Tuesday, January 5, 2016

Atlantis: Kota yang hilang ada di Laut Jawa




ATLANTIS
 Kota yang hilang ada di Laut Jawa 
Oleh: Dhani Irwanto

Atlantis: Kota yang hilang ada di Laut Jawa


Kisah Atlantis 
Kisah Atlantis datang kepada kita dari Timaeus dan Critias, dialog Socrates, yang ditulis pada sekitar 360 SM oleh Plato. Ada empat orang di suatu pertemuan yang telah bertemu hari sebelumnya mendengarkan Socrates menggambarkan mengenai negara yang ideal. Socrates ingin Timaeus dari Locri, Hermocrates, dan Critias untuk menceritakan kisah-kisah tentang interaksi Athena dengan negara-negara lain. Yang pertama adalah Critias, yang berbicara tentang pertemuan kakek moyangnya dengan Solon, salah satu dari tujuh orang bijak, seorang penyair Athena dan penata hukum yang terkenal. Solon pernah ke Mesir dimana pendeta disana membandingkan Mesir dengan Athena, dan bercerita tentang dewa-dewa dan legenda masing-masing. Salah satu kisah pendeta Mesir tersebut adalah tentang Atlantis.

Atlantis, yang kemungkinan adalah sebuah legenda mengenai bangsa dan daratan dan disebutkan dalam dialog Plato Timaeus dan Critias, telah menjadi obyek daya tarik di kalangan filsuf Barat dan sejarawan selama hampir 2.400 tahun. Plato (ca 424 - ca 328 SM) menggambarkannya sebagai kerajaan yang kuat dan maju yang tenggelam, di malam hari, kedalam laut sekitar 9.600 SM.

Plato (melalui karakter Critias dalam dialog-dialognya) menggambarkan Atlantis sebagai daratan yang lebih besar dari gabungan Libya dan Asia Kecil, terletak tepat di sebelah Pilar Herkules. Atlantis memiliki budaya yang canggih dan diduga memiliki konstitusi mirip dengan yang diuraikan dalam "republik"-nya Plato. Mereka dilindungi oleh dewa Poseidon, yang mengangkat anaknya Atlas menjadi raja pertama dan memberi nama daratannya Atlantis. Setelah Atlantis tumbuh kuat, etika mereka menurun. Tentara mereka dapat menaklukkan Afrika sejauh Mesir dan Eropa sampai Tirenia (Lebanon sekarang) sebelum dihalau kembali oleh aliansi yang dipimpin oleh Athena. Kemudian, atas kutukan dewa, daratan itu dilanda gempa bumi dan banjir, dan tenggelam ke dalam laut yang berlumpur.

Menurut Critias, Solon dalam menuliskan puisinya perlu mengartikan nama-nama dalam bahasa dan pengetahuan masyarakat Athena pada masa itu; dan ketika menyalin nama-nama itu kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Yunani. Jadi, nama-nama termasuk Poseidon, Herkules, Atlas, Athena, Mesir, Libya, Tirenia dan Eropa adalah nama-nama terjemahan dari nama asli yang menurut Critias masih disimpannya. 

The Republic, sebuah karya seminal Plato yang lain, menguraikan tentang ideologi sebuah negara yang sempurna, dimana penguasanya adalah para filsuf. Karya tersebut ditulis pada awal tahun dimana Plato mendirikan sebuah akademi pada ca 386 SM. Lembaga ini pada dasarnya adalah jawaban Plato atas situasi kebobrokan politik pada saat itu, untuk melatih para filsuf agar menjadi penguasa Athena di kemudian hari. Dialog Critias adalah respon langsung Plato terhadap ambisi Socrates mengenai sebuah negara yang ideal, yang tentu saja adalah "republik"-nya Plato. Intinya, kisah Atlantis menjadi sebuah ilustrasi tentang bagaimana sebuah negara yang ideal, dalam hal ini adalah Athena, untuk melawan negara tetangganya yaitu Atlantis. Dengan demikian, dialog Timaeus dan Critias yang mencakup kisah mengenai Atlantis, harus dibaca dengan latar belakang The Republic.

