Thursday, August 28, 2014

Terbelah Segala Mata Air Samudera Raya: Banjir Nabi Nuh (Kejadian 7) – Bukti Ilmu Pengetahuan atas Firman Allah

Terbelah Segala Mata Air Samudera Raya: Banjir Nabi Nuh (Kejadian 7) – Bukti Ilmu Pengetahuan atas Firman Allah

Oleh: Awang Harun Satyana
Posting ini untuk mas Sofwan Noerwidi dan rekan2 semua. Maaf kalau terlalu panjang dan agak teknis. Ini saya tulis hampir lima tahun yang lalu. Saya mendekatinya dengan Alkitab, sesuai iman kepercayaan saya, juga bahasa Ibrani, bahasa asli Alkitab sebab setiap kata Ibrani punya makna banyak yang tak selalu bisa dikandung oleh satu kata dalam bahasa Indonesia. Intinya adalah arkeologi dan geologi membuktikan kebenaran Firman Allah. Semoga bermanfaat.
Seorang mahasiswa bertanya kepada saya apakah ada penjelasan geologi atas banjir Nabi Nuh. Saya meyakini bahwa untuk apa pun kejadian bencana atau kejadian adikodrati yang melibatkan unsur-unsur Bumi yang dituliskan di Kitab Suci selalu ada penjelasan geologi/ilmiahnya. Mungkin kita tak menemukan penjelasannya sekarang, tetapi kelak kemajuan ilmu pengetahuan akan menyingkapkannya.
Kejadian 7 : 10, 11 ”Setelah tujuh hari datanglah air bah meliputi bumi. Pada waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit.” 
Dalam beberapa kejadian yang dapat dijelaskan, saya percaya bahwa TUHAN menggunakan geologi untuk melaksanakan kehendakNya. Dalam kasus kiamat di Sodom dan Gomora, misalnya, saya pernah menulis di milis ini bahwa TUHAN menggerakkan sesar mendatar yang memotong Laut Mati yang membentang sejak Lembah Retakan Besar Afrika Timur-Laut Merah-Teluk Aqaba-Laut Mati-Lembah Yordan-Danau Galilea, memerintahkan gempa menggoyang ujung selatan Laut Mati, meletuskan gunung-gununglumpur di wilayah itu melemparkan lumpur, gas, garam dan belerang berapi, menghabisi Sodom dan Gomora –dua tempat di ujung selatan Laut Mati yang penuh dengan dosa. Contoh lain, TUHAN pun pernah meletuskan gunungapi Thera-Santorini di Laut Tengah dan meniupkan abunya menutupi Matahari di atas Mesir dan menggelapkannya saat Musa hendak membawa bangsanya. Gerald Friedman, ahli sedimentologi terkenal itu, pernah menuliskan artikel khusus tentang ini di sebuah jurnal riset Alkitab.
TUHAN yang Mahakuasa itu adalah TUHAN atas segala Alam Semesta, yang Mahabesar, yang dengan mudah menggerakkan semua elemen Bumi sesuai kehendakNya, tetapi juga TUHAN yang Mahakasih, yang tak membiarkan seekor burung sekecil pipit pun jatuh ke Bumi tanpa kehendakNya (Matius 10 : 29). Apalagi kepada manusia yang jauh lebih berharga daripada burung pipit, bilangan helai rambutnya pun Ia ketahui (Matius 10 : 30).
Banjir besar pada zaman Nabi Nuh (terjadi sekitar 2900 BC menurut carbon dating endapan banjir tersebut) adalah kisah yang sangat terkenal di dalam Alkitab. Kisah ini bukan dongeng, tetapi kenyataan yang pernah terjadi. Para ahli geologi awal abad ke-19 pun sangat terinspirasi oleh kisah itu… Ini terbukti dari digunakannya istilah ”diluvium” untuk menamai endapan bekas banjir besar hasil proses katastrofik itu. Istilah ini pun pernah digunakan di benua Eropa pada periode tersebut untuk menamai satu periode Kuarter Tua atau Pleistosen, untuk membedakannya dengan ”aluvium”- endapan masa kini (lihat Bates dan Jackson, 1987 : Glossary of Geology).
Bagaimana geologi menjelaskan kejadian banjir besar Nabi Nuh itu ? Mitchell, seorang ahli dari Department of Western Asiatic Antiquities, British Museum, dalam artikel tentang Banjir Nabi Nuh di The New Bible New Dictionary (Inter-Varsity Press, 1988) menulis bahwa tak ada gunanya mencari penjelasan geologi atas kejadian banjir itu sekalipun Kejadian 7 : 11 jelas-jelas menyebutkan ”terbelah segala mata air samudera raya” (ini proses geologi yang gamblang). Mitchell (1988) menganggap bahwa kata-kata di dalam Kejadian 7 : 11 adalah sekedar kata kiasan, jadi tak perlu mencari penjelasan geologi atasnya.
