluhur akan mempengaruhi terhadap perjalanan hidupnya dan juga alam sekitarnya. Oleh karena itu, arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan dan diberi penghormatan serta persajian selengkap mungkin. Penguburan terhadap orang yang mati dapat dilaksanakan secara Primer (langsung) dan Sekunder (tidak langsung). Hal mi dapat dilihat pada beberapa situs penguburan di wilayah Sumatera Selatan, seperti situs Muara Betung dan Muara Payung di kabupaten Lahat.

Tinggalan arkeologis pada masa perundagian di daerah dataran tinggi Pasemah, antara lain berupa Arca Megalitik, Menhir, Dolmen, Batu Dakon, Lumpang Batu, Lesung Batu, Kursi Batu, Kubur Batu, Hiasan Cadas dan Batu Gores. Dan tinggalan-tinggalan ini menunjukkan bahwa bagai dimensi kehidupan dapat dilihat, baik berhubungan dengan kepercayaan, kebutuhan hidup, teknologi maupun seni dan budaya. Semua itu menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah memiliki local genius yang luar biasa.


Sumber:
http://museumnegerisumateraselatan.blogspot.com/2014/04/masa-prasejarah-di-sumatera-selatan.html

No comments:

Post a Comment