Friday, May 16, 2014

SAAT TOBA, TAMBORA DAN KRAKATAU MENGGETARKAN DUNIA



SAAT TOBA, TAMBORA DAN KRAKATAU
MENGGETARKAN DUNIA

" Sejarah dunia telah mencatat dahsyatnya letusan gunung Toba,
gunung Tambora dan gunung Krakatau. Pengaruhnya terhadap
iklim dan peradaban manusia. Namun, sejatinya gunung berapi
bukan semata-mata menimbulkan bencana alam, karena disana
ada kekayaan, kesuburan, keindahan dan keunikan.
Gunung berapi adalah anugrah "
  

Indonesia merupakan tempat pertemuan aktifitas benturan
tiga mega lempeng dunia yang sangat aktif, yaitu Lempeng
Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Akibat tabrakan
ketiga lempeng tersebut, terbentuklah rangkaian gunung api
yang seolah-olah menjadi jembatan penghubung pulau-pulau
di nusantara. Rangkaian ratusan gunung api tersebut menjadi
bagian dari cincin api dunia atau Ring of Fire.
.
Pada umumnya masyarakat memandang gunung api sebagai
sosok yang menakutkan karena dianggp seringkali menimbulkan
bencana. Padahal sebaliknya, bencana akibat letusan gunung
api sebenarnya bisa dikatakan hanya beberapa waktu saja atau
tidak secara terus menerus. Sedangkan masa tenang yang
dilalui setiap gunung api justru lebih lama. Jadi bisa dikatakan
keberadaan gunung api merupakan berkah Tuhan yang tidak
ternilai harganya. Tanah yang subur, udara yang segar, sumber
gas panas bumi, sumber daya bahan galian industri, daerah
tujuan wisata dan lain sebagainya.

Sebagai negara yang memiliki jumlah gunung berapi terbanyak
di dunia (13%), tidak salah jika Indonesia merupakan surganya
pendakian gunung api. Rangkaian gunung api membentang
dari mulai dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Kemudian menyambung dari kepulauan Laut Banda hingga ke
bagian utara Pulau Sulawesi yang merupakan daerah gunung
berapi terpanjang di dunia. Dari ratusan gunung berapi tersebut,
129 diantaranya adalah gunung berapi aktif.

Sejumlah gunung berapi di Indonesia pernah menorehkan sejarah
kelam dalam catatan sejarah akibat letusan yang ditimbulkannya
dan bahkan menyebabkan ribuan atau bahkan puluhan ribu jiwa
melayang. Seperti gunung Tambora (NTB), gunung Krakatau
(Banten), gunung Kelud (Jatim), gunung Galunggung (Jabar),
gunung Agung (Bali) dan gunung Soputan (Sulawesi), serta pada
masa prasejarah yaitu gunung Toba (Sumatra Utara).

Keberadaan gunung berapi sangat mempengaruhi kehidupan
serta budaya masyarakat sekitarnya. Bahkan akibat dari
letusan gunung berapi dapat berpengaruh kuat pada kehidupan
berbangsa sebuah negeri. Lebih luas lagi mempengaruhi
peradaban dan tatanan dunia. Gunung Tambora, gunung
Krakatau dan gunung Toba, merupakan tiga gunung berapi di
Indonesia yang letusannya mengguncang dunia. Dibalik berjuta
pesona keindahannya, ketiga gunung tersebut meninggalkan
catatan penting sejarah letusannya bagi dunia.

