Monday, November 9, 2015

Kita Semua Adalah Mutan: 60 Mutasi Baru Ditemukan dalam Pengukuran Genom

Kita Semua Adalah Mutan: 60 Mutasi Baru Ditemukan dalam Pengukuran Genom

Rabu, 15 Juni 2011 -

Masing-masing dari kita menerima setidaknya 60 mutasi baru dalam genom kita dari orangtua. Nilai mencolok ini dilaporkan dalam ukuran langsung pada mutasi baru yang berasal dari ibu dan ayah dalam genom manusia.
Untuk pertama kalinya, para peneliti telah mampu menjawab pertanyaan: seberapa banyak mutasi baru yang diterima seorang anak, dan sebagian besarnya berasal dari ibu atau ayah? Dengan menggunakan urutan keseluruhan genom dari 1000 Genomes Project, para peneliti mengukur secara langsung jumlah mutasi pada dua keluarga. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa genom manusia, seperti halnya semua genom, diubah oleh kekuatan mutasi: DNA kita diubah oleh perbedaan dalam kode yang dimiliki orangtua. Mutasi yang terjadi pada sel sperma atau telur akan menjadi mutasi ‘baru’ yang tidak dimiliki orangtua kita.
Perkiraan jumlah mutasi baru pada dua keluarga. Setiap gambar petir mewakili salah satu mutasi baru yang ditemukan pada anak: mutasi dari Ayah berwarna oranye, dan dari Ibu berwarna hijau. (Kredit: Genome Research Limited)
Meskipun sebagian besar varietas kita berasal dari perombakan gen-gen dari orangtua, mutasi baru secara utama bersumber dari variasi baru yang diambil. Mencari mutasi baru secara teknis sangat menantang karena, rata-rata, hanya 1 dalam setiap 100 juta surat DNA yang mengubah setiap generasi.
Sebelumnya, pengkuruan tingkat mutasi pada manusia dilakukan secara rata-rata pada kedua jenis kelamin atau mengukur beberapa generasi. Tidak ada yang mengukur secara spesifik mutasi baru yang diturunkan dari orangtua kepada anak di antara beberapa individu atau keluarga.
“Kami, ahli genetika manusia, telah berteori bahwa tingkat mutasi mungkin berbeda di antara jenis kelamin atau di antara orang-orang,” jelas Dr. Matt Hurles, Ketua Kelompok Senior di Wellcome Trust Sanger Institute, yang ikut memimpin penelitian dengan para ilmuwan di Montreal dan Boston, “Sekarang kami tahu bahwa, pada beberapa keluarga, mutasi yang paling mungkin timbul berasal dari ibu, sedangkan pada keluarga lainnya, kebanyakan akan timbul dari ayah. Ini cukup mengejutkan: banyak yang menduga bahwa pada semua keluarga, mutasi sebagian besar akan berasal dari ayah, ini berdasarkan penambahan jumlah penyalinan genom yang perlukan untuk membuat sperma, sebagai lawan dari telur.”
Profesor Philip Awadalla dari University of Montreal, yang juga ikut memimpin proyek ini, menjelaskan, “Saat ini, kami sudah bisa menguji teori-teori sebelumnya melalui pengembangan baru dalam teknologi eksperimental dan algoritma analisis kami. Ini memungkinkan kita menemukan mutasi baru yang bagaikan jarum sangat kecil dalam tumpukan jerami yang sangat luas.”
Temuan yang tak terduga ini diperoleh dari penelitian cermat terhadap dua keluarga yang masing-masing terdiri dari orangtua dan satu anak. Para peneliti berfokus pada mutasi baru yang terdapat dalam DNA anak yang tidak terdapat di dalam genom orangtuanya. Mereka mengamati hampir 6000 mutasi dalam urutan genom.
Mereka kemudian memilahnya menjadi dua bagian: yaitu mutasi yang terjadi selama produksi sperma atau telur orangtua, dan mutasi yang yang mungkin terjadi selama masa hidup anak: tingkat mutasi pada sperma atau telur ini penting dalam evolusi. Yang luar biasanya, pada salah satu keluarga, 92 persen mutasi berasal dari ayah, sedangkan pada keluarga kedua hanya 36 persen yang berasal dari ayah.
Hasil menarik ini belum terantisipasi dan menimbulkan banyak pertanyaan. Pada tiap kasus, tim riset hanya mengamati seorang anak tunggal, sehingga dari studi pertama ini mereka tidak bisa memastikan apakah variasi pada jumlah mutasi baru tersebut merupakan hasil dari perbedaan dalam proses mutasi di antara para orangtua ataukah perbedaan di antara sperma dan telur individu pada orangtua.
Dengan menggunakan teknik baru dan algoritma ini, tim riset dapat mengamati lebih banyak keluarga lagi untuk menjawab teka-teki baru tersebut, juga mengatasi masalah seperti dampak usia tua dan paparan lingkungan yang berbeda pada tingkat mutasi baru, yang mungkin mempengaruhi calon orangtua.
Yang sama luar biasanya, jumlah mutasi yang diturunkan salah satu orangtua pada seorang anak ternyata bervariasi di antara para orangtua sebanyak sepuluh kali lipat. Seseorang dengan tingkat mutasi alami yang tinggi mungkin beresiko lebih besar mengalami kesalahan diagnosis penyakit genetik, karena sampel yang digunakan untuk diagnosis mungkin berisi mutasi yang tidak terdapat dalam sel-sel lain di dalam tubuhnya: kebanyakan sel mereka tidak akan berefek.