Kisah Atlantis yang diceritakan oleh pendeta Mesir mungkin pernah benar-benar ada tetapi Plato telah mendistorsi fakta-faktanya untuk mendukung ideologi sebuah negara yang ideal seperti dalam The Republic, atau menambahkan beberapa hiasan dari aspeknya sendiri ataupun diambil dari legenda lainnya. Plato mewujudkan Athena sebagai bagian dari cerita untuk menunjukkan tindakan Athena yang terbesar dan paling mulia, yang mungkin adalah negara lain dalam mitos yang diceritakan oleh pendeta Mesir, tersusun dari catatan dalam register suci yang tersimpan di kuil-kuil mereka. Orang Mesir dikatakan telah menyimpan catatan dan tradisi yang paling kuno. 

Pra-sejarah Mesir mulai dikenal pada periode Neolitik, dimulai kira-kira 6.000 SM atau 8.000 tahun yang lalu. Namun, 9.000 tahun sebelum Solon atau 11.600 sebelum sekarang berada di luar rentang sejarah Mesir. Kita bisa berspekulasi bahwa Mesir kuno yang diceritakan oleh pendeta Mesir tersebut sebenarnya adalah kelompok etnis primordial yang merupakan nenek moyang mereka sebelum banjir besar dan bencana yang lainnya. Etnis Mesir kuno adalah diantara para pengungsi dan korban bencana; kemudian bermukim kembali di daratan yang sekarang disebut Mesir. Dalam penyelamatan, mereka membawa catatan dan register, dan selanjutnya disimpan dalam kuil-kuil mereka. Studi linguistik dan alfabet budaya Rejang di Sumatera barat daya yang dilakukan oleh antara lain Sir Thomas Stamford Raffles (1817), J Park Harrison (1896), EEEG Schroder (1927) dan MA Jaspen (1983) menunjukkan beberapa korelasi bahasa dan alfabet Rejang dengan bahasa dan alfabet Fenisia dan Mesir kuno. Indonesia kuno memiliki pengetahuan untuk membangun piramida seperti halnya Mesir kuno; piramida Gunung Padang di Jawa Barat yang diperkirakan mulai dibangun 23.000 SM atau sebelumnya diklaim lebih tua dari yang di Mesir. 

Keberadaan Atlantis ini didukung oleh fakta bahwa kisah tersebut diuraikan dengan amat terinci, terutama dalam Critias. Selain itu, berbagai kondisi, peristiwa dan benda-benda seperti iklim dua musim, banjir [tsunami], orichalcum, fitur geografis, banteng [kerbau] dan hasil bumi yang tidak dikenal oleh Plato juga dijelaskan dalam kata-kata yang rinci dan panjang. Pengetahuan baru akhir-akhir ini mengenai kenaikan permukaan laut pada Zaman Es, Zaman Pasca Es dan penenggelaman daratan yang terjadi hampir tepat pada kurun waktu yang diceritakan oleh Plato juga menjadi bukti kuat untuk kebenaran dari kisah tersebut. 

Atlantis di Laut Jawa 
Sundaland atau secara khusus Indonesia telah digagas sebagai lokasi dimana Atlantis berada. Dasar argumen ini adalah bahwa Samudera Atlantik mengacu pada laut yang mengelilingi benua Eurasia dan Afrika, yang merupakan pemahaman Yunani kuno sebelum Christopher Columbus mendarat di benua Amerika. Para pendukung gagasan ini mengklaim bahwa penduduk asli Sundaland yang mengungsi karena air pasang atau letusan gunung berapi kemudian melakukan kontak dengan Mesir Kuno, yang kemudian diteruskan kisahnya kepada Plato namun belum tentu Plato memperoleh kisah tersebut seluruhnya dalam rincian yang benar, termasuk lokasi dan jangka waktunya.

