Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aryso Santos,
menegaskan teorinya bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang
disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia
menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005).
Santos menampilkan 33 perbandingan ciri-ciri dari 12 lokasi di muka
bumi yang diduga para sarjana lain sebagai situs Atlantis, seperti luas
wilayahnya, cuacanya, kekayaan alamnya, gunung berapinya, dan cara
bertaninya, dll. yang akhirnya Santos menyimpulkan bahwa Atlantis itu
adalah Indonesia sekarang. Salah satu buktinya adalah sistem terasisasi
sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh
Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Aryso Santos juga menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan),
antropologis dan arkeologis dalam penelitiannya. Dia banyak mendapatkan
petunjuk dari reflief-relief dari bangunan-bangunan dan artefak
bersejarah dan piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban
Maya dan Aztec di Amerika Selatan, candi-candi dan artefak-artefak
bersejarah peninggalan peradaban Hindu di lembah sungai Hindustan
(Peradaban Mohenjodaro dan Harrapa). Juga dia mengumpulkan
petunjuk-petunjuk dari naskah-naskah kuno, kitab-kita suci berbagai
agama seperti the Bible dan kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll.
Konteks Indonesia Secara Geologis dan Geografis
Menurut Prof. Dr. H. Priyatna Abdul Rasyid, Ph.D. Direktur Kehormatan
International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis: bukanlah
suatu kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan
Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan
perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu
kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk
penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara
Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah
dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua
yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa
itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es
(era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara
bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu,
maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air yang berasal dari
es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan
gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi
di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung Toba yang meletus pada saat itu. Letusan yang
paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang
memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat
dataran Sunda.
Kata Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya
(Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu
merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam,
ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya. Plato menduga bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh
bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana
yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian
ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus,
Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil
itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung
berapi itu, menyebabkan lapisan es di muka bumi mencair dan mengalir ke
samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu
gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan
tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada
pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi
oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos, dengan mengutip teori para
geolog, menamakannya sebagai Heinrich Events, bencana katastrop yang
berdampak global. Beberapa artikel resume dari buku Aryso Santos ini
dipublikasikan di situs internetnya di http://www.atlan.org.
Menurut Santos, dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada
sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama
mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak
benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang
oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik
terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Priyatna mengatakan: “Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang
antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua
yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai
wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai
gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang,
Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru,
Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif
kembali.”
Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya
tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian
meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan
gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable
(tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus
di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang
menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada
kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari
masa yang lampau.
Menurut Priyatna, bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap
sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat
kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis
pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang
rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah
saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.
Koran Republika, Sabtu, 18 Juni 2005 menulis bahwa para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’
masih terselimuti kabut misteri. Sebagian orang menganggap Atlantis cuma
dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis
oleh para pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis tetap
merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya
lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua Atlantis terletak di
Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis
dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah
yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun
silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya
zaman es.
“Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia,” kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof
Umar Anggara Jenny, Jumat (17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005.
Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan
penting soal penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan penting
ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina
Selatan yang tenggelam setelah zaman es.
Hipotesa itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin
mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Tema ini,
lanjutnya, bahkan menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium
internasional di Solo, 28-30 Juni 2005.
Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa dari benua
Atlantis – jika memang benar – adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan
kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang
mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi,
seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos
Plato. Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua
Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat
lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000
tahun lampau. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry Truman
Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari sebagian pakar yang
menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di Indonesia. Namun hal itu
masih debatable.
Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah daratan besar yang
dahulu kala bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira dua kali
negara India. “Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra, Jawa
atau Kalimantan,” terang Harry. Menurut dia, sah-sah saja para ilmuwan
mengatakan bahwa wilayah yang tenggelam itu adalah benua Atlantis yang
hilang, meski itu masih menjadi perdebatan yang perlu diverifikasi
secara ilmiah oleh berbagai pihak yang berwenang (otoritatif), misalnya
Badan Arkeologi Nasional RI.