 
Jurnal: Donald F Conrad, Jonathan E M Keebler, Mark A DePristo, Sarah J Lindsay, Yujun Zhang, Ferran Casals, Youssef Idaghdour, Chris L Hartl, Carlos Torroja, Kiran V Garimella, Martine Zilversmit, Reed Cartwright, Guy A Rouleau, Mark Daly, Eric A Stone, Matthew E Hurles, Philip Awadalla. Variation in genome-wide mutation rates within and between human families. Nature Genetics, 2011; DOI:10.1038/ng.862

Sumber:
http://www.faktailmiah.com/2011/06/15/kita-semua-adalah-mutan-60-mutasi-baru-ditemukan-dalam-pengukuran-genom.html

 

Ulang Tahun DNA Ke-60

Ulang Tahun DNA Ke-60

SENIN, 20 MEI 2013 | 07:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- PADA 25 April 1953, Francis Crick dan James Watson menerbitkan makalah satu halaman yang diyakini bakal membawa revolusi dalam penelitian di bidang biologi. Berbekal karya Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins, mereka menemukan struktur dua ulir DNA, yang membukakan jendela bagaimana organisme mewarisi dan menyimpan catatan-catatan biologis. Tapi, 60 tahun kemudian, apakah penemuan mereka telah benar-benar membawa dampak transformatif yang diharapkan dunia ini?

Media menandai ulang tahun ke-60 diterbitkannya makalah itu dengan gegap gempita, mengelu-elukannya sebagai terobosan yang “mengusung era genetika,” dan menamakannya sebagai “salah satu penemuan ilmiah paling penting sepanjang masa”. Koran Inggris, The Guardian, memasang kepala berita “Selamat Ulang Tahun DNA! Momen Emas yang Telah Mengubah Segalanya.”

Dalam beberapa hal, mereka benar. Penemuan itu membentuk basis genetika dan membuka wilayah penelitian baru yang menjanjikan, seperti biologi sintetis, di mana sistem-sistem biologis diciptakan dan dimodifikasi untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Begitu juga, ia telah memperlancar inovasi-inovasi penting, seperti pengobatan kanker farmakogenetis, di mana kelainan-kelainan tertentu dalam kanker menjadi sasaran obat.

Selain itu, DNA telah memperoleh nama yang mistis dalam budaya populer. Menurut Dorothy Nelkin dan Susan Lindee, DNA telah menjadi entitas yang dikeramatkan—setara dengan roh Kristen zaman ini, suatu esensi individu. Walaupun beberapa bentuk determinisme biologis, seperti kepercayaan bahwa ras atau gender menentukan nasib seseorang, telah ditolak secara luas, ide bahwa seseorang bisa secara genetis cenderung, katakan, suka berutang, menjadi diktator yang kejam, atau setia ikut memberikan suara dalam suatu pemilihan tetap diterima dalam masyarakat.

Tapi, nyaris dari awal—dan paling intens sejak 1971, ketika majalah Time menerbitkan kolom khusus berjudul The New Genetics: Man into Superman—sains dan masyarakat sama-sama cenderung terlalu membesar-besarkan dampak genetika. Ketika Human Genom Project menerbitkan konsep pertama genom manusia yang sepenuhnya berentet pada 2000, Henry Gee, editor jurnal Nature, meramalkan bahwa ilmuwan akan mampu “mengubah seluruh organisme sesuai dengan kebutuhan dan selera kita” menjelang 2099. “Kita bakal memiliki ekstra-kaki dan tangan bila kita menghendakinya,” demikian katanya, “mungkin bahkan sayap untuk terbang.”