Gagasan pertama mengenai  hubungan antara Atlantis dan Indonesia berasal dari Theosophist terkemuka, CW Leadbeater (1854 – 1934 M), dalam buku The Occult History of Java, yang diterbitkan pada tahun 1951. Seorang polymath Amerika William Lauritzen dan secara bersamaan waktunya dengan Arysio Nunes dos Santos (1937 – 2005 M) juga membuat Sundaland dikenal secara internasional sebagai hipotesis lokasi Atlantis. Zia Abbas, seorang ilmuwan komputer, mengklaim telah membuktikan bahwa Atlantis dapat ditemukan di Laut Cina Selatan. Gagasan yang lain mengenai keberadaan Atlantis di Sundaland adalah dari Sunil Prasannan, seorang ahli biologi molekuler yang telah bekerja antara lain di Imperial College London. 

Hipotesis atlantologi Sundaland juga didukung oleh studi yang dilakukan oleh ahli geologi dan geofisika Robert M Schoch dari College of General Studies di Boston University, bersama-sama dengan Robert Aquinas McNally. Mereka pada tahun 2003 menerbitkan sebuah buku yang mengungkapkan sebuah konsep bahwa pembangunan piramida telah dikembangkan oleh peradaban yang hilang, yang sebelumnya ada di Sundaland. Pada 2013, bergabung juga ahli geologi Indonesia Danny Hilman Natawidjaja dengan penemuannya bahwa Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, tampaknya telah dibangun sekitar 13.000 tahun yang lalu, yang mengindikasikan bahwa Atlantis berada di Indonesia.

Plato mengungkapkan bahwa "... sembilan ribu adalah jumlah tahun yang telah berlalu sejak perang yang dikatakan telah terjadi antara mereka yang tinggal di luar Pilar Herkules dan semua yang tinggal di dalamnya ..." dan "... daratan itu lebih besar dari Libya dan Asia [Kecil] disatukan, dan adalah jalan untuk menuju pulau-pulau lain, dan dari sini Anda dapat mencapai benua di seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya ... " 

9.000 tahun sebelum masa hidupnya Solon (ca 600 SM) berarti sekitar 11.600 tahun yang lalu. Permukaan laut saat itu adalah sekitar 60 meter dibawah permukaan laut saat ini. Sebuah peta yang menunjukkan daratan pada 11.600 tahun yang lalu telah diekstraksi oleh penulis dari grid elevasi GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. 

Perjalanan menjauh dari Sundaland, seseorang dapat mencapai pulau-pulau lain seperti Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Mindanau dan Luzon. Melewati pulau-pulau ini, seseorang dapat mencapai benua di seberangnya, yaitu "Benua Sahul" yang menggabungkan Benua Australia, Papua dan daratan yang menghubungkan. Benua ini meliputi Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sehingga pernyataan Plato: "... adalah jalan untuk menuju pulau-pulau lain, dan dari sini Anda dapat mencapai benua di seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya ..." adalah cocok sehingga Atlantis yang dihipotesiskan terletak di Sundaland adalah benar. 

Pada peta, kita dapat melihat bahwa Sundaland luasnya lebih lebih besar dari gabungan Libya dan Asia Kecil, cocok seperti yang diungkapkan Plato dalam wacananya mengenai Atlantis. 

Dataran Atlanti
Plato menggambarkan dataran Atlantis adalah rata, dikelilingi oleh pegunungan yang turun ke arah laut, halus dan tidak bergelombang, berbentuk persegi panjang dan lonjong, panjangnya tiga ribu stadia (sekitar 555 kilometer), lebarnya dua ribu stadia (sekitar 370 kilometer), menghadap ke arah selatan, terlindung dari utara, dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah; dan terdapat desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, rawa dan padang rumput. Deskripsi ini persis cocok dengan kondisi geografis seperti terlihat pada peta dibawah ini. 

