Tuesday, February 10, 2015

Antara Evolusi dan Penciptaan

Antara Evolusi dan Penciptaan

Fakultas Biologi menyelenggarakan seminar bertajuk “Manusia Jawa Purba: A New Adventure” di ruang E123 kampus Satya Wacana pada hari Kamis, 9 Oktober 2008. Seminar ini membahas evolusi manusia dan masa depan kemanusiaan. Harry Widianto, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, hadir sebagai pembicara pertama.
Harry Widianto adalah doktor paleontologi lulusan Perancis. Tingginya sekitar 160 sentimeter dan berpostur agak gemuk. Harry sering memakai kosakata bahasa Jawa untuk mendeskripsikan bentuk fosil.
Ketika menjelaskan proses evolusi manusia, Harry lebih banyak mengacu pada kapasitas tengkorak atau volume otak fosil manusia purba. “Dalam evolusi manusia, bagian yang paling banyak mengalami perubahan adalah bagian kepala manusia. Hal ini disebabkan oleh perkembangan otak yang sangat dinamis dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya,” tulis Harry dalam makalah seminarnya.
Pada Australopithecus, kelompok hominid yang hidup sekitar lima juta tahun lalu, kapasitas tengkoraknya adalah 550 sentimeter kubik. Generasi berikutnya, Homo habilis — yang hidup 2,5 juta tahun kemudian — punya kapasitas tengkorak 150 sentimeter kubik lebih banyak. LaluHomo erectus — yang hidup antara 1,7 juta hingga 300 ribu tahun lalu — punya kapasitas tengkorak antara 900 hingga 1.000 sentimeter kubik. Sedangkan Homo sapiens, spesies manusia modern yang mulai ada sejak sekitar 200 ribu tahun lalu, punya kapasitas otak antara 1.200 sampai 1.400 sentimeter kubik.
“Dari Australopithecus ke Homo habilis saja butuh waktu jutaan tahun untuk berevolusi. Itu pun pertambahannya (kapasitas tengkorak — Red) tidak banyak. Dari Homo habilis ke Homo erectus juga begitu, butuh jutaan tahun. Tapi kok ini dari Homo erectus ke Homo sapiens, yang pertambahan volume otaknya cukup banyak, terjadinya begitu cepat, hanya butuh sekitar 100 ribu tahun? Lha, ini kan nggak mungkin,” kata Harry.
Multiregional hypothesis
Perdebatan pun meramaikan duniapaleoantropologi. Ada dua hipotesis yang muncul, yakni Multiregional dan Out of Africa.