Benarkah anggapan Mitchell (1988) ? Kita tinjau buku tua tulisan Henry Halley (1927) ”Halley’s Bible Handbook” yang pada tahun 1965 diterbitkan edisi ke-24-nya. Halley (1965) menyebutkan bahwa banjir Nabi Nuh terjadi di suatu wilayah yang disebutnya ”Tanah Genting Eufrat” (Euphrat Isthmus) yaitu suatu wilayah Mesopotamia (sebagian Irak, Siria dan Turki sekarang) dan Babel (sekarang Irak), tempat mengalirnya dua sungai besar Eufrat dan Tigris. Tanah Genting ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh laut-laut Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, dan Teluk Persia. Sungai besar Eufrat dan Tigris dan seluruh anak sungainya merupakan penghubung laut-laut itu. Tanah Genting Eufrat terbentuk oleh masuknya Teluk Persia ke arah daratan menuju bagian timur Laut Tengah (sejajar dengan Laut Merah yang masuk menuju Laut Tengah – tanah genting Suez, kemudian digali menjadi Terusan Suez). Nuh dan keluarganya tinggal di kota Babel di tepi Sungai Eufrat (Rowley, 1988, ”Atlas Alkitab”).
Halley (1965) menafsirkan Kejadian 7 : 11 ”… pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang dahsyat…” sebagai : “cataclysmic subsidence” Tanah Genting Eufrat. Tanah Genting Eufrat tenggelam, dan lautan di sekelilingnya memenuhi Mesopotamia- Babel melalui Eufrat dan Tigris yang juga akhirnya ditenggelamkan air laut. Di samping itu, hujan dari langit turun tak ada hentinya selama 40 hari 40 malam yang makin meninggikan banjir. Demikian tulis Halley (1965). Interpretasi Halley (1965) menarik dalam pemahaman geologi moderen melalui analisis tektonik lempeng.
Peta tektonik lempeng dari Skinner dkk. (2004) dalam bukunya ”Dynamic Earth” (John Wiley and Sons, New York) menunjukkan bahwa Tanah Genting Eufrat yang dimaksud Halley (1965) disebelah barat dibatasi oleh batas sesar transform sinistral Laut Mati-Siria, di sebelah utara dan timur oleh suture (tempat pertemuan/benturan dua lempeng) Biltis-Zagros yang merupakan wilah benturan antara Lempeng Arab dan Eurasia. Suture Zagros berimpit juga dengan sesar besar dekstral sepanjang suture-nya (menurut Versfelt, 2001 – Major HC potential in Iran, AAPG Memoir 74). Suture Biltis-Zagros ini diduduki oleh gunung-gunung di sebelah selatan Turki dan Armenia di sekitar Laut Hitam dan Laut Kaspia, menerus menuju gunung-gunung lipatan Pegunungan Zagros di antara Irak dan Iran. Gunung Ararat, Armenia, tempat bahtera Nuh kandas, adalah sebuah gunung di ujung baratlaut suture Zagros.
Teluk Persia adalah sisa Tethys Sea yang tidak ikut tertutup pada saat benturan antara Lempeng Arab dan Eurasia terjadi sejak Miosen akhir (Versfelt, 2001). Gerakan konvergensi Arab ke Eurasia ini terjadi terus sampai sekarang. Di bawah Sungai Eufrat dan Tigris atau di wilayah Tanah Genting Eufrat terdapat retakan-retakan pinggir benua sisa tepi pasif Lempeng Arab sebelum membentur Eurasia. Keberadaan sesar mendatar dekstral sejajar suture Zagros dan retakan benua passive margin di bawah Eufrat dan Tigris adalah elemen-elemen tektonik penting yang akan tereaktivasi ulang bila ”cataclysmic subsidence” terjadi.
Berdasarkan hal di atas, maka bisa dipastikan bahwa wilayah di mana pernah terjadi banjir besar Nabi Nuh adalah wilayah tepi-tepi lempeng yang menunjukkan gejala konvergensi, divergensi, dan strike-slip faulting. Wilayah ini dikelilingi oleh laut-laut besar Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, Teluk Persia, Teluk Oman, Samudera Hindia, dan Laut Merah. Maka bila terjadi ”cataclysmic subsidence”, semua laut di sekeliling Tanah Genting akan membanjirinya seperti laut transgresi atas wilayah yang tenggelam.
