Friday, May 16, 2014

Belajar dari Letusan Mbah Krakatau yang Memisahkan Jawa dan Sumatera

Belajar dari Letusan Mbah Krakatau yang Memisahkan Jawa dan Sumatera

SEJAK tahun lalu, Bumi Nusantara juga digonjang-ganjing oleh ancaman bencana alam lain, yaitu letusan gunung api. Kita menyaksikan bagaimana letusan gunung merapi tahun 2010 yang dahsyat tersebut kembali memporakporandakan wilayah Yogyakarta setelah gempa tahun 2006. Semburan awan panas gunung api atau piro-klastika atau dikenal sebagai wedus gembel menewaskan banyak jiwa dalam sekejap. Demikian juga muntahan abu dan limpahan lahar dingin mengancan jiwa dan kesehatan penduduk setempat.

Candi Borobudur yang sekarang menjadi kebanggaan nasional dan termasuk salah satu keajaiban dunia sebelum ditemukan pada tahun 1814 tertimbun oleh endapan gunung api muntahan dari Gunung Merapi yang sudah menjadi hutan sehingga sukar dikenali.

Kenapa candi besar ini sampai terlantar dan ditinggalkan orang sampai saat ini masih misteri, namun boleh jadi endapan gunung api yang menutupinya adalah saksi dari sebuah peristiwa letusan merapi yang sangat besar di masa purba sehingga membinasakan seluruh masyarakat di sekitarnya. Candi Borobudur menjadi saksi bisu tentang punahnya peradaban masa lalu karena letusan gunung berapi.

Indonesia, sebagai bagian dari “ring of fire” Lautan Pasifik, adalah negeri yang dipenuhi oleh gunung api. Sejarah mencatat banyak letusan gunung api terbesar terjadi di Indonesia. Yang paling fenomenal adalah letusan gunung raksasa Toba yang terjadi sekitar 70.000 tahun lalu. Kaldera yang terbesar di dunia dari sisa letusan gunung api jaman kuno ini sekarang dikenal masyarakat sebagai Danau Toba.

Pada kejadian letusan katastropik Toba itu, diperkirakan terjadi pemusnahan massal dari populasi mahluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia. Hanya sebagian kecil yang dapat survive. Meskipun demikian, tidak ada data yang cukup untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada peradaban manusia sebelum dan sesudah letusan Toba.

Ilmu pengetahuan hanya tahu bahwa paling tidak sejak sekitar 90.000 sampai 100.000 tahun lalu bumi sudah dihuni oleh mahluk berakal dan mengenal tuhan, seperti kita. Dan sampai saat ini para ilmuwan sedunia percaya bahwa sampai sekitar 10.000 tahun lalu bangsa manusia masih hidup di jaman batu, alias hidup di alam, di hutan-hutan dan goa-goa seperti hewan.

Letusan gunung api katastropik lainnya adalah letusan Gunung Krakatau purba. Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
“Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara (i.e. Krakatau). Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula… Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera.”

Ledakan katastropik ini menghancurkan tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Penelitian tentang letusan gunung Krakatau Purba ini masih sangat sedikit, sehingga data ilmiah yang adapun sangat minim, termasuk tentang kapan peristiwa ini terjadi.

Para peneliti geologi hanya bisa memperkirakan bahwa Gunung Krakatau purba jauh lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan Krakatau sebelum meledak tahun 1883. Dalam ledakan di tahun 1883 itu tinggi Krakatau hanya setinggi 813 meter di atas muka laut. Letusan Krakatau 1883 saja mengakibatkan tsunami setinggi 40 meter dan membunuh lebih dari 36.000 jiwa pada saat itu. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya letusan Embah Krakatau pada zaman kuno tersebut.


Sumber :rakyatmerdekaonline

No comments:

Post a Comment