Hipotesis pertama bersikukuh dengan pendapat bahwa Homo sapiens merupakan hasil evolusi gradual dan terus-menerus dari Homo erectus.Gustav Schwalbe, ahli anatomi dari Jerman yang memulai hipotesis ini, menyatakan bahwa ada rangkaian evolusi dari Pithecanthropus di Jawa, menuju Homo neanderthalensis di Eropa, hingga Homo sapiens masa kini. Pendapat ini dipertegas Franz Weidenreich setengah abad kemudian. Ahli anatomi dari University of Strasbourg itu memberi gambaran jalur evolusi paralel di Dunia Lama (Eropa, Asia, dan Afrika — Red), mulai dari Homo erectusHomo sapiensarkais, hingga Homo sapiens modern.
Sedangkan hipotesis kedua, Out of Africa, menyatakan bahwa Homo sapiens berasal dari suatu tempat di Afrika dan mulai menyebar sejak sekitar 100 ribu tahun lalu. Dalam penyebaran itu,Homo sapiens mendominasi hingga akhirnya menyebabkan kepunahan Homo erectus. “Jadi ada kemungkinan kalau Homo sapiens pernah duduk semeja dan makan bareng dengan Homo erectus,” kata Harry.
Harry sendiri mengaku lebih condong pada Out of Africa. Dulu, ketika menulis disertasi doktoralnya, ia membagi evolusi manusia menjadi dua jalur. Pada jalur pertama digambarkan, evolusi manusia dimulai dari AustralopithecusHomo habilisHomo erectus, dan kemudian hilang. Harry memakai notasi “?” untuk kekosongan pasca-Homo erectus. Sedangkan pada jalur kedua digambarkan, Homo sapiens tak punya — belum punya atau belum ditemukan — akar evolusi, hingga Harry menuliskan notasi “?” sebagai akar evolusi manusia modern.
***
Liang Bua adalah salah satu gua di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Di gua itulah, pada September 2003, Mike Morwood, Peter Brown, serta beberapa koleganya menemukan rangka manusia purba berusia sekitar 18 ribu tahun. Rangka itu ditemukan pada kedalaman 5,9 meter dari permukaan tanah. “Rangka ini hampir utuh, sangat rapuh, dan belum menunjukkan proses fosilisasi sama sekali, atau belum tertutup oleh kalsium karbonat,” tulis Harry tentang rangka yang kemudian diberi kode Liang Bua 1 (LB1) itu.
Rangka LB1 bertinggi badan 106 sentimeter. Kapasitas tengkoraknya sekitar 380 sentimeter kubik, jauh di bawah Homo erectus (1.000 sentimeter kubik) dan Homo sapiens (1.400 sentimeter kubik), dan bahkan di bawah simpanse (450 sentimeter kubik). Semua ciri fisik tersebut, kecuali alat-alat mastikasinya (rahang maupun gigi), mirip dengan Australopithecus afarensis yang hidup di Afrika antara 3,9 hingga 2,9 juta tahun lalu.
Dalam makalah seminarnya, Harry mencatat pernyataan Brown atas LB1, “Kombinasi karakter primitif dan asal yang mosaik, unik, dan tidak ditemukan pada hominid lain.”
LB1 kemudian dianggap sebagai spesies baru dari genus Homo, dengan tatanama binomialHomo floresiensis. Spesies ini sering diidentikkan dengan Hobbit, ras manusia cebol yang muncul dalam fantasi The Lord of the Rings karya John Ronald Reuel Tolkien, seorang penulis-cum-filolog dari Inggris.
Penamaan rangka LB1 sempat mendapat kritik dari Teuku Jacob, profesor antropologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jacob menyatakan, LB1 bukanlah spesies baru. LB1 adalah Homo sapiens yang mengalami pengerdilan karena menderita mikrosefali, suatukelainan dalam proses perkembangan saraf otak. Sementara itu, Maciej Henneberg, profesor ilmu anatomi dari University of Adelaide, menyatakan bahwa tengkorak LB1 sangat identik dengan tengkorak dewasa manusia modern yang hidup sekitar empat ribu tahun lalu di pulau Kreta, Yunani. Henneberg sepakat dengan Jacob, LB1 hanyalah Homo sapiens pesakitan.
“Pernyataan Jacob dan Henneberg ini akan mendapat tantangan serius apabila dihubungkan dengan banyaknya jumlah individu minimal, yaitu tujuh individu, yang semuanya mempunyai postur tubuh yang sama, kerdil,” tulis Harry. “Dalam hal ini, patologi akan lebih bersifat sebagai kasus individual, dan bukan pada suatu populasi.”
Frontal lobe
Hasil penelitian Dean Falk dari Florida State University terhadap cetakan otak LB1 membantah pendapat Jacob dan Henneberg. Lobus frontal LB1, yang merupakan daerah pemroses pemikiran tinggi, menunjukkan pembesaran signifikan. Lobus temporalnya (fungsi memori dan emosi — Red) juga telah melebar dan berkembang. Hanya saja, lobus oksipital LB1 masih primitif, mirip dengan milik Homo erectus. Menurut Falk, bisa jadi LB1 adalah Homo erectus yang tinggal dalam lingkungan pulau insuler dengan sumber makanan terbatas, sehingga memungkinkan terjadinya pengerdilan. Falk juga membandingkan cetakan otak LB1 dengan milik Homo sapiens penderita mikrosefali, dan menemukan banyak ketidaksamaan di antara keduanya.

