Oleh: Ketut Wiradnyana (Balai Arkeologi, Medan)
“…..situs-situs budaya Hoabinh di pesisir dan pegunungan Pulau Sumatera bagian utara selalu diakhiri dengan keberadaan gerabah. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa ada keberlangsungan pemanfaatan lokasi dan dimungkinkan pemanfaatan secara bersama lokasi hunian dimaksud. Artinya orang-orang Hoabinh pada pembabakan budaya Mesolitik yang memiliki ras Australomelanesoid dimungkinkan hidup berbaur dengan pendukung budaya Neolitik dari ras Mongoloid yang berbudaya Austronesia”
Abstrak. Situs-situs Hoabinh kerap dikaitkan dengan pembabakan budaya Mesolitik dengan ras pendukungnya Australomelanesoid. Keberadaan situs Hoabinh baik di pesisir maupun di pegunungan selalu diakhiri dengan lapisan budaya berupa fragmen gerabah yang merupakan ciri dari pembabakan budaya Neolitik. Budaya Neolitik dikaitkan dengan ras pendukungnya Mongoloid. Hal tersebut memberikan gambaran akan adanya dua ras yang berbeda yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid memanfaatkan situs yang sama, sekalipun aktivitasnya tidak nampak tegas berbeda. Beberapa aspek budaya lainnya yang mengindikasikan kesamaan, mencerminkan sebuah keberlanjutan diantaranya religi (flexed burial), teknologi alat batu dan matapencaharian hidup. Keberlanjutan aspek-aspek itu mencerminkan adanya pembauran diantara ke dua ras tersebut. Adanya pembauran itu mengindikasikan terjadinya kontak antarkelompok dan dimungkinkan juga hidup saling berdampingan atau bahkan ada percampuran antarmanusia dan budayanya. Hal tersebut merupakan interpretasi yang didasarkan atas konsep evolusi kebudayaan.
Latar Belakang. Di pesisir timur Pulau Sumatera, pada situs bukit kerang/kjokken moddingger, fragmen gerabah selalu ditemukan pada bagian permukaan situs (lapisan budaya teratas atau permukaan tanah). Begitu juga pada situs-situs dengan budaya Hoabinh di pedalaman, juga fragmen gerabahnya ditemukan pada bagian permukaan situs. Hal tersebut mengindikasikan bahwa gerabah merupakan produk budaya manusia prasejarah yang lebih muda masanya dibandingkan berbagai produk alat batu masif. Produk alat batu yang masif pada situs bukit kerang kerap dihubungkan dengan budaya Hoabinh dengan pendukungnya kelompok manusia Australomelanesoid. Sedangkan produk gerabah kerap dikaitkan dengan budaya Austronesia yang didukung oleh kelompok manusia Mongoloid.
Secara umum diketahui bahwa kelompok manusia Australomelanesoid lebih dulu mengeksplorasi wilayah pesisir dan pegunungan Pulau Sumatera bagian utara dibandingkan dengan kelompok manusia Mongoloid dengan budaya Austronesia-nya. Bahkan kondisi tersebut berlaku hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke wilayah kepulauan di Pasifik (lihat Bellwood 2000). Dalam konteks waktu dan budaya tampaknya kedua kelompok manusia itu memiliki perbedaan, sekalipun tidak terlalu tegas. Kelompok manusia Australomelanesoid dengan budaya Hoabinhnya berlangsung di situs Pangkalan Aceh Tamiang sekitar 5.100 ± 130 hingga 4.460 ± 140 BP (Wiradnyana 2011,118) dan kelompok manusia Mongoloid dengan budaya Austronesianya berlangsung di situs Loyang Ujung Karang Aceh Tengah dari sekitar 4.400 BP. (cal.3285-2937 BC) hingga awal-awal masehi (Wiradnyana 2011,116-117; Wiradnyana & Taufiqurrahman 2011,111). Sepintas kedua budaya itu memiliki ruang/sekat, sehingga kedua budaya besar tersebut tidak menunjukkan adanya pembauran. Ditinjau dari beberapa aspek (lapisan budaya, alat litik, dan tarikh) tampaknya kelompok pengusung budaya Hoabinh ketika masih aktif mengeksplorasi wilayah Pulau Sumatera bagian utara, maka datang kelompok pengusung budaya Austronesia dengan berbagai corak budaya yang memiliki perbedaan (lebih maju). Kedua pengusung budaya ini tampaknya hidup berdampingan berbaur dan menghasilkan berbagai budaya yang dapat kita lihat sekarang ini pada masyarakat –masyarakat tradisional di Pulau Sumatera bagian utara.
Permasalahan, Tujuan dan Ruang Lingkup. Keterbatasan data arkeologi menjadikan upaya merekonstruksi kebudayaan juga semakin sulit sehingga memunculkan informasi yang bersekat-sekat. Kondisi ini menjadikan upaya untuk mengetahui hubungan antara satu kebudayaan dengan ciri teknologi yang kuat yang lebih awal mengeksplorasi satu wilayah dengan budaya besar lainnya yang datang belakangan menjadi sulit. Begitu juga dengan situs-situs di Pulau Sumatera bagian utara memiliki kecenderungan bahwa budaya Hoabinh yang terlebih awal berkembang dibandingkan dengan budaya Austronesia. Sehingga pada situs bukit kerang Pangkalan dan situs Loyang Mendale selalu artefak budaya Hoabinh berada pada lapisan di bawah lapisan budaya Austronesia. Begitu juga dengan analisa radiokarbon yang telah dihasilkan menunjukkan hal yang sama, bahwa budaya Hoabinh lebih tua dibandingkan dengan budaya Austronesia. Namun beberapa situs menunjukkan hasil radiokarbon dengan masa yang relatif sama antara aktivitas pendukung budaya Hoabinh dengan pendukung budaya Austronesia. Sehingga dimungkinkan kedua kelompok manusia itu hidup berbaur. Bahkan hingga kini diketahui bahwa situs-situs budaya Hoabinh selalu satu areal dengan situs budaya Austronesia. Kondisi tersebut menjadikan suatu kajian yang sangat menarik berkaitan dengan hubungan antara kedua kelompok manusia dengan budayanya.
Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang muncul adalah adakah pembauran antara budaya Hoabinh dengan Austronesia pada satuan wilayah hunian?. Selain itu apa saja yang menjadi indikator terjadinya interaksi tersebut ? Untuk itu maka tujuan dari pembahasan ini diantaranya adalah upaya menyampaikan adanya interaksi yang positif ketika pendukung budaya Hoabinh dengan budaya Austronesia bertemu dan berbagai hal yang menguatkan adanya interaksi tersebut. Upaya dimaksud diuraikan dalam ruang lingkup yang terbatas pada budaya Hoabinh dan budaya Austronesia, yang berada pada situs dengan pembabakan Mesolitik dan Neolitik di Pulau Sumatera bagian utara.
