Tuesday, May 19, 2015

Penemuan Terbaru Orang Pertama di Amerika

Penemuan Terbaru Orang Pertama di Amerika


amerika
Kita dapat melihat wajah penduduk awal Amerika berkat rekonstruksi jasad seorang gadis remaja malang yang tewas terjatuh dalam sebuah gua di Yucatán, sekitar 12.000 sampai 13.000 tahun lalu. Nasib apesnya menjadi berkah bagi ilmu pengetahuan. Kisah penemuannya dimulai pada 2007, ketika tim penyelam Meksiko yang dipimpin Alberto Nava membuat penemuan mengejutkan: gua besar bawah air yang mereka beri nama Hoyo Negro, ‘lubang hitam’. Di dasar lubang itu, cahaya lampu mereka menunjukkan tumpukan tulang prasejarah, termasuk setidak­nya satu kerangka manusia yang nyaris lengkap.
Nava melaporkan penemuan itu ke Instituto Nacional de Antropología e Historia Meksiko, yang kemudian membentuk tim internasional beranggotakan ahli arkeologi dan bidang ilmu lainnya guna meneliti gua tersebut beserta isinya. Kerangka itu—dinamai Naia, dari nama peri air dalam mitologi Yunani—ternyata me­rupakan salah satu jasad tertua yang pernah ditemukan di benua Amerika, dan cukup utuh sehingga dapat dijadikan dasar untuk rekonstruksi wajah. Ahli genetika bahkan ber­hasil mengambil sampel DNA.
Tumpukan tulang tersebut dapat membantu meng­ungkap misteri asal-usul penduduk Ame­rika: Jika pribumi Amerika modern adalah ke­turunan penjelajah Asia yang bermigrasi ke Amerika di akhir zaman es terakhir, mengapa mereka tak mirip dengan moyangnya?
Berdasarkan semua data yang kita peroleh, penduduk awal Amerika merupakan orang yang keras. Penelitian kerangka Paleo-Amerika mengungkapkan bahwa lebih dari setengah lelakinya memiliki luka akibat kekerasan, dan empat dari sepuluh individu mengalami retak atau patah tulang tengkorak. Luka tersebut seperti­nya tidak berasal dari kecelakaan ber­buru, dan tidak pula mirip dengan luka perang. Sepertinya mereka sering kali baku hantam.
Kaum perempuannya tidak mengidap cedera semacam itu, tetapi perawakan mereka jauh lebih kecil daripada lelaki, serta memiliki indikasi kekurangan gizi dan kekerasan dalam rumah tangga.
Bagi arkeolog Jim Chatters, salah satu pemimpin tim peneliti Hoyo Negro, ini semua menunjukkan bahwa penduduk awal Amerika merupakan populasi yang disebutnya “tipe liar belahan utara”: berani dan agresif, lelakinya kelewat maskulin sementara perempuannya kecil dan penurut. Dan inilah, menurutnya, yang menyebabkan wajah penduduk awal benua ini terlihat begitu berbeda dengan pribumi Amerika di kemudian hari. Mereka pelopor yang biasa mengadu nasib, dan lelaki yang terkuat mendapatkan harta dan wanita. Akibatnya, sifat dan ciri mereka yang keraslah yang berkembang, mengalahkan sifat lunak dan jinak yang baru terlihat dalam populasi setelahnya yang lebih mapan.
Naia memiliki wajah khas penduduk awal Amerika serta ciri genetis yang umum ditemui pada pribumi Amerika modern. Ini menandakan bahwa perbedaan penampilan kedua kelompok itu bukan karena populasi awal digantikan oleh kelompok belakangan yang bermigrasi dari Asia, sebagaimana pendapat sebagian ahli antropologi. Namun, mereka terlihat berbeda karena penduduk awal Amerika berubah setelah mereka sampai ke benua itu.