Harry sendiri menyebutkan bahwa lewat pengamatan saksama terhadap tengkorak LB1, terlihat percampuran karakter yang cukup menonjol antara Homo erectus dan Homo sapiens. “Pada Manusia Flores inilah terdapat kombinasi karakter erectus dan sapiens,” kata Harry.
Karakter Homo erectus terlihat pada tengkorak yang rendah dan panjang. Dahinya miring ke belakang dengan penonjolan kening. Di antara dahi dan tulang kening terdapat cekungan. Pada bagian bawah, muka LB1 menjorok ke depan dengan rahang besar dan kekar. Namun muka yang sempit dan tinggi, palatin (tulang yang membentuk langit-langit mulut — Red) sempit, serta morfologi dan dimensi gigi yang modern menyamai ciri Homo sapiens.
“Kalau dilihat dari masa hidupnya yang sekitar 18 ribu tahun yang lalu (periode dominasi evolusi Homo sapiens — Red) itu, seharusnya LB1 dan LB3 dianggap sebagai salah satu variasiHomo sapiens,” kata Harry. LB3 adalah temuan lain yang serupa dengan LB1.
Harry rupanya tak sepakat dengan penggunaan tatanama binomial Homo floresiensis. Ia menulis, “Untuk mendefinisikan sebuah spesies baru, terdapat cara-cara tertentu yang harus diikuti menurut tatanan taksonomik, antara lain: harus benar-benar berbeda dari spesies yang telah ada (habiliserectussapiens), dan bukan pula campuran antara ketiga atau keduanya.”
“Dalam hal ini, ketentuan-ketentuan tersebut tidak terlihat, karena Manusia Flores adalah campuran erectus dan sapiens, sehingga bukan sebuah spesies baru. Oleh karenanya, namanya adalah Homo sapiens floresiensis.”
***
Does size matter?” Demikianlah salah satu subjudul buku The Future of the Brain karya Steven Rose, profesor biologi dan neurobiologi dari University of London. Dalam buku itu, Rose mengatakan bahwa otak bukanlah organ uniter. Karena itu, argumen “bigger-means-better” — untuk volume otak — adalah argumen yang “over-simplistic“, katanya.
Rose lantas menyebut apa yang disebut antropolog evolusioner Terrence Deacon sebagai “Chihuahua paradox“. Anjing Chihuahua punya ukuran tubuh lebih kecil daripada Alsatian, ras anjing gembala dari Jerman. Namun ukuran otak mereka kurang lebih sama. Itu artinya, Chihuahua punya rasio tubuh-otak lebih tinggi daripada Alsatian. Meski demikian, kedua ras anjing itu tak pernah dibedakan berdasarkan tingkat intelejensinya. Maka, jika bicara soal perkembangan otak, pasti ada faktor lain yang berpengaruh ketimbang besar volumenya saja.
Dengan pendekatan biologi molekuler, para ilmuwan berkesempatan mempelajari ontogeniotak manusia secara “lebih tidak simplistis”. “Dengan bioinformatika (penerapan teknik komputasional dalam biologi — Red) kita bisa melakukan analisis pohon kekerabatan serta menganalisis struktur gen dan genom, kandungan gen yang sama dalam genom, keteraturan posisi gen di dalam genom, rata-rata kesamaan urutan, dan filogenomik,” kata Ferry Fredy Karwur sambil membacakan makalah seminarnya.
Menurut Ferry, “Melalui pendekatan-pendekatan molekuler kita boleh lebih kokoh memahami bahwa migrasi dan pola persebaran manusia modern di muka bumi terjadi melalui teori Out of Eden.”
Ferry adalah pengampu matakuliah Evolusi di Fakultas Biologi. Ia seorang PhD di bidang biologi molekuler dari Imperial College, satu universitas di London yang menurut THES-QS World University Rangkings 2008 adalah universitas terbaik keenam di dunia. Pada seminar evolusi tempo hari, Ferry adalah pembicara kedua, setelah Harry Widianto.
Genom
“Menurut teori genetika, ada konservasi genetik,” kata Ferry.

