Situs Cibalay: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak
Situs Cibalay: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak
Memulai Perjalanan
Pagi, 13 November 2011, langit Bogor cerah-sejuk-berawan. Biasanya, di bulan-bulan penghujan, cuaca seperti ini berakhir dengan hujan di sore harinya. Hari ini, saya dan komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya akan mengunjungi Situs Punden Berundak Cibalay atau dikenal juga dengan nama Citus Arca Domas Cibalay. Situs ini terletak di Kampung Cibalay, Desa Tapos, Kec. Tenjolaya, Kabupaten Bogor.
Untuk sampai ke Situs Cibalay, kita dapat menggunakan dua rute yang berbeda. Rute pertama: Bogor-Ciapus-Curug Luhur-Terminal Faten. Rute kedua: Bogor-Darmaga-Ciampea-Cinangneng-Terminal Faten.
Setelah bertemu di depan BTM (Bogor Trade Mall) dengan beberapa teman yang sama-sama akan berangkat bernapak tilas, akhirnya saya memutuskan tetap bersepeda motor menuju tempat tujuan, sedangkan keenam rekan saya berangkat dengan menggunakan angkot.
Ketika hampir sampai di tujuan, saya bertemu dengan Kang Hendra (pupuhu Napak Tilas) dan Kang Isak (juru pelihara Museum Pasir Angin) di sebuah warung. Setelah berbincang sejenak, saya dan Kang Hendra akhirnya berboncengan menuju vila milik mantan gubernur DKI Jakarta, Soetiyoso, sedangkan Kang Isak menyusul kemudian.
Satu demi satu peserta napak tilas berdatangan di depan Vila Soetiyoso. Setelah semuanya berkumpul, Kang Hendra melakukan pengarahan seputar situs yang akan dikunjungi, jalan yang akan dilalui, dan tata tertib selama kunjungan.
Akhirnya perjalanan dimulai melalui jalan setapak di tanah milik Jenderal (Purn) Wiranto hingga batas wilayah Perhutani. Jalanan yang dilalui berupa jalan setapak agak legok yang hanya bisa dilalui oleh satu orang secara beriringan. Jalanan yang agak menanjak cukup membuat napas beberapa orang agak tersengal-sengal. Sesekali ada yang berhenti dan menarik napas panjang kemudian melanjutkan perjalanan.
Situs Pasir Manggis
Setelah berjalan ngaleut kurang lebih 2 km, kami tiba di Situs Punden Pasir Manggis I dan II. Kedua situs ini terletak di lereng Gunung Salak, menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang, berukuran 5x3 meter, dan orientasinya menghadap ke utara. Tidak kurang 14 menhir berbagai ukuran terdapat di atas ketiga undakannya. Adapun Punden Pasir Manggis II terletak agak ke bawah dari Punden Pasir Manggis I. Punden yang terdiri atas hanya satu teras ini tampak sudah tidak utuh lagi. Banyak batu penyusunnya yang sudah hilang. Batu menhirnya pun tinggal dua buah.
Selanjut, perjalanan dilanjutkan menuju Situs Cibalay dengan melewati jalan setapak terjal-menurun. Rapatnya pepohonan membuat perjalanan agak tersendat. Disebabkan curam dan licinnya jalan yang dilalui, satu-dua rekan kami beberapa kali terpeleset dan jatuh. Satu rekan kami terpaksa nyeker karena tali sandalnya terlepas.
Setelah melewati jalan yang cukup datar, akhirnya kami sampai di Situs Cibalay atau yang dikenal selama ini dengan nama “Situs Megalitik Arca Domas”.
Situs Cibalay
Di Tanah Sunda terdapat tiga tempat yang dikenal dengan menggunakan nama Arca Domas: Arca Domas Cikopo di kaki Gunung Pangrango, Arca Domas di Baduy Banten yang masih menjadi tempat pemujaan orang-orang Baduy, dan Arca Domas Cibalay Tenjolaya.
Sebenarnya, penamaan “Situs Megalitik Arca Domas” untuk Situs Cibalay ini salah kaprah karena di situs Cibalay ini belum pernah dilaporkan keberadaan arca. Yang ada hanyalah kompleks punden berundak.