Kerangka Pikir. Di Pulau Sumatera bagian utara, kebudayaan yang ada sekarang ini merupakan hasil dari berbagai budaya yang berkembang sebelumnya. Namun tidak semua kebudayaan besar yang pernah singgah ke wilayah Pulau Sumatera bagian utara memberikan kontribusi yang sama antara satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan hingga kini menunjukkan bahwa wilayah ini pada awalnya telah menjadi tempat beraktivitasnya pendukung pembabakan budaya Paleolitik. Setelah itu masuk pembabakan budaya Mesolitik (Hoabinh, bahkan indikasi adanya budaya Toala) dan budaya Austronesia (termasuk didalamnya adalah Megalitik dan Dong Son) hingga pada pembabakan budaya klasik yaitu Hindu-Budha. Setelah itu pembabakan budaya masa Kolonial yaitu budaya Eropa. Kontak antarsatu pembabakan budaya dengan pembabakan budaya-budaya besar lainnya tidak banyak diketahui dengan baik hingga kini.
Kalau mengacu pada konsep evolusi yang pada hakekatnya merupakan suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan dalam bentuknya yang seperti sekarang (Syam 2007,16) tentu akan mengganggap bahwa ada keberlangsungan dari satu ras manusia kemudian berkembang hingga terdapat ras manusia yang lain beserta dengan budayanya. Hal itu juga dijelaskan oleh Bellwood (2000) bahwa pada kisaran pembabakan Pre Austronesia telah ada kelompok yang hidup di daratan Asia dengan budaya Ta-p’en-k’ eng yang dalam aspek linguistik berbeda dari Austronesia. Budaya ini paling tidak berlangsung pada kisaran 5.200 BC dan 4.200 BC. Kelompok ini diindikasikan telah hidup menetap juga di Fujian dan Guandong sebelum menyeberang ke Taiwan. Pada masa selanjutnya diketahui di Taiwan telah ada ras Mongoloid dengan linguistik yang berbeda dengan pre Austronesia tersebut.
Lebih jauh lagi dapat kita bandingkan dalam konteks penyebaran manusia yang berawal dari Afrika (out of Africa) pada sekitar 200.000 tahun yang lalu yang diinyatakan sebagai cikal bakal manusia moderen (Bellwood 2000:75). Hal itu jelas menunjukkan bahwa ada perkembangan fisik manusia (ras) dan juga budayanya. Sehingga sangat dimungkinkan dalam sebuah wilayah dengan berbagai pembabakan budaya memiliki akar manusia dan budaya yang relatif sama, sehingga untuk hidup berdampingan sangat dimungkinkan. Terlebih dengan alur migrasi yang lebih awal selalu digunakan sebagai alur untuk mencapai wilayah tertentu, sehingga tidak mengherankan seperti keberadaan sebuah sungai yang memiliki situs-situs dalam pembabakan budaya yang berbeda.
Konsep budaya Edward B. Taylor (1871) menyatakan bahwa “bangsa-bangsa alam” itu (kelompok manusia yang hidupnya berburu dan mengumpulkan makana tingkat sederhana) merupakan tingkat yang tertua dalam deretan urutan tingkat-tingkat kebudayaan, tetapi mungkin dalam satu tingkat peradaban pada masa kemudian ada suatu kebiasaan tertentu dari tingkat peradaban lama yang masih tetap berlangsung. Sejalan dengan itu Graebner (1911) menyatakan bahwa persamaan unsur kebudayaan juga harus dilihat dari faktor waktu sehinga dapat diketahui perkembangannya (Palm,1980:35-47). Konsep tersebut kiranya dapat dijadikan acuan untuk mengenali unsur budaya pada masa Mesolitik hingga Neolitik dengan perkembangannya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan dalam upaya menjelaskan berbagai hal berkaitan dengan budaya Hoabinh dan Austronesia pada sebuah situs adalah deduktif-ekplanatif.
Situs dan Budaya Hoabinh di Pulau Sumatera Bagian Utara. Situs Budaya Hoabinh yang dimaksud adalah situs yang didominasi oleh tinggalan artefak ataupun ekofak yang lebih mencirikan budaya Hoabinh sedangkan dari pembabakan budaya lainnya menjadi tinggalan skunder. Istilah Hoabinhian dipakai untuk merujuk pada suatu industri alat batu yang dicirikan alat batu kerakal (pebble tools) yang khas dengan ciri dipangkas (diserpih) pada satu atau dua sisi permukaannya. Kerap seluruh tepiannya menjadi bagian tajamannnya. Hasil penyerpihan menunjukkan beragam bentuk. Di situs-situs Hoabinh alat-alat batu semacam itu ditemukan bersama-sama dengan alat serpih, batu pelandas dan batu giling berbagai ukuran, sudip dan lancipan dari tulang dan sisa-sisa jenasah yang dikubur dalam posisi terlipat dengan ditaburi batuan berwarna merah (hematite). Sebaran Hoabinh di seluruh daratan Asia Tenggara, di China bagian selatan serta Taiwan. Sejauh ini semua situs yang telah bertarikh radiokarbon ada dalam kurun waktu 18.000-3.000 tahun yang lalu (Bellwood 2000:238-241). Budaya Hoabinh tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, antara lain Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Ada dugaan budaya ini berasal dari wilayah China bagian selatan, yang berkembang sejak kala Plestosen Akhir sampai sebelum masa Neolitik (Pre Neolitik) atau kira-kira 5.000 BP. Sebaran budaya Hoabinh di Indonesia diindikasikan melalui Semenanjung Malaysia (Soejono & Leirissa 2009:175-176). Namun kalau dibandingkan dengan hasil pentarikhan dari Gua Ongbah, Thailand yaitu 8.810 ± 170 BP yang cenderung lebih semasa dengan pentarikhan di situs-situs Hoabinh di Indonesia maka dimungkinkan juga migrasi budaya ini dari Thailand. Hal ini tidak hanya dibuktikan dari kesamaan teknologi dan morfologi alat batu juga babakan hoabinh di Indonesia cenderung ditarikan sekitar 7.000- 5.000 BP.
Pengusung budaya Hoabinh cenderung mempunyai perekonomian yang menekankan pada perburuan dan pengumpulan makanan di pantai dan pedalaman. Hoabinhian cenderung ditemukan pada masa-masa sebelum masa gerabah. Sehingga dikatakan bahwa data akan keterkaitan antara budaya Hoabinh dengan budaya yang telah mengenal gerabah belum jelas. Hal tersebut mengingat beberapa hasil penelitian dengan pentarikhan yang lebih tua dari pembabakan budaya Neolitik juga ditemukan fragmen gerabah.
Lokasi ditemukannya budaya Hoabinh di Pulau Sumatera bagian utara terbagi atas 2 (dua) tipe, yaitu situs-situs budaya Hoabinh pesisir dan situs budaya Hoabinh pegunungan. Secara umum sebaran situs budaya Hoabinh berada pada pesisir timur Pulau Sumatera. Situs Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera sebarannya terpusat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau; Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara; Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur hingga ke Aceh Utara yaitu di sekitar Lhok Seumawe, Provinsi NAD. Untuk situs budaya Hoabinh dengan temuannya berupa berbagai peralatan batu yang ada di DAS Wampu (Prov. Sumatera Utara) dan juga DAS Tamiang (Prov. NAD) menunjukkan sebarannya hingga ke pedalaman. Hal tersebut mengasumsikan bahwa jelajah pendukung budaya Hoabinh memanfatkan sungai dari pesisir hingga ke pegunungan dan dimungkinkan juga sebagian ada yang tinggal di pegunungan.