Tiga belas tahun kemudian, ramalan Gee semakin tidak mungkin terjadi, dengan gagalnya Human Genom Project memenuhi harapan. Pada 2010, penulis sains Nicholas Wade mengeluh, sepuluh tahun setelah diluncurkannya proyek itu, para pakar genetika “nyaris kembali ke titik awal dalam pencarian akar penyakit-penyakit yang biasa”.

Misalnya, studi yang dilakukan selama 12 tahun terhadap 19 ribu orang wanita kulit putih Amerika menemukan bahwa 101 tanda genetis yang secara statistik dikaitkan dengan penyakit jantung ternyata tidak memiliki nilai prediktif. Sebaliknya, catatan medis yang dilaporkan sendiri oleh keluarga terbukti sangat akurat dalam memprediksi penyakit.

Sebenarnya, kebanyakan penyakit tidak disebabkan oleh satu gen saja. Walhasil, setelah mencapai kesuksesan awal dengan penyakit-penyakit khas satu gen, seperti penyakit Huntington, kemajuan selanjutnya macet. Varian-varian biasa tidak banyak menjelaskan risiko genetis yang ada.
Genetika menjadi sumber harapan yang sangat tinggi bila menyangkut pengobatan kanker. Antara 1962 dan 1985, angka kematian terkait dengan kanker di Amerika Serikat meningkat 8,7 persen kendati digunakannya kemoterapi dan terapi radiasi yang agresif, yang menunjukkan bahaya pendekatan satu ukuran untuk semua dalam pengobatan kanker. Pemahaman penentu genetis dari respons yang ditunjukkan pasien, demikian diyakini, bakal memungkinkan dokter mengembangkan program pengobatan secara individu sehingga membebaskan lebih banyak pasien yang responsif dari pengobatan berlebihan yang berbahaya.
Tapi pasien bukan satu-satunya variabel. Kanker juga bersifat heterogen, bahkan pada pasien dengan diagnosis yang sama. Setelah merentetkan seluruh genom tumor kanker payudara dari 50 pasien, para peneliti menemukan bahwa hanya 10 persen dari tumor itu mengandung lebih dari tiga mutasi yang sama. Menurut studi baru-baru ini yang memetakan mutasi genetis pada 2.000 tumor, kanker payudara sebenarnya bisa dibagi menjadi sepuluh sub-kelompok.
Begitu juga, analisis sel ganas keseluruhan genom dari empat pasien kanker ginjal menunjukkan bahwa, sementara sel-sel itu terkait satu sama lain, ia telah bermutasi ke beberapa arah. Dua pertiga dari kelainan genetis yang diidentifikasi ternyata tidak berulang pada tumor yang sama, apalagi dalam tumor lainnya yang sudah disebarkan ke beberapa bagian tubuh lainnya melalui tindak metastasis. Mengingat target obat farmakogenetis itu hanya satu mutasi dalam tumor, maka ia tidak mesti ampuh juga pada mutasi lainnya. Di samping itu, sementara kanker menyesuaikan diri dengan obat, mutasi selanjutnya mungkin terjadi, sehingga menurunkan daya ampuh obat.
Yang jelas, farmakogenetika telah membawa perubahan yang dalam bagi sementara pasien. Barbara Bradfield, salah seorang subyek awal dalam uji coba obat kanker farmakogenetis Herceptin, sudah berada dalam keadaan stabil selama lebih dari 20 tahun berkat memakan obat itu. Tapi kisah keberhasilan ini terlalu jarang terjadi untuk dinamakan “era emas” genetika.
Tingginya harga obat ini membatasi dampak baiknya juga. Penggunaan Herceptin bisa menelan biaya sampai US$ 40 ribu per tahun, sedangkan obat-obat yang lebih baru bahkan menelan biaya yang lebih besar, sehingga obat kanker yang baru itu sangat mahal bagi sebagian besar pasien.