Genom (pembawa informasi genetik suatu organisme — Red) mengandung fosil-fosil DNA yang tak bermutasi atau berubah untuk waktu yang lama. Dengan mengekstrak DNA tulangHomo neanderthalensis, para ilmuwan dapat melakukan perbandingan antara genom Manusia Neanderthal dan Manusia Bijak (Homo sapiens), dan menemukan bahwa genom mereka 99,5 persen sama!
“Hal yang membuat kita terbelalak adalah temuan-temuan di tingkat protein dan DNA, bahwa jarak genom antara manusia modern dan simpanse lebih dekat (dengan tingkat kesamaan DNA genomic 98,7 persen) ketimbang jarak antara simpanse dengan orangutan dan gorila,” tulis Ferry dalam makalahnya.
“Pada titik inilah kita diberi kesadaran baru bahwa ada pintu masuk ke arah studi molekuler-fungsional untuk menyingkap hubungan antara kita, manusia modern, dengan organisme lain dalam kerabat Hominini.”
Tapi kemiripan genom bukanlah segalanya. “Meskipun genomnya sama, tapi kalau ekspresi gennya beda, ya beda kan?” tandas Ferry. Dalam makalahnya, ia mengutip pernyataan ahli genetika manusia Mary-Claire King dan Allan C. Wilson: “A relatively small number of genetic changes in systems controlling the expression of genes may account for the major organismal differences between humans and chimpanzees.
Perbedaan-perbedaan morfologis dan kognitif antara manusia dan simpanse terjadi karena perbedaan ekspresi gen. Hasil studi ekspresi gen neokorteks (selaput luar otak — Red) manusia dan simpanse, yang dipublikasikan Mario Caceres beserta kolega-koleganya pada Oktober 2003, menyatakan bahwa setidaknya ada 169 gen yang menunjukkan perbedaan ekspresi, terutama gen-gen yang terletak di wilayah korteks. Empat bulan kemudian, Monica Uddin, Derek Wildman, dan kolega-koleganya turut memublikasikan laporan studi yang menyatakan bahwa profil ekspresi gen simpanse lebih dekat dengan manusia ketimbang gorila.
“Wildman et al.,” demikian tulis Ferry untuk Wildman, Uddin, dan kolega-kolega mereka, “berdasarkan studi mereka terhadap 90 kbp dari 97 gen manusia, simpanse, gorila, dan orangutan, menyimpulkan bahwa simpanse harus dimasukkan ke dalam genus Homo karena memiliki kesamaan yang sangat tinggi (99,4 persen) pada mutasi-mutasi yang secara fungsional penting (mutasi non-sinonim).”
Sebagaimana telah dilakukan pada simpanse dan manusia, untuk memastikan hubungan kekerabatan antara Homo sapiens dan Homo neanderthanlensis, maka harus diadakan pengujian ekspresi gen di antara keduanya. “Nah, ini yang susah, lha wong organismenya sudah mati,” kata Ferry. “Tapi, dalam batas-batas bioetika, mungkin kita bisa lakukan pengujian ekspresi gen (Homo neanderthalensis) dengan menanamnya pada sistem kultur selmanusia.”
***
“Tidak ada kekekalan hayati,” tulis Ferry dalam makalahnya, “pun di aras molekuler. Gen datang dan pergi. Ia muncul, mengalami modifikasi berangsur-angsur atau radikal menuju perubahan fungsi, dan mengalami kematian.” Gen yang telah mati bisa jadi pseudogen, sampah yang terakumulasi dalam genom.
Lantas pertanyaannya, apa — atau siapa — yang bertanggungjawab atas mekanisme-mekanisme molekuler tersebut?
Mengutip Francois Jacob, ahli biologi pemenang Nobel dari Perancis, Ferry menjawab bahwa semua mekanisme tersebut terjadi melalui proses tinkering (secara asal saja), yakni proses penciptaan hal baru lewat kombinasi acak dari bentuk-bentuk yang telah ada sebelumnya.
“Pada saat yang bersamaan pula muncul pertanyaan menantang dari sudut epistemologis danetis: Apakah kita dibolehkan untuk memahami ekspresi gen-gen agar tersingkap pertanyaan-pertanyaan mengapa manusia telah berevolusi dan menjadi spesies yang paling perkasa di jagad raya ini.”
Namun tak ada satupun hadirin seminar yang bisa menjawab pertanyaan ini hingga seminar usai, termasuk dua penanggap ahli waktu itu: Jubhar Christian Mangimbulude dan Yulius Yusak Ranimpi.
Yulius hanya memaparkan pandangannya mengenai psikologi evolusioner, sebuah pendekatan yang melihat bahwa ciri-ciri mental dan psikologis manusia merupakan produk fungsional dari seleksi alam. Sebelum mengakhiri jatah bicaranya, Yulius menekankan pentingnya studi tentang otak, dari sisi psikologis dan biologis, dalam penelitian lebih lanjut tentang evolusi manusia. Ia melontarkan wacana kerjasama antara Fakultas Psikologi dan Fakultas Biologi.
Izak Lattu, moderator seminar yang juga dosen Fakultas Teologi, pun ikut angkat bicara di akhir seminar. Menurutnya, dari sudut pandang teologis, “teori Penciptaan” yang tertera pada kitab Kejadian di Alkitab tak akan masuk di akal manusia, “Kalau kita baca Alkitab secara tekstual (saja).” Artinya, harus ada penafsiran. Jika dalam kitab Kejadian disebutkan (secara tekstual) bahwa dunia diciptakan dalam waktu enam hari, mungkin enam hari yang dimaksud bukanlah “enam kali 24 jam” seperti pengertian “hari” yang dipahami secara umum. “Mungkin waktu Tuhan beda dengan waktu kita,” kata Izak.
“Mungkin saat ini, kelihatannya, ilmu pengetahuan dan agama itu seperti dua rel yang sejajar. Tapi mungkin nanti, suatu saat, kita nggak tahu kapan, dua rel yang sejajar tadi bisa ketemu di satu titik,” tambah Harry Widianto.
Saya jadi teringat kata-kata fisikawan Fritjof Capra dalam buku The Tao of Physics: “Physicists do not need mysticism, and mystics do not need physics, but humanity needs both.

Sumber:
http://scientiarum.uksw.edu/2008/10/27/antara-evolusi-dan-penciptaan/

No comments:

Post a Comment