Dominasi Austronesia
The biblical flood really did occur – at the end of the last Ice
Age. The Flood drowned for ever the huge continetal shelf of Southeast
Asia, and caused a population dispersal which fertilized the Neolithic
cultures of China, India, Mesopotamia, Egypt and the eastern
Mediterranean, thus creating the first civilizations. The Polynesians
did not come from China but from the islands of Southeast Asia. The
domestication of rice was not in China but in the Malay Peninsula, 9,000
years ago. In this ground breaking new book Stephen Oppenheimer reveals
how evidence from oceanography, archaeology, linguistics, genetics and
folklore overwhelmingly suggests that the lost ‘Eden’ – the cradle of
civilization – was not in the Middle East, as is usually supposed, but
in the drowned continent of Southeast Asia. (Stephen Oppenheimer)
http://www.bradshawfoundation.com/stephenoppenheimer/reading.html
Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia sebagai rumpun bahasa
merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini
memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang
tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa
tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang.
“Pertanyaannya dari mana asal-usul mereka? Mengapa sebarannya begitu
meluas dan cepat yakni dalam 3500-5000 tahun yang lalu. Bagaimana cara
adaptasinya sehingga memiliki keragaman budaya yang tinggi,” tutur Umar.
Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa
Austronesia berasal dari Sunda Land yang tenggelam di akhir zaman es.
Populasi yang sudah maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia
daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan
mengembangkan peradaban.
Peta Penyebaran Umat Manusia pasca Ledakan Supervolcano Toba 75.000
tahun yang lalu. Apa yang diungkap Prof. Dr. Umar Anggara Jenny dan
Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia
ini dibenarkan oleh Prof.Dr. Abdul Hadi WM, budayawan dan sastrawan terkemuka Indonesia.
Konteks Indonesia secara Filosofis dan Spiritual
Secara filosofis dan historis, apa yang telah dirumuskan oleh para Founding Fathers
Republik Indonesia menjadi Panca Sila, apakah secara langsung atau
tidak, mungkin terinspirasi atau ada kemiripan (paralelisme) dengan
konsep Plato tentang “Negara Ideal” yang tertulis dalam karyanya “Republic“.
Konsep Plato tentang sistem kepemimpinan masyarakat dan siapa yang
berhak memimpin bangsa, bukanlah berdasarkan sistem demokrasi
formal-prosedural yang liberal ala demokrasi Barat (Amerika) saat ini.
Secara sederhana konsep kepemimpinan Platonis adalah “King Philosopher” atau “Philospher King“. Konsep ini Plato dapatkan dari kisah tentang sistem pemerintahan dan negara Atlantis.
Menurut Plato suatu bangsa hanyalah akan selamat hanya bila dipimpin
oleh orang yang dipimpin oleh “kepala”-nya (oleh akal sehat, ilmu
pengetahuan dan hati nuraninya), dan bukan oleh orang yang dipimpin oleh
“otot dan dada” (arogansi), bukan pula oleh “perut” (keserakahan), atau
oleh “apa yang ada di bawah perut” (hawa nafsu). Hanya para filosof,
yang dipimpin oleh kepalanya, yaitu para pecinta kebenaran dan
kebijaksanaan-lah yang dapat memimpin dengan selamat, dan bukan pula
para sophis (para intelektual pelacur, demagog) seperti orang
kaya yang serakah (tipe Qarun, “manusia perut” zaman Nabi Musa), atau
tipe Bal’am (ulama-intelektual-penyihir yang melacurkan ilmunya kepada
tiran Fir’aun). Plato membagi jenis karakter manusia menjadi 3: “manusia
kepala” (para filosofof-cendikiawan-arif bijaksana), “manusia otot dan
dada” (militer), dan “manusia perut” (para pedagang,
bisnisman-konglomerat). Negara akan hancur dan kacau bila diserahkan
kepemimpinannya kepada “manusia otot-dada” atau “manusia perut”, menurut
Plato.
Dr. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam konteks terminologi agama mutakhir: Islam, istilah Philosophia atau Sapientia, era Yunani itu identik dengan terminologi Hikmah dalam al-Qur’an. Istilah Hikmah terkait dengan Hukum
(hukum-hukum Tuhan Allah SWT yang tertuang dalam Kitab-Kitab Suci para
Nabi dan para Rasul Allah, utamanya Al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah
Rasulullah terakhir Muhammad SAW, yang telah merangkum dan melengkapi
serta menyempurnakan ajaran dan hukum rangkaian para nabi dan rasul
Allah sebelumnya. Hukum yang berdasarkan dan bergandengan dengan Hikmah, bila ditegakkan oleh para Hakim dalam sebuah sistem Hukumah
(pemerintahan) inilah yang akan benar-benar dapat merealisasikan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-kebijaksanaan
dalam permusyawaratan-perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Maka semakin jelaslah mengapa konsep kepemimpinan berdasarkan Panca
Sila itu terkait erat dengan konsep kepemimpinan negara versi Plato,
karena ia mengambilnya dari peradaban tertua yang luhur dari peradaban
umat manusia pertama (Adam As dan keturunannya) yang mendapat hidayah
dan ilmu langsung dari Tuhan YME: Allah SWT. Dan entah benar atau tidak,
lokasinya adalah di Nusantara (Asia Tenggara).