Situs Bukit Kerang Pangkalan merupakan salah satu situs Hoabinh pesisir di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Situs ini terletak di Dusun Blang Mandau, Kampung Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. Lokasi situs berada pada tanah yang datar dan merupakan tanah pertanian tersebut berjarak sekitar 20 Km dari garis pantai yang sekarang dan berkisar 1,5 Km dari aliran Sungai Tamiang.
Menilik keletakan situs dan lingkungannya, diperkirakan bahwa lingkungan situs masa lampau berupa areal rendah yang terendam oleh limpahan air dari kedua sungai tersebut, sehingga areal itu berupa rawa air tawar. Namun di beberapa bagian terdapat bukit-bukit kecil yang ketinggiannya berkisar 4 (empat) hinga 10 (sepuluh) Meter dari permukaan tanah sekitarnya yang pada saat air pasang lokasi ini tidak terendam air
Situs bukit kerang Pangkalan memiliki 3 (tiga) lapisan budaya. Lapisan yang terbawah dengan pentarikhan 12.550 ± 290 BP, ditemukan arang sisa pembakaran dan kapak genggam dengan teknologi dari pembabakan budaya Paleolitik. Lapisan budaya yang di tengah merupakan lapisan Mesolitik yang berciri budaya Hoabinh yang ditarikhkan 5.100 ± 130 BP hingga 4.460 ± 140 BP. Pada lapisan budaya ini selain berbagai peralatan batu dengan morfologi dan teknologi Hoabinh juga ditemukan kerangka manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat (flexed burial). Lapisan budaya yang teratas merupakan lapisan Neolitik, diantaranya ditemukan fragmen gerabah yang ditarikhkan sekitar 3.870 ± 140 BP. dan pada permukaan situs ditemukan kapak pendek dengan tajaman yang telah diupam.
Situs budaya Hoabinh dataran rendah lainnya yang ditemukan di Provinsi Sumatera Utara maupun Nanggroe Aceh Darussalam semuanya mengindikasikan akan adanya fragmen gerabah di bagian atas situs. Fragmen gerabah tidak pernah ditemukan pada bagian pertengahan situs. Mengingat kondisi situs yang rusak akibat pengambilan kulit kerang untuk bahan kapur maka informasi yang lebih detil tidak pernah ada hingga kini (lihat Wiradnyana 2011).
Situs yang berada di Desa Kawal Darat I, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu situs bukit kerang yang ada di pesisir timur Pulau Sumatera yang masih relatif utuh. Berbagai artefak yang ditemukan baik itu berbahan batu, tanah, cangkang moluska dan tulang ditemukan pada penggalian di situs ini. Keberadaan bukit kerang ini memberikan gambaran yang lebih baik akan sebaran bukit kerang dimaksud sebagai sebuah sisa aktivitas dengan ciri prasejarahnya. Sekalipun demikian tidak tertutup kemungkinan model aktivitas prasejarah dimaksud masih terus berlangsung hingga beberapa ratus tahun yang lalu. Hal tersebut dapat dibuktikan dari analisa radiokarbon pada sampel arang yang menghasilkan tarikh 1.680 ± 110 BP (1950). Kalau pentarikhan itu dibandingkan dengan kondisi kesejarahan di Indonesia, maka dapat disampaikan bahwa secara umum pada tahun-tahun itu Indonesia telah memasuki masa klasik, dimana pengaruh Hindu/Budha berperan penting dalam aspek kebudayaan.
Keberadaan bukit kerang Kawal Darat I dimaksud memberikan gambaran akan adanya budaya Mesolitik dan Neolitik. Selain itu menggambarkan sebaran situs bukit kerang sebagai sebuah aktivitas masa prasejarah di pesisir timur Pulau Sumatera dari Kepulauan Riau hingga ke Nanggroe Aceh Daussalam. Keberadaan fragmen gerabah pada situs ini mengasumsikan bahwa paling tidak pada akhir hunian di situs ini, kelompok orangnya telah mengenal teknologi pembuatan gerabah. Teknologi dimaksud sangat umum ditemukan pada permukaan-permukaan situs bukit kerang (pada hunian terakhir di situs bukit kerang). Artefak yang dihasilkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan peralatan dari batu, kulit kerang, tulang dan tanah liat menunjukkan bahwa kelompok orang yang hidup di situs bukit kerang Kawal Darat I berbudaya prasejarah. Keberadaan kapak batu, alat pemukul berbahan batu menjelaskan bahwa aktivitas yang berlangsung dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masih sangat sederhana. Kalau kita bandingkan morfologi dan teknologi yang dihasilkan pengusung situs bukit kerang Kawal Darat I maka dapat digolongkan ke dalam budaya dari pembabakan Mesolitik. Sedangkan kalau kita lihat fragmen gerabah yang sering dikaitkan dengan budaya Neolitik maka dapat diasumsikan bahwa budaya yang berkembang pada situs ini dari pembabakan Mesolitik akhir (neolitik).
Situs Hoabinh pegunungan ditemukan juga di situs Gua Kampret, Kab. Langkat Provinsi Sumatera Utara. Pada dinding singkapan tanah yang berlubang ditemukan fragmen gerabah dan pada bagian yang lebih dalam ditemukan alat batu (pabble), yang memiliki morfologi sebagai budaya Mesolitik yang berciri Hoabinh (Wiradnyana 2011,29). Keberadaan fragmen gerabah di bagian permukaan situs juga mengindikasikan hal yang sama dengan kondisi pada situs-situs Hoabinh di pesisir.
Situs Loyang Mendale merupakan salah satu situs masa prasejarah yang terdapat pada areal pegunungan dan memiliki ciri budaya Hoabinh dan Austronesia. Situs ini berada di tepi Danau Lut Tawar yang masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Situs yang berupa ceruk (rock shelter) tersebut tinggalannya mengindikasikan kuat akan pembabakan masa Mesolitik-Neolitik. Lapisan terbawah dari situs ini menghasilkan peralatan batu berupa sumatralith, alat serpih berbahan batuan cangkang kerang. Lapisan Mesolitik ini ditarikhkan 7.400 ± 140 BP hingga 5.040 ± 130 BP. Secara morfologi beberapa alat litik yang ditemukan di situs Loyang Mendale dengan alat litik yang terdapat di situs bukit kerang Sukajadi, Langkat dan di situs Gua Kampret, Langkat memiliki persamaan yang berupa adanya pangkasan lebar pada bagian ventralnya. Alat litik yang ditemukan di situs-situs berbudaya Hoabinh di Indonesia maupun di Asia Tenggara kerap dimasukkan dalam teknologi Mesolitik.
