Membongkar Isi Perut 'Gunung Piramida'
Penggalian membuktikan 'piramida' di perut Gunung Lalakon Bandung dimulai. Apa hasilnya?
Jum'at, 18 Maret 2011, 22:12
Indra Darmawan, Iwan Kurniawan
(A Rizaluddin/ VIVANews)
VIVAnews -
Stadion Si Jalak Harupat terlihat samar-samar. Dari ketinggian 986
meter di atas permukaan laut, stadion berkapasitas 40 ribu orang itu
terlihat hanya sebesar ujung jari, di antara luasnya hamparan wilayah
Soreang Bandung Jawa Barat.
Rabu 16 Maret 2011, siang
itu, udara cerah menaungi puncak Gunung Lalakon. Semilir angin sesekali
mengembus perlahan, menawar terik yang mulai menyengat. Tapi belasan
orang terlihat masih semangat bekerja di sebuah lubang sepanjang 5
meter, selebar 3 meter, dan sedalam 4 meter.
Seorang mencangkul, dua
orang mengangkut sisa tanah dengan karung, dua orang lagi menyambut
karung itu, mengopernya lagi secara estafet ke dua orang di atasnya
hingga tanah berlabuh di gundukan tak jauh dari lubang penggalian.
Biasanya hanya dua orang yang biasa mangkal di puncak gunung, yakni para penjaga menara base transceiver station
(BTS). Tak banyak orang yang naik kesitu, mengingat medan yang lumayan
menanjak, dan butuh sekitar 1 jam untuk sampai ke lokasi itu.
Namun, sejak Senin 14
Maret 2011, belasan anggota komunitas pecinta sejarah nusantara Turangga
Seta melakukan penggalian untuk membuktikan keberadaan bangunan piramida di bawah Gunung Lalakon, seperti yang telah mereka yakini sebelumnya.
Keyakinan yang membuncah pada diri mereka tak datang begitu saja. Tak hanya berbekal wangsit
dari 'leluhur', awal Februari lalu, bersama tim peneliti terdiri para
pakar geologi kawakan: Danny Hilman Natawidjaja, Eko Yulianto, dan
Andang Bachtiar, melakukan uji geo listrik di beberapa bukit, termasuk
di Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip.
Hasilnya, salah satu
anggota tim peneliti yang notabene merupakan pakar geologi senior,
Andang Bachtiar, mengatakan hasil uji geolistrik menemukan struktur yang
tidak alamiah. "Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red)," katanya.
Sementara itu, Lutfi
Yondri dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Balai
Arkeologi Bandung, yang telah melihat uji geolistrik itu, secara
selintas memperkirakan struktur di Gunung Lalakon dan Sadahurip bukan
mirip piramida melainkan struktur teras piramid.
"Dari peta geolistriknya
yang baru satu lintasan, saya baru melihat teras-teras. Kalau
teras-teras yang diketemukan, saya cenderung mengatakan itu teras
piramid," kata Lutfi.
Menurut Lutfi, di
Indonesia ada bangunan teras piramid peninggalan megalitik yakni Lebak
Cibedug, yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Namun, kata Lutfi, dari
nomenklatur arsitektur maupun arkeologi, klaim keberadaan piramida sudah
tidak tepat. Hasil pembacaan geolistrik, kata dia, juga mengatakan itu
bukan piramida. "Dari hasil geolistrik, berbentuk tangga. Itu sudah
berbeda. Namun hal ini penting ditindaklanjuti."
***
Berbekal pendapat Andang
tadi, Turangga Seta tak sabar segera membuktikannya. Karena merasa
respon Puslit Arkenas kurang, maka Turangga Seta melakukan penggalian
sendiri.
Hingga kini, mereka
memang belum menemukan bangunan piramida yang mereka cari. Setidaknya,
penggalian berjalan lancar, berada di jalur yang sudah mereka
perkirakan sebelumnya, sesuai hasil uji geolistrik yang mereka dapatkan.
Di bawah lapisan permukaan (top soil) mereka menemukan batuan-batuan boulder
andesit di kedalaman 1 - 1,6 meter. Setelah itu lapisan batu cadas
sedalam 20 cm, kemudian tanah beserta lempung sedalam 20 cm, kemudian
batu cadas lagi, hingga akhirnya ditemukan lagi batuan boulder andesit di kedalaman sekitar 3,5 meter.
Batu-batu boulder
yang ditemukan, mereka perkirakan merupakan batu-batu bronjongan
penutup bangunan piramida. Batu-batu itu memiliki ukuran yang kurang
lebih sama, panjang antara 1 - 2 meter, dengan lebar dan ketebalan 30-50
cm.
Kebetulan atau tidak,
batu-batu boulder itu berjejer rapi membentuk sudut sekitar 30 derajat
dengan garis horizontal. Pendiri kelompok Turangga Seta Agung Bimo
Sutedjo memperkirakan, batu-batu tadi sengaja dipasang demikian untuk
memperkuat lapisan tanah penutup bangunan piramida, agar tidak longsor.