Apakah memang terjadi penenggelaman Mesopotamia- Babel sehingga menyebabkan banjir besar ? Mari kita periksa Kejadian 7-8 dalam bahasa aslinya (Aram-Ibrani) . Kejadian 7 : 10 ” Setelah tujuh hari datanglah air bah meliputi bumi.” (”Wayhiy lshib`at hayamiym uwmey hamabuwl hayuw `al-ha’arets. .”). Kata yang dipakai untuk menerangkan peristiwa banjir besar Nabi Nuh adalah ”mabbul” (hamabuwl). Kata inidipakai juga di dalam Mazmur 29 : 10. Arti harafiah mabbul adalah : air meluap secara besar-besaran. Menarik sekali bahwa kata ini dalam kitab Septuaginta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) diterjemahkan sebagai ”kataklysmos” (bandingkan dengan ”cataclysmic”). Kata kataklysmos sebagai banjir besar dipakai juga di dalam Matius 24 : 38-39, Lukas 17 : 27, dan 2 Petrus 2 : 5). Dalam geologi, cataclysmic adalah peristiwa katastrofik.
Kejadian 10 : 11 ” Pada waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit.” (”Bishnat shesh- me’owt shanah lchayey-Noach bachodesh hasheniy bshib`ah- `asar yowm lachodeshbayowm hazeh nibq`uw kal- ma`ynot thowm rabah wa’rubothashamayim niptachuw.”). Perhatikan kata ”tehom” (thowm), artinya adalah air samudra yang naik dari bawah.
Berdasarkan geologi wilayah ini dan kata-kata dalam bahasa asli Kitab Kejadian baik bahasa Aram maupun Yunani (Septuaginta) , saya percaya bahwa Tanah Genting Eufrat tenggelam dan semua laut di sekelilingnya meluapinya menyebabkan banjir besar Nabi Nuh, di samping itu hujan besar 40 hari 40 malam menyebabkan air makin tinggi di atas Bumi (Kejadian 1 : 17).
Bagaimana bisa Tanah Genting Eufrat tenggelam? Apa sulitnya untuk TUHAN bila Ia me-reaktivasi retakan-retakan passive margin di bawah Eufrat dan Tigris. Dulu pada Masa Paleozoikum dan Mesozoikum pun, wilayah ini adalah wilayah yang tenggelam di tepi kontinen Arab akibat adanya sistem retakan passive margin (Versfelt, 2001). Apa susahnya buat TUHAN kalau Ia mau menenggelamkannya lagi pada kala Holosen 2900 BC ?
Apakah ada bukti geologi atau arkeologi endapan sisa banjir Nabi Nuh ? Jelas ada, dan itu telah ditemukan di sepanjang Mesopotamia dan Babel sejak tahun 1920-an. Yang terkenal, adalah yang ditemukan dalam ekskavasi di kota Ur, kota asal Abraham, oleh ahli arkeologi Dr. C.L. Woolley (1929) setebal 8 kaki berupa endapan ”solid water-laid clay”. Urutan endapan menyaksikan kehidupan pra-banjir yang penuh dengan artefak, saat banjir (solid water-laid clay) yang tak ada artefaknya, dan endapan sesudah banjir yang juga penuh dengan artefak yang makin maju tingkat perkembangannya. Lalu, penggalian arkeologi di Kish, masih di tepi Sungai Eufrat oleh Dr… Stephen Langdon (1928-1929) menemukan endapan yang sama setebal 5 kaki. Juga, tahun 1931 ditemukan endapan banjir Nabi Nuh di Fara berupa clean water-laid clay, dekat tempat Taman Eden, oleh Dr.Eric Schmidt. Tentu menarik sekali kalau kita mau meneliti palinologi dan beberapa isotop (oksigen 18/16, karbon 13/12 misalnya) endapan-endapan banjir ini. Dari analisis ini kita bisa mengetahui banyak hal tentang lingkungan saat itu. Umur lapisan-lapisan ini berdasarkan penelitian carbon dating adalah sekitar 2900-2700 BC, tetapi endapan banjir di Ur setua 3500 BC.
Bahtera Nabi Nuh kandas di Gunung Ararat (Kejadian 8 : 4). Gunung ini ada dan ketinggiannya 17.000 kaki (5182 meter), sekarang masuk ke dalam wilayah Turki sebelah tenggara. Gunung ini merupakan gunung lipatan dalam jalur suture Zagros. Gunung ini terletak sekitar 800 km di sebelah utara Babel, kota asal Nuh, berarti bahtera Nabi Nuh terapung 800 km ke arah utara saat banjir besar terjadi (bahtera ini hanya terapung bukan dikemudikan menuju utara) (Halley, 1965). Para penerbang Rusia mengaku pada awal abad ke-20 telah menemukan sisa bahtera ini tertanam di gletsyer Gunung Ararat. Laporan resmi telah disampaikan kepada Tsar Rusia. Sayang, dengan bergulirnya Revolusi Bolsyewik yang ateis, laporan-laporan ini tidak pernah dipublikasikan ke umum apalagi ditindaklanjuti
Pertanyaan tersisa, seberapa luas banjir besar Nabi Nuh itu ? Apakah seluas dunia, menutupi seluruh permukaan Bumi yang luasnya 510 juta km2 itu ? Saya tidak yakin. Ada hal menarik berdasarkan bahasa asli Alkitab dan cerita tentang banjir besar itu dari berbagai bangsa, dari epik Gilgamesh di Babilonia sampai cerita Indian Inca di Peru.