Dataran yang rata, halus dan tidak bergelombang, turun menuju laut – Kemiringan permukaan tanah di daerah tersebut adalah sebagian besar kurang dari 1% menurun ke selatan menuju Laut Jawa dan tidak ada gundukan yang terlihat di seluruh dataran. Kondisi dataran saat ini yang berada diatas permukaan air laut terdiri dari daerah rawa, sistem irigasi rawa pasang surut, perumahan diatas air, transportasi air, mangrove dan lahan gambut. 

Dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah – Terdapat dua daerah pegunungan di sebelah utara dataran, yaitu Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Meratus. Puncak tertinggi di Pegunungan Muller-Schwaner yang terdekat dengan dataran adalah Gunung Liangapran dengan ketinggian 2.240 meter di atas permukaan air laut saat ini, sedangkan yang di Pegunungan Meratus adalah Gunung Besar dengan ketinggian 1.890 meter. Gunung ini sebagian besar tertutup oleh hutan primer, dihuni oleh bermacam-macam satwa dan sebagai kediaman suku Dayak. 

Menghadap ke selatan dan terlindung dari utara – Hal ini adalah cocok bahwa datarannya menghadap ke selatan dan terlindung oleh pegunungan di sebelah utara. 

Berbentuk persegi dan lonjong, panjangnya sekitar 555 kilometer dan lebarnya sekitar 370 kilometer – Bentuk dataran adalah persegi di bagian selatan dan lonjong di bagian utara. Ukurannya hampir sama persis, 555 kilometer panjangnya dan 370 kilometer lebarnya. 

Terdapat desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, rawa dan padang rumput – Daerah dataran dalam kondisi saat ini terletak di daerah hutan hujan tropis, memiliki tingkat curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, memiliki suhu hangat sepanjang tahun, sebagian besar rawa dan memiliki banyak sungai besar dan anak sungai sehingga daerahnya subur dan kaya makanan dan sumber daya kebutuhan sehari-hari. 
Sistem Saluran Atlantis 
Mengenai sistem saluran air didalam dataran, Plato menjelaskan bahwa ada empat jenis saluran: saluran keliling, saluran pedalaman, sodetan dan saluran irigasi. Saluran keliling adalah saluran buatan, dalamnya 100 kaki (sekitar 30 meter), lebarnya 1 stadium (sekitar 185 meter), panjangnya 10.000 stadia (sekitar 1.850 kilometer), melingkari seluruh dataran, menerima aliran air dari pegunungan, berkelok-kelok di sekitar dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut. Saluran pedalaman adalah lurus, lebarnya 100 kaki (sekitar 30 meter), intervalnya 100 stadia (sekitar 18,5 kilometer), bermuara kedalam saluran keliling dan sebagai sarana untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal. Sodetan digali dari satu kanal pedalaman ke yang lainnya. Saluran irigasi menyadap dari saluran yang lain dimaksudkan untuk mengairi lahan di musim panas (musim kemarau) sementara di musim dingin (musim hujan) mendapatkan air dari hujan. Deskripsi ini persis cocok dengan kondisi sistem saluran air saat ini. 
Saluran keliling adalah saluran buatan, dalamnya sekitar 30 meter dan lebarnya sekitar 185 meter – Salah satu sungai sebagai saluran keliling adalah Sungai Barito dan mungkin Sungai Negara yang terletak di sisi timur dataran. Karena "saluran" ini memiliki jarak terdekat dengan ibukota, orang Mesir rupanya melaluinya seperti yang dilaporkan. Sungai Barito merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di Kalimantan Selatan, panjangnya sekitar 1.000 kilometer, lebarnya 600 – 800 meter dan dalamnya rata-rata 8 meter. Banjir dan sedimentasi sungai di dataran yang sangat datar selama 11.600 tahun terakhir telah mengubah rezim sungai, tetapi dengan menghitung kapasitas penyaluran airnya (luas penampang × kecepatan aliran, dengan asumsi kecepatan aliran yang sama karena kemiringan energi gravitasi yang sama) luas penampang aliran (lebar × kedalaman) seperti yang dijelaskan oleh Plato adalah sekitar 185 × 30 = 5.550 meter persegi, sementara luas penampang aliran saat ini adalah luar biasa cocok, 700 (rata-rata) × 8 = 5.600 meter persegi. 

