Anomali Sejarah di Gunung Lalakon
November 7, 2011 by ahmadnajip
Mencengangkan. Itulah barangkali kalimat yang diucapkan awam terhadap
hasil analisis geolistrik dan georadar terhadap Gunung Lalakon di
Kabupaten Bandung yang dilakukan Turangga Seta, lembaga swadaya
masyarakat yang percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada
Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Rangkaian penelitian Gunung
Lalakon tersebut disajikan cukup komprehensif dalam bantuk laporan
mendalam (indepth report) oleh Vivanews dengan judul Berburu Piramida Nusantara. Berikut resume singkatnya:“Hasil geolisitrik terhadap Gunung Lalakon menunjukkan struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya. Peneliti percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu.”
Rekaman geolistrik boleh jadi menunjukkan hal itu, namun apakah benar dalam material gunung tersebut tersimpan piramida sebagaimana bisa kita saksikan di Mesir. Pertanyaan ini tentu saja membutuhkan jawaban sejarawan. Apa relevansinya? Jelas, jika benar piramida itu ada, maka hal itu merupakan produk budaya dari manusia yang hidup di zamannya. Adalah kejadian atau peristiwa di masa lampau yang menjadi objek dari disiplin ilmu sejarah. Sebagai disiplin, sejarah memilih metode sendiri untuk mengujinya. Dan, kaitannya dengan perkuliahan metode sejarah analisis artikel ini dibuat.
Langkah pertama yang dilakukan untuk menimbang hasil penelitian Turangga Seta adalah memperlakukan Gunung Lalakon dan dimensi di sekelilingnya sebagai sumber sejarah. Mengacu kepada klasifikasi sumber menurut Gottshalk dan Kuntowijoyo dalam Nina Herlina (2008: 7), kita dapat menyelompokkan gunung sebagai sumber benda. Sementara kesaksian tokoh masyarakat setempat, Abah Acu dan Jujun, dikategorikan sebagai sumber lisan. Sejauh ini belum ditemukan sumber tertulis di sekeliling Lalakon.
Langkah berikutnya, pengujian atau kritik terhadap kedua sumber tersebut. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kemungkinan adanya piramida di balik kulit gunung tentu saja kita membutuhkan ilmu bantu, setidak-tidaknya geologi dan arkeologi. Dua ilmu bantu ini mutlak diperlukan karena subject matter-nya adalah lapiran bumi yang diduga menyimpan peninggalan arkeologis. Praktisnya, kita harus menunggu hasil akhir riset tim Turangga Seta yang disebutkan melibatkan sejumlah pakar di dalamnya.
Bagaimana dengan kesaksian Abah Acu? Ditinjau dari aspek kekuatan sumber, saya menilai sumber tersebut tidak dimasukkan dalam daftar sumber primer maupun sekunder karena dia hadir jauh setelah zaman piramida Mesir Kuno dibangun pada sekitar tahun 2650 SM. Ada semacam anakronisme di sini. Menempatkannya pada sumber lisan (oral history) pun tak relevan karena lagi-lagi terbentur faktor waktu. Barangkali, yang relatif lebih dekat adalah dengan menempatkannya sebagai tradisi lisan (oral tradition). Masalahnya, sejak kapan tradisi itu berkembang di sana? Wallahu alam.
Pertanyaan berikutnya seputar kesaksian adalah pertimbangan penilaian intrinsik terhadap sumber. Kredibilitas sejatinya diuji dengan kompetensi dan kejujuran. Parameter kompetensi dengan mempertimbangkan kehadiran saksi dengan peristiwa dan keahlian, dua-duanya tidak ada yang memenuhi. Dalam pandangan saya, kesaksian dua sumber dalam artikel di atas lebih tepat dikategorikan sebagai opini atau pendapat yang sulit diukur tingkat kebenarannya secara metode sejarah.
Salah satu –kalau bukan satu-satunya– cara untuk menguji kesaksian sumber lisan dalam konteks Gunung Lalakon adalah dengan teknik koroborasi. Nina Herlina (2008: 34) menjelaskan, koroborasi merupakan upaya mencari dukungan sumber lain untuk mendukung sumber sejarah dari sumber lain yang independen atau merdeka. Dalam kasus ini, sejarawan harus membandingkan kemungkinan adanya timbunan piramida dengan bentuk sejenis di tempat lain pada waktu yang sama atau sezaman.
Sebut saja misalnya mengambil benchmark atau patokan ke periode Mesir Kuno. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan keduanya? Bila pembangunan piramida Lalakon menggunakan teknik yang sama, bagaimana proses transfer ilmu pengetahuan dari Mesir ke daerah yang sekarang berada di Kabupaten Lalakon tersebut? Jauh sebelum pertanyaan ini, apakah pada periode tersebut sudah ada kehidupan dengan peradaban tinggi di nusantara? Sulit menjawab pertanyaan ini.
Ditinjau dari aspek historis, sejarawan Nina Herlina Lubis dalam surat elektroniknya kepada Vivanews menjelaskan, di Tatar Sunda tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina.
Menurut ketua tim penulis Sejarah Tatar Sunda (2003) ini, Tatar Sunda pada masa prasejarah mengenal tempat suci sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur. Pada masa Hindu Budha (yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda) tempat suci itu terus dipergunakan. Hanya saja, menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Senada dengan Nina pada akhir pernyataannya, tampaknya pembuktian terhadap dugaan adanya piramida di balik kulit Lalakon harus menunggu hasil riset lanjutan dari ahli geologi dan arkeologi. Nina meyakini bahwa ekskavasi atau penyingkapan merupakan cara tepat untuk menguji kebenaran dugaan Turangga Seta. Terlepas dari soal pembiayaan yang diperkirakan menyedot dana sangat besar, penyingkapan tutupan gunung akan menunjukkan fakta secara terang benderang. Kita tunggu saja. Selamat bekerja anak-anak MIT, Menyan Institute of Technology!
Sumber:
http://ahmadnajip.wordpress.com/2011/11/07/anomali-sejarah-di-gunung-lalakon/
No comments:
Post a Comment