Kata-kata Ibrani yang digunakan untuk ”meliputi bumi” dipakai tiga jenis kata : ”erets” (Wayhiy lshib`at hayamiym uwmey hamabuwl hayuw `al-ha’arets) (Kejadian 7 : 11, 17, 23); ”syamayim” (Wayhiy hamabuwl ‘arba`iym yowm `al- ha’arets wayirbuwhamayim wayis’uw ‘et- hatebah wataram me`al ha’arets) (Kejadian 7 : 17); dan ”adama” (Kiy lyamiym `owd shib`ah ‘anokiy mamTiyr `al-ha’arets ‘arba`iym yowm w’arba`iym laylah uwmachiytiy ‘et-kal- hayquwm ‘sher `asiytiy me`al pney ha’damah) (Kejadian 7 : 4, 23). Perhatikan, bahwa ”erets”, ”syamayim”, dan ”adama”, semuanya diterjemahkan sebagai ”bumi”. Tetapi, masing-masing kata ini mempunyai arti juga sebagai tanah (erets, misalnya Kejadian 10 : 10), bagian yang kelihatan dari langit (syamayim, misalnya 1 Raja-Raja 18 : 45) dan luas muka bumi di tanah yang terlihat dari langit (adama). Maka, tak ada kata-kata yang langsung menunjukkan bahwa banjir besar itu terjadi seluas bola Bumi. Saya percaya bahwa banjir besar hanya terjadi di seluruh Cekungan Eufrat.
Geografi zaman Nuh tentu berbeda dengan geografi masa kini. Perlu diperhatikan bahwa dari Adam sampai Nuh hanya ada 10 generasi. Itulah keseluruhan ras manusia saat itu, yang tinggal tak jauh dari asal manusia sendiri, yaitu di Taman Eden, di wilayah antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (Irak sekarang). Cekungan Eufrat adalah ”seluas bumi” pada zaman Adam-Nuh.
Pertanyaan lanjutan, kalau banjir besar itu hanya seluas Cekungan Eufrat, bagaimana cerita tentang banjir besar itu ditemukan dalam tradisi bangsa-bangsa India, Cina, Inggris, Meksiko, Greenland, dan Peru ? Bukankah itu menggambarkan bahwa banjir besar itu terjadi ke mana-mana ? Tidak, seluruh jumlah manusia sebelum banjir besar hanya 10 generasi (dari Adam ke Nuh) dan mereka hidup tak jauh dari tempat asalnya di Taman Eden. India, Cina, sampai Amerika telah ada tetapi belum dihuni manusia (moderen). Setelah banjir besar usai, baru manusia-manusia turunan Sem, Ham, dan Yafet –anak-anak Nabi Nuh, bersama para isterinya menurunkan bangsa-bangsa moderen penghuni Bumi sekarang. Yafet menurunkan bangsa-bangsa di Eropa dan Asia. Sem menurunkan bangsa-bangsa Yahudi, Asiria, Siria. Ham menurunkan bangsa-bangsa Arab, Mesir, dan pantai timur Afrika.
Melalui peristiwa kekacauan bahasa Menara Babel manusia diserakkan ke seluruh muka Bumi (Kejadian 11 : 9 “…, karena dari situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.”). Kekacauan bahasa di Babel itu terjadi 101 tahun setelah banjir Nabi Nuh. Dan setiap bangsa mempunyai tradisi banjir Nabi Nuh sebab mereka berasal dari anak-anak Nuh, yang mengalami banjir, suatu kisah yang diceritakan sebagai tradisi dari generasi ke generasi.
Perhatikan kata-kata ”diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (hepiytsam Yahweh `al- pney kal- ha’arets), ini baru berarti ke seluruh bola dunia. Kata-kata ” `al- pney kal- ha’arets” tak pernah dipakai sebelumnya untuk menunjukkan luas banjir Nabi Nuh. Suatu indikasi kuat bahwa banjir Nuh hanya terjadi seluas bumi yang diketahui saat itu, yaitu : Cekungan Eufrat.
Demikian, semoga bermanfaat. Ilmu pengetahuan menyaksikan kebenaran Firman TUHAN.

Sumber: 
https://www.facebook.com/pages/awang-harun-satyana/113420562083951

No comments:

Post a Comment