Mahkamah Agung AS baru-baru ini dihadapkan pada persoalan apakah gen bisa dipatenkan. Jika pengadilan mengesahkan paten yang diklaim perusahaan biologi Myriad Genetics atas dua gen yang, dalam beberapa varian, terkait dengan risiko tinggi kanker payudara dan indung telur, perusahaan ini bakal memegang hak eksklusif penggunaan gen-gen itu dalam penelitian, diagnosis, dan pengobatan selama dua dekade, sehingga menutup pintu bagi perusahaan-perusahaan pesaing dalam mengembangkan obat-obat alternatif. Wanita sudah tidak bisa memperoleh akses tes diagnostik yang mereka perlukan, karena perusahaan asuransi menolak membayar harga yang tinggi yang dikenakan perusahaan tersebut.
Perusahan-perusahaan farmasi mengklaim bahwa paten-paten, yang sekarang meliputi 25-40 persen dari genom manusia, vital bagi mereka untuk mengembalikan investasi yang telah mereka tanamkan. Tapi paten-paten semacam ini merusak perayaan “ulang tahun” DNA bagi pasien yang bakal menarik manfaat dari hasil penelitian genetis—jika saja mereka bisa memperolehnya dengan harga yang terjangkau.


Donna Dickenson, Guru Besar Emeritus Etika Kedokteran dan Humaniora pada University of London, pengarang buku Me Medicine vs. We Medicine yang segera diterbitkan


Hak cipta: Project Syndicate, 2013.

Sumber;
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/05/20/722/ulang-tahun-dna-ke-60
 