Gunung Toba
Pesona keindahan lanskap Danau Toba sudah tidak diragukan
lagi. Danau dengan panjang sekitar 100 km dan lebar 30 km serta
tebing-tebing terjal yang mengelilinginya dan Pulau Samosir di
tengah-tengahnya bagaikan raksasa cantik yang menebarkan
berjuta keelokannya. Melihat hal tersebut sulit rasanya membayangkan bagaimana dahsyatnya letusan gunung Toba yang terjadi saat itu.
Sekitar 74.000 tahun lalu, Danau Toba yang sejatinya kaldera
gunung berapi raksasa meletus hebat. Letusan tersebut
menyebabkan perubahan iklim dunia hingga suhu bumi turun
sampai 5 derajat Celcius dan nyaris memusnahkan nenek
moyang manusia modern (Homo Sapiens). Diperkirakan hanyat
tertinggal sekitar 5.000 – 10.000 umat manusia yang tersisa
saat itu. Letusan gunung Toba pada waktu itu diperkirakan
menimbulkan awan panas raksasa yang nyaris menutup ujung
timur hingga barat Pulau Sumatra. Memuntahkan jutaan kubik
abu dan menutup Lautan Hindia hingga Laut Arab dan sebagian
Samudera Pasifik. Aerosol asam sulfat yang dilepaskan menyebar
luas ke atmosfir dan menutupi bumi. Keumudian timbul kegelapan
total yang terjadi selama bertahun-tahun. Dalam sejarah evolusi
manusia periode gelap ini dikenal dengan bottleneck. Dahsyatnya
letusan gunung Toba yang terjadi saat itu berada dilevel tertinggi
letusan gunung api, yaitu 8 Volcanic Explosivity Index (VEI).
Menurut penelitian para ilmuwan di dunia, gunung Toba adalah
Supervolcano – gunung api super – yang letusannya terkuat
dalam dua juta tahun terakhir.

Pada tahun 1939, seorang ilmuwan dari negeri Belanda, Reinout
Willem van Bemmen, dalam perenlitian dan perjalanannya
menemukan bukti kalau Danau Toba itu merupakan kaldera sebuah
gunung raksasan. Dialah ilmuwan pertama yang mengenalkan ke
dunia bahwa danau yang indah tersebut terbentuk akibat dari
letusan gunung berapi.

Walaupun lebih kecil, namun tekanan magma disekitar kaldera
Danau Toba saat ini masih terus berlangsung. Gunung api Pusuk
Buhit dan Sipiso Piso (dekat Tanduk Benua) merupakan bukti
bahwa aktivitas vulkanik kaldera Toba yang masih terjadi.
Hingga kini para peneliti dari berbagai penjuru dunia terus
melakukan penelitian mengenai apa yang terjadi 74.000 tahun
lalu saat gunung Toba meletus dan yang terjadi kemudian setelah
letusan dahsyat tersebut. Termasuk menarik para ahli iklim
dunia untuk meneliti bagaimana letusan hebat tersebut dapat
mendinginkan suhu bumi.

Gunung Tambora
Dalam sejarah manusia modern, gunung Tambora yang terletak
di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memiliki sejarah
letusan yang luas biasa. Hampir dua abad lalu atau tepatnya 11
April 1815 gunung yang saat itu diperkirakan mempunyai tinggi
lebih dari 4.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) meletus
dahsyat dan menghancurkan sepertiga tubuhnya. Namun, tinggi
gunung yang kini hanya tinggal 2.850 meter telah meninggalkan
kaldera raksasanya yang luar biasa spektakuler. Kaldera tersebut
mempunyai diameter lebih dari 7 km dan kedalaman lebih dari 1
km, hingga menjadikannya sebagai kaldera terbesar di Asia dan
terdalam di dunia.

Dalam skala letusan, gunung Tambora merupakan yang terkuat
setelah letusan gunung Toba 74.000 tahun yang lalu. Berdasarkan
Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan Tambora berada pada
skala 7 dari 8. Artinya hanya kalah satu tingkat dari letusan
gunung Toba (Sumatera Utara) yang berada pada skala 8 VEI.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, suara letusan
gunung Tambora terdengar hingga Pulau Sumatra (lebih dari
2.000 km). Abu vulkaniknya menyebar dan jatuh di Kalimantan,
Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Jumlah korban yang ditimbulkan
mencapai lebih dari 92.000 jiwa. Sebagian besar korban
merupakan penduduk Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok.