Panjang saluran keliling adalah 1.850 kilometer, berliku di sekitar dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut – Mengukur panjang di peta tapi mengingat faktor liku dari topografi, menghasilkan panjang yang hampir tepat sama seperti yang diterangkan oleh Plato, yaitu 1.850 kilometer. Sementara itu, dengan menghitung bentuk persegi dan lonjong dataran, yang panjangnya 555 kilometer dan lebarnya 370 kilometer, diperoleh panjang kelilingnya 1.656 kilometer, juga secara logis benar jika faktor liku tidak diperhitungkan. Jadi jelas bahwa Plato tidak bohong. 

Saluran keliling mendapatkan aliran dari pegunungan – Hal ini adalah cocok karena sungai-sungai saat ini yang berada didalam  dataran berasal dari Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Meratus.

Saluran pedalaman adalah lurus, lebarnya sekitar 30 meter, intervalnya sekitar 18,5 kilometer dan bermuara kedalam saluran keliling – Sungai-sungai yang saat ini merupakan saluran pedalaman adalah Sungai Kapuas, Murung, Kahayan, Barito Hulu, Mangkatip dan mungkin Sebangau. Rezim sungai ini pasti telah berubah selama 11.600 tahun terakhir karena adanya proses banjir, sedimentasi, perpindahan sungai dan meandering di dataran yang sangat datar. Pertukaran orde dan aliran diantara sungai-sungai juga mungkin terjadi. Namun, secara umum kelurusan dan orientasi sungai masih dapat dilihat hingga saat ini, yaitu sejajar satu sama lain dan berarah utara-selatan, dan dalam hal yang sama seperti Sungai Barito, lebarnya telah berubah. Jarak rata-rata sungai ini adalah sekitar 20 kilometer, juga dapat dianggap mendekati apa yang dikatakan oleh Plato yaitu sekitar 18,5 kilometer. 

Kanal pedalaman digunakan untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal – Kebiasaan ini masih ada hingga saat ini. Sungai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah ini. Sebagian besar sungai-sungai di Kalimantan bagian selatan adalah sebagai sarana transportasi. Perahu tradisional yang secara lokal dikenal sebagai "jukung" memiliki banyak jenis dan bentuk. Sungai-sungai ini dan semua anak sungainya adalah jaringan sistem transportasi dan menjadi sarana yang sangat penting bagi masyarakat karena setiap wilayah dapat diakses oleh sungai. Sejak zaman dulu, jaringan sungai mendukung kegiatan ekonomi dan sosial penduduk Kalimantan bagian selatan. Selain itu, jaringan sungai telah menjadi darah kehidupan ekonomi penduduk karena sebagian besar kegiatan ekonomi mereka dilakukan melalui dan di sungai. Komunikasi antar daerah di pedalaman, kota-kota dan pelabuhan khususnya juga dilakukan melalui sungai. Sungai-sungai menjadi andalan untuk kelancaran distribusi barang dan orang dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Berbagai jenis hasil hutan, pertambangan dan hasil bumi pertanian yang melimpah di daerah pedalaman seperti kayu, karet, getah perca, rotan, damar, jelutung, lilin, batubara, emas, merica, sarang burung, bahan tenun, ikan kering atau asin, dendeng rusa, buah-buahan dan banyak lainnya diangkut ke tempat pengumpulan atau pelabuhan melalui jaringan sungai. Sebaliknya, berbagai kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, garam, tepung, jagung, minyak goreng, tembakau, gambir, tembikar, peralatan rumah tangga, kawat tembaga, kain dan sebagainya juga diangkut dari pelabuhan ke berbagai daerah di pedalaman melalui jaringan sungai. 