Pada lapisan di atasnya ditemukan beberapa alat batu yang telah diupam berupa kapak lonjong dan kapak persegi selain artefak lainnya seperti taring berlubang, kerangka manusia dan fragmen gerabah. Lapisan neolitik ini ditarikhkan 3.580 ± 100 BP (cal. 2.087-1.799 BC) (Wiradnyana & Taufiqurrahman 2011,111). Urain tersebut menggambarkan bahwa ada dua lapisan budaya pada situs Loyang Mendale yaitu lapisan Hoabinh dan Lapisan Austronesia.
Situs dan Budaya Austronesia di Pulau Sumatera Bagian Utara. Situs dan budaya Austronesia yang dimaksud di sini adalah situs yang didominasi oleh berbagai artefak yang berciri budaya Austronesia (Neolitik). Austronesia merupakan terminologi yang mengacu pada bahasa, namun dalam perkembangannya juga mengacu kepada manusia pendukung dan budayanya. Para ahli cenderung berpendapat bahwa asal mula budaya ini dari Taiwan. Hal ini didasarkan atas bukti arkeologis dan pemukiman Austronesia yang paling awal bertarikh antara 4.000 dan 3.000 BC. Selain itu gerabah sebagai benda budaya, kosakatanya ditemukan pada Melayu-Polinesia awal di Taiwan sekitar kurun waktu tersebut. Artinya ciri budaya dan bahasa ini telah ada di Taiwan 1.000 tahun sebelum muncul di pulau dengan migrasi yang cukup cepat di Kalimantan dan Sulawesi menjelang 2.000 BC (Bellwood 2000,161-174).
Arkeologi mengaitkan budaya Austronesia dengan pembabakan budaya Neolitik. Sehingga berbagai hasil budaya Neolitik tersebut dijadikan dasar bagi migrasi kelompok pengusung budaya Austronesia. Adapun tinggalan budaya yang kerap dijadikan dasar keberadaan budaya Austronesia diantaranya adalah kapak batu yang telah diupam (beliung persegi dan lonjong), pertanian, domestikasi hewan (anjing, babi), rumah panggung dan gerabah. Selain itu pada pembabakan selanjutnya dicirikan dengan adanya penggunaan logam (besi dan perunggu). Pertanian yang telah dilakukan kelompok pengusung budaya ini dapat dikatakan telah memiliki sistem yang baik. Berbagai jenis tanaman umbi-umbian telah ditanam selain telah mengenal jenis tanaman padi. Adanya sistem pada sektor agrikultur tersebut menunjukkan telah ada kehidupan yang menetap dan terorganisasi dengan lebih baik dibandingkan masa sebelumnya.
Adapun situs-situs Austronesia di Pulau Sumatera bagian utara diantaranya adalah: situs Loyang Mendale, situs Loyang Ujung Karang dan Situs Putri Pukes. Situs Loyang Mendale berada di Kampong Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Loyang Mendale berada di lereng bukit, yang memiliki empat ceruk berjajar dari timur ke barat dan berjarak sekitar 50 meter dari Danau Lut Tawar. Situs Loyang Mendale merupakan salah satu situs masa prasejarah yang berupa ceruk (rock shelter) tersebut tinggalannya mengindikasikan pembabakan masa Neolitik. Hal ini diindikasikan dari ditemukannya peralatan batu yang telah diupam berupa kapak lonjong dan kapak persegi selain artefak lainnya seperti taring berlubang, kerangka manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat dan ditindih bongkahan batu dan fragmen gerabah.
Loyang Ujung Karang, terdiri dari dua cerukan dengan sebuah mulut yang cukup lebar. Situs ini berada sekitar 1,3 Km ke arah Baratlaut dari Loyang Mendale dan masuk dalam wilayah administratif Kampong Jongok Meulem, Kecamatan Kebayakan. Seperti halnya situs Loyang Mendale, situs Loyang Ujung Karang berada di kaki bukit dengan ketinggian 5 (lima) meter dari tanah sawah yang ada di depannya. Kedua gua tersebut kondisi lantainya kering dan datar, hanya pada bagian baratnya agak tinggi sehingga lantai gua melandai ke arah Timur. Di situs ini selain ditemukan kerangka manusia dalam posisi terlipat yang disertai bekal kubur gerabah dan mata panah batu juga ditemukan kerangka manusia yang tidak lengkap (tengkorak dan tulang panjang atau hanya tulang lengan dan tulang panjang saja). Selain itu juga ditemukan fragmen gerabah dengan berbagai pola hias gores maupun tekan.
Loyang Putri Pukes terletak berkisar 1,5 Km ke arah Timur dari situs Loyang Mendale dan masuk dalam wilayah administratif Dusun Pasir, Kampong Mendale, Kecamatan Kebayakan. Pada lantai gua yang telah dibongkar masyarakat tersebut pernah ditemukan kerangka manusia dengan bekal kubur kapak lonjong. Selain itu di situs ini juga ditemukan fragmen gerabah. Dari sisa-sisa tanah bongkaran, juga pernah dilakukan pengayakan dan menghasilkan fragmen tulang manusia dan fragmen gerabah.
Di ketiga situs tersebut menunjukkan adanya indikasi yang kuat akan berkembangnya budaya Austronesia. Hal tersebut tidak hanya dicirikan dari temuan kapak persegi dan lonjong yang telah diupam juga temuan kerangka manusia dalam posisi terlipat, fragmen gerabah dan juga taring berlubang. Dari hasil pentarikhan tertua budaya Austronesia yang memiliki konteks dengan penguburan terlipat ditemukan di situs Loyang Ujung Karang yang ditarikhkan dari sampel tulang yaitu 4.400 BP. (cal.3.285-2.937 BC). Hasil analisa karbon yang dilakukan pada situs Loyang Mendale diantaranya adalah 3.580 ± 100 BP (cal. 2.087-1.799 BC) yang dihasilkan dari sisa arang yang ditemukan di dekat kerangka manusia dan juga di sekitar fragmen gerabah berpoles merah. Sedangkan pada lapisan di atasnya memiliki masa sekitar 1.740 ± 100 BP (210 AD) yang dihasilkan dari sisa abu pembakaran pada kedalaman sekitar 10 cm di bawah permukaan tanah (lihat Wiradnyana & Taufiqurrahman 2011,111).
Pembauran Budaya Hoabinh dan Austronesia. Ras Australoid dengan ras Mongoloid pada masa lalu pernah bercampur dan percampuran itu kerap disebut dengan Australomelanesoid. Ras Australomelanesoid tersebut kerangkanya ditemukan pada situs-situs Hoabinh dan kerangka ras Mongoloid ditemukan pada situs-situs budaya Austronesia. Keberadaan ras Australomelanesoid di situs–situs Hoabinh juga dikemukakan oleh Boedhisampurno (1983) yang menyatakan bahwa kerangka manusia di situs bukit kerang Sukajadi, Langkat, Provinsi Sumatera Utara yang masuk dalam pembabakan budaya Mesolitik tergolong ras Australomelanesoid yang merupakan percampuran ras Australoid dengan Melanesoid.