Situs Cibalay menempati area yang cukup luas, sekitar empat hektar, dan merupakan salah satu punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utamanya ada di undakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya.
Situs ini pertama kali dilaporkan oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844), lalu Muller (1856), dan terakhir oleh N. J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst tahun 1914. Tak pelak situs ini pun sering kali jadi objek penelitian, baik oleh arkeolog, maupun mahasiswa arkeologi. Sayangnya hasil-hasil penelitiannya belum tersaji untuk masyarakat umum.
Situs Cibalay merupakan situs yang cukup populer dan paling sering dikunjungi oleh masyarakat. Karena banyaknya kepentingan pribadi pengunjung yang tidak sejalan dengan aspek pemeliharaan benda cagar budaya (BCB) yang dilindungi undang-undang, situs ini banyak mengalami gangguan dan juga perusakan. Sebagai contoh: tahun 2008 pernah sekelompok orang membuat prasasti (palsu) dan ditempatkan di situs ini, padahal sebelumnya di tempat ini tidak pernah ditemukan batu prasasti. (Hendra M. Astari,http://www.facebook.com/groups/110546372300285/291569410864646/?ref=notif¬if_t=group_activity)
Di area ini, batu-batu menhir dan dolmen berpencaran. Ada yang berdekatan, ada pula yang berjauhan. Belum semua situs yang ada di area itu dikelola dan diteliti. Di area utama, puncak bukit, disebut ”pusar” (bahasa sunda=bujal). Di tengah-tengahnya ada batu tegak berbentuk segi tiga. Susunan batu-batu terhampar melingkari batu segi tiga tersebut. Diameter lingkaran sekitar 3 atau 4 meter.
Di dekat situs, masih dalam lingkungan, ada empat saung berbale-bale. Walaupun hanya terbuat dari bilik bambu, saung-saung itu bersih dan rapi. Di belakang saung-saung ada lembah yang di bawahnya terdapat pancuran air.
Melihat kenyataan banyaknya situs punden berundak di kawasan ini yang saling berdekatan, diperkirakan masih banyak situs punden berundak yang belum ditemukan di daerah ini. Ini juga memberikan gambaran bahwa pada zaman prasejarah (jauh sebelum zaman Kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran), kawasan ini pernah menjadi pusat sebuah kebudayaan besar.
Sepintas tentang Punden Berundak
Punden berundak merupakan contoh struktur tertua buatan manusia yang tersisa di Indonesia. Beberapa dari struktur tersebut bermasa lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Punden berundak bukan merupakan “bangunan”, melainkan pengubahan bentang-lahan atau undak-undakan yang memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah, bahan pembantunya batu; menghadap ke anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak.
Penulis-penulis pertama tentang Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh R. von Heine-Geldern, berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua tahap kebudayaan megalitik di Indonesia yang berkaitan dengan perpindahan penduduk di Asia. Punden berundak dan menhir dipercaya termasuk tahap yang lebih awal dari zaman Neolitikum. Pendekatan ini sesuai dengan kelompok difusionis (ajaran penyebaran) yang berpremis bahwa budaya Asia Tenggara mengalami kemunduran rangsangan dari luar, tidak lebih giat menuntut pembaharuan budaya.
Penafsiran arsitektur bentang-lahan prasejarah Indonesia telah diabaikan secara besar-besaran, sebagian karena perubahan tanggapan mengenai peran orang Indonesia dalam membangun kebudayaannya sendiri, juga karena banyaknya situs berundak yang diperkirakan berawal pada zaman prasejarah telah memberikan bukti digunakan di waktu lebih kini. Sangat sulit membuat kesimpulan mengenai umur situs yang mengalami perubahan sejak kali pertama dibangun.
Ada kemungkinan, beberapa punden berundak sudah ada sejak zaman prasejarah bila mempertimbangkan keberadaan struktur serupa di Polynesia. Marae dari kepulauan Pasifik barat merupakan ungkapan kearsitekturan dari kepercayaan budaya yang sama seperti punden berundak Indonesia. Penduduk kedua wilayah kepulauan ini berbahasa Austronesia, yang mulai mendiami Indonesia dan pulau di Pasifik sejak 5.000-7.000 tahun yang lalu. Punden merupakan kosakata Jawa, secara harfiah bermakna “terhormat”. Kini, sering dipakai pada tempat khusus di dekat desa, kerapkali di atas bukit dan dikaitkan dengan roh-roh pendiri desa. Kadang-kadang bangunan kubur bergaya Islam didirikan di atasnya.