Sodetan digali dari satu saluran pedalaman ke yang lainnya – Hal ini adalah sama persis dengan kondisi saat ini. Seperti terlihat pada peta, berbagai sodetan terdapat di wilayah tersebut, beberapa telah dibangun atau direhabilitasi belakangan. Sodetan ini dikenal secara lokal dengan nama "anjir", yaitu suatu saluran yang menghubungkan dua sungai sebagai bagian dari jaringan transportasi. Saluran ini juga digunakan sebagai saluran irigasi rawa pasang surut yang berfungsi untuk memasok air ke dan menguras dari lahan pertanian. 

Saluran irigasi menyadap dari saluran yang lain dimaksudkan untuk mengairi lahan di musim panas (musim kemarau) sementara di musim dingin (musim hujan) mendapatkan air dari hujan menghasilkan dua kali panen dalam setahun – Hal ini juga sama persis dengan kondisi saat ini. Sistem irigasi rawa pasang surut di Kalimantan bagian selatan secara tradisional dikenal sebagai "Sistem Anjir " dimana saluran utama yang disebut "anjir" atau "antasan" dibangun menghubungkan dua sungai pasang surut, juga digunakan sebagai tujuan navigasi. Saluran irigasi dibangun untuk mengairi dan menguras lahan pertanian dari dan kedalam "anjir", yaitu saluran sekunder yang disebut "handil" atau "tatah" dan saluran tersier yang disebut "saka". Selama air surut, saluran-saluran tersebut menguras air beracun sementara pada saat pasang air tawar mengalir masuk kedalam lahan. Sistem ini menghasilkan dua kali tanam padi dalam setahun. Sistem ini juga digunakan untuk menanam tanaman lainnya atau untuk budidaya perikanan. Kalimantan bagian selatan saat ini merupakan eksportir beras ke daerah lain.
Penulis menyimpulkan bahwa sistem saluran yang dikatakan oleh Plato ternyata adalah  jaringan transportasi sungai dan sistem irigasi "anjir" di wilayah Kalimantan bagian selatan. 

Pulau dan Kota Atlantis 
Menurut Plato, Pulau Atlantis dimana terdapat pelabuhan dengan pintu masuk yang sempit adalah berada di sebuah laut yang dikelilingi oleh benua tak terbatas. Benua tak terbatas yang dihipotesiskan tersebut adalah Sundaland yang terhubung pada Benua Asia, dan satu-satunya laut yang dikelilinginya pada waktu itu adalah Laut Jawa kuno. Oleh karena itu, penulis membuat hipotesis bahwa Pulau Atlantis terletak di Laut Jawa. 

Pulau Atlantis, di mana terdapat sebuah bukit di tengahnya, adalah sebuah pulau yang terletak di dekat sebuah daratan yang teridientifikasi dari model grid elevasi digital, dimana muka air laut adalah sekitar 60 meter dibawah permukaan air laut saat ini, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah. Seperti terlihat pada peta, pulau tersebut terletak didalam selat. Terlihat ada dataran yang relatif datar di sebelah utaranya; sebagian adalah merupakan Pulau Kalimantan bagian selatan. "Laut nyata" yang berada di sekitar pulau seperti diungkapkan oleh Plato adalah Laut Jawa kuno yang berupa sebuah teluk dengan bentuk pintu masuk berupa selat. 

Komentar Crantor seperti dikutip oleh Proclus tentang dialognya Plato menyebutkan bahwa  "… menurut mereka, ada tujuh pulau di laut tersebut pada waktu itu ..." dan "... dalam kisaran seribu stadia [185 km]; ... ". Hal ini adalah kira-kira cocok dalam menggambarkan geografi wilayah di Laut Jawa pada masa itu. Meskipun jumlah pulau seperti yang terlihat pada peta tidak persis sama karena proses sedimentasi, penggerusan, pergerakan pantai, pelarutan kapur dan pergerakan tektonik yang tidak diketahui selama 11.600 tahun terakhir, serta penulis membuang pulau-pulau yang kecil, geografi daerah tersebut secara umum adalah cocok. Pernyataan "dalam kisaran seribu stadia [185 km]" secara umum juga cocok. Salah satu pulau tersebut diidentifikasi sebagai Pulau Bawean. 