Indikasi adanya percampuran ras tersebut juga dibuktikan dari temuan rangka tertua yang diperkirakan langsung berada pada garis keturunan Mongoloid Selatan terdiri dari empat rangka yang lengkap dengan pentarikhan 20.000 tahun yang lalu. Temuan rangka tersebut dari ceruk bukit kapur di Minatogawa di Pulau Okinawa (Suzuki dan Hanihara1982;Baba dan Narasaki 1991) serta dari daratan Cina bagian selatan yang berupa sejumlah tengkorak Kala Plestosen Akhir dari Liujiang di Guangxi dan Ziyang di Sichuan. Wu Xinzhi (1996) mentarikhan tengkorak Ziyang tersebut 35.000 BP. Coon (1962,469) menggambarkan tengkorak Liujiang sebagai Mongoloid dengan beberapa ciri Australomelanesoid. Adanya percampuran ras Mongoloid tersebut juga ditunjukkan dari temuan tengkorak di situs Wajak, Jawa Timur pada tahun 1888 dan 1890. Dua buah tengkorak yang dari sisa tulang paha manusia di situs Wajak tersebut ditarikhkan berkisar 6.500 BP. Banyak pakar menganggap tengkorak tersebut tergolong Australomelanesoid dan mempunyai otak dan wajah yang besar. Hanya saja Coon (1962) dan Jacob (1967) mencatat adanya ciri Mongoloid yang nampak dari mukanya yang datar. Selain itu juga adanya percampuran ras ditunjukkan dengan temuan penguburan terlipat di Gua Niah, Serawak yang ditarikhkan 14.000 BP merupakan salah satu bukti evolusi Australoid/Australomelanesoid (Bellwood 2000,120-125).
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ras Australomelanesoid telah lebih awal berkiprah dibandingkan dengan para pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara. Untuk wilayah di pesisir timur Pulau Sumatera dimungkinkan hal tersebut berlaku sama. Hal ini didasarkan atas hasil pentarikhan kerangka Australomelanesoid di situs-situs bukit kerang yang cenderung lebih tua dibandingkan dengan pentarikhan kerangka pada situs-situs Austronesia. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa situs-situs bukit kerang yang masuk dalam pembabakan budaya Mesolitik dengan kelompok pendukungnya ras Australomelanesoid memiliki masa yang lebih tua dengan kelompok dari pembabakan budaya Neolitik dengan kelompok pendukungnya dari ras Mongoloid.
Kondisi tersebut tidak hanya berkaitan dengan hasil pentarikhan semata akan tetapi lebih ditekankan pada aspek budaya terutama unsur budaya mata pencaharian hidup, teknologi dan religi. Pada aspek pentarikhan situs-situs Hoabinh memiliki kecenderungan berkisar 10.000 BP seperti di situs Gua Moh Khiew yang terletak di pantai barat Thailand Selatan (Pookajorn 1996,347); situs Gua Runtuh, Perak, Malaysia yang budaya Hoabinhnya juga ditarikhkan berkisar 10.000 BP (Saidin 2012,17); dan di situs-situs pesisir timur Pulau Sumatera. Situs-situs Austronesia umumnya ditarikhkan setelah 5.000 BP seperti di Gua Cha, Malaysia yaitu sekitar 3.700 ± 250 dan di Lue dan situs Bang, Ban Kao, Thailand sekitar 3.720 ± 140 BP dan situs Gua Moh Khiew pada lapisan budaya Neolitiknya berkisar 3.300 BP. (Adi,1985; Sorensen,1967; dalam Pookajorn 1996,347). Di situs Loyang Mendale 3580 ± 100 BP (cal. 2.087-1.799 BC) di situs Loyang Ujung Karang 4.400 BP. (cal.3.285-2.937 BC). (Wiradnyana & Taufiqurrahman 2011,111).
Pemanfaatan Lokasi Hunian yang Sama. Keberadaan situs dalam berbagai periode pada sebuah kawasan, mengindikasikan pemanfaatan alur migrasi dari waktu ke waktu yang cenderung sama. Contoh hal seperti itu diantaranya adanya pemanfaatan DAS Wampu di Provinsi Sumatera Utara atau DAS Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang digunakan sebagai alur migrasi dari masa Mesolitik (Hoabinh), Neolitik (Austronesia) hingga ke masa Klasik dan Kolonial bahkan hingga ke masa sekarang. Sejalan dengan pemanfaatan alur migrasi yang sama tersebut sangat mungkin juga digunakan di setiap pembabakan budaya, atau bahkan hany pada satu pembabakan budaya. Dengan demikian alur migrasi tersebut dapat dianggap sebagai “jalan sutera” masa lalu.
Model pemanfatan lokasi hunian yang sama juga ditemukan di situs Gua Golo, Pulau Gebe, Halmahera Tengah yang menunjukkan ada empat fase hunian manusia yang ditunjukkan dari adanya empat lapisan budaya. Lapisan budaya yang pertama yang berumur 3.500 BP (ANU 9448) antara lain ditemukan pecahan gerabah, tulang binatang dan cangkang moluska dan 15 (limabelas) buah beliung kulit kerang (Cassis). Lapisan kedua terdiri dari kulit kerang yang cukup banyak, tulang binatang, lancipan tulang dan serpih batu yang berumur 7.500 BP (ANU 9449). Pada lapisan ketiga ditemukan kerangka manusia dewasa yang di sekitarnya dipenuhi dengan oker. Lapisan ke empat temuannya berupa beliung dari Tridacna yang diperkirakan berumur 13.000-10000 tahun BP (Bellwood 1996:8-9 dalam Soegondho 2008:96).
Di Gua Moh Khiew juga dihuni dalam 5 (lima) pembabakan budaya dengan uraian: Lapisan 1 (pertama) dan 2 (kedua) merupakan lapisan Paleolitik dengan kisaran pentarikhan sekitar 37.000 BP. Lapisan ke 3 (tiga) merupakan lapisan yang serupa dengan budaya Hoabinh dengan pentarikhan sekitar 10.000 BP. Lapisan budaya ke 4 (empat) dan ke 5 (lima) merupakan lapisan Neolitik yang ditarikhkan 6.000 hingga kisaran 3.300 BP (Pookajorn 1996,342-247). Adanya situs dengan lapisan budaya Hoabinh dan Neolitik tersebut memiliki kesamaan dengan lapisan budaya yang ditemukan di situs-situs Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera. Begitu juga dengan pembabakan budayanya yaitu kisaran Mesolitik dan Neolitik. Di situs Bukit kerang Pangkalan pembabakan masa yang tertua yaitu sekitar 12.550 BP dan pembabakan Neolitik (lapisan budaya terakhir) yaitu sekitar 3870 BP.