“Brain Gain” Ilmuwan China dan Nasib Eijkman

“Brain Gain” Ilmuwan China dan Nasib Eijkman

Ketika menonton DVD film Cuba produksi tahun 1979 yang dibintangi aktor Sean Connery, masih terngiang ucapan ”kita membutuhkan otak” yang diucapkan Fidel Castro saat diktator Presiden Fulgencio Batista menyingkir meninggalkan Bandara Havana pada awal tahun 1959. Itu diucapkan Castro untuk mencegah pembantaian tentara pendukung Batista.
Tak urung ribuan ilmuwan, dokter, dan warga terdidik Kuba lari ke Amerika Serikat. Kuba pun mengalami brain drain. Namun, riset dasar biologi molekuler dan terapannya di Kuba kini berkembang pesat dan bermuara pada temuan aneka produk bioteknologi farmasi.
China dan India pun sudah berdekade-dekade mengalami brain drain seperti Kuba pasca-Revolusi Castro. Namun, situasi mulai berbalik di kedua negara itu menyusul peningkatan luar biasa ekonomi mereka. Fenomena kebalikan brain drain ini dapat disebut sebagai brain gain.
Khusus untuk China, simak saja laporan International Herald Tribune (7/1/2010) di halaman 1 yang berjudul ”China’s Prodigal Scientists Return”. Salah satu ilmuwan asal China yang memperoleh posisi amat terhormat di AS, tetapi rela balik ke negeri asalnya adalah Shi Yigong (42).
Ia adalah ahli biologi molekuler Universitas Princeton. Riset Shi tentang bagaimana sel-sel yang rusak atau tak berguna mati secara alami telah membuka suatu jalur baru riset di bidang pengobatan kanker. Karena itu, ketika tahun 2008 ia diumumkan memperoleh dana hibah riset sebesar 10 juta dollar AS dari Howard Hughes Medical Institute di Maryland yang amat prestisius, para ilmuwan AS tak ada yang kaget. Orang baru amat kaget saat mengetahui bahwa Shi menolak dana riset itu dan mengundurkan diri sebagai dosen Princeton untuk menjadi Dekan Fakultas Sains Universitas Tsinghua di Beijing.
Padahal, Shi sudah menjadi warga negara AS dan tinggal di negara itu selama 18 tahun. Apalagi, sebagai mahasiswa Universitas Tshinghua, Shi pada tahun 1989 ikut dalam demo prodemokrasi di Lapangan Tiananmen. Karena itu, tak heran jika kecurigaan dan kecemburuan terhadap Shi tetap ada. Untunglah, Mei 2008, Shi diundang bicara tentang masa depan sains dan teknologi China di depan Wakil Presiden Xi Jinping dan para petinggi pemerintah di Zhongnanhai, kantor pusat pemerintah dan Partai Komunis RRC.
Selain Shi Yigong, masih ada lagi Rao Yi (47) ahli biologi yang pada tahun 2007 meninggalkan Universitas Northwestern untuk memimpin departemen sains di Universitas Beijing. Ada pula Wang Xiaodong, seorang peneliti Southwestern Medical Center Universitas Texas di Dallas, yang hijrah ke Lembaga Ilmu-ilmu Biologi Nasional di Beijing.
Kebetulan Pemerintah China juga menggenjot dana riset di dalam negeri. Tak heran jika dalam satu dekade terakhir jumlah publikasi ilmiah ilmuwan China berlipat empat kali, hingga tahun 2007 jumlahnya menduduki peringkat kedua setelah AS. Sekitar 5.000 ilmuwan China terlibat dalam riset nanoteknologi, ini menurut buku baru China’s Emerging Technological Edge yang ditulis Cong Cao dan Denis Fred Simon, dua peneliti tentang China yang berbasis di AS.
Perlunya ”critical mass”
Tentang baliknya ilmuwan seperti Shi Yigong dan Rao Yi ke China, Cong Cao berkomentar, ”Perjuangan mereka pasti amat berat, seperti pertempuran mendaki bukit. Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan hebat. Namun, mereka harus menciptakan suatu critical mass untuk mereformasi sistem. Jika mereka tidak melakukan reformasi, mereka akan hengkang lagi.”
Menciptakan critical mass; itulah yang dilakukan Shi di Tsinghua. Kurang dari dua tahun ia sudah menarik 18 orang pascadoktor, hampir semuanya dari AS. Dalam satu dekade ia berharap kekuatan staf Fakultas Sains Tsinghua akan berkembang empat kali lipat.
Tentang reformasi birokrasi di bidang sains di China, itulah pula yang diteriakkan Rao Yi. Ia bahkan mengusulkan, kalau perlu, Kementerian Ristek China dibubarkan.
Menurut Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Pemerintah China dengan kemampuan finansialnya yang amat kuat memang secara terencana memanggil balik warga terdidik kelahiran China yang menetap di luar negeri. ”Jika para ilmuwan AS asal China banyak yang balik ke China, ini akan menjadi malapetaka bagi dunia ilmu AS,” katanya.
Bagaimana dengan nasib Lembaga Eijkman sendiri? Seperti halnya Shi Yigong, Sangkot yang sudah mapan di Universitas Monash, Australia, pada tahun 1993 rela balik ke Jakarta untuk menghidupkan Lembaga Eijkman setelah bertemu dengan Menristek BJ Habibie tahun 1990. ”Tahun 1995, ketika Eijkman diresmikan oleh Presiden Soeharto, dijanjikan akan dijadikan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND), tetapi sampai sekarang belum juga terwujud. Mudah-mudahan Eijkman akan menjadi LPND karena sudah didukung oleh Menristek dan Menkes yang baru,” tuturnya.
Lembaga Eijkman ketika mulai beroperasi tahun 1995 mempunyai 75 peneliti dan diproyeksikan tahun 2000 akan menjadi 150 peneliti. Namun, krisis ekonomi tahun 1998 membuat Eijkman sempat mengalami brain drain dan tahun 2004 nyaris ditutup karena minimnya anggaran. Syukurlah bom di depan Kedubes Australia, Jakarta, tahun 2004 menyelamatkan Eijkman karena terbukti para ilmuwannya mampu dalam tempo 13 hari mengidentifikasi Heri Golun sebagai pelaku.
Kini jumlah peneliti di Lembaga Eijkman kembali mencapai di atas 100 orang. Riset yang digeluti Eijkman berpusat di bidang malaria, demam berdarah, flu burung, hepatitis, forensik, penyakit genetik talasemia, dan pemetaan genetika populasi untuk kepentingan metabolisme obat dan merunut asal-usul penduduk Nusantara.
Akan ideal jika seandainya lembaga riset dasar seperti Eijkman menyatukan upaya bersama industri, seperti Biofarma atau Kimia Farma, untuk memproduksi vaksin flu burung, vaksin hepatitis B, dan lain-lain.
Kalau Kuba saja bisa, mengapa kita tidak? Jika China menguasai hardware dan India software, kita tentu tak ingin hanya bisanya nowhere….
Rabu, 13 Januari 2010 | 03:43 WIB


Sumber:


Penelitian Genetika Manusia Indonesia Sudah Capai 60 Persen

Penelitian Genetika Manusia Indonesia Sudah Capai 60 Persen

Kamis, 3 September 2015 | 20:45 WIB
National GeographicIlustrasi Genom Manusia
KOMPAS.com - Setelah mengambil sampel darah masyarakat Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, tim peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman beralih ke warga Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Hal itu bertujuan meneliti asal usul keragaman genetika terkait kerentanan pada penyakit dan migrasi nenek moyang Indonesia.