Bahkan tiga buah kerajaan dari 6 buah kerajaan yang berdiri
pada saat itu turut musnah. Tiga kerajaan tersebut adalah Pusat
Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Sanggar yang
kini telah meniggalkan sebuah sejarah peradaban manusia yang
disebut Situs Tambora.

Seorang arkeolog dari Amerika Serikat, Prof. Haroldur Sigurdsson
bersama-sama dengan direktorat vulkanologi Indonesia antara
bulan Juli s/d Agustus 2004 telah menemukan bukti-bukti
adanya kebudayaan yang hilang musnah karena letusan gunung
Tambora. Beliau juga menyebut sisa-sisa bukti-bukti sejarah
dan kebudayaan yang telah berhasil ditemukannya itu sebagai
“Pompeii dari Timur”. (Baca Journal: Berdiri Di Bibir Kawah
Raksasa Tambora, MountMag, Edisi 4, No. 04/2011).

Akibat dari letusan gunung ini bahkan telah menyebabkan
perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) di Amerika
Utara dan Benua Eropa telah terjadi perubahan iklim yang
drastis. Pada tahun tersebut telah terjadi musim dingin yang
berkepanjangan. Dimana dunia mengenalnya dengan sebutan
“Tahun Tanpa Musim Panas” atau Year Without Summer. Akibatnya
terjadi kegagalan panen dan kematian ternak besar-besaran di
belahan utara sehingga menimblkan bencana kelaparan terburuk
yang terjadi pada abad ke-19.

Meningkatnya aktivitas vulkanik gunung Tambora sebenarnya
sudah dimulai sejak tahun 1812. Pada tahun tersebut letusan-
letusan kecil sudah terjadi. Tiga tahun kemudian, 5 April 1815
terjadi gunung tersebut benar-benar meletus. Suara letusannya
terdengar hingga Makasar, Sulawesi, Jakarta (Batavia), dan
Ternate di Maluku. Diceritakan juga saat pedagang dan penjelajah
Inggris melakukan perjalanan ke nusantara pada awalnya berpikir
suara tersebut merupakan tembakan meriam.

Pada malam, 10 April 1815, letusan gunung Tambora mulai lebih
intensif. Letusan-letusan besar kemudian mulai meledakkan
gunung berapi tersebut hingga puncak letusan hebat terjadi
tanggal 11 April 1815. Suara letusan terdengar hingga ke
Surabaya, Madura dan Banyuwangi. Madura tertutup abu selama
3 hari. Aliran materi vulkanik mencapai 100 Km3. Kolom letusan
mencapai tinggi 40 – 50 km. Gunung Tambora telah memuntakan
sekitar 50 - 150 kilometer kubik magma. Kaldera gunung runtuh
pada akhir letusan dan menghancurkan 30 km3 tubuh gunung
dan membentuk diameter kaldera sekitar 7 km dan kedalaman
1.250 meter. Suhu bumi secara global turun 2,5 derajat Celcius.

Efek dari letusan dahsyat gunug Tambora terus berlangsung.
Tahun 1816 yang kemudian dikenal Year Wiithout Summer
benar-benar menjadi malapetakan besar dimana Benua Eropa
dan Amerika gagal panen. Bencana kelaparan semakin meluas.

Perubahan angin muson. India, Pakistan dan Banglades dilanda
banjir pada saat musim kemarau. Penyakit mematikan kolera
menyebar dari India hingga Rusia. Tidak hanya itu, epidemi
tipus juga merajalela di Eropa tenggara dan Mediterania hingga
menewaskan sedikitnya 10.000 jiwa. Ada juga yang menyebutnya
hingga angka ratusan ribu jiwa. Mengenai kejadian ini para
sejarawan menulis, bahwa letusan Tambora telah menyebabkan
“krisis terakhir dan terbesar di dunia Barat”.

Musim dingin yang bekpepanjangan dan kegagalan panen yang
melanda juga menjadi pemicu kekalahan pasukan Napoleon
Bonaparte dalam pertempuran di Waterloo.