Surga Atlantis, Yunani dan Indonesia
Plato mendapatkan ilham filsafat politiknya serta informasi tentang
peradaban dan perikehidupan bangsa antik yang luhur Atlantis, dari
Socrates gurunya, juga dari jalur kakeknya yang bernama Critias. Di mana
Critias mendapatkan berita tentang Atlantis dari Solon yang
mendapatkannya dari para pendeta (ruhaniawan) di Mesir kuno.
Menurut penelitian Aryso Santos, para pendeta (rohaniwan) Mesir kuno
ini, mewarisi informasi tentang Atlantis ini dari para leluhurnya yang
berasal dari Hindustan (India yang merupakan peradaban Atlantis ke-2)
dari peradaban bangsa Atlantis pertama di Sunda Land (Lemuria) atau
Nusantara. Aryso Santos juga menemukan banyak informasi-informasi yang
mengarahkan kesimpulannya dari artefak-artefak dan situs bersejarah di
Mesir.
Aryso Santos juga menemukan bahwa cerita tentang Atlantis terkait
dengan kisah para “dewa’ dalam mitologi Yunani dan perikedupan manusia
pertama, keluarganya dan masyarakat keturunannya. Cerita ini ada
kemiripan dengan kisah Zeus dalam mitology dan legenda Yunani, juga
dengan kisah dalam kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll. “All
nations, of all times, believed in the existence of a Primordial
Paradise where Man originated and developed the fist civilization ever.
This story, real and true, is told in the Bible and in Hindu Holy Books
such a the Rig Veda, the Puranas and many others. That this Paradise lay
“towards the Orient” no one doubts, excepting some die-hard scientists
who stolidly hold that the different civilizations developed
independently from each other even in such unlikely, late places such as
Europe, the Americas or the middle of the Atlantic Ocean. This, despite
the very considerable contrary evidence that has developed from
essentially all fields of the human sciences, particularly the
anthropological ones. It is mainly on those that we base our arguments
in favor of the reality of a pristine source of human civilization
traditionally called Atlantis or Eden, etc.” tulis Aryso Santos.
Yang cukup mengejutkan adalah bahwa Peradaban kuno Atlantis, yang
kemungkinan adalah peradaban pertama umat manusia, justru sudah beradab
(civilized) dan punya kemampuan sains dan teknologi, dan sistem
kemasyarakatan dan ketatanegaraan ideal yang cukup maju yang tak
terbayangkan oleh kita sekarang itu dapat terjadi 11.600 tahun yang
lalu. Dari sudut pandang umat Islam, hal ini tidaklah mengherankan,
karena Nabi Adam, sebagai manusia (kalifatullah) pertama telah diajari
Allah semua ilmu pengetahuan tentang nama-nama (QS 2 : 30) .
Sebuah bangsa kepulauan, yang menurut anggapan Plato berlokasi di
tengah Samudra Atlantik, dihuni oleh suatu ras manusia yang mulia dan
sangat kuat (noble and powerfull). Rakyat tanah air tersebut
sangat makmur sejahtera yang sangat bersyukur atas segala karunia sumber
daya alam yang diketemukan di seantero kepulauan mereka. Kepulauan itu
adalah sebuah pusat perdagangan dan kegiatan komersial. Pemerintahan
negeri itu memperjalankan para penduduknya untuk memperdagankan hasil
buminya sampai ke Afrika dan Eropa.
Negara Atlantis.
Poseidon = Pasundan ???
Menurut cerita Plato Atlantis adalah wilayahnya Poseidon, dewa laut.
Ketika Poseidon jatuh cinta kepada wanita yang bisa mati, Cleito, dia
membuat sebuah sumur di puncak bukit di tengah-tengah pulau dan membuat
kanal-kanal air berbentuk lingkaran cincin di sekitar sumur tersebut
untuk melindungi istrinya itu. Cleito melahirkan lima pasang anak kembar
laki-laki yang menjadi penguasa pertama Atlantis. Negeri pulau itu
dibagi-bagi di antara para saudara laki-lakinya. Yang tertua, Atlas,
raja pertama Atlantis, diberi kontrol atas pusat bukit dan area
sekitarnya.