Adanya situs dengan beberapa lapisan budaya menunjukkan adanya migrasi pada satu situs dalam pembabakan budaya yang berbeda. Masing-masing kelompok migrasi tersebut memiliki pengaruh yang berbeda–beda terhadap kelompok yang lebih awal menetap di lokasi hunian. Dalam kontek migrasi dengan pembabakan budaya yang berbeda juga berlaku hal yang sama, masing-masing kelompok memiliki peran/pengaruh yang berbeda pada budaya kolompok pendahulunya. Sebagai contoh adalah kelompok Hoabinh yang terlebih dahulu tinggal di sekitar Loyang Mendale telah mengalami kontak dengan kelompok migrasi Austronesia awal yang datang langsung dari Thailand misalnya. Pada masa kemudian, ada juga kelompok migrasi lainnya yang datang ke Loyang Mendale namun kelompok ini merupakan kelompok yang bukan dari “wilayah antara” yang sama dengan kelompok sebelumnya, misalnya dari Kalimantan Barat. Sekalipun akar budaya mereka sama dari Cina bagian selatan atau Taiwan namun karena proses persentuhan dengan kelompok lain di “wilayah antara” tersebut maka sangat mungkin variasi budayanya akan memiliki perbedaan. Ada kecendrungan wilayah budaya dengan berbagai kelompok migrasi dengan pembabakan budaya yang berbeda mengalami variasi budaya yang lebih beragam dibandingkan dengan wilayah yang hanya disentuh dengan sebuah pembabakan budaya (wilayahnya terisolir). Perlu juga diingat bahwa besaran kelompok, kemajuan budaya dan kebaharuan waktu migrasi juga sangat menentukan dalam persentuhan dengan budaya yang telah ada pada satu wilayah budaya.
Berdasarkan hal tersebut maka “benang merah” antar akar budaya pada setiap situs dalam pembabakan budaya yang sama, akan sulit dikenali mengingat dapat memiliki bentuk budaya yang berbeda. Oleh karena itu aspek-aspek pada unsur budaya Hoabinh dapat berbeda antara satu situs dengan situs yang lainnya. Terlebih dengan aspek-aspek pada unsur budaya yang berbeda alur budayanya atau pembabakan budayanya juga akan lebih sulit dikenali. Untuk itu, aspek yang serupa pada unsur budaya dengan pembabakan budaya yang berbeda dapat dianggap sebagai hasil dari pembauran. Seperti halnya keberlangsungan penguburan terlipat, kapak pendek yang diupam dan sistem mata pencaharian hidup dapat dianggap sebagai hasil budaya pembauran.
Adanya kontak antarkelompok pengusung budaya yang berbeda juga diungkapkan oleh Bellwood (2000,289) bahwa pendukung budaya prasejarah pasca holosen di Sulawesi Selatan adalah orang Toala dengan ras Australomelanesoid yang diperkirakan budayanya pada lapisan teratas sekitar 4000 tahun yang lalu yang menggunakan maros point. Diduga orang Toala ini hidup berdampingan serta melakukan pertukaran dengan orang Austronesia yang hidup dengan bercocok tanam. Sejalan dengan itu Heekern (1972) menduga bahwa lapisan budaya yang paling atas di Maros dan Pangkep yang artefaknya merupakan fragmen gerabah, mata panah bergerigi dan mata panah bersayap serta lancipan tulang merupakan unsur Toalian (pre Austronesian) sedangkan gerabah merupakan unsur Austronesia. Sehingga diduga adanya percampuran dua kebudayaan atau hidup berdampingannya dua kelompok ras.
Penguburan Terlipat dan Religi Lainnya. Indikasi religi yang kuat pada masa Mesolitik di situs-situs Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera diantaranya dengan ditemukannya kerangka manusia yang terlipat dari situs Pangkalan dengan pentarikhan berkisar 4.860 BP. Adanya penguburan dan kerangka yang terlipat yang disertai bekal kubur mengindikasikan bahwa sudah ada perlakuan khusus terhadap orang yang meninggal. Posisi kerangka yang terlipat tersebut menyerupai posisi bayi di dalam kandungan. Posisi kerangka terlipat tersebut merupakan pencetusan ide bahwa orang yang meninggal akan hidup kembali ke alam lain seperti halnya bayi yang lahir ke alam ini. Jika makna religius kedua hal tersebut benar maka sangat jelas bahwa manusia pendukung budaya Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera telah mengenal religi. Religi dimaksud diantaranya kepercayaan akan adanya kehidupan setelah mati. Jika kerangka dalam posisi terlipat tersebut tidak memiliki makna simbolis yang sama dengan bayi dalam kandungan, maka paling tidak manusia masa itu telah mengenal religi, yaitu diantaranya adalah perlakuan khusus terhadap si mati yang kemungkinan lahir dari kepercayaan akan adanya kekuatan tertentu di dalam tubuh (roh).
Tampaknya religi awal yang ditunjukkan dengan adanya penguburan yang terlipat yang berkonteks dengan budaya Hoabinh maupun berkonteks budaya Austronesia diantaranya; penguburan terlipat di Gua Niah, Serawak yang ditarikhkan 14.000 BP merupakan salah satu bukti evolusi Austroid/Australomelanesoid. Di Gua Gunung Runtuh, Perak, Malaysia ditemukan kerangka laki-laki dengan lengan dan tangan kiri cacat, dikubur dalam posisi jongkok dengan lutut terlipat hingga pada dagu. Kerangka ini memiliki morfologi Australomelanesoid ditarikhkan pada sekitar 10.000 tahun yang lalu dan dikaitkan dengan budaya Hoabinh (Zuraina,1994 dalam Bellwood 2000,121-124; Saidin 2012,17). Di Gua Moh Khiew yang terletak di pantai barat Thailand Selatan ditemukan kerangka manusia yang ditindih batu atau yang dikubur terlipat, yang menyiratkan pembabakan budaya masa Neolitik juga ditemukan di situs ini. model penguburan seperti itu banyak ditemukan di situs-situs Hoabinh di Vietnam (Pham huy Thong et.al 1980;Nguyen Lan Cuong 1986,11-17 dalam Pookajorn 1996,329).
Dalam konteks budaya Bacson dengan pentarikhan 6.085 ± 60 BC di bagian utara Provinsi Thanh Hoa, Thailand posisi penguburan terlipat juga masih ditemukan (Bayard 1984 dalam Higham tt,45). Kalau budaya Bacson ini dianggap sebagai kelanjutan dari budaya Hoabinh maka dapat dikatakan bahwa budaya ini didukung oleh kelompok ras Australomelanesoid yang telah mengenal gerabah seperti halnya pendukung budaya Austronesia. Maka ketika kelompok ras Mongoloid datang ke Pulau Sumatera bagian utara (bukit kerang Pangkalan) maka sangat dimungkinkan kedua ras tersebut hidup berdampingan dan sangat mungkin juga mereka telah berbaur satu sama lain. Indikasi pembauran tidak hanya terlihat dari masih berlangsungnya konsep penguburan dengan cara melipat si mati (flexed burial).