Berundak berarti “bertingkat”. Contoh peninggalan yang terawat ditemukan di dataran tinggi Jawa Barat. Salah satu situs terluas, Gunung Padang, muncul kepermukaan pada tahun 1979. Situs yang berada di puncak bukit berketinggian 885 m ini terdiri atas lima undakan, yang terluas di antaranya berukuran 28 x 40 m. Gunung Padang dianggap istimewa karena menggunakan ribuan balok basal yang alami atau dibuat secara sengaja. Penggalian situs ini yang dilakukan pada tahun 1982 oleh Dra. Bintarti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan alat pecah belah sederhana yang terbuat dari tanah. Tidak ditemukan bukti adanya kuburan. Situs ini mungkin merupakan pusat penyembahan dengan monolit yang dinyatakan sebagai rumah leluhur.
Situs ditata sepanjang sumbu barat laut-tenggara, ditentukan oleh topografi setempat. Tidak ada usaha untuk mengarahkan ke mata angin atau petunjuk yang dapat dilihat secara signifikan, seperti Gunung Karuhun (gunung leluhur) yang mudah dilihat. Gunung Padang terbebas dari gangguan penduduk saat ini, tidak seperti situs punden berundak lain di Jawa yang telah didirikan “kuburan Islam” atau menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan upacara keagamaan.
Punden berundak lain di Jawa Barat adalah Arca Domas ‘sembilan undakan’, yang terletak di daerah Baduy, dan Lemah Duhur dengan lima undakan di ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Walaupun beberapa kubur baru dibangun di sini, situs ini tampak terpelihara.
Wilayah lain tempat punden berundak berkembang meliputi Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatra Selatan, dan Nias. Di daerah Pasemah, Sumatra Selatan, Dr. haris Sukendar mengenal jenis “kubur berundak”, paduan punden berundak dan kubur pra-Islam. Di Nias, bangunan berundak dan menhir masih digunakan.
Situs zaman Klasik Akhir berdasarkan punden berundak juga ditemukan di sejumlah gunung di Jawa, meliputi Lawu, Muria, Penanggungan, Arjuna, Welirang, dan Argapura. Hampir semua contoh ini digunakan antara tahun 1.000 dan 1.500 Masehi. Dr. Hariani Santiko yang mempertanyakan kemungkinan bangunan ini berakar pada zaman prasejarah mengusulkan bahwa bangunan tersebut justru merupakan lambang Sunung Semeru. Kemungkinan menyesuaikan penafsiran tersebut ada; bagi orang Jawa, Gunung Semeru dapat secara mudah dihubungkan dalam kepercayaan purba pada gunung keramat.
Punden berundak di Bali berjumlah banyak. Situs utama meliputi Panebel, Tenganan, Selulung, Kintamani, dan Sambiran. Miniatur punden berundak yang masih digunakan dalam ibadah saat ini ditemukan di dua pura dalem di Sanur. Satu dari pura di Bali yang palaing penting yaitu pura Besakih, dapat dilihat sebagai punden berundak.
Masalah utama bagi ilmuwan yang tertarik mengetahui perlambang punden berundak di Indonesia dan pengaruhnya pada sejarah kearsitekturan adalah penanggalannya. Tidak terdapat penanggalan awal (yakni proto-sejarah) yang pasti untuk berbagai bagian punden berundak. Kendala ini harus dapat diatasi agar penelitian dapat berkembang. Saat ini tidak mungkin memetakan tahap perubahan bentuk arsitektur bentang-darat pada masa lebih dari 2.000 tahun.
Bogor, 13 November 2011
https://www.facebook.com/notes/kang-dadi-t%C3%A9a/situs-cibalay-jejak-tradisi-megalitik-di-gunung-salak/10150350810961082
No comments:
Post a Comment