Kegelapan dan bencana yang melanda manusia pada tahun 1816
kemudian menginpirasi seorang Mary Godwin yang saat masih
berusia 18 tahun untuk menulis novel horol ilmiah yang terkenal
dan legendaris, Frankeinstein.

Beberapa syair Kerajaan Bima juga menggambarkan tentang
bencana dahsyat letusan gunung Tembora tersebut.

“Bunyi bahananya sangat berjabuh
Ditempuh air timba habu
Berteriak memanggil anak dan ibu
Disangkanya dunia menjadi kelabu
Waktu subuh fajar pun merekah
Diturunkan Allah bala celaka
Sekalian orang habiskan duka
Bertangis-tangisan segala mereka”

Gunung Krakatau
Hampir 70 tahun setelah letusan besar gunung Tambora, dunia
kembali dikejutkan kembali oleh letusan gunung berapi di
nusantara. Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, gunung Krakatau
yang berada di selat Sunda meletus hebat dengan kekuatan 6
VEI. Memicu tsunami setinggi sekitar 30 – 40 meter. Sebuah kapal
yang berjarak sekitar 80 km dari pusat gunung terhempas karena
terkena angin letusan. Semua yang ada di Selat Sunda dan
sekitarnya benar-benar porak poranda. Dalam catatan sejarah,
letusan terbesar di penghujung abad 19 ini telah menelan korban
jiwa lebih dari 36.000.

Letusan dahsyat gunung Krakatau telah menghancurkan tubuhnya
sebanyak 18 kilomter kubik. Suara dentumannya terdengar
hingga ke Srilangka dan Karaci. Ke timur hingga ke Perth dan
Sydney. Abu letusan menyembur ke udara hingga setinggi 70-
80 km. Kemudian menyebar ke hampir seluuruh dunia. Benda-
benda keras berhamburan ke udara dan jatuh di daratan pulau
Jawa dan Sumatera serta Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan
Selandia Baru.

Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas
Oxford Inggris, Suara letusan gunung Krakkatu terdengar hingga
4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8
penduduk bumi saat itu.

Letusan gunung Krakatau, Agustus 1883, merupakan letusan
terhebat kelima di dunia setelah letusan besar gunung Toba dan
gunung Tambora (Indonesia), gunung Taupo (Selandia Baru), dan
gunung Katmal di Alaska.

Sebagaimana gunung Toba dan gunung Tambora, dampak
letusan hebat gunung Krakatau juga mempengaruhi iklim dunia.
Hampir sebagian langit dunia gelap gulita. Suhu permukaan bumi
pun turun 1,2 derajat Celcius.

Akibat debu vulkanik yang terlempar ke atmosfer hingga
mempengaruhi iklim dunia, orang-orang di Inggris dan Amerika
merasa aneh karena melihat matahari terbenam berwarna merah.
Meletusnya gunung Krakatau tahun 1883 menjadi penting
karena telegraf saat itu telah ditemukan. Peristiwa ini menjadi
berita kolosal pertama yang dapat dideskripsikan secara rinci ke
dunia melalui kabel telegraf bawah laut. Dengan cepat pembaca
berita di Eropa dan Amerika Utara dapat mengikuti laporan saat
terjadinya bencana.

Sebelum meletus dahsyat, 27 Agustus 1883, gunung Krakatau
mempunyai ketinggian sekitar 800 mdpl. Gunung Krakatau
merupakan sisa letusan gunung berapi tua yang pernah meletus
pada tahun 416 masehi. Gunung Krakatau saat itu sendiri
terbentuk dari gabungan tiga gunung berapi yang muncul dari
sisa letusan gunung Krakatau purba, yaitu gunung Danau, gunung
Rakata dan gunung Parbuatan. Setelah 200 tahun tertidur, 20 Mei
1883, gunung Krakatau menunjukkan aktivitas sesimiknya yang
menandakan bahwa gunung bangun kembali.