Pada puncak tengah bukit, untuk menghormati Poseidon, sebuah bangunan
candi, kuil atau istana dibangun yang menempatkan sebuah patung emas
raksasa dari Poseidon yang mengendarai sebuat kereta yang ditarik kuda
terbang. Di sinilah para penguasa Atlantis biasa mendiskusikan hukum,
menentapkan keputusan dan memberi penghormatan kepada Poseidon.
Untuk memfasilitasi perjalanan dan perdagangan, sebuah kanal
(saluran) air dibuat memotong cincin-cincin kanal air yang melingkari
wilayah, sehingga terbentuk jalan air sepanjang 9 km ke arah selatan
menuju laut.
Kota Atlantis menduduki tempat pada wilayah luar lingkaran cincin
air, menyebar di sepanjang dataran melingkar sepanjang 17 km. Inilah
tempat yang padat penduduk di mana mayoritas pendudukanya tinggal.
Di belakang kota terhampar seuatu lahan subur sepanjang 530 km dan
selebar 190 km yang dikitari oleh kanal air lain yang digunakan untuk
memngumpulkan air dari sungai-sungai dan aliran air pengunungan.
Iklimnya memungkinkan mereka dapat 2 kali panenan dalam setahun. Pada
saat musim penghujan, lahan disirami air hujan dan pada musim
panas/kemarau, lahan diairi irigasi dari kanal-kanal air.
Mengitari dataran di sebelah utaranya ada pengunungan yang menjulang
tinggi ke langit. Pedesaaan, danau-danau dan sungai dan meadow menandai
titik-titik pengunungan. Disamping hasil panenan, kepulauan besar
tersebut menyediakan semua jenis tanaman herbal, buah-buahan dan
kacang-kacangan, dan sejumlah hewan termasuk gajah, yang memenuhi
kepulauan.
Dari generasi ke genarasi orang-orang Atlantean hidup dengan
sederhana, hidup penuh dengan kebaikan. Namun lambat-laun meerka mulai
berubah. Keserakahan dan kekuasaan mulai mengkorupsi mereka. Ketika Maha
Dewa Zeus melihat ketidakdapatmatian (immortality) para penduduk
Atlantis, maka Dia mengumpulkan para dewa lainnya untuk menentukan
sebuah hukuman yang layak bagi mereka.
Segera, dalam sebuah bencana besar mereka lenyap. Kepulauan Atlantis, penduduknya, dan ingatan-ingatanya musnah tersapu lautan.
Ringkasan cerita yang dikisahkan Plato ini sekitar tahun 360 SM dalam
dialognya Timaeus and Critias. Karya tulis Plato ini adalah satu-satunya
referensi yang diketahui mengenai Atlantis. Ini telah menimbulkan
kontroversi dan perdebatan lebih dari 2 ribu tahun lamanya.
Replika Situs Atlantis telah diketemukan di Sumatra?
Beberapa orang yang penulis temukan secara tak sengaja, antara
Maret-Mei tahun ini telah mengaku menemukan jejak-jejak situs yang
diduga kemungkinan besar adalah replika situs Atlantis. Menurut
pengakuan mereka, mereka terdorong oleh ilham dan mimpi serta
cerita-cerita tambo, mitos dan legenda yang diwarisi dari leluhur mereka
tentang cerita istana Dhamna yang hilang di tengah pulau Sumatra, di
sekitar perbatasan Propinsi Sumatra Barat, Jambi dan Riau.
Sekitar 6 bulan mereka melakukan riset dan ekspedisi ke lokasi,
dengan partisipasi seorang arkeolog dan panduan beberapa tokoh
masyarakat adat setempat mereka menemukannya di tengah bukit dan hutan
yang sukar dijangkau manusia. Di tempat yang sekarang dikenal sebagai
Lubuk Jambi itu konon telah diketemukan oleh masyarakat setempat
berbagai artefak dan sisa bangunan peninggalan kerajaan Kandis, yang
diduga Atlantis itu di dekat sungai Kuantan Singgigi. Beberapa foto
dirimkan oleh mereka kepada penulis sebagai bukti hasil ekspedisi
mereka. Namun demikian, menurut mereka, tempat tersebut dijaga dan
dipelihara, selain oleh masyarakat adat setempat juga oleh kekuatan
makluk supra natural tertentu yang menjaganya ribuan tahun. Bahkan
menurut mereka, jarum kompas yang mereka bawa ke tempat itu pun tidak
bisa berfungsi lagi, karena pengaruh kutub magnetis bumi pun menjadi
hilang di sana. Salah satu dari tim ekspedisi itu mengaku melihat dan
merasakan kehadiran semacam siluman macan/harimau yang menjaga tempat
itu. Wallahu ‘alam bi shawab.