Penulis merekonstruksi Kota Atlantis berdasarkan deskripsi Plato, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah. Lokasi ini diidentifikasi oleh para pelaut sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang kecil dan muncul ke permukaan pada saat muka air laut surut. 

Keterangan Plato bahwa "… mereka memiliki air mancur, salah satu dingin dan yang lain panas, mengalir di banyak tempat; diagungkan dan digunakan untuk tujuan kenikmatan dan merupakan keunggulan dari sumber air mereka …" adalah cocok. Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa merupakan prototipe dari Pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi dan proses tektonik yang sama, serta terletak dekat dengan Pulau Atlantis. Pulau Bawean dan Atlantis keduanya terletak di Busur Bawean, terbentuk di Masa Paleogen dan Neogen melalui proses tektonik yang disebabkan oleh patahan ekstensional di Laut Jawa yang memisahkan Jawa dan Kalimantan. Terdapat beberapa sumber air panas dan dingin di pulau tersebut yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah itu.

Keterangan bahwa "… batu yang digunakan dalam karya mereka digali dari bawah pulau tengah, dan dari bawah zona daratan, di luar serta bagian dalam, satu jenis putih, yang lain hitam, dan yang ketiga merah, dan sewaktu digali, pada saat yang sama dilubangi untuk dermaga ganda, memiliki atap terbentuk dari batuan alami …" juga cocok. Batu berwarna putih, hitam dan merah yang disebutkan oleh Plato rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau Bawean dengan warna putih (asam), hitam/abu-abu (basa) dan merah (oksida besi), dikenal antara lain dari jenis-jenis Leucite, Phonolite, Trachyte dan Onix. Batuan beku seperti yang di Pulau Bawean adalah keras dan kuat sehingga memiliki kekuatan alam yang cukup untuk berdiri sebagai atap dermaga ganda. 

Kedalaman Laut Jawa pada masa Atlantis (11.600 tahun sebelum sekarang) adalah sekitar 20 – 30 meter sehingga cukup memungkinkan untuk navigasi kapal-kapal besar. 

Dewa Poseidon 
Dewa Poseidon yang dipuja oleh orang Atlantis adalah identik dengan Dewa Baruna, keduanya diberi julukan “Dewa Air” atau “Dewa Laut”. Jadi, Solon menterjemahkan Baruna menjadi Poseidon. Pulau Kalimantan dulunya dikenal dengan nama Warunapura atau tempatnya Dewa Baruna. Nama Borneo yang dikenal oleh orang Barat adalah berasal dari nama Baruna. 

Pilar Herkules 
Didalam dialognya, Plato tidak menyebut Pilar Herkules adalah bukit-bukit di sekitar Selat Gibraltar; yang terakhir ini baru dikenal belakangan. Selain itu, pendeta Mesir juga menyebutnya “seperti Pilar Herkules”, jadi yang dimaksud bukan pilar yang dikenal oleh orang Athena tersebut. Plato tidak menyebutnya sebagai “pilar” tetapi adalah “tugu” yang berada di perbatasan. 

Herkules adalah identik dengan Batara Kala karena keduanya memiliki sifat yang mirip. Rupanya, Solon menterjemahkan “Kala” menjadi “Herkules”. Penulis menghipotesiskan Pilar Herkules sebagai tugu batas yang dihiasi dengan wajah Kala, seperti yang banyak sekali terdapat di Jawa dan Bali.

Orichalcum 
Orichalcum dalam bahasa Yunani terdiri dari kata oros (ὄρος, gunung) dan chalkos (χαλκός, bijih), berarti "bijih dari gunung". Kita bisa berspekulasi bahwa orichalcum yang dimaksud oleh Plato sebenarnya adalah zirkon karena mineral ini dapat "digali dari bumi di banyak bagian pulau" atau berlimpah di Kalimantan bagian selatan di mana dataran Atlantis dihipotesiskan. Bahan ini sungguh nilainya kedua setelah emas; memiliki kualitas seperti batu permata dan dikenal sebagai tiruan berlian. Bijih zirkon memerlukan proses ekstraksi, pemurnian dan pemanasan untuk menjadikan produk zircon yang berwarna-warni. 