Model penguburan yang terlipat ataupun yang ditindih dengan batu tersebut tampaknya masih berlangsung terus pada masa masa kemudian. Di situs Austronesia Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang sangat jelas menunjukkan adanya perlakuan terhadap si mati yaitu dengan melipat kaki si mati atau melipat yang disertai menindih dengan batu seluruh permukaan tubuh si mati. Perbedaan masa serta budaya yang juga diikuti dengan perbedaan ciri fisik manusianya menunjukkan bahwa ada keberlangsungan budaya. mengingat situs-situs Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera yang diakhiri dengan ciri budaya Neolitik menunjukkan bahwa telah ada kontak antara pengusung ke dua kelompok manusia dan budaya tersebut. Setelah adanya pembauran kedua kelompok manusia tersebut, maka budaya yang ada pada keduanya berkembang dan memunculkan konsep religi yang semakin kompleks termasuk penggunaan wadah kubur (penguburan skunder). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa religi telah dianut kelompok pendukung budaya pra Austronesia. Pada masa berkembangnya budaya Austronesia, religi semakin berkembang dengan tidak meninggalkan konsep lama yang telah ada. Artinya ketika kelompok pendukung budaya Austronesia datang ke wilayah yang baru, dan di wilayah baru itu telah ada kelompok lain yang lebih awal beraktivitas, baik itu kelompok yang memiliki ras dengan budaya yang berbeda atau dengan ras dan budaya yang sama, maka berbagai budaya yang telah ada tidak ditinggalkan begitu saja.
Keberadaan religi pra Austronesia yang kemudian berlanjut pada masa–masa sesudahnya juga ditunjukkan dari bukti pada kemunculan seni cadas pada lokasi penguburan, yang berkaitan dengan perjalanan arwah dengan perahu. Paket budaya ini kemungkinan dibawa oleh orang berbudaya Dongson yang bermigrasi 2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo 2008,25). Budaya seni cadas itu sendiri banyak diyakini sebagai bentuk dari tradisi yang jauh lebih tua dari masa Neolitik. Sehingga dapat dikatakan budaya ini berkembang dari masa pra Austronesia hingga ke masa hegemoni Austronesia dengan budaya Dong Son-nya.
Teknologi Alat batu. Para arkeolog di Vietnam menganggap bahwa kelanjutan dari budaya Hoabinh adalah budaya Bacson yang dinyatakan bertarikh sekitar 11.000 BP. Masa ini peralatan batu yang ujungnya diasah mulai dikenal, gerabah kebanyakan polos atau ditera rotan/tikar tersebar luas setidaknya 6.500 BP yang bertumpang tindih dengan budaya Hoabinh/Bacson di situs bukit kerang Da But, Prov. Thanh Hoa (Bui Vinh 1991). Tampaknya ada pengambilalihan pembuatan gerabah dan mungkin juga kegitan pertanian oleh penduduk asli pada masa Hoabinhian akhir (Bellwood 2000,242). Hal ini dapat juga menyiratkan bahwa adanya kontak budaya antara penduduk pra Austronesia dengan penduduk Austronesia. Kontak dimaksud tampaknya juga diikuti dengan pengambilalihan teknologi khususnya gerabah.
Pengambilalihan teknologi juga dimungkinkan terjadi di situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah yaitu dengan ditemukannya dua buah kapak batu yang memiliki morfologi serupa kapak pendek, hanya saja kedua artefak ini telah diupam halus. Morfologi kedua artefak ini sangat berbeda dengan kapak persegi ataupun lonjong yang ditemukan pada situs-situs Austronesia pada umumnya. Kapak pendek merupakan produk dari budaya Bacson dengan morfologinya yang tergolong pendek dan pada bagian proksimal yang dipangkas terjal (tampak seperti patah). Keberadaan kapak pendek yang diumpam tersebut mengindikasikan bahwa teknologi pembuatan kapak pendek yang telah dikenal oleh kelompok yang tinggal lebih awal di situs Loyang Ujung Karang diupam seperti halnya kapak-kapak masa Neolitik.
Sistem Mata Pencaharian Hidup. Dalam pengorganisasian sederhana pendukung budaya Hoabinh, kelompok perempuan tinggal di lokasi hunian diantaranya dalam upaya memelihara anak dan juga menunggu kelompok laki-laki pulang membawa hasil buruan. Dalam perburuan yang dilakukan oleh kelompok laki-laki tidak selalu membawa hasil yang cepat, tentunya terkadang memerlukan waktu yang agak panjang untuk dapat membawa cukup bahan pangan ke kelompoknya. Dalam upaya menunggu kelompok laki-laki tersebut maka diindikasikan kelompok perempuan yang tinggal diperkampungan akan mengumpulkan bahan pangan yang ada di sekitar tempat tinggal. Selain itu dimungkinkan mereka juga mengumpulkan atau bahkan melakukan pembudidayaan sederhana.
Adanya aktivitas agrikultur pada pembabakan budaya Mesolitik tersebut diketahui dari hasil analisa pollen yang dimungkinkan menjadi bahan pangan di situs bukit kerang Pangkalan, Aceh Tengah yaitu dengan pollenLeguminosae (polong-polongan) dan Rubiaceae (kopi-kopian). Polen tersebut bertarikh 10.240 ± 250 BP (Wiradnyana 2011, 28-118). Pada masa Mesolitik dimungkinkan telah berlangsung aktivitas agrikultur sederhana. Bellwood (2000:301) menegaskan bahwa kondisi pengumpul dan pemburu dimungkinkan menanam umbi-umbian seperti para pemburu-pengumpul makanan Hoabinhian juga sesekali melindungi atau bahkan menanam sekedarnya umbi-umbian hutan dan pohon buah sebelum pertanian yang sitematis muncul. Sejalan dengan itu disebutkan juga oleh Hall (1960) bahwa pemenuhan bahan pangan juga dapat dilakukan dengan upaya budi daya sederhana yaitu dengan menanam bahan pangan seperti sayur-sayuran atau kacang-kacangan di sekitar tempat tinggal. Upaya dimaksud dilakukan oleh kelompok perempuan dan laki-laki umumnya adalah pemburu dan penangkap ikan selain juga pengumpul makanan (Hall,1960:6). Sejalan dengan itu Gorman (1977) dalam analisis karpologi dan palinologi di Spirit Cave (Thailand) mendukung adanya awal kegiatan pertanian, selain menemukan pentarikhan gerabah yang paling tua sekitar 10.000 BP (Forestier 2007,48). Sedangkan Soejono & Leirissa (2007:182) menyebutkan bahwa dari hasil pentarikhan radio karbon di Gua Ulu Leang 1, Maros, Sulawesi Selatan pada butiran dan sekam padi yang berasosiasi dengan gerabah pada kisaran 2.160-1.700 SM.
Keberadaan kelompok pengumpul dan peramu khususnya kelompok pengusung budaya Hoabinh yang telah memiliki kemampuan untuk meningkatkan sumber bahan pangan tampaknya mendapatkan sambutan pada masa–masa kemudian yaitu Neolitik dengan ras Austronesia-nya. Jadi kondisi tersebut sangat dimungkinkan bahwa pada situs-situs Hoabinh di pesisir timur Pulau Sumatera telah ada kontak budaya antara kelompok budaya Hoabinh dengan kelompok budaya Austronesia. Kontak tersebut memungkinkan konsep yang dibawa kelompok Austronesia di gunakan oleh pendukung Hoabinhian atau sebaliknya. Kelompok Austronesia diyakini telah memiliki teknologi pertanian yang sistematis dalam membudidayakan berbagai bahan pangan yang telah dikenal kelompok Australomelanesoid, sehingga beberapa tanaman yang telah dibudidayakan secara sederhana dikembangkan variasinya menjadi Leguminosae (polong-polongan),Papilionaceae (kacang-kacangan), Rubiaceae (kopi-kopian) danConvolvulaceae (kangkung kangkungan). Pengembangan jenis bahan pangan tersebut ditarikhkan 3.870 ± 140 BP hingga 4.120± 140 BP (Wiradnyana 2011, 28-118).