Namun terlepas dari benar tidaknya pengakuan mereka, ada juga
beberapa pihak yang mengaitkan diketemukannya bukti-bukti situs Atlantis
sebagai peradaban umat manusia pertama dengan sejarah kehidupan Nabi
Adam As dan anak-cucu keturunannya, dengan prediksi kebangkitan kembali
agama-agama dan spiritualisme dunia menjelang akhir zaman. Ini konon
terhubung dengan persiapan kedatangan Imam Mahdi dan mesianisme
kebangkitan kembali Nabi Isa al-Masih, sebelum kiamat tiba.
Inilah yang mungkin masih menjadi pertanyaan tersirat ES Ito yang
menulis novel Negara Kelima. Bagaimanakah revolusi menuju negara ke lima
itu mendapatkan jalannya?
Nusantara, Indonesia sekarang, menurut Tato Sugiarto, telah
dipersiapkan Tuhan YME sebagai negeri tempat persemaian dan tumbuh
kembangnya kearifan ilahiah dan shopia perennialis yang
berevolusi melalui berbagai agama dunia dan kearifan-kearifan lokal
nusantara, yang merefleksikan falsafah Bhineka Tunggal Ika. Menurut pria
kelahiran 1937 ini, mantan tea taster dan market analisis PT
perkebunan I – IX Sumatara Utara – Aceh, walau terjadi paradoks -di
balik krisis lingklungan seiring dengan krisis peradaban global,
mengutip Alvin Tofler, terjadi pula gejala-gejala kebangkitan
agama-agama, yang paralel dengan kebangkitan spiritualisme menurut John
Naisbit. Ini menutut Tato, adalah pertanda masa transisi proses
kebangkitan umat manusia menyosong tranformasi menuju “Kebangkitan
Peradaban Mondial Millenium Ketiga”.
Gejala ini juga terlihat jelas di kawasan Nusantara ini, dan
pesan-pesannya pun dipahami para ahli makrifat yang waskita. Walau
fenomena ini tampil paradoksal, namun sesungguhnya bersifat
komplementer, merupakan survival instinct manusia. Ini merupakan peringatan dini dalam mengatisipasi apocaliptic threats yang akan hadir di masa datang. Prophetic intelegence yang relevan dengan itu berabad-abad yang lampau sebenarnya telah diisyaratkan dalam Injil dan al-Qur’an sebagai nubuat
(ramalan) Kebangkitan Isa al-Masih (QS 3: 55, QS 19:33) ataupun yang
dalam pagelaran wayang purwo ditampilkan sebagai mitos “Kresna Gugah”.
Tato Sugiarto menjelaskan: Wayang Purwo warisan Wali Songo adalah
“tontonan dan tuntunan” adiluhung yang cocok dengan semua agama. Tampil
sebagai seni budaya yang sarat dengan muatan aneka ilmu pengetahuan.
Kresna Gugah = Kebangkitan Imam Mahdi ?
Medium pendidikan massal ini dikemas sebagai total arts, yang
kehadirannya mewakili pagelaran seni makrifat atau meditative arts. Kini
wayang purwo telah melampaui batas wilayah Nusantara, lalu diakui
sebagai warisan dunia, yaitu sejak dinyatakan oleh UNESCO (PBB) sebagai “A Masterpiece of the Oral and Intangible heritage of Humanity” pada tgl 7 November 2003 di Paris Perancis.
Kresna
Dalam ungkapan seorang aktifis urban sufism di Jakarta, Rani
Angraini, “karena di sinilah peradaban luhur pertama umat manusia
berawal, maka di sini pula peradaban umat manusia bangkit kembali dan
berakhir di penghujung zaman.” Wallahu ‘Alam bi shawab.
Sumber : http://www.infoasik.com
No comments:
Post a Comment