Riset Chatters merupakan salah satu perkembangan menarik. Temuan mutakhir arkeologi, hipotesis baru, dan himpunan data genetika mengungkapkan informasi anyar me­ngenai penduduk awal Amerika serta kemungkinan cara mereka mencapai benua itu. Akan tetapi, penduduk awal benua Amerika masih terbungkus kabut misteri.
HAMPIR SEPANJANG ABAD KE-20, kita beranggapan bahwa misteri itu telah ter­pecahkan. Pada 1908, seorang koboi di Folsom, New Mexico, menemukan fosil subspesies bison raksasa yang telah punah, yang hidup di daerah itu lebih dari 10.000 tahun lalu. Kemudian, para peneliti di museum menemukan mata tombak di antara tulangnya—bukti nyata bahwa manusia telah mendiami Amerika Utara jauh lebih awal daripada yang diduga sebelumnya. Tak lama kemudian, mata tombak berusia 13.000 tahun ditemukan di dekat Clovis, New Mexico. Benda yang dikenal sebagai “mata Clovis” ini juga ditemukan di puluhan lokasi di Amerika Utara.
Asia dan Amerika Utara terhubung oleh daratan luas, yang disebut Beringia selama zaman es terakhir. Penduduk awal Amerika juga sepertinya kaum pemburu hewan besar yang selalu berpindah. Berdasarkan kedua hal tersebut, mudah untuk menyimpulkan bahwa mereka mengikuti mamut dan hewan buruan lainnya dari Asia, melintasi Beringia, dan kemudian ke selatan melalui celah yang terbuka di antara dua lapisan es besar Kanada. Dan, mengingat bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan tentang adanya penduduk Amerika sebelum pemburu Clovis, berkembanglah ortodoksi baru: Pemburu Clovislah yang merupakan penduduk awal Amerika. Beres.
Keadaan berubah pada 1997 ketika sebuah tim arkeolog terpandang mengunjungi situs di Cili selatan yang bernama Monte Verde. Di situs itu Tom Dillehay dari Vanderbilt University mengaku menemukan bukti keberadaan manusia yang berasal lebih dari 14.000 tahun yang lalu—seribu tahun sebelum pemburu Clovis muncul di Amerika Utara. Sebagaimana halnya semua klaim pra-Clovis, klaim yang satu juga menimbulkan kontroversi, bahkan Dillehay dituduh merekayasa artefak dan memalsukan data. Namun, setelah memeriksa bukti yang ada, tim pakar tersebut menyimpulkan bahwa penemuan itu sah.
Bagaimana cara mereka sampai ke Cili sebelum lapisan es di Kanada menyusut sehingga dapat dilalui para pejalan? Apakah mereka datang pada awal Zaman Es, ketika koridor ini belum tertutup es? Atau apakah mereka sampai ke pantai Pasifik dengan perahu, sama seperti cara manusia sampai ke Australia sekitar 50.000 tahun yang lalu?
Dalam 18 tahun sejak penemuan Monte Verde, belum ada yang bisa menjawab per­tanyaan ini. Namun, pertanyaan awal—Apa­kah penduduk Clovis merupakan yang terawal?—telah terjawab berulang kali, seiring ditemukannya beberapa situs di Amerika Utara yang diduga sebagai permukiman pra-Clovis. Salah satu di antaranya, situs Debra L. Friedkin di Texas tengah, bahkan mungkin menjadi lokasi awal tempat tinggal manusia di belahan bumi barat yang dapat dibuktikan.
Pada 2011, arkeolog Michael Waters dari Texas A&M University mengumumkan bahwa dia bersama timnya telah menemukan bukti permukiman besar manusia yang berasal dari 15.500 tahun yang lalu—2.500 tahun sebelum kedatangan pemburu Clovis pertama. Situs Friedkin terletak di lembah kecil, sekitar satu jam berkendara ke utara dari Austin. Di sana ada kali kecil yang kini bernama Buttermilk Creek. Kawasan itu ditumbuhi pohon rindang dengan lapisan batu rijang—jenis batuan untuk membuat peralatan—yang menjadikan daerah itu tempat tinggal selama ribuan tahun.