Suara letusan eksplosif awal Krakatau terdengar hingga 16 km
jauhnya. Semburan abu terlihat naik hingga 11 km di atas puncak
gunung. Pada 11 Agustus 1883, tiga ventilasi aliran magma
secara aktif meletus.

Tanggal 26 Agustus 1883, letusan-letusan semakin sering terjadi
dengan rentang waktu rata-rata setiap 10 menit. Seorang pelaut
yang berada sekitar 120 km dari pusat letusan, melaporkan
bahwa asap awan hitam naik dari atas gunung.

Pada 27 Agustus 1883, terjadilah empat letusan besar yang
berasal dari gunung. Ledakan hebat terakhir menghancurkan
dua pertiga dari pulau Krakatau. Letusan tersebut juga memicu
tsunami dengan kekuatan yang besar. Tidak hanya pulau Krakatau
yang hancur, pulau-pulau kecil lainnya demikian. Sejak saat itu
peta Selat Sunda berubah untuk selamanya hingga kini.

Beberapa jam setelah berita telegraf dari Batavia (Jakarta), The
New York Times memuat headline kecil pada edisi 27 Agustus
1883 : “Terrific ledakan terdengar kemarin malam dari pulau
vulkanik, Krakatau. Suara ledakan terdengar di Soerakarta,
Pulau Jawa. Abu dari gunung berapi jatuh hingga Cirebon, dan
kemudian terlihat pancaran api menyala dari Batavia”.

Kemudian peristiwa meletusnya gunung Krakatau langsung
mendapat perhatian besar dunia. Setelah letusan, daerah disekitar
Krakatau diselimuti kegelapan, debu dan partikel membumbung
hingga ke dalam atmosfer. Sinar matahari terhalang.

Majalah  Atlantic Monthly terbitan tahun 1884, melaporkan bahwa
beberapa kapten laut telah melihat matahari terbit yang hijau.
Berbulan-bulan setelah letusan, matahari terbenam di seluruh
dunia berubah merah. Peristiwa tersebut berlangsung selama
hampir tiga tahun. Pola cuaca terus menjadi kacau selama
bertahun-tahun hingga benar-benar mempengaruhi perubahan
iklim dunia. Suhu baru kembali sedikit demi sedikit normal setelah
lima tahun kemudian, pada tahun 1888.

Bertahun-tahun setelah letusan, tepatnya pada tahun 1929,
para ahli geologi dan vulkanologi dunia kembali dikejutkan
dengan munculnya gunung api baru di bekas reruntuhan gunung
Krakatau, Agustus 1883. Gunung api baru yang kemudian diberi
nama gunung Anak Krakatau, terus tumbuh dan hingga kini telah
mencapai ketinggian 325 mdpl.

Kini, gunung Anak Krakatau telah menjadi laboratorium geologi
dan vulkanologi dunia serta sekaligus daerah tujuan wisata dunia
yang memesona.

Gunung Berapi Adalah Anugrah
Berbagai bencana alam dahsyat yang terjadi seperti letusan
gunung Toba, gunung Tambora dan gunung Krakatau menjadi
bukti betapa manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan
dengan sempurna. Dengan menggunakan akal pikirannya dalam
kondisi keterbatasan yang ada, umat manusia telah mampu
bertahan hingga kini.

Dibalik kedahsyatan letusannya, kita patut bangga karena gunung-
gunung api di nusantara telah menjadi catatan penting sejarah
peradaban dunia. Tidak salah jika kiranya kelak Indonesia benar-
benar dapat dijadikan laboratorium gunung api dunia sekaligus
surganya para pendaki gunung berapi. Sejatinya gunung berapi
bukan semata-mata menimbulkan bencana alam, namun disana
ada kekayaan, kesuburan, keindahan dan keunikan. Karena
gunung berapi adalah anugrah.


Sumber:
http://mountmag.com/wp-content/uploads/downloads/2012/08/MountMag-09.pdf



No comments:

Post a Comment