Plato menyebutkan bahwa dinding yang mengelilingi Candi Poseidon dan Cleito ditutupi dan gemerlap dengan "cahaya merah" dari orichalcum. Tidak ada logam atau paduannya yang diketahui berwarna merah sehingga orichalcum adalah bukan logam tetapi mungkin hyacinth (zirkon merah). Setelah jadi, sifatnya berkilau seperti berlian yang tidak dimiliki oleh logam, sehingga Plato menggambarkannya secara khusus dengan kata-kata "gemerlap" dan "bercahaya". 

Dalam "lebih berharga pada masa itu dari apa pun kecuali emas", Plato membandingkan orichalcum dengan emas; sedangkan "zirkon" adalah berasal dari Bahasa Persia zargun, yang berarti "berwarna emas", kemudian berubah menjadi "jargoon", dimaksudkan sebagai zircon yang berwarna muda yang kemudian diadaptasi oleh Jerman menjadi Zirkon. Diduga, Plato atau Solon salah menterjemahkan zargun, material yang berwarna emas menjadi orichalcum karena tidak ada kata tersebut dalam bahasa Yunani Kuno. 

Korban Kerbau 
Pada bagian akhir Critias, dijelaskan bahwa pada setiap lima atau enam tahun sekali berselang-seling, para raja Atlantis berkumpul untuk berdiskusi dan membuat perjanjian, diakhiri dengan persembahan korban banyak kerbau. Kebiasaan korban kerbau untuk persembahan hanya ada di Asia Tenggara dan Asia Tengah bagian selatan. Tentu saja Plato tidak menyebutnya sebagai “kerbau” karena binatang ini hanya terdapat di daerah tersebut, tetapi sebagai binatang yang mirip yaitu “banteng”. 

Candi dan Piramida 
Selain menhir, meja batu dan patung-patung batu, budaya megalitik Austronesia di Nusantara juga menampilkan struktur piramida berundak yang terdiri dari tanah dan batu, disebut sebagai "punden berundak", dianggap sebagai salah satu karakteristik budaya asli Nusantara. Struktur ini telah ditemukan dan tersebar di seluruh Nusantara sejauh Polinesia. Diantaranya ditemukan di Pegunungan Hyang-Argapura, Lebak Sibedug, Basemah, Pangguyangan, Cisolok dan Gunung Padang; yang terakhir adalah merupakan situs megalitik terbesar dan tertua di Asia Tenggara yaitu 23.000 SM atau lebih tua (Natawidjaja, 2013). Candi Sukuh dan Cetho di Jawa Tengah (tahun masih diperdebatkan) menunjukkan unsur-unsur punden berundak budaya Austronesia yang agak menyerupai piramida di Amerika Tengah. Punden berundak adalah desain dasar Candi Borobudur di Jawa Tengah. 

Seperti dikatakan dalam Critias, Candi Poseidon dan Cleito dibangun di pulau pusat yang berupa sebuah bukit, dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran air. Untuk mencapai candi dari lingkaran air paling dalam, diperlukan undak pada lereng bukitnya. Hal ini dapat diartikan bahwa candi ini menampilkan struktur piramida berundak bumi-dan-batu, ciri budaya asli Nusantara yang disebut sebagai "punden berundak". 


Dhani Irwanto, 2 Mei 2015 
Diperbaharui 4 Mei 2015, 5 Mei 2015, 6 Mei 2015


Sumber: http://www.kompasiana.com/dhani_irwanto/atlantis-kota-yang-hilang-ada-di-laut-jawa_55546fc66523bdaa1d4aef85

No comments:

Post a Comment