"Bronjongan-bronjongan
tadi seolah-olah tersusun secara teratur dengan sudut kemiringan 30
derajat. Bahasa kaki limanya, seolah-olah tak datang seenak jidatnya.
Siapa yang mengatur? Wallahua'lam bish shawab," ujar Engkon
Kertapati, peneliti Pusat Survei Geologi Badan Geologi Departemen ESDM
Bandung, yang datang ke lokasi penggalian, Rabu 16 Maret 2011.
Engkon tidak menampik
bahwa mungkin memang ada campur tangan atau ada gaya-gaya di luar
kemampuan alamiah yang menyebabkan batu-batu bronjong tadi tersusun
secara seragam.
Namun, ia juga tidak
menutup kemungkinan bila batuan andesit di Gunung Lalakon mengalami
pelapukan secara alamiah sehingga secara 'kebetulan' membentuk batu-batu
andesit padat yang seolah-olah berbaris sejajar ke arah sudut
kemiringan 30 derajat.
***
Agaknya, tak cuma Engkon
yang tertarik meneliti Gunung Lalakon. Kamis 17 Maret 2011, pakar
geologi yang terkenal sebagai pakar gempa Padang dan Mentawai, Danny
Hilman dan Eko Yulianto juga datang ke puncak Gunung Lalakon.
Namun, tak seperti Engkon yang masih membuka kemungkinan bahwa batu-batu boulder
yang ditemukan seperti ditata secara sengaja, Danny dan Eko justru
berpendapat bahwa 'batu-batu bronjongan' tadi belum membuktikan
apa-apa.
"Mana yang aneh? Ini hal yang biasa dalam geologi," kata Danny kepada VIVAnews,
di puncak Lalakon, Kamis 17 Maret 2011. Menurut Danny batu-batu boulder
besar yang tersusun berjejer itu adalah endapan lahar dari gunung
berapi.
Danny menambahkan, secara sekilas, batu-batu itu bisa dikatakan merupakan joint atau kekar yang merupakan rekahan batuan yang terbentuk teratur karena pelapukan alami.
Saat ditanya komentarnya
tentang hasil uji geolistrik yang menemukan struktur yang mirip dengan
bentuk piramid, Danny mengatakan bahwa hasil uji itu tidak bisa
diinterpretasikan begitu saja. Sebab, tetap harus diuji dengan metode
lain.
"Geolistrik itu kan
pemodelan dari perekaman sifat resistivitas batuan. Tapi itu bukan
seperti uji seismik, yang memantulkan apa yang ada didalam, ini sinyal
resistivitas," kata Danny.
Sementara itu, menurut
Engkon, hasil uji geolistrik Gunung Lalakon memang seolah-olah
menunjukkan suatu struktur lapisan yang teratur. Terdapat lapisan batuan
yang keras dan lebih lunak, dan membentuk pola yang berulang.
Namun, ia mengingatkan
bahwa geolistrik hanya mengukur resistivitas batuan, tapi tidak
memastikan tipe batuan. "Boleh jadi resistivitasnya sama. Tapi belum
tentu jenis batuannya juga sama," katanya.
***
Sejak Rabu 16 Maret 2011
sore, tim Turangga Seta telah mengakhiri penggalian mereka. Selain telah
kehabisan logistik dan 'amunisi', surat ijin dari pemerintah setempat
juga telah berakhir. "Kami istirahat dulu, sambil mengumpulkan
kekuatan," kata Agung.
Selanjutnya, mereka juga
telah meminta Puslit Arkenas untuk memeriksa lokasi penggalian mereka.
Lutfi berjanji, Puslit Arkenas akan menyambangi puncak Gunung Lalakon
akhir pekan ini.
Setidaknya, dari berbagai
pendapat tadi, baik Danny Hilman, Engkon, maupun Lutfi sepakat dalam
satu hal. Idealnya memang perlu ada penggalian lebih lanjut untuk
memastikan ada tidaknya bangunan piramida di tempat itu.
Namun, Danny mengingatkan
bahwa lubang penggalian yang jaraknya sekitar 7 meter dari menara BTS,
cukup riskan. "Agak berbahaya ini," katanya. Menurut Engkon, penggalian
masih bisa dilakukan dengan membuat sebuah dinding penguat di sisi
terdekat dengan menara.
Selain itu, kata dia,
penggalian sebaiknya dilakukan terus ke bawah, tapi tidak mengarah ke
lokasi menara. Dari hasil uji geolistrik, Engkon memperkirakan struktur
batuan keras atau bangunan yang dicari-cari akan bisa ditemui sekitar 2
meter di bawah permukaan dasar lubang gali.
"Untuk memastikan hasil
uji geolistrik tadi, kita harus terus gali ke bawah. Insya Allah kita
akan menemukan batuan keras yang kita cari-cari," kata Engkon. (np)
© VIVA.co.id
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/210283-membongkar-isi-perut--gunung-piramida-
No comments:
Post a Comment