Keberadaan kerangka anjing yang masih utuh di situs Loyang Mendale yang berada pada lapisan budaya Mesolitik akhir pada pentarikhan 5.040 ± 130 BP mengindikasikan bahwa telah dilakukannya domestikasi hewan (anjing). Domestikasi anjing di luar Indonesia sebenarnya telah ditemukan buktinya di Cina dan Thailand pada sekitar 6.000 BP (Soejono & Leirissa 2007:182). Domestikasi anjing tersebut sangat dimungkinkan digunakan untuk membantu aktivitas perburuan. Pemanfaatan anjing sebagai binatang buruan juga ditemukan pada masa–masa selanjutnya. Jadi konsep tentang domestikasi baik itu tumbuhan (jenis kacang kacangan/polong-polongan dan kangkung-kangkungan) maupun hewan (anjing) yang telah dikenal pada pembabakan budaya Mesolitik berlanjut pada pembabakan budaya Neolitik. Hal tersebut dapat dimungkinkan diantaranya jika terjadi pembauran antara dua kelompok manusia tersebut. Kontak antarkelompok pendukung budaya Hoabinh dengan kelompok budaya Austronesia dimungkinkan diantaranya karena adanya pembabakan pentarikhan yang relatif tidak terlalu jauh antara kedua pembabakan budaya, selain adanya pemanfaatan lokasi hunian yang sama.
Penutup. Uraian di atas menggambarkan bahwa situs-situs budaya Hoabinh di pesisir dan pegunungan Pulau Sumatera bagian utara selalu diakhiri dengan keberadaan gerabah. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa ada keberlangsungan pemanfaatan lokasi dan dimungkinkan pemanfaatan secara bersama lokasi hunian dimaksud. Artinya orang-orang Hoabinh pada pembabakan budaya Mesolitik yang memiliki ras Australomelanesoid dimungkinkan hidup berbaur dengan pendukung budaya Neolitik dari ras Mongoloid yang berbudaya Austronesia.
Interkasi dimungkinkan terjadi diantara budaya Hoabinh dan budaya Austronesia diindikasikan dari:
- Pemanfaatan lokasi hunian yang sama, sehingga sebuah situs memiliki beberapa lapisan budaya yang berbeda. Situs budaya Hoabinh kerap berbaur dengan situs Austronesia dan kadangkala pentarikhannya tidak jauh berbeda antara kedua budaya tersebut sehingga dimungkinkan kedua pengusung budaya ini berinteraksi.
- Aspek religi yang merupakan unsur budaya berlanjut dari Budaya Hoabinh hingga masa Austronesia. Sejalan dengan itu prosesi penguburan dengan ciri budaya Hoabinh yaitu penguburan terlipat (flexed burial) juga ditemukan pada pendukung budaya Austronesia yang memiliki pembabakan budaya Neolitik. Pada aspek teknologi juga ditemukan kesamaan morfologi peralatan batu (kapak pendek) pada masa Mesolitik hingga Neolitik, hanya saja pada masa Neolitik kapak tersebut telah diupam.
- Pada aspek perekonomian (agrikultur) dalam upaya pemenuhan bahan pangan seperti pembagian kerja untuk perempuan dan laki-laki dewasa, berlanjut dari masa Mesolitik (Hoabinh) ke masa Neolitik (Austronesia). Laki-laki dewasa berburu di luar lingkungannya sedangkan perempuan berada mengumpulkan makanan di sekitar lingkungannya. Selain itu upaya mendomestikasi hewan (anjing) untuk hewan buruan yang telah berlangsung pada masa berkembangnya budaya Hoabinh juga berlanjut pada masa berkembangnya budaya Austronesia. Pada aspek tanaman pangan di masa Mesolitik (Hoabinh) hanya dikenal jenis tanaman pangan berupa Leguminosae (polong-polongan) dan Rubiaceae (kopi-kopian). Sedangkan pada masa Neolitik (Austronesia) variasi bahan pangan lebih beragam, yaitu Leguminosae (polong-polongan),Papilionaceae (kacang-kacangan), Rubiaceae (kopi-kopian) danConvolvulaceae (kangkung kangkungan).
Kepustakaan
Bellwood, Peter., 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Boedhisampurna, S. 1983.” Kerangka Manusia Dari Bukit Kelambai, Stabat, Sumatera Utara”. dalam PIA III. Jakarta: Puslit Arkenas
Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung Ribuan Alat Batu, Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Jakarta: KPG
Hall, D.G.1960. A History of South-East Asia.London:Macmillan & Co.LTD
Higham, Charles. Tt. The Archaeology of Mainland Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press
Palm, C.H.M. 1980. Sejarah Antropologi Budaya. Bandung: Jemmars Bandung
Pookajorn, Surin.1996. “ Final Report of Excavations at Moh. Khiew Cave, Krabi Province: Sakai Cave Trang Province and Ethnoarchaaeological Research of Hunter-gutherer Group,Socall Mani or Sakai or Orang Asli at Trang Province” dalam The Hoabinh Research Project in Thailand. Bangkok: Departement of Archaeology Faculty Archaeology, Silpakorn University
Saidin, Mokhtar. 2012. From Stone Age to Early Civilisation in Malaysia. Pulau Pinang: Unibersiti Sains Malaysia
Soegondho, Santoso. 2008. “Prasejarah Maluku: Mata Rantai Budaya Asia-Pasifik” dalam Prasejarah Indonesia Dalam Lintasan Asia Tanggara-Pasifik. Yogyakarta: Asosiasi Prehistorisi Indonesia
Soejono, RP & Leirissa, RZ. 2007. Sejarah Nasional Indonesia I, Zaman Prasejarah di Indonesia (edisi pemuktakhiran). Jakarta: Balai Pustaka
Syam, Nur. 2007. Madzhab Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
Tanudirjo, Daud A. 2008. “Problem dan Prospek Kajian Seni Cadas Prasejarah di Indonesia” dalam Prasejarah Indonesia Dalam Lintasan Asia Tenggara–Pasifik. Yogyakarta: Asosiasi Prehitorisi Indonesia
Wiradnyana, Ketut., 2011.Prasejarah Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wiradnyana, K., & Taufiqurahman S., 2011.Gayo Marangkai Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber:
http://nbasis.wordpress.com/2012/09/29/indikasi-pembauran-budaya-hoabinh-dan-austronesia-di-pulau-sumatera-bagian-utara/
No comments:
Post a Comment