“Ada yang unik soal lembah ini,” kata Waters. Selama ini, diperkirakan bahwa penduduk awal Amerika terutama pemburu hewan besar, mengikuti mamut dan mastodon ke seantero benua itu. Tetapi, lembah ini merupakan tempat yang ideal bagi para pemburu dan peramu. Penduduknya mungkin makan buah dan umbi, udang dan kura-kura, dan mungkin mereka memburu hewan seperti rusa, kalkun, dan tupai. Orang yang berada di sini mungkin bukan sekadar singgah dalam perjalanan ke tempat lain; mereka bermukim di sini.
Namun, jika Waters ternyata benar bahwa sudah ada yang menetap di sana, di tengah-tengah benua Amerika, 15.500 tahun yang lalu, timbul pertanyaan kapan orang pertama menyeberang ke Dunia Baru dari Asia? Itu masih belum diketahui pasti, tetapi sepertinya pada saat bersamaan ada permukiman di beberapa wilayah lain di benua tersebut. Waters mengatakan bahwa artefak pra-Clovis yang ditemukannya di Buttermilk Creek serupa dengan artefak yang ditemukan di beberapa situs di Virginia, Pennsylvania, dan Wisconsin.
“Ada polanya,” katanya. “Saya pikir data itu jelas menunjukkan bahwa sudah ada orang di Amerika Utara 16.000 tahun yang lalu. Mungkin suatu hari nanti akan terungkap apakah itu merupakan kedatangan pertama ke Amerika, atau ada yang lebih awal.”
Terlepas dari itu, bukti arkeologi terbaru ini sejalan dengan kumpulan bukti lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, ahli genetika telah membandingkan DNA pribumi Amerika modern dengan populasi lain di seluruh dunia. Mereka menyimpulkan bahwa nenek moyang pribumi Amerika adalah orang Asia yang terpisah dari populasi Asia lainnya, dan tetap terisolasi selama sekitar 10.000 tahun. Selama waktu itu, mereka mengembangkan ciri genetis unik yang hanya dimiliki pribumi Amerika kini.
Penanda genetis ini ditemukan tidak hanya pada DNA yang diambil dari kerangka Naia, tetapi juga pada jasad seorang anak yang terkubur sekitar 12.600 tahun lalu di Montana barat, pada sebidang tanah yang sekarang disebut situs Anzick. Tahun lalu, ahli genetika Denmark Eske Willerslev melaporkan bahwa analisis DNA anak tersebut menghasilkan genom lengkap Paleo-Amerika yang pertama.
“Sekarang kita punya dua spesimen, Anzick dan Hoyo Negro, keduanya memiliki nenek moyang yang berasal dari Asia,” kata Waters. “Dan sebagaimana spesimen Hoyo Negro, genom Anzick dengan gamblang menunjukkan bahwa orang Paleo-Amerika punya hubungan genetis dengan pribumi Amerika kini.”
Meskipun beberapa pihak menyatakan sampel dua individu terlalu sedikit untuk memberikan kesimpulan, ada konsensus yang kuat bahwa penduduk awal Amerika berasal dari kawasan Asia.
Jadi, kapan dan bagaimana cara penghuni awal Dunia Baru tersebut sampai ke benua itu? Lantaran sudah ada yang sampai ke Cili selatan lebih dari 14.000 tahun yang lalu, kemungkinan besar mereka menempuh perjalanan berperahu.
Kepulauan Channel di lepas pantai California selatan merupakan tempat yang liar. Kepulauan ini menyimpan ribuan situs arkeologi, umumnya masih belum terganggu.
Di Pulau Santa Rosa pada 1959, kurator museum Phil Orr menemukan beberapa tulang manusia yang dia beri nama manusia Arlington Springs. Pada saat itu, tulang itu diperkirakan berusia 10.000 tahun. Tetapi, 40 tahun kemu­dian, peneliti yang menggunakan teknik pe­nanggalan lebih canggih memastikan usianya 13.000 tahun—salah satu tulang manusia tertua yang pernah ditemukan di Amerika.