"Penelitian tentang genetika masyarakat Indonesia sudah mencapai 60 persen. Kini kami akan ambil sekitar 100 sampel darah warga Kei," kata Ketua Tim Peneliti dari Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo, Rabu (2/9/2015), di Tual, Maluku. Tim peneliti telah mengambil sampel darah 106 warga Tanimbar dari sejumlah desa pada 27- 31 Agustus lalu.

Direktur Complexity Institute Nanyang Technogical University- Singapura John Stephen Lansing, yang mengikuti riset itu, mengatakan, selain meneliti genetika, tim melacak asal usul manusia Indonesia melalui bahasa. "Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Kei punya posisi penting untuk melihat pemetaan migrasi manusia di Indonesia secara keseluruhan. Wilayah itu ada di pertemuan masyarakat berbahasa Papua dengan yang berbahasa Austronesia," ujarnya.

Secara mikro, riset di Kepulauan Tanimbar dan Kei itu diharapkan memberi petunjuk tentang asal usul dan migrasi masyarakat di dua kepulauan itu. "Misalnya, ada kepercayaan di masyarakat Kei bahwa nenek moyang asal Bali. Apakah benar? Itu nantinya bisa dibuktikan melalui jejak genetika mereka setelah hasilnya dikaji di laboratorium Eijkman," ucapnya.

Keragaman etnis

Menurut Lansing, ada arus utama pendapat di kalangan peneliti bahwa penutur Austronesia yang menghuni Indonesia bermigrasi dari Taiwan sekitar 5.000 tahun lalu. Namun, ada juga sebagian ilmuwan yang memercayai bahwa Nusantara justru asal dari penutur Austronesia.

"Banyak pertanyaan belum terjelaskan tentang asal usul manusia Indonesia dan bagaimana migrasinya. Studi genetika ini membantu menjawabnya. Namun, yang jelas, sebelum kedatangan masyarakat Austronesia dipercaya ada manusia modern yang menghuni kepulauan Nusantara," kata Herawati.

Penelitian genetika manusia Indonesia telah dilakukan Eijkman sejak tahun 1996. Populasi yang sudah diteliti adalah sebagian besar etnis di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Adapun Provinsi Maluku baru mulai dilakukan. "Dari penelitian ini, kami telah menemukan beberapa unsur genetika masyarakat Indonesia secara makro," kata Herawati.

Temuan itu antara lain mayoritas masyarakat Indonesia memiliki motif genetik Austronesia, sebagian kecil Austroasiatik, Papua, dan India. "Motif Papua ada di hampir semua etnis yang diteliti di Indonesia meski jumlahnya amat kecil, kecuali di Mentawai dan Nias yang murni Austronesia," ujarnya.

Adanya motif genetika Papua di hampir seluruh etnis masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa Papua lebih dulu menghuni pulau-pulau sebelum kedatangan masyarakat Austroasiatik dan warga berbahasa Austronesia. "Masyarakat Papua kemungkinan tiba di Nusantara dari Afrika melalui India belakang, lalu menyebar hingga Australia 50.000 tahun lalu, dibuktikan dari jejak arkeologi di Australia. Sementara masyarakat Austroasiatik belum diketahui kapan tiba di Nusantara," kata Herawati.

Guru besar bidang genetika itu menambahkan, meski secara makro sudah bisa dipetakan keragaman genetika yang menyusun masyarakat Indonesia saat ini, secara mikro masih banyak hal harus diperjelas. "Di setiap etnis, keragaman tinggi. Misalnya, Minangkabau dan Batak, di dalamnya amat beragam," katanya.

Setelah pola genetika masyarakat diketahui, tantangan ke depan adalah mengetahui kerentanan dan daya tahan masyarakat di Indonesia terhadap penyakit genetika tertentu sesuai etnisnya. Setiap etnis memiliki kecenderungan berbeda. Misalnya, ada etnis yang cenderung resisten atau kebal terhadap malaria ataupun penyakit lain. (AIK)
Editor: Yunanto Wiji Utomo
Sumber: Harian Kompas
  Sumber:  http://sains.kompas.com/read/2015/09/03/20450001/Penelitian.Genetika.Manusia.Indonesia.Sudah.Capai.60.Persen