Jon Erlandson dari University of Oregon telah menggali banyak situs di kepulauan ter­sebut selama tiga dekade. Namun, dia tidak me­nemukan artefak yang setua manusia Arlington Springs. Tetapi, dia menemukan bukti kuat bahwa orang yang menetap di sana beberapa waktu kemudian, sekitar 12.000 tahun lalu, memiliki budaya maritim yang maju.
Erlandson berpendapat bahwa penduduk Kepulauan Channel mungkin berasal dari kelompok orang yang mengikuti jalur yang disebutnya “laluan lamun”—ekosistem padang lamun yang nyaris tidak terputus yang kaya dengan ikan dan mamalia laut—dari Asia ke Amerika, mungkin singgah cukup lama di Beringia. “Kita tahu bahwa 25.000 sampai 30.000 tahun lalu di Jepang sudah ada masyarakat pelaut yang menggunakan perahu. Jadi, saya kira kita dapat membuat argumen yang logis bahwa mereka mungkin terus ke utara, mengikuti Lingkar Pasifik hingga sampai ke Amerika.”
Sangat mudah untuk membayangkan pemburu dengan perahu kecil bergerak cepat menyusuri pantai, menikmati daging yang berlimpah. Namun, imajinasi tidak bisa menggantikan bukti yang sampai sekarang belum ditemukan. Permukaan laut saat ini 90 sampai 120 meter lebih tinggi daripada penghujung zaman es terakhir, yang berarti bahwa situs pesisir purba mungkin berada puluhan meter di bawah permukaan laut dan sekian kilometer dari garis pantai saat ini.
Ironisnya, bukti terbaik migrasi pantai tampaknya ditemukan di pedalaman. Sudah ada bukti sugestif mengenai hal ini di Oregon tengah, tempat proyektil ditemukan dalam serangkaian gua, bersama bukti yang paling kasar tentang keberadaan manusia pre-Clovis di Amerika Utara: fosil tinja.
Pada 2008, Dennis Jenkins dari University of Oregon melaporkan, dia menemukan koprolit manusia, istilah arkeologi untuk tinja purba, yang berusia 14.000 hingga 15.000 tahun dalam gua dangkal yang menghadap danau purba di dekat kota Paisley. Tes DNA mengidentifikasi koprolit itu berasal dari manusia.
Jenkins menyebutkan petunjuk menarik dalam koprolit itu: biji wortel Lomatium, tanaman kecil dengan umbi yang dapat dimakan, terpendam 30 sentimeter di bawah tanah. “Orang harus tahu bahwa tanaman itu me­miliki umbi, dan dia mesti memiliki alat peng­gali,” kata Jenkins. “Menurut saya ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah lama di sini.” Dengan kata lain, orang yang tinggal di sini tidak sekadar lewat; mereka sangat mengenal tanah ini dan sumber dayanya.
Selain di Gua Paisley, hal serupa juga ditemukan di Monte Verde dan situs Friedkin di Texas. Dalam setiap kasus, pemukim tampaknya telah menetap cukup lama, menyukai lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jauh sebelum budaya Clovis mulai menyebar ke seantero Amerika Utara, di Amerika sudah ada beragam komunitas—mungkin berasal dari beberapa gelombang migrasi. Mungkin sebagian lewat laut, sebagian lewat darat. Beberapa mungkin datang dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga jejak keberadaan mereka tidak pernah ditemukan.
“Ada banyak sekali hal yang tidak kita ketahui dan mungkin tidak akan pernah kita ketahui,” kata David Meltzer, ahli arkeologi di Southern Methodist University. “Akan tetapi, kita terus menemukan berbagai cara baru untuk mencari bukti dan mengungkap informasinya.”
Mantan staf National Geographic Glenn Hodges membahas pertanyaan besar kehidupan disoundingline.org.
Hibah Society Penelitian ini didukung dengan dana yang sebagian berasal dari keanggotaan National Geographic Society Anda.

sumber: http://nationalgeographic .co.id/

No comments:

Post a Comment